Cerpen Ibukota di Malam Hari: Tragedi, Kenangan, dan Perjalanan Baru yang Menyentuh Hati

Posted on

Gak nyangka ya, di tengah hiruk-pikuk ibukota yang gak pernah tidur, hidup bisa berubah secepat itu. Di bawah lampu-lampu neon yang terang, ada kisah pilu yang nggak banyak orang tahu. Kadang, kita harus jatuh dulu untuk bangkit lagi, dan kadang, kenangan yang terlanjur dalam hati itu malah jadi beban yang berat.

Tapi, siapa sangka, perjalanan yang penuh dengan kesedihan dan perpisahan bisa jadi awal dari sesuatu yang baru? Yuk, ikuti cerita tentang Rendra yang harus melepas kenangan dan menemukan keberanian untuk melanjutkan hidup.

 

Cerpen Ibukota di Malam Hari

Malam yang Terlambat

Langit malam di ibukota ini selalu tampak seperti lukisan yang tak selesai. Lampu-lampu jalan yang bersinar redup mengurai bayangan hitam di antara gedung-gedung tinggi, seolah menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Aku berdiri di sebuah sudut jalan yang biasa, menatap ke seberang, namun mataku kosong, tidak melihat apapun selain bayangan kenangan yang terus menghantui.

Malam ini, sepi begitu terasa. Hujan yang sempat turun beberapa jam yang lalu, meninggalkan jejak-jejak basah di trotoar, di jalanan yang tak pernah berhenti. Deru kendaraan melintas, menciptakan kebisingan yang terasa jauh, tidak seperti biasanya. Mungkin karena hatiku yang kini lebih kosong dari biasanya. Setiap jalan yang kulalui seolah memanggil nama seseorang, nama yang sudah lama hilang dari hidupku.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi, udara malam ini justru terasa lebih sesak, seakan ingin menyerap setiap rasa sakit yang kulontarkan. Dulu, aku tidak pernah tahu kalau kenangan bisa begitu mengikat, membuat tubuhku seakan terhenti di titik ini, di jalan yang pernah kami lewati bersama.

“Rendra.”

Aku terkejut. Nama itu, seakan keluar dari mulut seseorang yang tak aku kenal lagi. Aku menoleh, mataku menangkap sosok yang berdiri tidak jauh dariku. Wajahnya tertegun, wajah yang pernah sangat ku kenal. Tapi kini, ada kesan asing yang melingkupi setiap detail wajahnya. Itu dia. Dita.

Aku menatapnya, dan sejenak, semuanya terasa membeku. Wajah yang dulu selalu membuatku tersenyum kini tampak sangat jauh. Mata yang dulu begitu hangat kini terlihat kosong, seperti aku yang tengah menatap diriku sendiri dalam cermin yang retak.

“Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini,” Dita akhirnya membuka suara, suara itu terdengar lebih tegas dari yang pernah aku dengar.

Aku hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Apa yang harus aku katakan? Semua kata yang ingin keluar terasa tidak cukup, seakan kehilangan makna. Aku ingin bertanya tentang segala hal, tentang kenapa dia pergi, kenapa dia meninggalkan aku tanpa kata, tapi lidahku terasa kaku.

“Aku…” Dita menarik napas panjang, matanya menatapku seolah mencari sesuatu. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Rendra. Waktu kita dulu… itu masih ada di pikiranku, meskipun rasanya… aneh, ya.”

“Kenapa kamu pergi?” Aku akhirnya memecah keheningan. Suara itu keluar dengan penuh tanya, begitu keras hingga terdengar di antara deru mobil yang berlalu di kejauhan.

Dita terdiam sejenak, menunduk, seolah mencerna kata-kataku. Mungkin dia juga merasa hal yang sama. Mungkin dia merasa bahwa semua yang pernah ada antara kita kini hanya menjadi kenangan yang membebani.

“Aku harus memilih,” jawabnya perlahan, “antara impian-impian yang aku punya dan… kamu.”

Aku merasa tubuhku serasa runtuh mendengar kata-kata itu. “Jadi, itu alasan kamu pergi? Kamu meninggalkan aku karena impianmu?” tanyaku, suaraku pecah. Aku berusaha menahan emosi yang sudah hampir meluap. “Kenapa nggak bisa kita jalani bersama? Kenapa harus pilih salah satu?”

Dita mengangkat wajahnya, matanya menatapku dengan tatapan yang begitu asing. “Rendra, kadang-kadang kita harus pergi untuk bisa jadi lebih baik. Aku nggak pernah bilang kalau aku nggak peduli sama kamu. Cuma… kadang aku merasa kalau kita terjebak dalam sesuatu yang nggak bisa berkembang. Aku harus bergerak maju.”

Kata-katanya terasa seperti pisau yang menusuk pelan-pelan, merobek-robek hati yang sudah hampir rapuh. Aku terdiam, menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ada rasa kesal, ada rasa kecewa, tapi juga ada rasa yang tak bisa kubendung. Sebuah perasaan yang entah bagaimana masih tersisa, meski aku tahu sudah lama hilang.

“Jadi, kamu meninggalkan aku begitu saja karena impianmu?” ulangku, kali ini lebih datar. Aku berusaha menahan tangis yang rasanya ingin meledak.

Dita menatapku dengan raut wajah yang sulit dibaca. “Aku nggak bisa terus hidup di bayang-bayang masa lalu. Aku harus maju. Aku harus mengejar apa yang selalu aku inginkan.”

Aku menunduk, mencoba menenangkan diriku. Suasana di sekitar kami terasa sangat asing. Ada kesunyian yang sangat berat, seolah waktu berhenti di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur.

“Aku nggak tahu kalau kamu bisa begitu, Dita,” aku mengatakannya dengan suara serak. “Aku kira kita bisa saling berbagi impian itu. Aku kira kita bisa melewatinya bersama.”

Dita menggigit bibir bawahnya, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak bisa…,” katanya, suaranya perlahan, “Aku nggak bisa memberi kamu harapan yang aku sendiri nggak bisa pastikan.”

Aku merasa seperti terjatuh ke dalam lubang yang dalam. Perasaan yang dulu ada kini seolah menghilang begitu saja, dihancurkan oleh kata-kata yang dingin dan penuh kebingungannya. Aku merasa seperti kehilangan diri sendiri di tengah kota yang penuh dengan lampu dan suara.

Dita menatapku sekali lagi, dan kemudian dia berbalik, berjalan menjauh. Setiap langkahnya seolah menghempas aku lebih jauh dari dirinya. Aku terdiam, tubuhku seperti terpaku di tempat itu, tak mampu bergerak, tak mampu berbuat apa-apa.

Ketika Dita menghilang di balik keramaian, aku hanya bisa berdiri di sana, menatap jalan yang kini terasa lebih sepi. Ibukota ini, yang selalu hidup, kini terasa lebih hening. Tak ada lagi yang terdengar selain deru napasku yang berat, dan sebatang kenangan yang perlahan terkubur oleh waktu.

Aku menatap langit yang semakin gelap, dan sebuah pesan masuk ke ponselku. Aku membuka layar, dan mataku tertumbuk pada kata-kata yang mengirimkan sebuah pedang tajam yang menyayat hati:
“Aku sudah menikah.”

Waktu seperti berhenti. Aku menggenggam ponsel itu erat, seolah berharap itu hanya mimpi buruk yang bisa aku bangunkan. Tapi, kenyataan itu sudah ada di depan mata. Dan aku, terjebak di malam yang terlalu lama untuk dilupakan.

 

Cahaya yang Pudar

Pagi datang dengan lambat, seakan malas menembus tirai jendela kamarku yang tertutup rapat. Rasanya, dunia masih belum pulih dari rasa sakit yang mengoyak hatiku semalam. Semuanya tampak begitu samar, bahkan udara pagi yang biasanya terasa segar kini terasa sesak. Aku menatap ponselku yang tergeletak di meja samping tempat tidur, layar yang menunjukkan pesan dari Dita masih tampak jelas di kepala. “Aku sudah menikah.” Kalimat itu terngiang-ngiang tanpa henti, bagaikan irama yang tak pernah berhenti diputar, menghantui setiap langkahku.

Aku tahu, aku seharusnya merasa lega—setidaknya Dita bahagia. Tetapi, kenapa justru aku merasa begitu hancur? Setiap kali aku berpikir tentang dirinya, aku merasa seperti ada yang hilang dari dalam diriku. Seperti sebuah potongan puzzle yang tidak akan pernah pas. Rasanya sangat buruk, terlalu buruk untuk dijelaskan.

Berdiri di depan cermin kamar, aku melihat diriku yang tak lagi mengenali siapa aku. Wajahku tampak pucat, mata yang biasanya penuh semangat kini tampak kosong dan lelah. Bahkan senyum yang dulu bisa kuandalkan sepertinya telah menghilang. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi entah kenapa, rasanya semakin sulit untuk bernafas.

Aku berjalan ke balkon, memandang kota yang sudah mulai hidup. Mobil-mobil berlalu, orang-orang berjalan dengan langkah terburu-buru, dan suara-suara kehidupan yang selalu menggema, seolah mengingatkan betapa besar dunia ini dan betapa kecilnya aku di tengah-tengahnya.

Tapi aku tak bisa menghindari kenyataan yang ada. Pagi ini terasa sangat hampa. Dita sudah melangkah jauh, dan aku? Aku terjebak di masa lalu, menunggu keajaiban yang tak kunjung datang.

Satu langkah demi satu langkah, aku keluar dari apartemen kecilku, berusaha menemukan sedikit ketenangan di tengah hiruk-pikuk kota. Langkahku terasa berat, seolah ada beban yang semakin bertambah. Aku tahu, aku sedang berusaha melarikan diri dari kenyataan, tetapi semakin aku mencoba, semakin jelas bahwa aku tak bisa kabur dari apa yang sudah terjadi. Semua sudah terlanjur terjadi.

Aku berhenti di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Pintu kaca yang terbuka menyambutku dengan angin yang sejuk. Aku melangkah masuk, mencari tempat duduk yang agak tersembunyi di pojok ruangan. Dulu, Dita dan aku sering datang ke tempat seperti ini—memesan kopi, duduk berjam-jam sambil berbicara tentang masa depan. Tapi kini, tempat itu hanya menjadi kenangan pahit yang semakin sulit untuk diingat tanpa rasa sakit.

Aku memesan kopi hitam, dan duduk menunggu, mengamati setiap orang yang lewat. Seorang pria tua duduk di meja sebelah, membaca koran dengan tenang. Seorang wanita muda tampak sibuk dengan laptopnya. Sepertinya mereka semua punya dunia sendiri, tak peduli dengan apa yang sedang terjadi dalam hidupku. Aku merasa asing di tengah keramaian ini. Seolah aku adalah bagian yang terlewatkan, sesuatu yang tidak seharusnya ada di sini.

Saat kopi itu datang, aku memegang cangkirnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Aku meneguknya perlahan, mencoba merasakan setiap tetesnya. Rasanya pahit, seperti hatiku yang sedang terkoyak. Aku ingin menangis, tapi air mata itu rasanya sulit keluar. Semua sudah terlalu lama tertahan, dan kini aku hanya bisa merasakannya di dalam diri.

Tiba-tiba, suara bel pintu kafe berbunyi, dan aku menoleh, merasa seperti ada yang tak beres. Seorang pria berdiri di pintu, tampak ragu-ragu untuk masuk. Wajahnya familiar. Tak lama, pria itu melangkah masuk, dan mata kami bertemu.

Aku terkejut.

Rendi, teman lama yang pernah menjadi bagian dari hidupku sebelum Dita datang. Wajahnya yang dulu tampak ceria kini terlihat lebih matang, lebih serius. Dia berjalan mendekat, dan aku bisa merasakan keheningan yang tercipta di antara kami.

“Rendra,” katanya pelan, suara yang dulu sering kali penuh canda kini terdengar berat. “Kamu masih di sini?”

Aku hanya mengangguk, berusaha menunjukkan senyum yang terasa begitu kaku. “Iya. Lama nggak ketemu.”

Rendi duduk di seberangku, dan kami terdiam sejenak. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan, banyak hal yang ingin kuberitahukan, tetapi aku tahu tidak ada kata yang cukup untuk menjelaskan apa yang sedang aku rasakan.

Dia menatapku dengan tatapan yang penuh arti. “Aku dengar dari teman-teman, kamu dan Dita… nggak lagi bersama, ya?” katanya, agak ragu.

Aku menunduk, mencoba menahan diri. “Iya,” jawabku pelan, hampir seperti bisikan. “Dia… sudah menikah.”

Rendi tidak berkata apa-apa. Hanya ada keheningan yang mengisi ruang di antara kami. Aku bisa merasakan tatapannya yang penuh pengertian, namun juga ada rasa khawatir yang tergambar di wajahnya. Dia tahu, seperti halnya aku, bahwa kami berdua sedang terperangkap dalam kenangan yang tidak bisa kami lepas.

“Aku nggak tahu harus bilang apa, Rendra,” Rendi akhirnya berkata lagi, suaranya lembut. “Aku tahu rasanya kehilangan seseorang yang begitu berarti, tapi kamu harus bisa move on. Kamu nggak bisa terus begini. Itu akan menghancurkanmu.”

Aku mengangkat wajahku, menatapnya dengan tatapan kosong. “Aku tahu,” jawabku, suara itu terdengar seperti hanya untuk meyakinkan diri sendiri. “Tapi kadang-kadang, aku merasa seperti ini adalah takdirku. Terjebak di masa lalu.”

Rendi menatapku dengan penuh perhatian. “Jangan biarkan dirimu terkunci dalam masa lalu, Rendra. Dunia masih berjalan, meskipun kamu merasa tertinggal.”

Aku menghela napas panjang. “Aku tahu, tapi kadang-kadang, aku hanya ingin berhenti sebentar, berhenti dari semuanya. Aku nggak tahu harus mulai dari mana lagi.”

Rendi tersenyum samar, seolah mengerti lebih dari yang aku katakan. “Kamu nggak sendirian, Rendra. Banyak orang yang merasa seperti itu. Cuma… kamu harus berani untuk melangkah lagi. Sekarang, kamu harus hidup untuk dirimu sendiri, bukan untuk kenangan yang sudah hilang.”

Aku menatap Rendi, dan untuk pertama kalinya sejak kemarin, aku merasa ada sedikit cahaya yang menyentuh hati. Entah kenapa, aku merasa seperti ada harapan yang bisa kupegang, meskipun masih samar.

“Aku akan coba,” jawabku pelan. “Aku akan coba untuk melangkah lagi.”

Namun, di dalam hatiku, aku tahu, itu tidak akan mudah. Aku sudah terlanjur terjebak dalam kenangan yang sulit dilepaskan. Tapi mungkin, pelan-pelan, aku bisa belajar untuk melepaskan.

 

Bayang-Bayang yang Terus Menghantui

Hari-hari berlalu seperti angin yang berhembus tanpa bisa dihentikan. Aku berusaha mengatur ulang hidupku, mencoba berdamai dengan kenyataan yang begitu pahit, namun semakin lama, semakin aku merasa terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu. Setiap kali aku menutup mata, aku masih melihat Dita tersenyum, masih mendengar suaranya tertawa, dan masih merasa seolah-olah dia ada di sini, di sampingku.

Aku sudah mencoba untuk bangkit. Aku mulai kembali bekerja dengan penuh semangat, menyelami tugas-tugas yang sebelumnya kutinggalkan. Tapi seiring waktu, pekerjaan itu semakin terasa kosong, tidak memberi arti apa-apa. Di tengah kesibukanku, perasaan ini masih menyelimutiku, membuatku merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupku—sesuatu yang tak akan pernah kembali lagi.

Beberapa malam lalu, aku pergi ke sebuah acara, sebuah pesta yang diadakan oleh teman lama. Mereka semua tampak begitu bahagia, penuh tawa dan kegembiraan. Tetapi di antara keramaian itu, aku merasa sangat kesepian. Aku berdiri di sudut ruangan, memegang gelas berisi air mineral, berusaha menyembunyikan diri di balik kerumunan.

Di saat itulah aku melihatnya lagi. Dita. Dia tampak sempurna, seperti yang selalu dia lakukan—dengan gaun elegan yang memperlihatkan betapa dia masih menjadi pusat perhatian, dikelilingi oleh teman-teman baru, tertawa, berbicara dengan penuh keceriaan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada pria yang berdiri di sampingnya, memegang tangannya dengan penuh perhatian, dan aku tahu, aku tak bisa lagi berada di dunia itu. Dunia yang dulu aku yakini sebagai milikku.

Aku ingin pergi, meninggalkan tempat itu, tetapi kakiku terasa berat. Seolah tubuhku menahan untuk pergi, menahan untuk menerima kenyataan. Tak lama kemudian, langkahku terhenti. Sebuah suara memanggilku, lembut, penuh ketulusan.

“Rendra,” suara itu menggetarkan setiap serat hatiku. Aku menoleh, dan di sana, berdiri seorang wanita dengan tatapan yang penuh harapan. Santi.

Santi adalah teman lama, seseorang yang selalu ada di sisi aku selama masa-masa sulit. Kami tak pernah berpacaran, namun ada ikatan yang kuat di antara kami, ikatan yang lebih dalam dari sekadar pertemanan. Santi tahu betul apa yang terjadi antara aku dan Dita, dan mungkin itulah mengapa dia datang. Untuk mengingatkanku, untuk memberi tahu bahwa aku tak sendiri.

“Aku tahu kamu masih terluka,” katanya, menyentuh lenganku dengan lembut. “Tapi kamu nggak harus terus terpuruk seperti ini.”

Aku hanya bisa tersenyum pahit. “Aku nggak tahu bagaimana cara berhenti merasa seperti ini, Santi,” jawabku pelan. “Dita sudah bahagia. Dia sudah punya hidup baru.”

“Lalu, kamu sendiri? Kamu mau terus seperti ini?” tanyanya, dengan mata yang penuh pengertian.

Aku terdiam. Pertanyaan itu begitu sederhana, namun berat sekali untuk dijawab. Apa yang sebenarnya aku inginkan? Apa yang sebenarnya bisa mengobati luka yang begitu dalam ini? Aku hanya merasa bingung. Semua yang terjadi terlalu cepat, dan aku tak tahu harus bagaimana lagi.

Santi menatapku sejenak, lalu mengajak aku duduk di kursi terdekat. “Rendra, aku tahu ini sulit. Tapi hidup harus terus berjalan. Kamu nggak bisa terus memikirkan sesuatu yang sudah berakhir. Kamu harus berani mengambil langkah berikutnya, meskipun itu menakutkan.”

“Aku nggak tahu apakah aku siap, Santi,” aku mengaku, dengan suara yang sedikit pecah. “Setiap kali aku berpikir untuk melangkah maju, aku merasa seperti ada sesuatu yang mengikatku di sini. Kenangan itu—terlalu berat.”

Dia mengangguk perlahan, seolah memahami. “Aku tahu. Tapi, kamu harus ingat, hidup ini terlalu singkat untuk terjebak dalam masa lalu. Kita tidak bisa hidup hanya dengan kenangan.”

Aku menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang semakin sulit untuk dipendam. Aku tahu dia benar. Aku tahu aku harus melepaskan, tapi… rasanya terlalu sulit. Aku merasa seperti bagian dari diriku tertinggal di masa lalu, dan aku tak tahu bagaimana cara mengembalikannya.

“Santi,” aku memanggilnya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Kenapa hidup harus seperti ini? Kenapa semua terasa begitu sulit?”

Santi meraih tanganku dengan lembut, menggenggamnya dengan penuh perhatian. “Karena kadang kita harus melewati rintangan-rintangan besar untuk menemukan diri kita yang sejati. Kamu akan kuat, Rendra. Aku tahu itu. Hanya perlu waktu.”

Aku menatapnya, berusaha mencari sedikit ketenangan di matanya. Mungkin dia benar. Mungkin aku hanya perlu memberi waktu pada diriku sendiri. Waktu untuk menerima kenyataan, waktu untuk sembuh, dan waktu untuk memulai sesuatu yang baru.

“Aku akan coba, Santi,” jawabku, dengan suara yang lebih mantap. “Aku akan coba untuk melangkah, meskipun rasanya sangat sulit.”

Santi tersenyum, senyum yang menenangkan, dan aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin ini adalah langkah pertama menuju pemulihan, meskipun aku tahu, perjalanannya masih panjang dan penuh dengan tantangan.

Namun, malam itu, ada satu hal yang kutahu pasti—aku tak akan lagi terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Meskipun itu akan memakan waktu, aku akan belajar untuk berdiri kembali dan melangkah maju, meskipun langkah pertama terasa berat dan penuh ketakutan.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diriku. “Terima kasih, Santi,” aku berkata dengan tulus. “Aku benar-benar nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku akan coba.”

Santi hanya mengangguk, matanya penuh harapan. “Itulah yang paling penting, Rendra. Mencoba untuk bangkit.”

Aku menatap kota yang bersinar di luar jendela, merasakan sedikit kehangatan di dalam dada. Mungkin, hanya mungkin, ada sedikit cahaya yang mulai menyusup ke dalam hatiku yang telah lama terluka. Dan dengan sedikit harapan itu, aku melangkah lagi, meskipun dengan langkah yang sangat pelan.

 

Menyusun Kembali Kepingan Hidup

Kehidupan, seperti yang sudah kutahu, tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana. Bahkan, terkadang ia tampak menolak segala upaya untuk memperbaiki diri, seolah memberi peringatan bahwa ada banyak hal yang tak bisa dikendalikan. Namun, setelah malam itu bersama Santi, aku mulai merasa bahwa ada secercah cahaya yang perlahan menghangatkan kembali hatiku yang sempat membeku. Perlahan, aku belajar untuk menerima bahwa setiap luka memiliki waktunya untuk sembuh—meski butuh waktu yang tak sebentar.

Hari demi hari, aku mulai mencari arti baru dalam hidupku. Dita, kenangan kami, segala hal yang pernah kami bangun, kini terasa seperti sebuah perjalanan yang telah mencapai titik akhir. Tak ada lagi jalan kembali. Aku menyadari bahwa hidupku harus terus berlanjut, bahwa aku harus menemukan jalanku sendiri tanpa terikat pada masa lalu. Itu adalah hal yang paling sulit—berpaling dari sesuatu yang telah lama mengisi setiap sudut hidupku. Namun, aku tahu, aku tak bisa selamanya hidup di bawah bayang-bayang kenangan.

Aku mulai lebih banyak keluar, tidak hanya untuk bekerja tetapi untuk menikmati apa yang ada di sekitarku. Jalan-jalan kota yang dulu terasa begitu asing dan dingin, kini perlahan berubah menjadi tempat yang menawarkan kemungkinan. Ada restoran baru yang buka, tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah kukunjungi kini menjadi tujuan utama setiap akhir pekanku. Aku merasa sedikit lebih hidup. Itu bukan perubahan besar, tapi cukup untuk memberi sedikit ruang di hatiku.

Namun, meskipun aku berusaha bergerak maju, bayang-bayang Dita kadang datang kembali. Ada kalanya aku teringat pada tawa manisnya, atau matanya yang selalu penuh dengan impian. Ada kalanya aku ingin memutar kembali waktu, ingin mengembalikan segalanya seperti dulu. Tapi aku tahu, itu hanya ilusi—sesuatu yang tak mungkin terjadi.

Di sebuah sore yang cerah, aku duduk di kafe kecil yang baru saja kubuka di salah satu sudut kota. Suasana terasa ringan, berbeda dengan malam-malam yang penuh dengan kesedihan itu. Aku memandangi secangkir kopi yang ada di meja, mencoba menikmati momen kecil ini, ketika tiba-tiba sebuah suara menginterupsi.

“Rendra,” suara itu terdengar familiar, meski kini terasa lebih asing. Aku menoleh, dan di sana, berdiri Dita, dengan senyumnya yang dulu selalu bisa membuatku melupakan segala masalah.

Hatiku berdegup kencang, campuran antara kegembiraan dan kecemasan. Aku tidak tahu apa yang seharusnya aku rasakan. Sudah lama sekali kami tidak bertemu, dan sekarang, di sini, di hadapanku, dia kembali hadir. Wajahnya terlihat sedikit berbeda, lebih matang, tapi tetap sama—cantik dan penuh pesona.

“Kamu terlihat berbeda,” aku berkata, mencoba untuk terdengar biasa saja. “Sehat?”

Dita tersenyum, tetapi ada kesan yang lebih serius di wajahnya. “Aku baik-baik saja, Rendra. Aku cuma… ingin bicara denganmu.”

Aku mengangguk pelan, merasa ada ketegangan yang menghangatkan udara di antara kami. Ada begitu banyak yang ingin kuutarakan, namun aku tahu, mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk itu.

Dia duduk di hadapanku, memandangku dengan mata yang seolah berusaha mencari jawaban dari jauh di dalam hatiku. “Aku tahu kita sudah lama tidak berbicara. Maaf jika aku tiba-tiba muncul seperti ini. Tapi ada sesuatu yang ingin aku katakan.”

Aku mengangguk, tak tahu harus berkata apa. Aku ingin mendengarnya, tetapi pada saat yang sama, aku takut dengan apa yang akan dia katakan.

“Aku… aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menghargai semua kenangan kita, Rendra. Tidak ada satu pun yang aku sesali. Tapi aku juga tahu, kita berdua sudah memilih jalan kita masing-masing,” Dita berkata pelan, dengan nada yang begitu hati-hati.

Aku menatapnya, mencoba memahami maksud dari kata-katanya. Ada sesuatu yang terasa berat di dalam kalimat itu, seperti sebuah pengakuan yang selama ini tertahan.

“Aku ingin kau tahu,” lanjut Dita dengan suara yang semakin serak, “bahwa aku tak pernah benar-benar melupakanmu, Rendra. Tetapi aku sadar, aku tidak bisa lagi berada di hidupmu dengan cara yang dulu. Aku ingin kau bahagia. Dan untuk itu, aku harus pergi.”

Pernyataan itu membuatku terdiam. Ada perasaan yang sulit dijelaskan—sebuah perasaan campur aduk antara kehilangan dan pembebasan. Aku tahu bahwa inilah saatnya, saat yang sudah lama kutunggu meski aku takut menghadapi kenyataan ini. Dita dan aku, kami tidak akan pernah kembali. Dan mungkin itu yang terbaik.

“Aku mengerti,” aku akhirnya menjawab, suaraku pelan namun mantap. “Aku juga tak bisa terus hidup seperti ini. Terima kasih untuk segala yang pernah kita lalui, Dita.”

Dia menatapku sejenak, seolah ingin mengingat setiap detail wajahku sebelum berbalik meninggalkanku. “Selamat tinggal, Rendra. Semoga kamu menemukan kebahagiaan yang sejati.”

Aku hanya bisa mengangguk, menyaksikan langkahnya yang perlahan menjauh. Tiba-tiba, aku merasa seolah beban yang telah bertahun-tahun menghimpit dadaku akhirnya terangkat. Tidak ada lagi yang tertinggal, tidak ada lagi bayang-bayang yang menghantui.

Di tengah kota yang ramai ini, aku duduk sendiri, merasakan keheningan yang aneh. Tiba-tiba, rasanya seperti semua yang pernah terjadi kini menjadi bagian dari masa lalu, sebuah kenangan yang sudah harus kutinggalkan. Aku tahu, perjalanan hidupku masih panjang. Dan mungkin, di luar sana, ada harapan baru yang menantiku.

Aku menatap langit, merasakan angin malam yang sejuk menerpa wajahku. Ada sesuatu yang baru dalam diriku, sebuah keyakinan bahwa kehidupan ini—meskipun penuh dengan kehilangan dan rasa sakit—masih menyisakan kesempatan untuk memulai lagi.

“Terima kasih, Dita,” bisikku pelan, “untuk semua yang pernah kita bagi. Sekarang, aku harus melanjutkan jalanku.”

Dengan satu langkah, aku mulai berjalan. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi rasa sakit yang membelenggu. Aku tahu, hidup ini hanya satu kali, dan aku harus memilih untuk menjalani sisa waktuku dengan keberanian untuk membuka babak baru.

Dengan langkah yang mantap, aku meninggalkan kafe itu, menuju ke tengah keramaian ibukota yang tak pernah berhenti berputar.

 

Dan begitu, perjalanan Rendra pun berlanjut. Di tengah kota yang tak pernah tidur, ia mulai menapaki langkah baru, meninggalkan semua yang dulu menghantui.

Mungkin hidup memang penuh dengan perpisahan dan kenangan pahit, tapi siapa bilang itu akhir dari segalanya? Terkadang, kita hanya perlu memberi diri kesempatan untuk bangkit, meski tak mudah. Karena, pada akhirnya, hidup terus bergerak, dan kita pun harus terus berjalan.

Leave a Reply