Cerpen Inilah Aku Apa Adanya: Menemukan Kedamaian dalam Kesederhanaan dan Penerimaan Diri

Posted on

Kadang, kita merasa kayak orang yang nggak pernah punya tempat di dunia ini. Semua orang punya cerita mereka masing-masing, sementara kita? Hanya duduk di pinggir, merasa nggak cukup berarti. Tapi, siapa bilang kita harus selalu jadi bagian dari keramaian untuk merasa hidup?

Dalam cerita ini, ada dua orang yang cuma mencoba bertahan, mencoba menemukan diri mereka yang sebenarnya. Ini cerita tentang kesepian, tentang diterima atau nggak, tapi lebih dari itu, ini tentang akhirnya bisa menerima diri sendiri apa adanya.

 

Cerpen Inilah Aku Apa Adanya

Bayangan di Balik Keramaian

Hari pertama kembali ke sekolah setelah liburan selalu membawa perasaan yang campur aduk. Rasanya seperti sudah terlalu lama tidak berada di antara keramaian kelas, tetapi aku tahu, meskipun di sini penuh dengan orang, aku tetap akan merasa sendiri. Setiap langkahku di lorong terasa berat. Aku melihat teman-teman sekelas yang sudah mengelompok, tertawa bersama, seolah-olah dunia ini milik mereka.

Aku menundukkan kepala, berusaha tak terlihat. Di setiap sudut, mereka semua sibuk dengan kehidupan mereka sendiri, dan aku hanya… bayangan. Bayangan yang tak pernah mereka kenali. Aku, yang tak lebih dari seorang siswa biasa dengan pakaian yang sudah beberapa kali dipakai. Tak ada yang istimewa dari diriku. Di sini, aku tak lebih dari orang yang hanya lewat, sebuah objek yang dilupakan dalam sekejap.

“Raisha, kamu kemana aja?” suara seseorang memanggil. Aku menoleh, dan melihat Liana, teman sekelasku yang biasanya tak terlalu banyak bicara padaku.

“Eh, nggak kemana-mana kok,” jawabku singkat, berusaha menyembunyikan rasa canggung yang mulai menjalar.

Liana tersenyum tipis. “Kok kamu duduk di sini? Duduk aja di sebelah aku.”

Aku menatap kursi kosong di sampingnya, tapi aku tahu pasti bagaimana perasaan orang-orang saat melihatku duduk di sana. Mereka pasti akan bertanya-tanya, kenapa ada aku di dekat mereka. Aku bukan siapa-siapa. Tapi, aku tak mau melawan. Aku mengangguk dan duduk, meskipun rasa tak nyaman semakin menekan. Aku bisa merasakan pandangan mata orang-orang yang diam-diam memandangku. Mereka berpikir aku hanya sedang mencari perhatian, padahal itu sama sekali tidak pernah ada dalam pikiranku. Aku hanya merasa terjebak dalam kesendirian ini, tidak lebih.

Liana melirikku sesekali. “Kamu nggak mau ikut mereka ke kantin?” dia bertanya, sambil menatap temannya yang sedang tertawa di meja lain. Aku menggelengkan kepala, menunduk. Tidak ada yang menarik dari kantin. Tidak ada yang bisa aku nikmati di sana selain rasa jenuh yang datang begitu cepat.

“Nggak usah, Liana. Aku lebih baik di sini aja,” jawabku, meskipun dalam hati, aku merasa semakin terasingkan.

Dia mengangguk pelan, lalu pergi menuju kelompoknya. Aku tetap duduk di sana, menatap papan tulis yang kosong, mencoba mencari sesuatu untuk dipikirkan selain betapa menyedihkannya hidupku. Aku tahu aku tak pantas berada di sini, di dunia yang penuh dengan orang-orang yang tahu bagaimana harus terlihat dan bagaimana bersikap.

Aku menghela napas panjang. Ingin rasanya aku menjadi seperti mereka—mereka yang bisa berbicara tanpa rasa takut, yang bisa tertawa tanpa merasa dihakimi. Tapi aku tidak bisa. Aku tahu, dunia ini bukan untuk orang sepertiku. Aku tak pernah merasa ada di tempat yang tepat, seolah-olah aku hanya sebuah elemen yang tak penting dalam kisah ini.

Ketika bel berbunyi, aku berjalan menuju kelas dengan langkah perlahan. Aku tahu, di dalam kelas, aku akan kembali menjadi Raisha yang tak ada artinya. Tak ada yang akan memandangku lebih dari sekadar wajah yang tak terlihat. Mereka, yang memiliki segalanya—kecantikan, kepopuleran, dan perhatian—akan tetap berada di tempat mereka. Sedangkan aku, tetap akan menjadi bayangan yang berusaha bertahan di dunia yang tak pernah memberi ruang untukku.

Aku masuk ke kelas dan langsung duduk di tempat yang sudah aku pilih, di belakang. Posisiku tak pernah berubah—selalu di sudut, selalu terabaikan. Mereka semua sibuk dengan dunia mereka masing-masing, dan aku… aku hanya duduk di sini, mencoba bernafas di tengah udara yang seakan terlalu sesak untukku.

“Raisha!” suara guru matematika menyapaku, dan aku langsung mengangkat tangan, “Ya, Pak?”

“Tolong buka halaman 42,” ujarnya. Aku mengangguk pelan, membuka buku pelajaran yang ada di depanku, walaupun pikiranku tidak ada di sana. Matematika, atau apapun itu, bukan hal yang bisa mengalihkan perhatianku dari kenyataan yang lebih berat. Ketika guru itu mulai menjelaskan soal, aku menunduk, menggigit pensil, berusaha berkonsentrasi agar tidak mendengarkan suara bisikan yang tak pernah berhenti. Mereka selalu mengolok-olokku, meski tak pernah terang-terangan.

Kelas berjalan dengan lambat, seperti biasa. Setiap kali guru mengajukan pertanyaan, aku berusaha untuk tidak diharuskan menjawab. Karena, jika aku jawab salah, aku tahu mereka akan menertawakanku. Namun jika aku diam saja, mereka akan berpikir aku bodoh. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk memenangkan permainan ini.

Satu-satunya hal yang aku bisa lakukan adalah bertahan. Bertahan dalam dunia yang tampaknya tak akan pernah melihatku. Bertahan dalam kesendirian yang begitu akrab, yang setiap detiknya membuatku semakin yakin bahwa dunia ini memang bukan untuk orang sepertiku. Dunia ini terlalu luas, terlalu keras, untuk seseorang yang tak pernah punya apapun selain sebersit mimpi kosong.

Dan di saat-saat seperti ini, aku hanya bisa menunggu—menunggu waktu berlalu, menunggu mereka melupakan aku seperti mereka selalu melakukannya. Aku tidak pantas untuk ada di sini, tapi inilah yang ada. Inilah aku, apa adanya.

 

Di Balik Senyuman Mereka

Waktu terus berjalan, dan aku semakin merasa asing di dunia yang seharusnya menjadi tempatku. Setiap detik yang berlalu semakin mengukuhkan perasaanku—aku hanya pelengkap, bukan bagian dari cerita ini. Di setiap langkahku, aku tahu mereka tidak peduli, tidak ingin tahu. Aku hanya bayangan yang terhapus begitu saja. Tapi itu bukan hal yang baru, bukan?

Hari-hari berjalan dengan monoton. Pagi-pagi, aku pergi ke sekolah, duduk di tempat yang sama, mendengarkan pelajaran dengan setengah hati, dan kemudian pulang. Itu saja. Tak ada yang berubah. Hanya satu hal yang selalu mengganggu pikiranku: bagaimana mereka bisa begitu bahagia? Mereka yang selalu dikelilingi teman, selalu punya cerita untuk dibagi, selalu bisa tersenyum tanpa beban. Kenapa aku tidak bisa seperti itu?

Liana, yang selalu tampak ceria dan penuh semangat, tak pernah menanyakan tentang hidupku yang sunyi. Mungkin dia pikir aku sudah bahagia, atau lebih tepatnya, mungkin dia hanya tidak peduli. Teman-teman sekelasku pun sama. Mereka berbicara tentang perencanaan liburan, tentang film terbaru yang mereka tonton, tentang acara pesta yang mereka hadiri. Aku hanya bisa diam, mendengarkan tanpa benar-benar terlibat. Ada saatnya aku merasa ingin ikut berbicara, ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu seperti terjebak di tenggorokan, terlalu berat untuk diucapkan.

Di hari itu, seperti biasa, aku duduk di tempat dudukku yang sepi, memandangi mereka yang sedang asyik dengan dunia mereka. Dari jauh, aku melihat mereka tertawa, bercanda, seakan tak ada yang salah. Aku tahu, mereka tidak menyadari keberadaanku. Mereka tak pernah peduli, dan itu membuatku merasa seperti benda tak berharga yang hanya ada di latar belakang.

“Raisha, gimana tugas matematika itu? Kamu udah selesai?” suara Liana tiba-tiba menyapa, menarikku keluar dari lamunanku. Aku menoleh, agak terkejut dengan pertanyaan itu.

“Oh, belum,” jawabku, sedikit ragu. Aku merasa keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. “Aku… baru setengah.”

Liana hanya tersenyum, ekspresinya tetap ceria. “Nggak apa-apa, santai aja. Nanti kita kerjain bareng, ya?” katanya, seakan hal itu tidak berarti apa-apa. Tapi bagiku, itu adalah hal yang luar biasa. Dia tidak tahu, tapi aku merasa seperti mendapat sedikit perhatian, walau hanya sebentar.

Aku mengangguk, merasa sedikit lebih lega. Tapi di dalam hatiku, ada sesuatu yang mengganjal. Mungkin dia hanya merasa kasihan padaku. Mungkin dia hanya merasa bahwa dia harus mengajakku, karena dia merasa aku sendirian. Dan itu membuat perasaanku semakin terluka. Tidak ada yang benar-benar peduli padaku. Mereka tidak tahu siapa aku, tidak tahu apa yang aku rasakan. Mereka hanya melihat apa yang tampak di luar, bukan apa yang ada di dalam diriku.

Namun, aku tidak bisa menyalahkan mereka. Mereka tidak tahu. Mereka tidak bisa tahu. Dunia ini tidak memberi ruang untuk seseorang seperti aku—seseorang yang tidak punya kekuatan untuk bersaing, tidak punya keindahan yang bisa membuat orang tertarik. Mereka hanya melihat aku sebagai pelengkap. Orang yang tidak ada yang peduli, orang yang hanya ada untuk memenuhi ruang kosong.

Tapi aku terus berusaha bertahan. Aku tahu aku tidak bisa mengubah dunia ini, tidak bisa mengubah pandangan mereka padaku. Aku hanya bisa berusaha menjadi diriku sendiri, meski itu terasa semakin sulit. Setiap kali aku mencoba untuk melangkah lebih dekat ke dunia mereka, aku merasa semakin jauh.

Saat itu, bel berbunyi lagi, menandakan jam pelajaran berikutnya. Aku bangkit dan mengemas buku-buku pelajaranku, berjalan menuju kelas berikutnya dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Aku tahu, apapun yang terjadi, aku akan tetap menjadi aku—Raisha yang tak dikenal, yang tak penting. Dan itu takkan pernah berubah.

Di kelas, aku kembali ke tempat dudukku yang tak pernah berubah, tetap di sudut belakang, jauh dari perhatian. Teman-teman sekelasku kembali sibuk dengan pembicaraan mereka, seolah-olah aku tak ada. Aku hanya menatap layar komputer dengan kosong, mencoba menyibukkan diri agar tak terlalu merasa terasingkan. Tapi, di dalam hati, ada sesuatu yang menyakitkan.

Aku merasa seperti tak ada harganya. Dunia ini tidak memberi tempat untuk orang sepertiku. Mungkin aku memang tak pantas mendapat perhatian, atau bahkan persahabatan. Aku terlalu sederhana, terlalu biasa. Mereka memiliki segalanya—kecantikan, kekayaan, popularitas—sementara aku hanya punya diriku sendiri, yang seringkali aku pikirkan sebagai kekurangan.

Aku terdiam, menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang hampir saja jatuh. Tapi aku tahu, tak ada gunanya menangis. Dunia ini memang tak adil. Tapi, aku harus menerima kenyataan itu. Aku harus tetap berjalan, meskipun langkahku terasa sangat berat. Mungkin inilah takdirku, menjadi bagian dari latar belakang, menjadi bayangan yang selalu dilupakan.

Namun, di tengah-tengah perasaan itu, ada secercah harapan yang tak bisa aku padamkan. Aku tahu aku tak akan bisa mengubah apapun, tapi mungkin, hanya mungkin, ada saatnya aku akan menemukan tempatku sendiri. Bahkan jika itu harus menunggu bertahun-tahun, bahkan jika dunia ini tak pernah memberi ruang.

Dan untuk saat ini, aku akan bertahan. Dengan cara apapun.

 

Menghadapi Kesendirian

Hari-hari terus berjalan dengan pola yang sama. Sekolah, rumah, dan tidur. Tidak ada perubahan yang berarti dalam hidupku. Aku masih seperti dulu, tetap berada di pinggiran kehidupan mereka, hanya mengamati dari jauh, tanpa pernah benar-benar terlibat. Dan aku sudah terbiasa dengan itu. Tapi meskipun aku sudah mencoba menerima kenyataan, tetap saja ada rasa sepi yang terus menggerogoti dalam diam.

Di sekolah, aku mulai merasa semakin tak ada artinya. Terkadang, aku duduk sendirian di perpustakaan saat waktu istirahat, membenamkan diri dalam buku-buku yang bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Buku adalah satu-satunya tempat di mana aku merasa sedikit lebih hidup, sedikit lebih berarti. Setidaknya dalam cerita-cerita itu, aku bisa menjadi bagian dari dunia yang lebih besar, yang tidak menghakimi. Namun begitu, sesekali aku merasa rindu akan perasaan dimiliki—perasaan menjadi seseorang yang penting dalam hidup orang lain. Tetapi aku tahu itu hanyalah mimpi kosong.

Liana kadang menanyai kabarku, tetapi lebih sering dia hanya berlalu begitu saja. Aku tidak pernah merasa marah. Bagaimana bisa? Dia tidak tahu apa yang aku rasakan. Mungkin dia pikir aku baik-baik saja. Dan itu yang paling menyakitkan—kenyataannya mereka tidak tahu betapa dalam aku merasa terasing. Mereka tidak tahu betapa sakitnya berada di tempat yang seharusnya aku bisa merasa nyaman, tetapi malah semakin jauh dan jauh. Aku merasa terjebak dalam ruang yang tidak pernah bisa aku huni, di antara orang-orang yang tidak pernah benar-benar melihatku.

Suatu hari, setelah jam sekolah selesai, aku berjalan pulang dengan langkah lambat, merasakan beban di bahuku semakin berat. Aku tidak tahu apakah itu lelah fisik atau sekadar kelelahan emosional yang terus-menerus menghantuiku. Sesekali, aku melihat orang-orang berjalan berkelompok, berbincang-bincang, tertawa bersama. Aku hanya bisa menunduk, berjalan melewati mereka tanpa merasa benar-benar ada. Tak ada yang menoleh, tak ada yang bertanya apakah aku baik-baik saja.

Di tengah jalan pulang, ada sesuatu yang menghentikan langkahku. Di sudut taman kecil, aku melihat seorang gadis yang sedang duduk di bangku dengan tatapan kosong, hampir seperti aku. Hanya saja, ada sesuatu yang berbeda. Aku tak tahu kenapa, tapi entah mengapa aku merasa seperti melihat diriku sendiri dalam dirinya. Tanpa berpikir panjang, aku mendekat.

“Hei,” aku berkata pelan, mencoba membuka percakapan. Gadis itu menoleh, dan aku melihat ekspresi yang sama seperti yang sering aku rasakan—kesepian, seakan dunia ini terlalu berat untuk dijalani.

“Eh, kamu… nggak apa-apa?” tanyaku, sedikit ragu, mencoba untuk berbicara lebih banyak meskipun hatiku merasa seperti terperangkap. Dia tidak menjawab segera. Cuma memandangku dengan tatapan yang hampir kosong, seolah-olah dia tidak yakin siapa aku, atau mengapa aku bertanya.

“Ya, cuma… sedang mikir aja,” jawabnya pelan, suaranya hampir terdengar terhalang angin. Aku hanya mengangguk, merasa sedikit canggung. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ada sesuatu yang bisa kami bagikan dalam kesepian kami masing-masing. Aku duduk di sebelahnya, berusaha merasa nyaman meskipun aku tahu ini bukan hal yang biasa aku lakukan.

“Aku Raisha,” kataku akhirnya, mencoba memecah keheningan yang terasa semakin menekan.

Dia memandangku sebentar, lalu tersenyum tipis. “Aku Gita,” jawabnya singkat, suara itu lebih tenang daripada yang aku duga. Kami berdua duduk dalam keheningan, seolah kata-kata tidak lagi diperlukan.

Mungkin kami berdua tidak pernah benar-benar saling mengenal sebelumnya. Mungkin kami tidak punya banyak hal yang bisa dibicarakan. Tapi di situlah kami berada—dua orang yang mencoba mencari tempat untuk bernaung dari dunia yang terus berjalan di sekitar kami tanpa mengindahkan kami. Dunia yang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri hingga kami terlupakan.

“Apa yang kamu pikirin?” tanyaku setelah beberapa menit, suara kurasakan berat, seperti ada sebuah rasa yang sulit untuk diungkapkan.

Dia menoleh lagi, kali ini ada sedikit kehangatan dalam tatapannya. “Tentang banyak hal,” jawabnya. “Tentang kenapa hidup terasa begitu kosong kadang-kadang.”

Aku menghela napas, merasa seolah-olah Gita bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku. Rasanya seperti menemukan orang yang tahu persis apa yang aku rasakan tanpa perlu menjelaskan apa-apa. Aku juga merasa kosong. Seperti sesuatu yang hilang dalam hidupku, namun aku tidak tahu harus mencari ke mana. Tidak ada tempat untukku di dunia yang terlalu indah bagi seseorang seperti aku.

“Aku rasa… kita cuma nggak punya tempat, ya?” kataku, suaraku hampir terhenti.

Gita menoleh lagi, dan aku bisa melihat matanya yang seakan menyimpan banyak cerita. “Mungkin,” jawabnya singkat. “Tapi kita tetap ada di sini, kan? Sama-sama merasa kehilangan.”

Aku hanya bisa mengangguk. Mungkin itulah yang kami punya—rasa kehilangan yang sama, kesepian yang tak terucapkan. Mungkin di dunia ini, kami hanya akan menjadi dua orang yang tak pernah benar-benar ada, yang hanya bisa duduk diam dan berbagi keheningan, mencoba menemukan sedikit kedamaian dalam ketidakpastian yang ada.

Kami berdua tetap duduk di sana, tak berbicara banyak, tapi dalam keheningan itu aku merasa ada sesuatu yang lebih besar—sebuah pengertian yang tak terucapkan. Kami tidak sendirian. Mungkin dunia ini tidak memberi tempat bagi kami, tapi untuk sesaat, di bawah langit yang mulai gelap, kami merasa seolah-olah ada satu tempat yang bisa kami bagi.

Dan aku sadar, mungkin kesepian bukan berarti kita benar-benar sendiri. Mungkin ada orang-orang seperti Gita yang, meskipun tak banyak bicara, memberi sedikit cahaya di tengah kegelapan yang mengelilingi. Mungkin itulah yang aku butuhkan—sesuatu yang sederhana, yang bisa mengingatkan bahwa aku tidak sepenuhnya terlupakan.

 

Menemukan Diri

Hari-hari berjalan lambat. Aku dan Gita semakin sering bertemu di taman kecil itu, duduk bersama, berbicara sedikit atau hanya menikmati kebersamaan dalam hening. Tidak ada yang luar biasa, namun aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Mungkin, ini bukan tentang menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Tetapi lebih kepada menerima kenyataan bahwa kadang, kita tidak perlu mencari apa yang hilang. Kita hanya perlu memahami bahwa kita tidak sendiri dalam perjalanan ini.

Suatu sore, ketika matahari mulai merunduk, aku duduk di bangku taman seperti biasa, menunggu Gita. Udara dingin mulai terasa, tapi tidak ada yang lebih nyaman dari sekadar duduk dan membiarkan angin menyapu wajah. Tidak ada kata-kata, hanya keheningan yang menyelimuti. Sesekali, aku menoleh ke sekitar, melihat orang-orang berjalan, tertawa, dan berinteraksi seperti biasanya. Tapi sekarang, rasanya aku tidak lagi merasa terasing. Aku tahu, aku tidak perlu berada di tengah mereka untuk merasa berarti.

Gita datang, kali ini tanpa ekspresi yang biasa aku lihat. Dia duduk di sampingku tanpa banyak bicara, hanya menatap ke arah langit yang perlahan menggelap. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, seperti ada kekuatan yang baru muncul dalam dirinya yang sebelumnya tidak terlihat.

“Aku nggak pernah merasa benar-benar ‘ada’ di dunia ini,” katanya pelan, suaranya sedikit pecah. “Tapi sekarang… aku rasa aku mulai menerima itu. Menerima diriku apa adanya.”

Aku menatapnya, merasakan kejujuran dalam kata-katanya. “Aku juga merasa begitu. Seperti kita nggak perlu berusaha menjadi seseorang yang lain hanya untuk dianggap ada, ya?”

Dia mengangguk perlahan, senyumnya tipis. “Kita sudah ada di sini, di dunia ini. Mungkin itu yang paling penting.”

Aku terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap. Tidak ada hal besar yang terjadi, tidak ada peristiwa dramatis. Hanya pemahaman sederhana yang perlahan tumbuh di antara kami. Mungkin, aku memang tidak pernah akan menjadi seperti mereka yang aku kagumi. Mungkin aku tidak akan pernah menjadi seseorang yang besar, yang dihormati banyak orang. Tapi itu tidak masalah lagi.

Aku tersenyum, meskipun hati ini tidak sepenuhnya bebas dari segala perasaan yang masih mengikat. “Gita, terima kasih, ya… sudah ada di sini,” kataku dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.

“Terima kasih juga, Raisha,” jawabnya. “Karena kamu sudah mau duduk di sini bersamaku, dalam diam yang nyaman.”

Dan di situlah aku berada—di taman yang tenang, di tengah dunia yang terasa begitu luas dan penuh. Tidak ada harapan besar yang harus aku raih, tidak ada impian besar yang harus aku capai. Aku tidak perlu menjadi seseorang yang aku bukan. Karena di sini, di antara semua kesendirian dan keheningan, aku menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada apapun: aku menemukan diriku yang apa adanya, yang cukup, yang layak berada di dunia ini meski tak terlihat oleh banyak orang.

Seperti langit yang perlahan menggelap, aku tahu, di balik semua kegelapan yang pernah mengisi hatiku, ada secercah cahaya yang perlahan muncul. Itu bukan cahaya yang besar, bukan cahaya yang menyilaukan. Itu adalah cahaya sederhana yang datang dari dalam diri—penerimaan. Aku tidak perlu menjadi sempurna. Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri. Dan itu sudah cukup.

 

Jadi, mungkin kita nggak perlu mencari tempat di dunia yang luas ini. Kadang, yang kita butuhkan cuma memahami bahwa kita sudah cukup dengan menjadi diri sendiri.

Tidak ada yang salah dengan kesederhanaan, dan tidak ada yang lebih berharga dari menerima diri apa adanya. Mungkin dunia nggak selalu melihat kita, tapi selama kita bisa melihat diri kita sendiri dengan cara yang lebih baik, itu sudah lebih dari cukup.

Leave a Reply