Daftar Isi
Cerita ini tentang ibu yang duduk di kursi roda, tapi jangan kira itu hanya soal kelemahan atau keterbatasan. Di balik setiap tawa yang ia bagi, ada kekuatan yang nggak bisa dihentikan siapa pun.
Kamu bakal dibawa merasakan semua suka, duka, dan kenangan yang tersimpan rapat dalam hati seorang ibu. So, siap-siap aja, karena perjalanan ini bakal bikin kamu mikir tentang arti cinta, kebersamaan, dan kenangan yang nggak pernah pudar.
Cerpen Ibu di Kursi Roda
Kursi Roda dan Senyum Ibu
Pagi ini, seperti biasa, aku berjalan dengan langkah yang tak begitu cepat. Matahari baru saja keluar, dengan cahayanya yang lembut menghangatkan kulit. Udara pagi terasa segar, dan aku bisa mendengar suara burung yang terbang rendah di antara pepohonan. Tapi, yang paling aku dengar adalah suara pelan roda kursi yang menggesek tanah. Suara itu selalu menjadi pengingat bahwa meski dunia terus bergerak, ada satu hal yang tidak akan pernah sama—keadaan ibu.
Di sebelahku, kursi roda itu bergerak perlahan, dengan ibu di dalamnya, tersenyum seperti biasa. Aku tahu, dia bisa saja merasakan sakit, rasa lelah yang datang setiap hari, tapi matanya tetap penuh dengan semangat, seperti mentari yang tak pernah lelah menyinari bumi.
“Ibu, sudah siap? Kita jalan pagi ini, ya,” kataku sambil mengulurkan tangan, membantu ibu mengatur posisi agar lebih nyaman di kursi roda.
Ibu mengangguk pelan, wajahnya masih cerah meski tubuhnya mulai rapuh. “Siap, Nak. Pagi ini bagus, kan? Aku sudah lama nggak jalan-jalan di luar.”
Aku tersenyum dan mulai mendorong kursi roda, menyusuri trotoar yang cukup sepi. Meskipun sudah banyak orang yang mulai beraktivitas, taman ini selalu punya tempat yang tenang, dan itu yang kami butuhkan. Aku menatap ibu yang menatap langit biru, wajahnya tampak tenang. Terkadang aku merasa seperti ada beban yang tak terlihat, mengikat kami berdua. Beban yang terkadang membuat langkah kami terasa berat, tapi ibu selalu berhasil menjalaninya dengan cara yang luar biasa. Dia tak pernah menunjukkan kelemahannya.
“Lana, tadi malam ibu baca buku yang kamu beli. Tentang seorang wanita yang berjuang meski sudah tua, tak punya banyak pilihan dalam hidupnya, tapi dia tetap bertahan. Sepertinya, ibu bisa jadi seperti itu, ya?” suara ibu terdengar penuh harapan, meskipun kata-katanya terkesan ringan.
Aku tertawa pelan. “Tentu, Bu. Kamu sudah seperti itu, kan? Semua orang mungkin tak tahu betapa kuatnya ibu, tapi aku tahu kok. Kamu sudah jadi pahlawan tanpa capek.”
Ibu terkekeh pelan, senyumnya mengembang lebih lebar. “Ah, ibu cuma punya kursi roda ini, Nak. Tapi itu nggak menghalangi ibu buat berjuang. Kalau ibu bisa bertahan, pasti ada cara untuk tetap bahagia, kan?”
Aku tersenyum mendengar kata-kata ibu. Kadang aku berpikir, apakah aku bisa sekuat ibu? Menghadapi dunia dengan segala kekurangannya tanpa pernah menyerah, tanpa merasa terpojok. Ibu selalu menemukan cara untuk tersenyum, meski aku tahu itu tak selalu mudah.
Kami melanjutkan perjalanan, melewati jalan setapak yang berbatu. Tanpa terasa, sudah hampir satu jam kami berjalan, mengobrol tentang hal-hal kecil yang kadang tak terlalu penting, tapi bagi kami itu adalah kebersamaan yang berharga. Kadang ibu bercerita tentang masa kecilnya, tentang waktu-waktu sebelum kecelakaan yang mengubah hidupnya.
“Dulu ibu selalu suka jogging di pagi hari, Nak. Kalau sudah seperti itu, rasanya bisa terbang. Tapi sekarang… malah harus duduk di sini. Walaupun begitu, nggak apa-apa. Asal kamu tetap ada di samping ibu, semuanya terasa lebih mudah.”
Aku bisa merasakan betapa berat kata-kata itu bagi ibu. Meski dia berbicara dengan ringan, aku tahu betul kalau dia merindukan masa-masa itu. Aku melangkah lebih cepat, memastikan ibu merasa nyaman.
“Kamu tahu, Bu? Aku selalu merasa tenang kalau lihat ibu senyum. Kalau ibu nggak pernah menyerah, aku jadi nggak boleh kayak gitu. Kita sama-sama berjuang, kan?”
Ibu memandangku dengan mata yang penuh kehangatan, seolah dia tahu betapa banyak yang ingin aku katakan, tapi tak bisa keluar dengan kata-kata. “Tentu, Nak. Kita berjuang bersama. Nggak ada yang bisa menghalangi kita selama kita masih punya satu sama lain.”
Tiba-tiba, langkah kami terhenti. Di depan kami ada seorang pria tua yang duduk di bangku taman. Dia tampak sendirian, dengan pandangan jauh ke depan, matanya kosong seolah melihat sesuatu yang tak bisa dipahami oleh orang lain. Aku tersenyum padanya dan melambaikan tangan, berharap bisa mengajak ngobrol. Ibu pun mengangguk, ikut tersenyum pada pria itu.
Kami mendekat, dan aku menyapa. “Selamat pagi, Pak. Taman ini memang sepi pagi-pagi begini, ya? Tidak ada yang menemani jalan?”
Pria itu menoleh, tersenyum kecil. “Ah, kalau saya sendiri, sudah biasa. Tapi kalau melihat ibu kamu, saya jadi ingat masa muda saya. Dulu saya juga bisa berlari, berpetualang, punya banyak teman. Tapi suatu hari, saya jatuh sakit. Sekarang ini, saya hanya duduk di sini, menunggu waktu berjalan.”
Ibu mendengar kata-kata pria itu, lalu dengan suara lembut, dia berkata, “Iya, Pak. Saya juga merasakannya. Tapi di sini, di kursi roda ini, saya tetap bisa menemukan kebahagiaan. Kadang, kita harus lebih banyak tertawa meski dunia nggak selalu seperti yang kita harapkan.”
Pria itu terdiam sejenak, lalu tersenyum lebih lebar. “Benar, bu. Kalau begitu, saya akan mencoba untuk tertawa lebih banyak. Terima kasih untuk kata-kata yang penuh arti.”
Kami melanjutkan perjalanan, tapi kali ini ada keheningan yang berbeda. Rasanya, segala yang ada di dunia ini memang penuh dengan perjuangan, entah itu dalam bentuk fisik ataupun perasaan. Dan meski ibu hanya duduk di kursi roda, dia telah memberi lebih banyak kekuatan daripada yang bisa kuperoleh dari ribuan kata-kata motivasi.
Dengan kursi roda ini, ibu mengajarkanku lebih banyak hal daripada yang aku duga. Aku tahu, perjalanan ini bukan hanya tentang langkah kaki, tapi juga tentang bagaimana kita menghadapinya dengan hati yang penuh harapan.
Ibu menyandarkan tubuhnya lebih nyaman di kursi roda, matanya menatap jauh ke depan, dan aku pun melanjutkan langkah, memastikan ibu merasa sebaik mungkin. Hari ini adalah hari yang baru, dan seperti yang ibu katakan, setiap hari adalah kesempatan untuk berjuang dan tertawa.
Pagi yang Selalu Baru
Hari ini, ibu ingin pergi ke pasar. Aku bisa merasakan kegembiraannya dari cara dia memandangku pagi ini. Ada sesuatu yang berbeda, semacam antusiasme yang hampir terlupakan setelah sekian lama. Meski tubuhnya tak sekuat dulu, ada semangat yang berkilau di matanya. Dia ingin merasa hidup lebih dari sekadar duduk di kursi roda dan menunggu waktu berlalu.
“Ayo, Nak, kita pergi ke pasar,” suara ibu terdengar ceria, dan aku hampir tak bisa menahan senyum melihat semangatnya yang seperti api yang tak pernah padam.
Aku menghela napas, melihat langit yang mulai berubah menjadi cerah. “Pasar, Bu? Kamu yakin? Itu kan cukup jauh. Aku bisa ke sana sendiri.”
Ibu menatapku dengan tatapan penuh keyakinan. “Kalau aku nggak pernah coba, aku nggak akan tahu, kan? Kamu bawa aku ke pasar, dan kita lihat siapa yang lebih cepat: kamu dengan kakinya atau aku dengan kursi rodaku.”
Aku tertawa mendengar tantangan ibu. “Siap, Bu. Tapi kamu harus tahan ya. Kalau terlalu lelah, kita pulang kapan saja.”
Kami keluar dari rumah dan menuju jalan utama. Kursi roda ibu meluncur pelan di sepanjang trotoar. Aku berjalan di sampingnya, kadang melangkah lebih cepat, kadang melambat agar ibu bisa menikmati setiap langkahnya dengan nyaman. Aku tahu, setiap perjalanan seperti ini adalah kenangan yang dia ingin ciptakan, meski terkadang, langkahnya tak lagi secepat dulu.
Di jalan, ibu mulai bercerita, seperti biasanya. Tapi kali ini, dia bercerita tentang pasar yang dulu sering dia kunjungi bersama ayah. “Dulu, ayah dan aku sering ke pasar di pagi hari. Belanja sayur, buah, bumbu, dan kadang ikut ngobrol dengan para pedagang. Pasar itu selalu penuh dengan suara dan hiruk-pikuk, tapi rasanya, aku selalu merasa di rumah.”
Aku mengangguk, mendengarkan cerita ibu. Meski aku tak pernah tahu bagaimana pasar itu dulu, aku bisa membayangkan betapa hidupnya pasar yang ada di benak ibu. Aku bisa merasakan betapa pentingnya tempat itu bagi ibu, seolah pasar itu bukan hanya tempat berbelanja, tapi juga tempat mengingatkan dirinya pada masa-masa penuh kebahagiaan.
Kami sampai di pasar. Suasana di sana lebih ramai dari yang aku kira. Bau rempah-rempah dan aroma buah segar menyambut kami begitu kami melangkah masuk. Ibu tampak terkesima melihat keramaian itu. Dia tersenyum, seperti menemukan kembali kenangan lama yang sudah lama terkubur. “Nak, lihat itu! Ada pedagang sayur yang dulu biasa ayah beli dari dia. Aku mau menyapanya.”
Aku mengangguk dan mendorong kursi roda ibu mendekati pedagang sayur yang sedang sibuk melayani pembeli. Ibu tersenyum lebar begitu pria tua itu melihatnya. Wajah pria itu tampak cerah, dan seolah-olah mereka sudah lama tak bertemu.
“Ibu! Wah, sudah lama nggak ketemu! Ini cucu ibu, ya?” tanya pedagang itu dengan senyum ramah.
Ibu tertawa kecil, “Bukan, Pak. Ini anak saya, Lana. Dia baru saja mulai bawa saya ke pasar lagi. Sudah lama nggak kesini.”
Pedagang itu memandangku, lalu mengangguk, “Oh, jadi anak ibu ya. Saya sudah dengar banyak tentang kamu. Ibu kamu memang luar biasa. Dia selalu ceria meskipun banyak yang berubah.”
Ibu tersenyum manis. “Iya, Pak. Aku mencoba untuk terus bertahan dan melihat dunia dengan senyum. Dunia ini mungkin berubah, tapi aku nggak mau jadi bagian dari perubahan yang membuatku menyerah.”
Aku merasa sedikit canggung mendengar percakapan itu, karena seringkali ibu berbicara seolah-olah dia adalah orang yang tak pernah mengalami kesulitan sama sekali. Tapi aku tahu, di balik setiap senyuman itu, ada perjuangan yang tak terungkapkan.
Setelah berbincang-bincang sebentar dengan pedagang sayur itu, ibu mengarahkan kursi rodanya ke bagian lain dari pasar. Sepertinya dia sudah menemukan dunia baru di sini, dunia yang penuh kenangan yang akan dia jaga selamanya. Aku ikut merasakan kegembiraannya, meski aku tahu kadang aku harus menjadi penopang di balik senyuman itu. Kami membeli beberapa bahan makanan dan berkeliling lebih lama dari yang aku duga.
Di tengah keramaian, ibu berhenti di depan sebuah toko bunga kecil. Ada kebun bunga dengan warna-warna cerah yang menarik perhatiannya. Ibu melihat ke arahku, matanya berbinar, dan aku tahu dia ingin membeli bunga itu. Aku tahu betapa dia mencintai bunga-bunga yang dulu sering dia rawat di halaman rumah kami.
“Lana, bisa kita beli bunga itu? Ibu ingin meletakkannya di meja samping jendela. Agar rumah kita terasa lebih hidup,” katanya dengan suara penuh harap.
Aku mengangguk dan membelikan bunga yang ibu inginkan. Setiap langkah ibu rasanya seperti perayaan bagi dirinya. Tidak peduli seberapa berat tubuhnya, seberapa sulit langkahnya, dia selalu mencari cara untuk menikmati hidup. Bunga itu akan menjadi simbol dari semangat hidup yang terus dia rawat, meski dunia tidak selalu ramah padanya.
Sambil mendekatkan bunga ke hidungnya, ibu menarik napas panjang. “Wanginya… itu seperti bunga yang selalu ada di taman waktu aku masih muda. Waktu itu, semuanya terasa lebih ringan. Tapi, mungkin memang hidup ini nggak akan pernah benar-benar ringan, kan?”
Aku hanya bisa tersenyum, merasa bahwa meskipun kata-kata itu sederhana, aku merasakan kedalaman dari setiap kata yang dia ucapkan. Ibu selalu membuat segala hal terasa lebih berarti, lebih penuh warna, bahkan di tengah kegelapan sekalipun.
Kami akhirnya meninggalkan pasar, dengan ibu di kursi roda dan aku di sampingnya. Tangan ibu memegang bunga itu dengan hati-hati, seolah bunga itu adalah tanda bahwa dia masih punya banyak harapan, bahwa setiap perjalanan kami berdua adalah sebuah kemenangan kecil.
Hari ini memang tak akan pernah sama dengan yang lainnya. Setiap perjalanan adalah kesempatan baru untuk bertumbuh, untuk mengingatkan diri kita tentang betapa berharganya kebersamaan, dan betapa pentingnya untuk selalu berjalan bersama, meski terkadang langkah itu terasa lebih berat dari yang kita kira.
Tawa yang Terlambat
Malam itu, setelah kami pulang dari pasar, suasana rumah terasa lebih hangat dari biasanya. Aku meletakkan bunga di meja samping jendela, seperti yang ibu inginkan. Lampu-lampu rumah menyala lembut, memberi kesan nyaman meskipun dunia di luar gelap dan sunyi.
Ibu duduk di kursi rodanya, matanya berkeliling ke seluruh ruangan dengan penuh arti. Sesekali, ia menyentuh bunga yang baru saja kami beli, menyentuh kelopaknya dengan perlahan, seakan berbicara dalam diam kepada bunga-bunga itu. Aku tahu, bunga-bunga itu adalah simbol lebih dari sekadar keindahan. Mereka adalah bagian dari semangatnya, bagian dari kehidupannya yang tak pernah padam.
“Terima kasih, Nak,” kata ibu pelan, suaranya penuh rasa terima kasih. “Hari ini, rasanya seperti kembali muda. Seperti dulu, waktu aku masih bisa berjalan bebas ke pasar. Berjalan dengan kaki sendiri, tanpa rasa sakit.”
Aku duduk di sampingnya, menghela napas. “Bu, aku tahu kamu nggak mudah. Aku tahu, kadang aku nggak bisa mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi aku ingin kamu tahu, aku selalu ada. Aku nggak akan biarkan kamu sendiri.”
Ibu tersenyum tipis. “Aku tahu, Nak. Aku tahu. Tapi kamu nggak perlu khawatir terus. Hidup itu seperti bunga-bunga ini. Ada kalanya kita harus mekar, ada kalanya kita harus layu. Yang penting, kita nggak pernah berhenti tumbuh, kan?”
Aku mengangguk pelan, meski hatiku terasa lebih berat dari biasanya. Ada sesuatu di mata ibu yang membuatku merasa seolah dia sudah siap menerima kenyataan bahwa tak semua hal bisa terulang. Tak semua hal bisa kembali seperti semula.
Beberapa saat kemudian, ibu mengalihkan pandangannya ke televisi yang menyala di sudut ruangan. Seperti biasa, aku mengalihkan perhatian pada pekerjaan rumah yang belum selesai. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Ibu tampaknya sedang memperhatikan acara lawakan yang sedang diputar di televisi. Beberapa pelawak di layar mulai melakukan aksi lucu, dan tiba-tiba ibu tertawa. Suaranya mengalun lembut, tapi terdengar seperti tawa yang sudah lama tak terdengar.
Aku menoleh ke arah ibu, dan untuk sesaat, aku merasa seperti kembali ke masa lalu. Saat kami tertawa bersama, saat ibu bisa menertawakan semua kesulitan hidup yang datang dengan ringan. Tawa itu seperti lagu lama yang terlupakan, yang akhirnya kembali terdengar di telinga kami.
“Tuh kan, kamu nggak tahu kalau aku bisa ketawa gini, kan?” kata ibu, masih tertawa.
Aku terdiam sejenak, melihat ibu yang dulu selalu penuh energi. Tawa itu bukan hanya tentang kelucuan acara di televisi. Itu adalah tawa dari hati ibu yang tidak pernah benar-benar mati, meskipun tubuhnya semakin lemah.
“Jadi, kamu masih bisa tertawa juga ya, Bu,” jawabku dengan nada menggoda.
“Masih bisa, lah. Nggak ada yang bisa menghentikan aku buat ketawa, bahkan kursi roda ini,” ibu balas, melempar senyum penuh arti ke arahku.
Aku tertawa kecil, teringat akan banyak hal. Betapa waktu terasa begitu cepat berlalu, dan betapa banyak kenangan yang tidak bisa diulang. Tetapi, ada satu hal yang pasti—ibu selalu punya cara untuk membuat semuanya terasa ringan, bahkan di tengah beban hidup yang begitu besar.
Beberapa jam berlalu, dan ibu akhirnya merasa lelah. Ia minta aku untuk memindahkannya ke tempat tidur. Setelah semua dikerjakan, ibu berbaring, menutup matanya dengan perlahan. Aku duduk di samping ranjangnya, memperhatikan wajah ibu yang tenang. Rasanya, waktu kami bersama-sama semakin berharga. Setiap senyuman, setiap tawa, bahkan setiap kesedihan yang dia sembunyikan, semuanya memberi aku kekuatan untuk terus berjalan bersamanya.
Namun, sebelum aku sempat bangun dan meninggalkan kamar, ibu memanggilku lagi.
“Nak,” suaranya terdengar lembut, dan aku menoleh dengan cepat. “Ada satu hal yang selalu aku harap kamu tahu. Walaupun aku di sini, duduk di kursi roda ini, aku nggak pernah merasa sendiri. Aku selalu punya kamu.”
Air mataku hampir jatuh. Ada rasa hangat menyelimuti dadaku, campuran antara kebahagiaan dan kesedihan. “Aku akan selalu ada, Bu. Aku janji.”
Ibu mengangguk dengan senyum yang sangat tulus, meski ada kesedihan di baliknya. “Aku tahu, Nak. Aku tahu.”
Aku mematikan lampu kamar ibu dan meninggalkan ruangan dengan perlahan. Langkahku terasa berat, seperti ada beban yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun ibu selalu mengajarkan aku untuk tetap tersenyum, kadang aku merasa ada banyak hal yang harus aku sembunyikan, banyak kesedihan yang harus aku simpan jauh di dalam hati.
Namun, meskipun semua terasa berat, aku tahu satu hal pasti—kebersamaan kami adalah anugerah yang tidak bisa digantikan dengan apa pun. Aku dan ibu, dalam suka dan duka, akan selalu berjalan bersama.
Kenangan yang Tak Akan Pudar
Pagi itu datang seperti biasa, dengan sinar matahari yang menyelinap lewat celah-celah tirai jendela kamar ibu. Aku menyusuri ruang tamu dengan langkah yang sedikit ragu, menyadari bahwa setiap hari aku semakin dekat dengan kenyataan yang tak bisa lagi aku hindari.
Ibu sudah bangun lebih dulu, duduk di kursi rodanya, matanya menatap jauh ke luar jendela, seperti merenung tentang segala hal yang telah dilewati. Ada kekuatan di balik pandangannya, tapi juga ada kelembutan yang hanya bisa dimengerti oleh seseorang yang telah banyak mengalami perjalanan hidup yang panjang.
Aku masuk ke ruang makan, meletakkan secangkir teh hangat di meja ibu. “Selamat pagi, Bu,” kataku pelan, menyapa ibu dengan lembut.
Ibu menoleh dan tersenyum, senyum yang selalu menenangkan. “Pagi, Nak. Terima kasih sudah menyiapkan ini. Kamu tidak perlu terlalu repot, aku masih bisa melakukannya.”
Aku menggelengkan kepala, meletakkan tangan di bahu ibu. “Aku tidak keberatan. Lagipula, aku nggak bisa kemana-mana tanpa memastikan kamu baik-baik saja.”
Ibu tertawa pelan. “Kamu selalu saja begitu. Seperti aku yang sudah tidak bisa apa-apa lagi.”
Aku duduk di sampingnya, menatap ibu dengan hati yang penuh haru. “Bu, jangan bilang seperti itu. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Bahkan tanpa bisa berjalan, kamu tetap memberi aku kekuatan.”
Sejenak, suasana menjadi hening. Kami berdua hanya duduk diam, menikmati pagi yang tenang itu. Tapi di balik kesunyian itu, aku merasa ada sesuatu yang tak terucapkan. Ada rasa yang lebih dalam yang mengikat kami, seperti benang tak terlihat yang menghubungkan jiwa ibu dan aku.
Hari berlalu dengan cara yang sama. Aku menjaga ibu dengan penuh perhatian, seperti hari-hari sebelumnya. Namun, ada perasaan yang menyelubungi hatiku, rasa bahwa waktu bersama ibu tidak akan lama lagi. Aku tak tahu mengapa, tapi semakin hari, perasaan itu semakin kuat.
Malam datang lebih cepat dari yang kami kira. Di meja makan, kami duduk bersama, seperti biasa, menikmati makan malam sederhana. Hanya ada aku, ibu, dan secangkir teh hangat yang menemani kebersamaan kami. Ibu mengangkat sendoknya dan menyuapkan sedikit makanan ke mulutnya, lalu menatapku dengan tatapan yang penuh makna.
“Nak,” kata ibu, suaranya lembut, namun cukup tegas. “Aku tahu kamu takut kehilangan aku. Tapi, kamu harus tahu, aku sudah cukup bahagia dengan hidup yang aku jalani. Kamu sudah memberiku lebih dari cukup.”
Aku terdiam, menatap ibu dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Bu… jangan bilang begitu. Aku tidak siap tanpa kamu. Kamu adalah segalanya.”
Ibu tersenyum, meski senyum itu menyimpan kesedihan yang dalam. “Aku tahu, Nak. Aku tahu. Tapi, kamu harus percaya pada hidupmu sendiri. Aku selalu ada di dalam hatimu, dan aku akan selalu ada, walau aku tak bisa lagi ada di sini.”
Aku menggenggam tangan ibu dengan erat, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku akan selalu mencintaimu, Bu. Apa pun yang terjadi.”
Ibu mengangguk pelan, mengusap air mata yang hampir jatuh di pipiku. “Aku tahu, Nak. Aku juga mencintaimu. Jangan lupa, hidup itu seperti bunga-bunga ini. Meskipun layu, kita selalu tumbuh lagi. Cinta kita tak akan pernah pudar, seperti bunga yang tak akan pernah benar-benar mati.”
Pada malam itu, setelah ibu tertidur, aku berdiri di samping ranjangnya, melihat wajah ibu yang terlihat damai. Ada kebahagiaan di sana, meskipun ada juga kesedihan yang mengintai. Aku tahu, hari-hari ke depan akan semakin berat, tetapi aku tidak akan pernah melupakan apa yang telah ibu ajarkan.
Kami sudah melalui begitu banyak bersama. Setiap tawa, setiap air mata, setiap senyum, dan bahkan setiap kesedihan, semuanya mengikat kami dalam satu ikatan yang tak tergoyahkan. Ibu bukan hanya seorang ibu bagiku, tapi juga seorang sahabat, seorang guru, dan seseorang yang mengajarkan aku tentang arti hidup yang sesungguhnya.
Aku tahu, apa pun yang terjadi nanti, kenangan tentang ibu akan selalu hidup dalam diriku. Cintanya akan selalu ada, menjadi cahaya yang menerangi jalanku, meskipun ia tak lagi berada di sini.
Dan meskipun kursi roda itu menjadi saksi perjalanan kami, aku tahu satu hal—ibu tidak akan pernah benar-benar pergi. Karena cintanya, seperti bunga yang selalu mekar, akan terus ada dalam setiap langkah hidupku.
Setiap tawa, setiap pelukan, dan setiap momen yang kita lewati bersama orang yang kita cintai, nggak pernah bisa dihitung dengan angka. Walau kadang hidup membawa kita pada jalan yang nggak terduga, cinta yang tulus selalu punya cara untuk tetap bertahan.
Cerita ini mungkin berakhir, tapi kenangan dan pelajaran yang ditinggalkan akan terus hidup, menguatkan kita untuk terus melangkah, apapun yang terjadi. Ibu, kamu selalu ada di hati ini, dan itu takkan pernah berubah.