Daftar Isi
Terkadang, kita nggak sadar seberapa besar pengaruh seseorang dalam hidup kita sampai akhirnya mereka pergi. Tapi, bukan berarti semuanya berakhir, kan? Cerpen ini bakal ngajak kamu buat ngerasain gimana rasanya kehilangan, tapi juga gimana caranya bangkit lagi dari kehilangan itu.
Semua tentang ibu, kenangan, dan cinta yang nggak pernah benar-benar hilang. Coba deh baca, siapa tahu kamu bakal menemukan sesuatu yang bisa bikin kamu mikir ulang soal arti dari setiap langkah hidup yang kita ambil.
Cerpen Ibu Panutanku
Tatapan yang Tak Pernah Padam
Pagi itu seperti pagi-pagi biasa. Matahari baru saja mengintip dari balik horizon, memberikan cahaya hangat yang menyinari dunia. Tetapi, bagi Lissy, pagi itu berbeda. Ada sesuatu yang menggelayuti hatinya, sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan. Ia duduk di meja belajarnya, menatap foto lama yang tergeletak di atasnya.
Foto itu sudah mulai pudar, warnanya tidak segar seperti dulu, tapi senyum ibu di sana masih jelas terlihat. Itu adalah senyum yang selalu mengingatkannya pada kenangan-kenangan indah yang kini menjadi bagian dari masa lalu. Ibu dengan wajah lembut dan mata yang selalu dipenuhi ketulusan. Ibu yang dulu selalu ada di setiap langkahnya, yang selalu memandunya meskipun kini ia sudah tiada.
Lissy menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi, ada yang tak bisa ia hindari. Rasa rindu itu selalu datang di saat-saat tertentu. Seperti pagi ini, saat ia sedang mempersiapkan diri untuk lomba puisi di sekolah. Ia tahu, meskipun Ibu tak lagi ada secara fisik, Ibu tetap hidup dalam setiap langkahnya. Dan itulah yang ia ingin sampaikan lewat puisi itu. Namun, apakah bisa? Apakah ia bisa membuat orang lain merasakan apa yang ia rasakan tentang ibunya?
Lissy menatap sekeliling ruang belajarnya, penuh dengan buku dan catatan. Namun, tidak ada yang lebih penting dari perasaan yang menggelayuti hatinya. Ibu, panutannya. Sosok yang tak hanya ia lihat, tapi juga ia rasakan dalam setiap hembusan napas dan setiap langkah yang ia ambil.
“Ah, kenapa aku harus merasa seperti ini,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri. “Ibu pasti ingin aku kuat, bukan menangis seperti ini.”
Sebuah suara lembut dari belakang membuatnya menoleh. Di pintu kamar, berdiri seorang wanita paruh baya dengan senyum yang penuh ketulusan.
“Lissy, sudah siap untuk lombanya?” Suara itu masih terasa familiar, meskipun bukan suara yang sama seperti ibu yang selalu memanggilnya dengan lembut.
Itu adalah Aunty Rina, teman dekat ibu yang sejak kepergian ibu, selalu ada untuk Lissy. Meski tak bisa menggantikan sosok ibu, namun Lissy merasa sedikit lebih tenang dengan kehadirannya.
“Ah, hampir selesai,” jawab Lissy sambil menyeka air matanya yang sempat menetes tanpa sadar. “Aku hanya… sedikit gugup.”
Aunty Rina mendekat dan duduk di samping Lissy. “Gugup itu wajar, sayang. Tapi ingat, puisi itu bukan hanya untuk lomba. Itu adalah cara kamu untuk mengenang ibu.”
Lissy mengangguk, matanya kembali tertuju pada foto ibu di meja. “Aku hanya ingin mereka semua tahu… betapa besar pengaruh ibu dalam hidupku,” katanya dengan suara gemetar. “Ibu bukan hanya ibu bagi aku, tapi juga bagi banyak orang. Dia selalu memberi ketulusan tanpa meminta apapun.”
Aunty Rina tersenyum lembut, menyentuh pundak Lissy dengan penuh kasih sayang. “Ibu kamu adalah panutanmu, Lissy. Semua yang kamu rasakan adalah benar. Tak perlu ragu untuk menunjukkannya. Ibu pasti bangga padamu.”
Mendengar itu, Lissy merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu Aunty Rina benar. Ibu mungkin tak ada lagi untuk memberinya pelukan hangat, tapi kenangan dan segala yang diajarkan ibu akan selalu ada. Dan itu adalah sesuatu yang tak akan pernah hilang, selamanya.
Lissy menghembuskan napas dalam-dalam, menatap puisi yang sudah ia tulis dengan penuh hati. “Aku akan membuat ibu bangga. Aku janji.”
Di sekolah, suasana sudah mulai ramai. Lissy berdiri di depan ruangan tempat lomba puisi diadakan. Seperti biasa, dadanya berdebar kencang, kakinya terasa lemas. Semua peserta lain sudah berada di dalam, menunggu giliran mereka.
Di luar ruang, Lissy menarik napas panjang dan menyentuh lehernya, mencoba menenangkan diri. “Ibu, aku butuh kamu sekarang,” lirihnya.
Pintu terbuka, dan seseorang memanggil namanya. “Lissy, giliranmu.”
Ia melangkah masuk, matanya sedikit kabur karena air mata yang hampir tumpah. Begitu ia berdiri di depan mikrofon, ia merasakan tatapan banyak pasang mata yang menunggu. Wajah-wajah itu semua asing, dan dalam sekejap, semuanya terasa terfokus hanya padanya.
Lissy membuka selembar kertas di tangannya. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia berusaha tenang. Dan saat suara pertama keluar, ia merasakan kehangatan ibu yang menyentuh hatinya, meskipun ibu tak ada lagi di sana.
Puisi itu dimulai dengan suara yang lembut, namun semakin lama semakin kuat. Setiap kata yang terucap mengalir begitu alami, seolah-olah ibu sedang ada di sana, menuntunnya.
Dapat dilihat, dalam tatapan teduhmu yang menjagaku dari petaka.
Dapat dirasakan, dalam pelukanmu saat dunia terasa terlalu berat.
Dapat didengar, dalam suaramu yang menenangkan setiap kegelisahanku.
Tatapan penonton terasa semakin tajam, dan Lissy tahu mereka mulai merasakan apa yang ia rasakan. Mereka tidak hanya mendengarkan kata-kata, tetapi merasakan setiap kata itu, seperti melangkah bersama dirinya di dalam kenangan yang tak pernah bisa padam.
Ibu, panutanku,
Engkau adalah bintang terang di malam yang gelap,
Kompas yang memanduku ketika aku kehilangan arah.
Saat kalimat terakhir terucap, Lissy merasa ada sesuatu yang menahan napas di dadanya. Semua yang ia rasakan, semua yang ia ingin ungkapkan tentang ibu, telah disampaikan. Semua kenangan itu terangkai dalam tiap baris puisi yang mengalir.
Saat ia menatap ke depan, matanya basah. Puisi itu bukan hanya untuk lomba. Itu adalah ungkapan cinta dan kerinduan yang tidak bisa terucap dalam kata-kata biasa. Ibu adalah segalanya baginya, dan sekarang, di panggung ini, ia merasa ibu ada di sana. Mengawasi dan tersenyum dengan bangga.
Namun, apakah puisi itu cukup untuk menunjukkan semua yang ada di dalam hatinya?
Lissy berdiri terpaku beberapa detik setelah puisi itu selesai. Tepuk tangan mulai terdengar, memecah keheningan yang menenangkan hatinya. Tapi entah kenapa, ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa ia raih dengan hanya satu puisi.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu jawabannya. Ibu ada di sana. Dan untuk itu, Lissy merasa sedikit lebih kuat.
Puisi di Tengah Kerinduan
Suasana setelah lomba terasa hening, seolah seluruh dunia berhenti sejenak saat Lissy melangkah keluar dari ruang perlombaan. Ia tidak mendengar suara teman-temannya yang bersorak atau berbicara, karena pikirannya masih tenggelam dalam puisi yang baru saja ia bacakan. Meskipun tepuk tangan tadi cukup keras, ada bagian dalam dirinya yang merasa ada yang kurang. Mungkin itu karena ibu tidak ada di sana untuk mendengarnya langsung, mendengar puisi yang mengungkapkan semua yang selama ini terpendam.
Langkahnya terasa pelan saat ia berjalan menuju taman sekolah. Di sana, di bawah pohon besar yang biasa ia datangi bersama ibu dulu, Lissy duduk dengan hati yang penuh gejolak. Ia merasakan angin sore yang sejuk, namun hatinya terasa sangat berat. Kerinduan itu kembali datang, begitu menguat.
“Ibu… kenapa kamu nggak ada di sini?” bisiknya pelan, seolah berharap ibu bisa mendengarnya dari suatu tempat yang jauh.
Tiba-tiba, Lissy merasakan seseorang duduk di sampingnya. Matanya masih tertuju pada jalan yang sunyi di depan, sementara suara orang itu masuk ke dalam pendengarannya.
“Ada yang mengganggu pikiranmu, Lissy?” Aunty Rina, seperti biasa, datang dengan kelembutan yang membuatnya merasa tenang. Tidak ada yang bisa menggantikan ibu, tapi Aunty Rina selalu ada untuk mendengarkan.
Lissy tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap kosong ke depan, seolah ingin melupakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. “Aku hanya… merasa ibu pasti ingin melihatku di atas panggung tadi,” katanya akhirnya, suaranya pecah, penuh kerinduan.
Aunty Rina mengangguk, memahaminya dengan baik. Ia tahu betapa besar cinta ibu terhadap Lissy. “Aku yakin ibu pasti sangat bangga padamu,” jawabnya lembut. “Tapi ingat, dia ada dalam setiap langkahmu, setiap hembusan napasmu. Kamu tidak pernah sendiri.”
Lissy menarik napas dalam-dalam. “Aku tahu… Tapi kadang-kadang aku merasa seperti tidak cukup. Seperti aku belum bisa melakukan apa yang ibu harapkan.”
“Apa yang kamu lakukan sudah lebih dari cukup, Lissy. Kamu telah menunjukkan kepada dunia siapa dirimu dan siapa ibu kamu. Puisi itu, tidak hanya sekadar kata-kata. Itu adalah bagian dari dirimu, bagian dari ibu. Dan itu yang paling penting.”
Lissy menunduk, terdiam beberapa saat. Ia merasa ada kehangatan yang meresap dalam hatinya, meskipun ada rasa rindu yang tak terhapuskan. Ia tahu Aunty Rina benar, tapi kadang-kadang, dalam sepi, kerinduan itu terlalu kuat untuk dihadapi seorang diri.
“Tapi aku takut,” lirihnya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku takut kalau orang-orang lupa. Kalau ibu hanya menjadi kenangan yang pudar.”
Aunty Rina tersenyum dan mengusap rambut Lissy dengan lembut. “Tidak, sayang. Ibu tidak akan pernah terlupakan. Selama kamu masih mengingatnya, selama kamu masih berbagi kisah tentangnya, dia akan hidup selamanya dalam hatimu. Tidak ada yang bisa menghapus itu.”
Lissy menoleh, menatap Aunty Rina dengan mata yang mulai basah. “Terima kasih, Aunt. Aku tahu kamu tidak harus ada di sini, tapi kamu selalu datang. Seperti ibu… yang selalu ada, meski tak terlihat.”
Aunty Rina memeluk Lissy erat. “Aku akan selalu ada untukmu, Lissy. Sebagaimana ibu selalu ada dalam hidupmu.”
Lissy merasa sedikit lebih ringan setelah pelukan itu, namun perasaan di dalam hatinya masih sama. Rindu yang begitu mendalam. Ia ingin menulis lebih banyak, ingin berbicara lebih banyak, tapi semua kata-kata seakan tidak cukup untuk mengungkapkan perasaan itu.
Sore semakin gelap, dan langit berubah menjadi oranye kemerahan. Lissy memandang langit itu, seolah ingin meraih bintang-bintang yang bersinar di atas sana, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di tengah kerinduannya.
Sebelum mereka berpisah, Aunty Rina berkata, “Jangan takut untuk menangis, Lissy. Itu bagian dari proses. Tapi jangan biarkan kesedihanmu menghalangi langkahmu. Ibu ingin kamu terus berjalan maju. Jangan ragu.”
Lissy mengangguk pelan, membiarkan kata-kata Aunty Rina meresap ke dalam hati. Saat itu, ia menyadari sesuatu yang mendalam. Ibu mungkin sudah tiada, tapi ibu tidak pernah benar-benar pergi. Ia ada dalam dirinya, dalam setiap kenangan dan setiap langkah yang ia ambil. Ibu ada dalam setiap kata yang ia ucapkan, dalam setiap napas yang ia hembuskan.
Dengan penuh keyakinan, Lissy berdiri. Ia menatap langit yang semakin gelap, dan di dalam hatinya, ia merasakan kehadiran ibu. Meski tidak terlihat, ibu selalu ada, selalu dekat.
Dan puisi itu, yang baru saja ia bacakan, adalah cara baginya untuk membagikan sedikit dari cinta itu kepada dunia. Untuk memberi tahu bahwa ibu adalah bagian dari dirinya yang tidak akan pernah hilang. Tidak akan pernah pudar.
Lissy berjalan menuju rumah, langkahnya lebih ringan daripada sebelumnya. Malam itu, langit masih memancarkan cahaya bintang yang indah, dan Lissy tahu, ibunya sedang tersenyum dari sana, bangga melihatnya terus berjalan, terus hidup dengan cinta yang tak pernah padam.
Jejak Cinta yang Tak Terlihat
Pagi itu, udara terasa berbeda—lebih segar, lebih penuh harapan. Lissy berdiri di depan cermin kamar, mengenakan gaun putih yang sudah disiapkan semalam. Ia ingin merayakan keberhasilan kecil yang sudah dicapainya—puisi yang dibacakan di depan umum, yang meskipun sederhana, mengandung kekuatan yang luar biasa. Namun, jauh di dalam hatinya, Lissy tahu bahwa ini lebih dari sekadar penghargaan. Ini adalah bentuk penghormatan kepada ibu yang telah lama tiada, penghormatan atas semua yang telah diajarkan ibu tanpa perlu berkata-kata.
Lissy menyentuh foto ibu yang ada di meja rias. Foto itu diambil saat mereka berdua berlibur ke pantai beberapa tahun lalu. Ibu tersenyum lebar, matanya bercahaya, dan Lissy merasa seperti bisa mendengar tawa ibu—suara yang dulu selalu bisa menenangkan hatinya.
“Ibu, aku berhasil,” bisiknya pada foto itu. “Aku tahu kamu pasti bangga padaku.”
Suara ketukan di pintu kamar membuat Lissy terkejut. Ia menoleh dan melihat Aunty Rina berdiri di ambang pintu, membawa nampan berisi sarapan.
“Ini buatmu, Lissy. Kamu harus makan sebelum pergi,” ujar Aunty Rina sambil tersenyum hangat.
Lissy mengangguk, lalu beralih untuk duduk di meja. “Aunt, terima kasih sudah selalu ada. Aku merasa seperti… ada dua dunia yang selalu berseberangan. Dunia di mana ibu masih ada, dan dunia ini, di mana ibu sudah pergi.”
Aunty Rina duduk di sampingnya, menatap Lissy dengan lembut. “Aku mengerti, sayang. Kehilangan itu berat, dan kadang kita merasa seperti kehilangan bagian dari diri kita. Tapi kamu tahu kan? Ibu sudah meninggalkan banyak sekali warisan di dalam dirimu—semangat, kekuatan, dan tentu saja, cinta yang tak akan pernah habis.”
Lissy tersenyum samar. “Tapi bagaimana jika aku lupa? Bagaimana jika aku gagal untuk mengingat semua itu?”
“Apa yang kamu rasakan bukanlah pelupaannya, Lissy. Itu adalah kerinduan, dan kerinduan itu akan terus ada. Selama kamu menjaga kenangan itu dalam hatimu, selama kamu terus hidup dengan cara yang ibu ajarkan, dia tidak akan pernah pergi.”
Lissy memejamkan mata sebentar, meresapi kata-kata Aunty Rina. Kadang, ia merasa seperti terjebak dalam kenangan, dan seolah-olah ibu hanya tinggal sebuah bayangan yang semakin lama semakin kabur. Namun, setiap kali Aunty Rina berbicara, ada rasa damai yang muncul, mengingatkannya bahwa ibu tidak pernah benar-benar pergi.
“Kadang-kadang aku merasa kesepian, Aunt,” Lissy melanjutkan dengan suara yang hampir berbisik. “Seperti aku berusaha hidup dalam bayangan ibu, dan semua yang aku lakukan tak pernah bisa menggantikan sosoknya.”
Aunty Rina menatap Lissy dengan penuh kasih sayang, lalu dengan lembut menggenggam tangan Lissy. “Kamu tidak pernah hidup dalam bayangan siapa pun, Lissy. Kamu hidup dengan caramu sendiri. Ibu hanya memberi kamu kekuatan untuk menemukan jalanmu sendiri. Dan meskipun kamu tidak bisa melihatnya sekarang, semua yang ibu ajarkan ada dalam dirimu. Kamu cukup kuat untuk menghadapinya.”
Lissy menarik napas dalam-dalam, menatap Aunty Rina dengan mata yang penuh emosi. “Aku harap aku bisa menjadi seperti ibu. Tidak hanya kuat, tapi penuh kasih dan selalu ada untuk orang-orang yang aku cintai.”
Aunty Rina tersenyum lembut, membelai rambut Lissy dengan penuh kelembutan. “Kamu sudah menjadi seperti ibu, lebih dari yang kamu kira. Dan aku bangga padamu.”
Pagi itu berlalu dengan penuh ketenangan. Setelah makan, Lissy bersiap untuk pergi ke sekolah. Ia ingin melanjutkan harinya dengan langkah baru, dengan semangat baru yang sudah mulai tumbuh dalam dirinya. Seperti yang Aunty Rina katakan, ia tidak pernah berjalan sendiri. Ibu selalu ada dalam setiap langkahnya, bahkan ketika ia tak bisa melihatnya.
Namun, di perjalanan menuju sekolah, Lissy tidak bisa menghindari perasaan kosong yang tiba-tiba muncul. Ia berjalan di tengah keramaian, namun merasa terasing—seperti bagian dari dirinya hilang. Sekolah terlihat seperti tempat yang ramai, penuh suara, namun ada ruang kosong dalam dirinya yang sulit dijelaskan.
Ketika sampai di halaman sekolah, Lissy melihat sekelompok teman-temannya berkumpul di sudut. Mereka sedang tertawa, bercanda, dan berbicara dengan semangat. Lissy merasa seolah dirinya bukan bagian dari mereka. Mereka berbicara tentang hal-hal yang tak ia minati, dan meskipun mereka mencoba untuk melibatkan Lissy, ia merasa tidak cukup dekat untuk benar-benar merasakan kedekatan itu.
Lissy merasa berat untuk melangkah lebih jauh ke dalam keramaian itu. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok sekolah dan menatap langit yang cerah. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga yang mekar di sekitar sekolah.
Di tengah keheningan itu, tiba-tiba Lissy mendengar suara yang begitu familiar—suara yang sudah lama tidak ia dengar. Suara lembut yang penuh ketenangan.
“Kenapa sendirian di sini?”
Lissy menoleh dan melihat Arya, teman masa kecilnya yang kini duduk di bangku yang sama dengannya. Arya tersenyum, lalu duduk di sebelahnya, menggandeng tangan Lissy dengan penuh perhatian.
“Aku hanya sedang berpikir,” jawab Lissy pelan, “Kadang-kadang, aku merasa ada banyak hal yang aku belum pahami. Tentang hidup, tentang diriku sendiri.”
Arya menatapnya dengan tatapan yang penuh makna. “Hidup memang penuh dengan hal-hal yang sulit dipahami. Tapi satu hal yang aku tahu, Lissy—jangan biarkan dirimu tenggelam dalam perasaan yang membebani. Ibumu ingin kamu bahagia. Ia ingin kamu terus berjalan.”
Lissy merasakan kehangatan dalam hatinya. Kata-kata Arya, meskipun sederhana, begitu kuat dan menyentuh. Ia tahu bahwa hidupnya masih panjang, dan ia harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa ibu telah pergi. Tetapi cinta dan warisan yang ibu tinggalkan akan terus hidup dalam setiap langkahnya. Ibu bukan hanya kenangan. Ibu adalah bagian dari jiwanya yang tak akan pernah hilang.
“Terima kasih, Arya,” jawab Lissy, suaranya penuh haru. “Aku akan berusaha untuk tidak menyerah.”
Arya tersenyum dan mengangguk. “Aku yakin kamu bisa, Lissy.”
Di bawah langit yang cerah, Lissy merasa sedikit lebih ringan. Meskipun perasaan itu belum sepenuhnya hilang, ia tahu bahwa ibu akan selalu ada, dalam setiap langkah, dalam setiap kenangan, dan dalam setiap hembusan napasnya.
Cinta yang Abadi, Kenangan yang Tak Terlupakan
Hari itu, Lissy merasa angin bertiup lebih lembut dari biasanya. Semangat baru yang ia rasakan sejak pagi terus mengalir dalam dirinya, mengubah cara pandangnya terhadap dunia di sekelilingnya. Setelah percakapan dengan Arya, ada semacam kelegaan yang datang begitu saja. Lissy tahu, meskipun ada banyak yang belum bisa ia pahami tentang kehilangan dan hidup, satu hal yang pasti—ibu tidak pernah benar-benar pergi. Cinta ibu akan selalu ada, di setiap langkah dan setiap ingatannya.
Lissy melangkah lebih percaya diri memasuki ruang kelas. Sekolah yang semula terasa asing, kini mulai terasa lebih ramah. Ia melihat teman-temannya berbicara dan tertawa di sudut kelas, dan tanpa ragu, ia bergabung. Ada rasa nyaman yang perlahan tumbuh dalam dirinya, bukan karena ia sepenuhnya merasa diterima, tetapi karena ia tahu bahwa dirinya, dengan segala kekurangannya, berhak untuk berada di sana.
“Hey, Lissy! Kamu sudah datang!” seru Sarah, teman dekatnya, sambil melambai. Lissy tersenyum dan duduk di sampingnya.
“Ya, ada banyak yang harus dipikirkan,” jawab Lissy sambil membuka buku catatannya.
Tapi jauh di dalam hatinya, Lissy merasa bahwa ada lebih banyak hal yang harus ia hadapi—lebih banyak pertanyaan yang harus ia jawab tentang siapa dirinya, siapa ia menjadi tanpa ibu di sisinya. Dan ia tahu, jawabannya bukanlah tentang mencari siapa yang ia hilangkan, tetapi tentang siapa yang ia temui dalam dirinya sendiri.
Saat bel berbunyi tanda pelajaran dimulai, Lissy menyadari bahwa ia tidak lagi merasa terasing. Ada teman-teman yang ia percayai, ada tempat yang kini terasa lebih seperti rumah, dan ada kekuatan dalam dirinya yang mulai terbentuk. Ibu mungkin tidak ada lagi secara fisik, tetapi apa yang telah ibu tanamkan—cinta, keberanian, dan keyakinan—akan terus hidup, tumbuh, dan membimbingnya.
Setelah jam sekolah berakhir, Lissy pergi ke taman di sebelah sekolah. Di sana, ia duduk di bangku taman yang teduh, menikmati keheningan sambil memandangi langit sore yang mulai merona keemasan. Sesekali, angin berhembus, membelai rambutnya dengan lembut. Di tengah kesunyian itu, suara langkah kaki mendekat, dan Lissy tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.
“Aku tahu kamu di sini,” kata Arya, duduk di sampingnya tanpa menunggu undangan.
Lissy tersenyum. “Kadang-kadang, aku hanya ingin mendengarkan suara angin dan melihat matahari terbenam.”
Arya mengangguk, memandang langit yang berubah warna. “Aku mengerti. Kadang kita butuh waktu untuk merenung.”
Mereka duduk dalam diam, menikmati momen itu. Lissy merasa seperti ada sesuatu yang perlahan menyembuhkan dirinya—sesuatu yang tidak datang dari luar, tetapi dari dalam hatinya. Semua kenangan tentang ibu, semua pelajaran hidup yang diberikan ibu, kini terasa lebih jelas. Lissy tidak hanya mengenang ibu, tetapi merasakan kehadirannya dalam setiap detik yang ia jalani.
“Arya,” suara Lissy terdengar pelan, namun penuh ketegasan, “Aku tahu ibu tidak akan pernah kembali, tapi aku tidak ingin terus hidup dalam bayangannya. Aku ingin melangkah dengan caraku sendiri.”
Arya menatapnya dengan penuh perhatian. “Itu adalah langkah yang benar, Lissy. Ibu selalu menginginkanmu untuk bahagia, untuk menjadi dirimu sendiri.”
Lissy mengangguk, matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku akan mencoba. Aku akan hidup dengan caraku sendiri, tetapi aku juga akan membawa cinta ibu dalam setiap langkahku.”
Saat matahari mulai tenggelam, Lissy merasakan kehangatan yang datang dari dalam dirinya. Cinta ibu bukanlah sesuatu yang bisa hilang hanya karena waktu, dan ia tahu bahwa meskipun ibu telah tiada, warisan ibu—kehangatan, cinta, dan keberanian—akan terus hidup dalam dirinya.
Lissy berdiri dari bangku taman itu, merasakan tanah di bawah kakinya yang kokoh. Setiap langkah terasa lebih ringan, lebih pasti. Meskipun dunia ini tidak selalu mudah, dan meskipun ada banyak hal yang belum ia pahami, ia tahu satu hal pasti: ia tidak sendirian. Cinta ibu akan selalu ada, ada dalam setiap hembusan napasnya, dalam setiap langkah yang ia ambil.
“Terima kasih, Arya,” ujar Lissy sambil tersenyum.
Arya tersenyum kembali, menyadari betapa besar perjalanan yang telah Lissy tempuh, meskipun belum semua luka sembuh. “Kamu sudah kuat, Lissy. Ibu pasti bangga padamu.”
Lissy menatap langit yang semakin gelap. “Ibu sudah mengajarkan aku banyak hal. Dan sekarang, aku akan menjalani hidup ini dengan segala yang telah ibu ajarkan. Aku siap, Arya. Aku siap menjalani hidupku sendiri.”
Dengan langkah yang mantap, Lissy meninggalkan taman itu, merasa lebih siap dari sebelumnya. Langkahnya tak lagi ragu, karena kini ia tahu: ibu ada dalam setiap langkahnya, dalam setiap pilihan yang ia buat, dalam setiap mimpinya yang akan terus tumbuh dan berkembang.
Dan begitulah, hidup terus berjalan meski kadang terasa berat. Ibu mungkin nggak ada lagi di sini secara fisik, tapi setiap langkah yang kita ambil, setiap keputusan yang kita buat, selalu ada cinta dan kenangan yang menuntun.
Mungkin nggak semua luka bisa sembuh dalam sekejap, tapi dengan waktu, kita bakal belajar untuk menghargai setiap momen yang diberikan. Cinta itu abadi, dan kenangan tentang orang yang kita cintai, nggak akan pernah hilang—selalu ada, meski tak terlihat.