Cerpen Humor Ekonomi: Pelajaran Inflasi, Deflasi, dan Ucup yang Bikin Ketawa

Posted on

Siapa bilang pelajaran ekonomi itu membosankan? Di sini, kamu bakal diajak ketawa bareng Ucup dan Tasya, dua teman yang enggak pernah lepas dari obrolan seru soal uang, harga barang, dan teori ekonomi yang kadang bikin kepala pusing.

Tapi tunggu dulu, jangan buru-buru bilang, boring! Cerpen ini bakal buktiin kalau ekonomi itu bisa jadi hal yang lucu dan gampang dimengerti, asalkan kamu bisa lihat sisi serunya. Siap-siap belajar sambil ketawa!

 

Cerpen Humor Ekonomi

Teori Cinta ala Ucup

Pagi itu, seperti biasa, kelas XII IPS 3 dipenuhi dengan suara obrolan yang bercampur dengan tawa. Belum apa-apa, suasana sudah ramai. Tasya, ketua kelas yang selalu sibuk dengan tugas-tugasnya, duduk dengan wajah serius, membaca buku Ekonomi yang seakan tak pernah lepas darinya. Dia memang tipe orang yang selalu ingin tahu dan serius dalam belajar. Sementara itu, di sisi lain, ada Ucup, yang jelas-jelas nggak pernah terlihat serius dalam pelajaran apapun, terutama Ekonomi. Ucup, dengan wajahnya yang selalu polos itu, malah sibuk menggambar sesuatu yang entah apa, di bukunya.

“Ucup, kamu udah siap belum buat ujian minggu depan?” tanya Tasya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

Ucup mendongak sejenak, lalu tersenyum lebar. “Aku sih siap, Tasya. Ekonomi itu gampang banget, tinggal mikir aja!” jawabnya santai, sambil melanjutkan coret-coretannya yang lebih mirip gambar doodle daripada catatan pelajaran.

Tasya mengernyitkan dahi. “Mikir? Kamu serius? Ekonomi itu bukan cuma mikir, Cup, itu tentang konsep-konsep yang harus dipahami. Tentang supply and demand, inflasi, deflasi, semuanya saling terkait. Kamu harus paham!”

Ucup tertawa. “Paham-paham aja, Tasya. Paling juga nanti aku jelasin pake teori baru yang bisa bikin kamu paham, deh!”

Tasya cuma menggelengkan kepala. “Teori baru? Teori apa lagi sekarang?”

“Pokoknya nanti kamu akan terkejut!” jawab Ucup, sambil kembali menulis di bukunya.

Tak lama kemudian, Pak Kurniawan, guru Ekonomi yang terkenal sabar dan penuh wibawa, masuk ke kelas dengan membawa grafik besar yang tampak sangat rumit. Semua siswa langsung diam, menunggu pelajaran dimulai.

“Selamat pagi, anak-anak! Hari ini kita akan belajar tentang supply and demand. Siapa yang bisa jelaskan konsep ini?” tanya Pak Kurniawan dengan senyum lebar.

Tasya langsung mengangkat tangan. “Pak, supply and demand adalah teori yang menjelaskan hubungan antara ketersediaan barang dan permintaan pasar. Ketika harga barang naik, maka permintaan akan turun, begitu juga sebaliknya. Ini berlaku di pasar, di mana pembeli akan membeli barang lebih banyak ketika harga murah, dan lebih sedikit ketika harga naik.”

Pak Kurniawan tersenyum bangga. “Tepat sekali, Tasya. Itu penjelasan yang sangat bagus. Tapi, Ucup, kamu gimana? Kamu pasti punya penjelasan yang lebih ‘unik’, kan?”

Kelas langsung hening. Semua orang menunggu jawaban dari Ucup. Sementara Tasya, yang sudah menebak, hanya bisa memejamkan mata, menyiapkan mental.

Ucup berdiri perlahan, melangkah ke depan kelas dengan penuh percaya diri. “Gini, Pak,” katanya dengan gaya santai, sambil menggaruk kepala yang tak gatal. “Supply and demand itu kayak hubungan aku sama Tasya!”

Seluruh kelas langsung terdiam. Tasya menatap Ucup dengan pandangan tajam. “Hah? Hubungan apa lagi, Cup?”

“Tasya itu demand, sementara aku supply. Aku selalu kasih perhatian ke kamu, tapi kamu, meskipun nggak pernah ngaku, pasti butuh perhatian aku!” Ucup berkata dengan wajah serius, seperti seorang profesor yang sedang memaparkan teori canggih.

Kelas meledak dengan tawa. Bahkan Pak Kurniawan sendiri terpaksa menutup mulut, menahan tawa. Tasya, yang merasa darahnya mulai mendidih, langsung berdiri. “Ucup! Ini pelajaran Ekonomi, bukan drama percintaan!”

Tapi Ucup tak peduli. “Loh, itu kan logis, Tasya. Kalau aku lagi perhatian sama kamu, permintaan kamu pasti naik, dong! Tapi kalau aku diem aja, kamu kan pasti nggak peduli.”

Pak Kurniawan akhirnya membuka suara, sambil tersenyum kecil. “Ucup, meskipun penjelasanmu jauh dari konsep asli, tapi setidaknya kamu berhasil bikin kelas ini heboh. Tapi, kita kembali ke topik. Supply and demand itu memang tentang hubungan harga dan permintaan, tapi dengan cara yang lebih ekonomis, ya.”

Tasya menatap Ucup dengan cemberut. “Kamu itu, Cup, selalu aja bikin suasana jadi nggak fokus. Apa sih yang ada di pikiran kamu?”

“Tasya, kamu itu kaku banget! Ekonomi itu nggak harus selalu serius. Lagian, kalau kamu paham supply and demand lewat hubungan kita, nanti kamu bakal ngerti banget! Kan, kalau aku traktir kamu makan bakso murah, kamu pasti seneng, kan? Itu kan namanya demand!” Ucup kembali menjelaskan dengan santai.

Tasya langsung menutup buku dan mengacak-acak rambutnya frustasi. “Udah, udah, Ucup. Aku nggak mau ikutan teori bodoh kamu. Pelajaran ini jadi kacau gara-gara kamu!”

Pak Kurniawan mengangkat tangannya. “Oke, oke, cukup. Ucup, kamu memang pintar bikin teori, tapi jangan campur adukkan pelajaran dengan hal yang nggak ada hubungannya. Kembali ke pelajaran!”

Ucup duduk kembali dengan santai, tapi wajahnya tetap penuh percaya diri. “Tapi Pak, yang aku jelasin itu kan juga soal ekonomi. Coba deh nanti kamu pikirin teori aku. Ucuponomics, Pak!”

Semua orang tertawa lagi, bahkan Pak Kurniawan menahan tawa dengan tangan di wajah. “Ucup, kamu memang penuh kejutan. Tapi untuk hari ini, ayo kita lanjutkan pelajaran.”

Tasya, yang masih kesal, mengeluarkan napas panjang. “Pokoknya, Cup, aku nggak mau lagi jadi objek dalam teori kamu.”

Ucup cuma tersenyum lebar. “Tasya, kamu itu demand dalam hidup aku. Nggak bisa dihindari!”

“Ucup!!” Tasya hampir teriak, tapi tak bisa menahan tawa yang datang begitu saja. Satu hal yang pasti: pelajaran Ekonomi di kelas ini selalu lebih seru dengan teori-teori aneh milik Ucup.

 

Supply, Demand, dan Tasya

Keesokan harinya, suasana di kelas terasa lebih tenang. Ucup yang kemarin membuat heboh dengan teori supply and demand ala percintaannya, kembali ke kelas dengan semangat yang tak terkendali. Tasya, di sisi lain, masih tidak habis pikir bagaimana bisa ia terjebak dalam penjelasan ngawur seperti itu. Namun, satu hal yang pasti—hari ini, dia bertekad untuk tidak terjebak lagi dalam obrolan konyol Ucup.

Namun, siapa yang bisa menahan kelakuan Ucup?

Pak Kurniawan membuka kelas dengan wajah serius seperti biasa. “Anak-anak, hari ini kita akan membahas tentang law of demand—hukum permintaan. Konsepnya sederhana, semakin harga barang turun, semakin banyak orang yang ingin membelinya.”

Tasya langsung angkat tangan dengan antusias. “Pak, itu benar. Seperti misalnya tiket konser. Kalau tiketnya murah, pasti orang-orang akan langsung membeli banyak!”

Pak Kurniawan mengangguk. “Benar, Tasya. Itu contoh yang sangat tepat. Jadi, hukum permintaan itu memang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Siapa lagi yang bisa kasih contoh?”

Tangan Ucup langsung terangkat tinggi, meski wajahnya terlihat sangat percaya diri. “Pak, saya ada contoh yang lebih menarik, nih!”

Pak Kurniawan menatapnya ragu. “Ucup, kamu jangan bikin teori lagi, ya. Tolong yang sesuai materi!”

Ucup berdiri dengan penuh semangat. “Gini, Pak. Hukum permintaan itu bisa kita lihat dari hubungan aku sama Tasya!”

Seluruh kelas mendengus tertahan. Tasya memijat pelipisnya, sementara Pak Kurniawan menatap Ucup dengan wajah datar. “Ucup, ini sudah cukup, jangan buat kelas ini jadi lebih kacau.”

Tapi Ucup tetap tak tergoyahkan. “Jadi gini, Pak. Kalau aku traktir Tasya makan bakso, harga baksonya turun, permintaan Tasya pasti naik! Tasya pasti langsung bilang, ‘Ayo Cup, beli lagi!’ Kan, itu sesuai dengan hukum permintaan!”

Tasya menatap Ucup dengan mata yang seakan-akan bisa membakar. “Gila, kamu ini ya! Makan bakso itu nggak ada hubungannya sama ekonomi!”

Tapi Ucup tetap berdiri dengan bangga. “Pak, bener kan? Kayak law of demand—harga turun, permintaan meningkat. Sama kayak aku yang selalu traksiin kamu, Tasya! Kalau aku naikin harga perhatian, permintaan kamu pasti turun!”

Kelas kali ini benar-benar meledak. Semua siswa tertawa terbahak-bahak, bahkan Pak Kurniawan yang selalu menjaga ketenangan akhirnya tak bisa menahan tawa. “Ucup, kamu benar-benar kreatif! Tapi, untuk hari ini, saya ingin kembali ke penjelasan yang lebih formal. Jadi, ayo kita fokus ke pelajaran!”

Namun, Tasya, yang kini mulai kehilangan kesabarannya, menahan mulutnya yang ingin melontarkan kata-kata. “Aku nggak mau lagi jadi bagian dari teori kamu, Cup. Tolong, deh, jangan lagi kasih contoh hubungan kita sebagai teori ekonomi!”

Ucup yang melihat Tasya kesal, justru semakin percaya diri. “Bener, kan, Tasya? Ekonomi itu intinya tentang keinginan dan kebutuhan. Kalau kamu terus butuh perhatian aku, itu kan berarti hukum permintaan berjalan dengan sangat lancar!”

Tasya memutuskan untuk tidak lagi menanggapi Ucup. Di sisi lain, Pak Kurniawan melanjutkan dengan serius, “Oke, anak-anak. Mungkin Ucup punya cara yang unik dalam melihat teori, tapi kita akan fokus pada law of supply.”

Ucup menatap Pak Kurniawan. “Pak, law of supply itu gampang. Kalau harga barang naik, kita sebagai penjual pasti bakal jual lebih banyak. Sama kayak aku, kalau perhatian aku dihargai, pasti makin banyak yang minta, kan?”

Pak Kurniawan menatap Ucup dengan ragu. “Ucup, kamu benar-benar tak bisa diam, ya. Tapi, coba pikir lagi. Terkadang, kalau kita terlalu banyak memberi, permintaan bisa malah turun, loh.”

Ucup tersenyum lebar, seakan merasa sudah menemukan solusi untuk masalah apapun. “Jadi, kalau aku terlalu sering ngasih perhatian, Tasya bakal bosan, gitu, Pak?”

“Benar,” jawab Pak Kurniawan, mengangguk pelan. “Terlalu banyak perhatian bisa membuat orang jadi jenuh. Jadi, kadang-kadang kita perlu menyeimbangkan supply dan demand.”

Namun, Ucup masih tetap dengan teori konyolnya. “Jadi, kalau aku kasih perhatian ke Tasya sedikit-sedikit, permintaannya makin tinggi, ya?”

Tasya mendesah panjang, “Aku nggak ngerti lagi. Tapi, yang jelas, pelajaran ekonomi jadi lebih hidup dengan kamu, Cup.”

Pak Kurniawan menahan tawa. “Ucup, kamu memang kreatif dalam cara-cara yang unik, tapi ayo kita kembali ke materi. Ingat, ekonomi itu bukan cuma tentang perhatian dan bakso, ya!”

Ucup duduk kembali dengan senyuman lebar, merasa sudah memberikan pencerahan besar pada seluruh kelas. “Tasya, kamu lihat, kan? Supply dan demand itu berjalan lancar!”

Tasya menatapnya sebal, namun tak bisa menahan tawa. “Ucup, kamu memang orang yang bikin aku pusing. Tapi… mungkin kamu ada benarnya juga.”

Kelas pun kembali riuh dengan gelak tawa. Meskipun penjelasan Ucup jauh dari konsep yang benar, namun cara dia membuat ekonomi terasa lebih dekat dan lucu, tidak bisa dipungkiri.

 

Inflasi, Deflasi, dan Drama Ucup

Di hari berikutnya, kelas ekonomi kembali dimulai dengan Pak Kurniawan yang memasuki ruang kelas dengan wajah serius. Namun, di dalam hati, dia sudah tahu bahwa Ucup akan kembali membuat pelajaran ini jadi lebih “berwarna”. Tasya yang duduk di bangkunya hanya bisa menghela napas panjang. Sungguh, tak ada yang lebih sulit daripada berusaha fokus pada pelajaran ekonomi, sementara Ucup di sampingnya selalu berhasil menarik perhatian dengan teori-teori konyolnya.

Pak Kurniawan mulai membuka pembelajaran dengan serius. “Anak-anak, hari ini kita akan membahas dua konsep penting: inflasi dan deflasi. Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum, sedangkan deflasi adalah penurunan harga barang dan jasa. Keduanya memiliki dampak besar terhadap perekonomian negara.”

Tasya menulis catatan dengan cepat, berusaha menangkap semua informasi yang diberikan. Namun, Ucup yang duduk di sampingnya tidak bisa diam. Matanya berbinar-binar seperti sedang menemukan sebuah misteri besar.

“Pak, saya bisa kasih contoh yang gampang dimengerti, nih!” Ucup tiba-tiba angkat tangan, dan seketika seluruh kelas menoleh ke arahnya.

Pak Kurniawan menatapnya dengan ragu, tahu betul bahwa ini tidak akan berhubungan dengan ekonomi sama sekali. “Ucup, jangan buat contoh yang jauh dari materi ya,” katanya dengan nada tegas.

Tapi Ucup, dengan senyum penuh percaya diri, berdiri dan mulai berbicara. “Jadi gini, Pak. Inflasi itu kayak kalau aku udah capek-capek traktir Tasya makan, tiba-tiba harga bakso naik! Kan, permintaan Tasya jadi berkurang karena harganya jadi mahal.”

Tasya langsung menatapnya dengan penuh kejengkelan. “Ucup, serius deh, kamu ini! Inflasi itu bukan soal bakso doang!”

Pak Kurniawan menatap Ucup dengan ekspresi yang sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. “Ucup, kamu memang kreatif, tapi coba jelaskan lebih jelas,” katanya, mencoba untuk tetap tenang.

Ucup, yang merasa sudah menemukan contoh sempurna, melanjutkan penjelasannya. “Jadi, Pak, kalau harga barang naik, orang bakal beli lebih sedikit, kan? Nah, kalau misalnya aku sering traktir Tasya, terus harga bakso naik, dia mungkin akan mikir dua kali sebelum mau makan lagi.”

Tasya sudah tidak tahan lagi. “Kamu ini ya! Ini bukan soal kamu traktir aku makan bakso!”

Pak Kurniawan mengangguk, meskipun masih sedikit bingung dengan contoh Ucup yang sangat… personal. “Benar, Ucup. Inflasi bisa membuat orang mengurangi pembelian karena harga yang semakin tinggi. Ini yang sering menjadi masalah dalam perekonomian.”

Tasya, yang ingin memberi pemahaman yang lebih baik pada teman sekelasnya, kemudian berbicara. “Pak, saya mau kasih contoh yang lebih jelas. Inflasi itu seperti ketika harga barang-barang kebutuhan sehari-hari naik, misalnya, harga sayuran yang tiba-tiba melambung. Ini bisa membuat orang kesulitan, karena penghasilan mereka tidak naik sesuai dengan harga barang yang naik.”

Pak Kurniawan mengangguk puas. “Betul, Tasya. Ini contoh yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.”

Namun, Ucup yang merasa sudah cukup paham dengan inflasi, beralih ke topik lain dengan semangat yang tak kalah besar. “Pak, kalau deflasi gimana? Kalau harga barang turun terus, orang jadi bisa beli banyak, dong?”

Tasya yang mendengar pertanyaan itu langsung tersenyum, tapi tidak seceria sebelumnya. “Kalau deflasi, Ucup, itu artinya harga barang turun secara signifikan, dan itu bisa jadi masalah juga. Mungkin orang-orang jadi beli banyak barang karena murah, tapi akhirnya banyak pengusaha yang bangkrut karena tidak bisa mempertahankan harga yang terlalu rendah.”

Pak Kurniawan menyambut dengan senyum. “Tasya sudah menjelaskan dengan tepat. Deflasi bisa menyebabkan masalah ekonomi yang lebih besar, terutama dalam hal perekonomian negara dan daya beli masyarakat.”

Ucup masih belum puas. “Jadi, kalau aku turunin harga perhatian aku ke Tasya, dia pasti beli banyak perhatian, kan?”

Tasya menatap Ucup dengan tatapan datar. “Ucup, tolong, aku udah nggak mau jadi objek teori ekonomi kamu lagi. Cukup sudah, deh!”

Kelas pun meledak dengan tawa. Ucup, yang tampaknya tidak mengerti apa yang dimaksud Tasya, tersenyum penuh kemenangan. “Wah, Pak, kita harus mengaplikasikan ini dalam kehidupan sehari-hari. Deflasi itu, kalau perhatian aku turun, permintaan Tasya pasti makin banyak!”

Pak Kurniawan hanya bisa menggelengkan kepala. “Ucup, kamu ini ya, selalu saja bisa melihat ekonomi dari sudut pandang yang berbeda. Tapi ingat, ekonomi itu bukan sekadar soal perhatian atau bakso!”

Tasya yang kini mulai bisa menerima kekonyolan yang terjadi di kelas, akhirnya tertawa kecil. “Ucup, kamu memang selalu bikin ekonomi jadi lebih hidup, sih.”

Pak Kurniawan mengakhiri pelajaran hari itu dengan satu pesan terakhir. “Ingat, anak-anak, ekonomi itu sangat berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari. Dari inflasi, deflasi, sampai supply dan demand, semuanya mempengaruhi cara kita bertindak dan membuat keputusan. Jadi, coba aplikasikan ilmu ini, jangan cuma untuk bercanda!”

Kelas berakhir dengan tawa dan cerita-cerita lucu tentang teori-teori konyol Ucup yang entah kenapa selalu bisa membuat ekonomi terdengar lebih menarik. Tasya, meskipun sering jengkel, merasa bahwa pelajaran ini akhirnya mulai menyenangkan.

 

Keajaiban Ekonomi di Kehidupan Sehari-hari

Hari ini, suasana di kelas ekonomi agak berbeda. Pak Kurniawan datang lebih awal dan terlihat membawa sesuatu yang berbeda. “Hari ini kita akan melakukan sedikit eksperimen, anak-anak,” katanya sambil meletakkan dua kantong plastik di meja. Tasya, yang duduk di dekat jendela, memperhatikan dengan penuh rasa penasaran. “Apa ini, Pak?” tanyanya dengan sedikit gugup, takut ada yang akan kembali mengarah ke teori ekonomi yang aneh.

Pak Kurniawan tersenyum. “Ini adalah eksperimen ekonomi kecil-kecilan. Kita akan melihat langsung bagaimana teori supply dan demand bekerja. Tasya, Ucup, bolehkah kalian membantu?”

Ucup, yang sepertinya masih energik dari pelajaran sebelumnya, langsung melompat berdiri. “Wah, eksperimen ekonomi? Seru banget, Pak!” katanya dengan mata berbinar.

Tasya, yang sedikit skeptis, beranjak ke depan dengan perlahan. “Apa yang harus kami lakukan, Pak?”

Pak Kurniawan meletakkan dua kantong plastik di meja. “Satu kantong berisi permen, dan satu lagi kosong. Kalian akan jadi penjual dan pembeli. Ucup, kamu jadi penjual, ya. Tasya, kamu pembeli. Sederhana saja, Ucup, kamu bisa menjual permen itu dengan harga yang kamu tentukan.”

Tasya menatap kantong permen itu dan merasa sedikit bingung. “Kenapa cuma permen? Ini eksperimen ekonomi atau ujian rasa, sih, Pak?”

Pak Kurniawan tertawa. “Ini eksperimen ekonomi, Tasya. Bayangkan permen itu adalah produk yang kamu jual. Kalau harga terlalu tinggi, apakah Tasya akan membeli? Itu adalah contoh teori supply and demand yang sangat sederhana.”

Ucup, dengan semangatnya yang berlebih, mulai menentukan harga permen. “Oke, aku jual permen ini satu buah seratus ribu, ya!”

Semua orang langsung terdiam. Tasya menatap Ucup dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. “Seratus ribu? Ucup, kamu mau jadi penjual permen atau jadi agen properti?”

Pak Kurniawan menahan tawa, tapi dengan serius melanjutkan. “Nah, Tasya, kalau harga permen itu terlalu tinggi, apakah kamu akan beli?”

Tasya berpikir sejenak. “Tentu saja tidak, Pak! Kalau permen harganya seratus ribu, saya mending beli baju baru!”

Pak Kurniawan tersenyum. “Betul! Itu contoh yang baik. Jika harga terlalu tinggi, permintaan pasti menurun. Ini adalah dampak dari inflasi yang kita bahas sebelumnya. Sekarang, coba Ucup turunkan harga permen, lihat apakah ada perubahan.”

Ucup, yang merasa sedikit malu setelah mendengar pendapat Tasya, langsung merendahkan harga. “Oke, oke, kalau gitu, aku turunkan jadi lima ribu aja, deh!”

Tasya, yang melihat permen di depan matanya, langsung memikirkan keputusan yang bijak. “Hmm, harga segitu lebih masuk akal. Aku beli satu, Pak!”

Pak Kurniawan mengangguk. “Nah, Tasya membeli karena harga sudah lebih wajar. Itulah yang terjadi ketika harga barang menurun. Pembeli jadi tertarik, dan penjual bisa mendapatkan keuntungan.”

Sambil memerhatikan mereka, Pak Kurniawan merasa sedikit bangga. “Inilah intinya, anak-anak. Ekonomi itu bukan hanya soal teori abstrak. Semua yang kita pelajari itu bisa langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari harga barang, permintaan, sampai keputusan yang kita buat saat membeli sesuatu.”

Tasya dan Ucup duduk kembali, masing-masing membawa permen sebagai simbol eksperimen mereka yang tidak hanya memberi pelajaran ekonomi, tapi juga pelajaran kehidupan.

Ucup, dengan ekspresi penuh rasa puas, menoleh ke Tasya. “Tasya, lihat, kan? Ekonomi itu nyatanya bisa nyenengin juga kalau diterapin dengan cara yang bener!”

Tasya tertawa. “Iya, sih. Walaupun kamu jual permen harga seratus ribu, tapi ya… pelajaran tetap aja nyangkut di otak.”

Pak Kurniawan, yang sudah tidak bisa menahan senyum, mengakhiri pelajaran hari itu dengan sebuah kalimat yang sederhana namun dalam. “Ingat, anak-anak, ekonomi itu bukan hanya tentang angka-angka yang kaku. Ekonomi ada di mana-mana, bahkan di setiap keputusan kecil yang kita buat. Dan yang paling penting, kalau belajar ekonomi, jangan takut untuk berimajinasi. Seperti Ucup yang bisa menjual permen seharga seratus ribu, atau Tasya yang bisa jadi pembeli cerdas!”

Kelas pun berakhir dengan tawa dan candaan. Hari itu, ekonomi bukan lagi pelajaran yang membosankan. Terima kasih kepada Ucup, yang telah membuat pelajaran itu jadi lebih hidup.

Saat berjalan keluar kelas, Tasya melihat sekelilingnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa ekonominya tidak hanya tentang teori yang membosankan. Ekonomi itu ada di hidupnya sehari-hari, di harga bakso, di keputusan membeli permen, dan bahkan di senyuman Ucup yang tak pernah bisa berhenti membuat suasana menjadi lebih hidup.

 

Jadi, siapa sangka kan, pelajaran ekonomi bisa bikin ketawa juga? Lewat permen seharga seratus ribu, kita belajar gimana supply and demand bisa bikin kita sadar tentang harga dan keputusan yang kita buat.

Ekonomi itu enggak harus selalu serius dan penuh rumus, kadang kehidupan sehari-hari udah cukup jadi pelajaran yang asyik. Semoga setelah baca cerpen ini, kamu gak cuma ngerti soal inflasi dan deflasi, tapi juga dapet sedikit hiburan di tengah pelajaran yang sering dianggap kaku. Jadi, siap-siap aja kalau pelajaran ekonomi mulai terasa lebih seru dari sebelumnya!

Leave a Reply