Cerpen HUT RI ke-73: Merayakan Kemerdekaan dengan Tindakan Nyata di Desa

Posted on

Jadi gini, pernah nggak sih ngerasa kalau kemerdekaan itu lebih dari sekedar pesta dan lomba-lomba? Kayak, ya, merayakan memang seru, tapi gimana caranya kita bisa bener-bener menghargai semua perjuangan itu?

Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu ngeliat gimana semangat kemerdekaan itu bisa hidup lagi lewat hal-hal kecil yang kadang terlupakan, kayak gotong royong dan berbagi. Jadi, yuk, baca cerita tentang Dira dan Arda yang memulai langkah kecil mereka untuk menjaga api kemerdekaan tetap menyala.

 

Cerpen HUT RI ke-73

Merah Putih di Desa Kenanga

Pagi itu, sinar matahari terasa begitu hangat, menyusup melalui celah-celah daun kelapa yang bergoyang pelan. Desa Kenanga terlihat lebih hidup dari biasanya. Setiap sudut jalan dihiasi bendera merah putih yang berkibar, dan di sepanjang jalan setapak, warga desa mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk merayakan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-73.

Di depan rumahnya, Dira tampak sibuk menggantungkan spanduk merah putih yang masih tampak baru. Sambil melompat-lompat, ia berusaha meraih ujung tali yang terpasang tinggi di tiang bambu. Meski tubuhnya yang kurus dan tinggi tidak memungkinkan dia menjangkau tali dengan mudah, Dira tetap berusaha keras.

“Ih, Dira! Hati-hati dong, jatuh nanti!” teriak Ibu Ratna dari dalam rumah, matanya tak lepas dari Dira yang nekat.

Dira hanya melambaikan tangan ke arah ibunya tanpa berbalik. “Gak apa-apa, Bu. Udah hampir selesai kok!” jawabnya, dengan nada sedikit kesal karena disangka tidak hati-hati.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya spanduk itu pun terpasang dengan rapi di depan rumah mereka. Dira menyeka keringat di dahinya, lalu melangkah mundur dan melihat hasil kerjanya.

“Bagus, kan, Bu?” katanya sambil tersenyum lebar, bangga dengan hasil kerja kerasnya.

Ibu Ratna yang sudah keluar dari rumah hanya menggelengkan kepala. “Aduh, anak ini. Gak pernah dengerin mama, ya?” katanya sambil tersenyum lembut, meski sedikit khawatir.

Sementara itu, di lapangan utama desa, persiapan untuk acara besar mulai digelar. Pak Surya, kepala desa, terlihat sibuk mengatur tenda-tenda besar yang akan digunakan untuk perayaan nanti. Warga desa berbondong-bondong datang untuk membantu. Beberapa laki-laki memikul bambu, sedangkan para ibu-ibu sibuk menyiapkan makanan tradisional yang akan dibagikan saat acara nanti.

Dira meninggalkan ibunya yang sedang menata meja makan dan berlari menuju lapangan. Sebuah suara riuh menyambut kedatangannya. Ada yang sedang menyiapkan panggung kecil, ada yang menggantungkan lampu-lampu berwarna-warni di sepanjang pagar, dan bahkan ada yang sudah mulai menyiapkan alat musik. Suasana penuh dengan semangat dan keceriaan.

Di tengah keramaian itu, Dira melihat temannya, Arda, sedang mengatur barisan untuk lomba panjat pinang yang akan segera dimulai.

“Arda! Mana aku?” teriak Dira sambil melambai-lambaikan tangannya.

Arda yang sedang sibuk dengan tugasnya itu mendongak dan tersenyum begitu melihat Dira. “Hah? Oh, kamu, Dira! Baru datang ya? Ayo, bantuin aku di sini. Kita butuh kamu buat lomba karung nanti!”

Dira segera berlari menuju Arda. “Oke, siap! Tapi jangan harap aku kalah, ya!” ujarnya sambil bersemangat.

Di sela-sela itu, Pak Surya naik ke atas panggung kecil dan memegang mikrofon. “Warga Desa Kenanga!” serunya dengan suara yang penuh semangat, memecah keramaian. “Hari ini adalah hari besar kita. Mari kita rayakan HUT RI ke-73 dengan semangat gotong royong dan kebersamaan!”

Semua orang berhenti sejenak, menoleh ke arah panggung. Mereka berdiri, menghormati pidato singkat Pak Surya. Dira, yang tengah sibuk menata karung untuk lomba, berhenti dan ikut mendengarkan.

“Selamat merayakan kemerdekaan, teman-teman!” lanjut Pak Surya. “Hari ini adalah saat yang tepat untuk mengingat betapa besar perjuangan para pahlawan kita. Dan hari ini, kita juga akan berlomba, bersenang-senang, dan mempererat tali persaudaraan!”

Applause menggema, diiringi teriakan gembira dari seluruh warga yang sudah tidak sabar untuk mulai berpesta.

Dira menggelengkan kepala. “Kalian denger gak sih kata Pak Surya barusan? Merdeka tuh bukan cuma soal lomba dan pesta. Tapi tentang perjuangan,” katanya pada Arda, yang hanya tertawa kecil mendengarnya.

“Iya, iya. Tapi kan seru juga, Dira. Lomba panjat pinang itu, misalnya. Penuh semangat juga, kan?” jawab Arda, sambil menunjuk tiang panjat pinang yang sudah dihias dengan berbagai hadiah.

“Seru sih, tapi kalau kita gak inget perjuangan, jadi gak ada artinya,” jawab Dira sambil merenung. “Kita harus ingat para pahlawan kita.”

Arda mengangguk. “Iya, benar. Tapi, pesta ini juga cara kita menghargai kemerdekaan, kan?”

Sejenak, Dira terdiam, matanya melirik ke arah Tuan Hamzah, seorang pria tua yang duduk di pinggir lapangan, mengenakan pakaian serba hitam dan topi pahlawan. Dira tahu, Tuan Hamzah adalah salah satu orang yang pernah ikut berjuang di masa kemerdekaan.

“Setuju, Arda,” jawab Dira setelah beberapa detik. “Pesta ini memang seru, tapi kita gak boleh lupa kalau kemerdekaan itu datang dari pengorbanan yang luar biasa.”

Keramaian terus berlanjut. Anak-anak berlarian, menari, dan memainkan musik tradisional. Bau makanan khas Indonesia yang sedap tercium dari segala penjuru. Lomba karung pun dimulai, diikuti dengan tertawa dan sorakan. Dira, Arda, dan teman-teman lain tak ketinggalan dalam meramaikan perayaan tersebut. Namun, dalam hati Dira, ada rasa bangga yang tak terucapkan.

Ini adalah hari besar bagi Indonesia, dan dia akan selalu mengingatnya, bukan hanya dengan keceriaan dan pesta, tetapi juga dengan pengorbanan yang telah membuat semua ini mungkin.

 

Lomba, Tawa, dan Panjat Pinang

Suasana di lapangan semakin ramai saat lomba karung dimulai. Warga desa yang sudah berkumpul di pinggir lapangan bersorak sorai memberi semangat. Dira yang sudah siap dengan karung di tangannya berlari menuju garis start, diikuti Arda yang dengan percaya diri memasuki arena.

“Siap-siap, Dira! Aku pasti menang!” Arda berteriak, melambai-lambaikan tangannya dengan gaya sok jagoan.

Dira hanya tertawa. “Gak segampang itu, Arda. Aku udah siap buktikan kalau aku yang paling cepat!” jawabnya sambil menarik karung ke pinggang.

Pak Surya yang menjadi wasit berdiri di tengah, mengangkat tangan memberi aba-aba. “Ayo, semuanya, siap? Satu… dua… tiga!”

Dengan semangat membara, semua peserta lompat ke depan. Suara tawa dan teriakan membahana, sebagian orang jatuh terguling-guling karena karung yang membatasi pergerakan mereka. Dira, meskipun terhuyung-huyung beberapa kali, tetap bertahan, berusaha mengatur langkahnya agar bisa sampai garis finish.

Di sebelahnya, Arda tampaknya agak kesulitan. Karungnya tiba-tiba tersangkut di kakinya, membuat dia terjatuh dan terguling. Dira yang melihat itu tidak bisa menahan tawanya.

“Dasar, Arda! Mana yang jagoan?!” teriak Dira dengan nada mengejek.

“Udahlah, kamu yang lebih cepat, Dira,” jawab Arda sambil tertawa, meski wajahnya sedikit memerah karena malu. “Aku memang kalah, tapi yang penting kan seru!”

Akhirnya, Dira berhasil mencapai garis finish lebih dulu, diikuti oleh beberapa peserta lainnya. Meskipun kemenangannya tidak sempurna, Dira merasa puas karena bisa berpartisipasi dalam semangat kebersamaan itu. Semua orang tertawa, saling mengolok-olok, dan memberi pujian kepada para pemenang.

Namun, suasana semakin meriah ketika panjat pinang dimulai. Tiang besar yang dihiasi berbagai macam hadiah, mulai dari sepeda, peralatan rumah tangga, hingga alat olahraga, kini menjadi pusat perhatian. Pak Surya berdiri di depan tiang, memegang mikrofon dengan semangat.

“Ini dia, lomba panjat pinang! Siapa yang berani menantang?” serunya. “Ayo, para pemuda, buktikan siapa yang tercepat!”

Dira berdiri di barisan belakang, menatap tiang yang begitu tinggi. Arda, yang sebelumnya percaya diri, kini sedikit ragu. “Eh, Dira… kamu gak ikut, kan?” tanyanya sambil melirik tiang pinang yang cukup tinggi.

“Apa? Kamu takut?” Dira balas dengan senyum nakal. “Jangan-jangan kamu cuma berani lomba karung doang.”

Arda hanya tertawa, mencoba menutupi kecemasannya. “Gak, cuma… tinggi banget itu. Kalau jatuh gimana?”

Dira menepuk bahunya. “Gak apa-apa. Lagian, ini kan cuma buat seru-seruan. Yang penting kita bersenang-senang.”

Tiba giliran Arda untuk memanjat tiang pinang. Dengan sedikit gugup, dia mulai memanjat, diiringi sorakan warga yang mendukung. Namun, setelah beberapa langkah, kakinya tergelincir dan dia jatuh. Semua orang bersorak, tetapi Arda justru tertawa terbahak-bahak.

“Hahaha, gagal lagi! Tapi seru juga, ya!” Arda berdiri, tertawa ringan, seolah tak merasa malu sama sekali.

“Ya udah, giliran aku!” Dira langsung melangkah maju dengan percaya diri.

Melihat Dira yang sudah siap, warga semakin bersemangat. Dira memanjat tiang dengan cepat, kakinya menapak kuat di setiap pegangan pinang yang tersedia. Meski ada rasa takut di dadanya, semangatnya mengalahkan segala ketakutan itu. Suara sorakan semakin keras, semakin menggugah semangat Dira.

“Semangat, Dira!” teriak beberapa orang yang mengenalnya.

Dira tidak berhenti. Ia melangkah dengan hati-hati, tetapi pasti, menuju puncak tiang. Beberapa kali dia hampir terjatuh, namun ia berhasil bertahan. Akhirnya, dengan sedikit usaha terakhir, Dira berhasil meraih hadiah pertama yang ada di puncak.

Sorak sorai terdengar begitu riuh. Warga desa bertepuk tangan dengan penuh kebanggaan. Dira menuruni tiang pinang dengan hati-hati, disambut tepuk tangan yang semakin keras.

“Hebat, Dira! Kamu keren!” seru Arda, yang sudah berdiri di bawah sambil memberikan acungan jempol.

Dira tersenyum lebar, menatap hadiah yang berhasil dia ambil. “Gampang kok, Arda. Yang penting semangat dan gak takut jatuh.”

Setelah panjat pinang selesai, acara berpindah ke lomba makan kerupuk. Semua warga semakin larut dalam kegembiraan, tertawa, mengolok, dan bergembira. Namun, meski seru, dalam hati Dira tetap ada rasa syukur yang mendalam.

Hari ini, bukan hanya tentang lomba dan kemenangan, tapi tentang bagaimana kebersamaan dan semangat saling mendukung membentuk ikatan yang lebih kuat antarwarga. Di tengah tawa dan pesta, Dira merasa bahwa semua ini adalah cara Indonesia merayakan kebebasan yang didapat dari perjuangan panjang, dan dirinya pun ingin menjadi bagian dari perjuangan itu, dengan cara yang berbeda, namun tetap dengan semangat yang sama.

 

Api Semangat di Malam Kemerdekaan

Malam semakin larut, tetapi riuh kegembiraan di desa tidak juga mereda. Setelah rangkaian lomba selesai, warga berkumpul di lapangan terbuka untuk mengikuti acara utama: upacara pembakaran api obor dan konser kecil yang sudah lama ditunggu. Lampu-lampu di sepanjang jalan menyala terang, dan udara malam yang sedikit sejuk hanya menambah kesan meriah.

Dira dan Arda duduk di pinggir lapangan, dikelilingi oleh anak-anak yang sibuk mengatur tempat duduk mereka. “Kamu lihat itu?” Dira menunjuk ke arah panggung utama di tengah lapangan, tempat para pemuda dan pemudi bersiap untuk mengadakan konser kecil. “Mereka bakal tampil, ya? Kayaknya seru banget.”

“Ya, seru,” jawab Arda sambil mengedarkan pandangan. “Banyak yang bakal tampil malam ini, kan? Aku sempat denger bakal ada pertunjukan musik tradisional juga.”

Warga desa sudah mulai berkerumun di sekitar panggung. Beberapa anak muda memegang gitar, sementara lainnya mempersiapkan alat musik tradisional. Ada yang memainkan gamelan, ada pula yang sibuk dengan kendang dan rebana. Suara tawa dan percakapan mengalir, menciptakan suasana yang kental dengan kebersamaan.

Namun, malam ini ada sesuatu yang lebih besar yang menunggu. Di ujung lapangan, sebuah api unggun besar sudah mulai dinyalakan. Api yang berkobar-kobar itu bukan hanya untuk menghangatkan tubuh di malam yang dingin, tetapi menjadi lambang semangat kemerdekaan yang tak akan padam.

Pak Surya, yang sejak siang hari menjadi pengawas lomba, kini berdiri di depan api unggun. Dengan suara penuh wibawa, dia mengajak seluruh warga untuk mendekat dan bergabung dalam upacara pembakaran api obor. “Ini adalah simbol dari semangat kita sebagai bangsa. Api ini adalah api yang menerangi jalan kita, api yang mengingatkan kita untuk terus menjaga kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan,” ujarnya dengan tegas.

Dira dan Arda ikut mendekat ke api unggun. Mereka duduk bersama beberapa teman lainnya, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Pak Surya. Keheningan menyelimuti lapangan, kecuali suara api yang berdesis dan angin malam yang berhembus lembut.

Pak Surya melanjutkan, “Semangat kemerdekaan tidak hanya bisa diukur dengan kemenangan dalam lomba atau pesta. Semangat kemerdekaan harus ada dalam hati kita, dalam setiap langkah kita, dalam setiap kerja keras kita untuk membangun bangsa ini. Inilah semangat yang harus kita bawa hingga anak cucu kita.”

Dira menatap api dengan serius. Ada rasa bangga yang mengalir dalam dirinya, seperti api itu menyentuh setiap inci jiwanya. Dalam hati, ia berjanji untuk terus menjaga semangat yang telah diwariskan oleh para pahlawan.

“Setiap kali aku melihat api ini, aku merasa seperti sedang melihat semangat para pahlawan kita,” kata Dira pelan kepada Arda, yang duduk di sampingnya.

Arda menoleh, melihat ke dalam api yang menyala. “Iya, aku juga merasa begitu. Tapi kita juga harus melakukan lebih, Dira. Kalau cuma merayakan tanpa tindakan nyata, kita hanya akan menjadi generasi yang lewat saja.”

Dira mengangguk. “Benar. Aku gak mau jadi generasi yang hanya berpesta tanpa mengingat pengorbanan itu. Aku ingin melakukan sesuatu yang bisa bermanfaat untuk orang lain, bahkan sekecil apapun itu.”

Arda tersenyum. “Aku setuju. Mungkin besok, kita bisa mulai dengan hal-hal kecil. Menjaga kebersihan, membantu sesama, atau melakukan hal-hal positif lainnya.”

Malam terus berlalu, dan suasana semakin meriah ketika acara konser dimulai. Gitar dan alat musik tradisional berpadu menghasilkan melodi yang indah, mengisi udara malam dengan irama yang penuh semangat. Warga desa ikut bergoyang, mengikuti irama musik yang mengalun. Tidak ada yang peduli siapa yang memainkan alat musik, yang penting semua bisa ikut menikmati kebahagiaan bersama.

Dira dan Arda bergabung dengan teman-teman mereka, ikut bernyanyi dan menari. Tidak ada yang terasa berat. Mereka merasa seperti satu keluarga besar yang merayakan kebebasan bersama. Tawa dan canda memenuhi lapangan. Mungkin ini adalah cara mereka untuk mengucapkan terima kasih kepada para pahlawan.

Saat malam semakin larut, api unggun itu masih menyala dengan penuh semangat. Meskipun sudah banyak yang pulang, masih ada sekelompok orang yang duduk di sekitar api, berbicara dengan hangat.

Dira menatap api unggun yang terus menyala. Ada rasa damai yang memenuhi hatinya. Ia tahu bahwa malam ini bukan hanya tentang lomba atau konser, tetapi tentang apa yang lebih dalam. Tentang semangat yang terus hidup, tentang cinta tanah air yang tak akan padam, dan tentang perjuangan yang tak boleh terlupakan.

“Ini adalah cara kita menghormati perjuangan mereka,” bisik Dira kepada dirinya sendiri, merasa lebih dekat dengan tanah airnya daripada sebelumnya.

Malam itu, kebersamaan, tawa, dan semangat mengisi hati Dira. Ia tahu, perayaan kemerdekaan ini bukan hanya sekadar acara tahunan. Ini adalah panggilan untuk menjaga apa yang telah diperjuangkan, untuk terus berjuang dalam cara kita sendiri, dengan semangat yang tak pernah padam.

 

Menyimpan Api Kemerdekaan

Pagi setelah perayaan kemerdekaan itu, desa masih terasa hangat meski matahari baru saja memanjat langit. Kabut tipis yang mengarah ke kaki-kaki bukit mulai menghilang, dan burung-burung bersiul riang di pohon-pohon. Namun, di dalam hati Dira, masih ada rasa semangat yang membara, seperti api unggun yang semalam menyala penuh arti. Ia berjalan menyusuri jalan desa, masih memikirkan percakapan kemarin dengan Arda, dan juga kata-kata Pak Surya yang penuh makna.

“Semangat kemerdekaan harus terus ada,” kata Pak Surya semalam. Kata-kata itu terngiang dalam benaknya.

Dira menatap langit biru yang cerah, berusaha mengingatkan dirinya sendiri bahwa kebebasan bukan hanya tentang perayaan yang meriah, tapi tentang bagaimana hidup setelahnya. Bagaimana dia, sebagai bagian dari generasi yang terlahir setelah Indonesia merdeka, bisa turut memberi makna.

Di jalan desa, Arda muncul dengan senyum lebar. Dia berjalan pelan, membawa sebuah kantong plastik kecil yang berisi beberapa bekal dari rumah. “Ayo, Dira! Kamu lagi mikirin apa?” tanyanya, mendekati Dira yang tampak tenggelam dalam pikirannya.

Dira menoleh dan tersenyum. “Aku cuma mikirin apa yang bisa kita lakukan setelah semua perayaan ini selesai. Aku rasa kita bisa mulai dengan hal-hal kecil. Yang penting nyata, bukan hanya omong kosong.”

“Kayak apa, contohnya?” Arda bertanya, berhenti di sampingnya.

“Mungkin kita bisa mulai dengan bersih-bersih desa, atau mengajak anak-anak muda di sini untuk lebih peduli sama kebersihan lingkungan,” jawab Dira, matanya bersinar penuh semangat. “Atau mungkin kita bisa bentuk kelompok yang fokus pada kegiatan sosial. Menyantuni yang membutuhkan, bikin program untuk edukasi anak-anak yang kurang mampu, atau apapun yang bisa bermanfaat.”

Arda mengangguk-angguk. “Aku setuju banget. Aku juga merasa kayak masih ada yang harus kita lakukan. Semua ini nggak bisa hanya lewat begitu aja. Kalau bukan kita, siapa lagi?”

Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berdua melanjutkan langkah mereka ke arah lapangan desa, tempat dimana semua kegiatan kemarin berlangsung. Tempat yang sekarang tampak sepi, tapi tetap memiliki kenangan indah.

Sesampainya di sana, Dira melihat bekas-bekas perayaan yang tertinggal. Kertas-kertas, botol plastik, dan sisa-sisa makanan berserakan di beberapa sudut. Dira menatap Arda. “Ini dia, Arda. Yang kita bisa lakukan sekarang adalah mulai dari sini. Kita bersihkan tempat ini, barulah kita ajak orang lain buat ikut.”

Arda tersenyum. “Aku siap. Ayo mulai sekarang juga!”

Mereka berdua pun mulai mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan, dengan penuh semangat. Setiap kali mereka melihat sampah di sudut-sudut lapangan, mereka cepat-cepat memungutnya, memastikan tidak ada yang terlewat. Dalam diam, mereka tahu ini adalah langkah pertama yang bisa mereka ambil untuk menjaga tanah air ini dengan cara mereka sendiri.

Warga yang lewat mulai memperhatikan mereka. Beberapa dari mereka berhenti sejenak, lalu mulai ikut membantu. Tidak lama kemudian, kelompok pemuda yang lain juga datang bergabung. Mereka memandang Dira dan Arda dengan kagum, lalu tertawa, saling membantu membersihkan area. Keheningan yang sempat menyelimuti lapangan pun berubah menjadi suasana yang penuh semangat.

Dira merasa begitu lega dan bangga. Tidak ada yang perlu menunggu kesempatan besar untuk memberikan dampak. Semua dimulai dari hal yang sederhana, dari langkah pertama. Dan, dalam hatinya, ia tahu ini adalah bentuk penghormatan terbaik yang bisa ia berikan untuk tanah airnya.

Arda menghampiri Dira yang sedang mengumpulkan beberapa sampah terakhir. “Ini baru yang namanya perubahan, kan? Kalau kita nggak mulai, siapa lagi yang bakal mulai?”

Dira tersenyum, melihat ke sekeliling mereka yang kini bersih dan rapi. “Betul. Mungkin kita nggak bisa langsung mengubah dunia, tapi kalau setiap orang mulai dari dirinya sendiri, pasti perubahan itu akan datang. Untuk Indonesia, untuk masa depan kita.”

Ketika lapangan itu akhirnya bersih, mereka duduk di sebuah bangku di tengah lapangan, sambil memandang ke arah bukit yang menghijau. Arda membuka bekal yang dibawanya, dan mereka berbagi makan siang sederhana di bawah langit biru. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain berbagi momen seperti ini.

“Ini adalah semangat kemerdekaan yang sejati,” kata Dira pelan, sambil menatap api unggun yang kini sudah tak ada. “Bukan hanya tentang merayakan dengan hura-hura, tapi tentang bagaimana kita terus menjaga api itu tetap menyala. Dengan tindakan nyata. Dengan mencintai tanah air ini.”

Arda hanya tersenyum mendengar kata-kata itu. “Aku tahu sekarang. Perayaan itu tidak pernah berakhir. Selama kita hidup dengan semangat itu, kita selalu merayakannya.”

Dira menatap Arda dan berkata, “Semoga kita bisa terus menjaga api itu menyala, Arda. Semoga semangat kemerdekaan ini tak akan pernah padam.”

Di bawah sinar matahari yang mulai condong ke barat, dua pemuda itu terus berbicara tentang hal-hal yang ingin mereka lakukan untuk desa dan Indonesia, tentang semangat yang tak pernah padam. Hari itu, Dira merasa lebih dekat dengan makna sejati dari kemerdekaan, dan bahwa tugasnya tidak hanya sebagai penerima, tetapi juga sebagai penerus yang wajib menjaga dan merawat apa yang telah diperjuangkan.

 

Jadi, setelah semua perayaan usai, apa yang kita lakukan selanjutnya? Mungkin inilah saatnya kita semua mulai bertanya, apa yang bisa kita kontribusikan untuk negara ini, meski dalam hal kecil sekalipun.

Semangat kemerdekaan bukan hanya tentang seremonial, tapi tentang bagaimana kita terus menjaga api perjuangan itu tetap hidup. Semoga cerita ini bisa jadi pengingat, bahwa kemerdekaan adalah tanggung jawab kita bersama. Jadi, yuk, mulai dari langkah kecil yang berarti. Karena sejatinya, Indonesia akan terus maju kalau kita bergerak bersama.

Leave a Reply