Daftar Isi
Bayangin deh, hujan yang nggak berhenti turun, malam yang makin gelap, dan satu kenangan yang gak bisa hilang meskipun udah berusaha dilupakan. Cerita ini tentang perasaan yang dipenuhi rasa kehilangan, ketidakpastian, dan semua yang nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Coba deh baca, dan kamu bakal ngerasain gimana beratnya melepaskan sesuatu yang dulu kamu anggap nggak bisa hilang. Tapi kenyataannya, semua itu cuma kenangan yang nggak bisa dibawa pergi.
Cerpen Hujan di Malam Hari
Tetes-Tetes Kenangan
Malam itu, hujan turun deras, lebih dari yang biasa. Angin menggoyangkan pepohonan di sekitar rumah, dan suara gemericik air yang jatuh ke tanah membuat suasana semakin suram. Di dalam rumah yang sepi, aku duduk di dekat jendela, memandangi dunia yang kabur karena air hujan yang menempel pada kaca. Rasanya, aku bisa merasakan dinginnya sampai ke tulang.
Hujan ini, entah kenapa, selalu mengingatkanku padanya. Rendra. Setiap kali hujan turun, seolah waktu kembali berputar ke malam itu, malam yang mengubah semuanya. Malam yang membekas dalam setiap bagian hidupku, tak pernah hilang, tak pernah pudar.
Aku menarik napas dalam-dalam. Mengapa hujan selalu membuatku merasa sesak seperti ini? Seperti ada sesuatu yang mengikat dadaku, membuat aku hampir tak bisa bernapas. Lalu bayangannya datang. Wajahnya. Suaranya. Bahkan bau khas tubuhnya yang selalu ada setiap kali aku dekat dengannya. Semua itu datang seperti kilatan yang memaksa mataku terpejam sejenak. Dan saat aku membuka mata, aku masih ada di tempat yang sama—sendirian.
Aku masih ingat betul malam itu. Kami sedang duduk bersama di teras rumah, seperti biasa, menonton hujan yang turun perlahan, membasahi tanah. Waktu itu, tidak ada yang mencurigakan. Kami hanya berbicara seperti dua orang yang tidak punya beban dunia, menggelar mimpi tentang masa depan yang penuh dengan harapan.
“Aku pikir, nanti kalau kita punya rumah sendiri, aku bakal tanam pohon di halaman depan,” kata Rendra sambil memandang langit yang semakin gelap.
Aku tertawa mendengar ucapannya. “Pohon apa? Pohon buah? Atau pohon yang punya bunga-bunga cantik buat hiasan?”
“Kenapa enggak dua-duanya? Buah dan bunga,” jawabnya, tersenyum penuh. “Pokoknya, aku pengin punya tempat yang kita berdua bisa nikmati bareng. Mungkin, nanti kita bisa bawa anak-anak kita ke sini. Kasih tahu mereka, ‘Ini pohon yang kita tanam sendiri, waktu dulu hujan turun dan kita berjanji untuk selalu bersama.'”
Kami tertawa, bercanda, tanpa tahu bahwa dunia yang kami rencanakan itu akan hancur hanya beberapa jam kemudian.
Aku mengalihkan pandanganku dari jendela dan menatap ke dalam rumah yang kini sepi. Semua yang ada di sini dulu milik kami. Setiap sudut rumah ini pernah dipenuhi suara tawa, percakapan ringan tentang kehidupan yang tampak mudah. Tapi sekarang, aku hanya bisa merasakan kesunyian. Aku mengingat satu detik yang tak bisa aku lupakan.
Tiba-tiba, suara mobil datang dari luar. Suara rem dan mesin yang seolah bergejolak, menandakan sesuatu yang tidak beres. Aku belum sempat mengerti, saat itu, Rendra bangkit dari kursinya, tampak terburu-buru. “Aku keluar dulu, sebentar,” katanya, tergesa-gesa. Aku sempat ingin bertanya, tapi kata-kataku terhenti saat melihat dia berlari keluar, menyusuri jalan menuju ke gerbang.
Sampai saat itu, aku belum tahu kalau itu adalah terakhir kalinya aku akan melihatnya. Aku tidak tahu kalau itu adalah detik-detik terakhir sebelum tragedi datang mengubah segalanya.
Hujan semakin deras, dan aku ingat betul bagaimana mobil itu datang—terlalu cepat, terlalu keras. Aku bisa mendengar suara tabrakan itu dengan jelas, suara yang mengerikan, seperti dunia yang runtuh begitu saja. Semua yang ada di sekitarku seakan berhenti. Aku hanya bisa berdiri kaku, menatap tanpa daya ke arah gerbang yang semakin menjauh dari pandanganku. Dan saat aku berlari keluar, semuanya sudah terlambat.
Rendra tergeletak di jalan, darah mengalir deras, matanya kosong. Aku mencoba memegangnya, memanggil namanya, tapi semuanya hampa. Hujan yang jatuh saat itu, seakan-akan menutupi tangisanku, menenggelamkan semuanya dalam kebisuan yang kelam.
Kembali, suara hujan membawa aku pada kenangan itu. Rendra tidak pernah kembali. Sementara aku, tetap di sini, sendirian, bertahan di bawah beban kenangan yang terus menekan. Aku memandang hujan yang semakin lebat, seolah-olah setiap tetesnya mengingatkanku pada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak akan pernah bisa kembali.
“Aku enggak tahu kalau itu yang terakhir kali kita bicara,” bisikku pelan pada diriku sendiri. “Aku enggak tahu kalau hujan malam itu akan menghancurkan segalanya.”
Sekarang, aku hanya bisa duduk di sini, memandang hujan yang mengalir di luar, mengingatkan pada semua kenangan buruk yang terus menggema di kepala. Tiap detik yang berlalu hanya memperparah kesunyian yang ada. Aku tahu, aku harus melanjutkan hidup, tetapi seiring berjalannya waktu, aku merasa semakin kehilangan arah. Semua yang dulu berarti kini terasa hampa.
Aku berjalan ke ruang tamu, mendekati kursi yang dulu kami gunakan untuk duduk bersama. Kursi itu, meski kosong, masih menyisakan sedikit jejak kehangatan dari kenangan yang tak akan pernah datang lagi. Aku duduk di sana, menundukkan kepala, membiarkan hujan mengalir melalui jendela yang sedikit terbuka, masuk dan membasahi hatiku yang sudah terlalu lama beku.
“Hujan,” kataku lirih, suara yang hampir hilang tertelan gemuruh air yang jatuh dari langit. “Hujan, kenapa kamu selalu datang saat aku butuh sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan?”
Namun tidak ada jawaban, hanya hujan yang terus mengalir.
Hujan yang Mengubah Segalanya
Pagi itu, hujan masih menyapa, meski lebih lembut. Seperti air mata yang tak bisa mengering, hanya terus mengalir tanpa henti. Aku berjalan perlahan, kaki terasa berat setiap melangkah. Dulu, aku sering berlari di jalan ini bersama Rendra, berusaha mengejar waktu yang tak pernah cukup. Kami selalu beranggapan bahwa dunia ini adalah tempat yang penuh kemungkinan, dan hujan adalah teman yang selalu ada, bahkan dalam kekacauan.
Sekarang, semuanya berubah. Hujan ini seperti pengingat bahwa tak ada yang benar-benar bisa bertahan selamanya.
Di ujung jalan, aku melihat rumah itu lagi. Rumah yang dulu kami tempati bersama. Pintu depan yang kini tertutup rapat, seperti mengunci segala kenangan yang pernah ada di dalamnya. Aku merasa ingin menghindar, mengalihkan pandangan, tapi entah kenapa kaki ini terus membawa tubuhku mendekat, menuju tempat yang telah lama kutinggalkan.
Di luar, udara dingin menyelimuti, namun aku masih bisa merasakan kehangatan yang pernah ada di dalam rumah itu. Kenangan kami berdua datang begitu saja, mengalir tanpa terkendali. Semua tawa, percakapan ringan tentang masa depan yang penuh harapan—semuanya seperti bayangan yang kini sulit dijangkau. Apa yang dulu terasa begitu nyata, sekarang terasa jauh, hilang dalam kabut yang tak bisa kulihat.
Aku membuka pintu dengan perlahan, suara deritnya memecah kesunyian. Rumah itu sepi, seperti kosong. Semua barang yang ada di sini terasa asing, meskipun dulu kami berdua begitu akrab dengannya. Begitu banyak hal yang sudah berubah. Di setiap sudut, ada rasa hampa yang menggerogoti.
Langkahku menuju ruang tamu, tempat di mana kami dulu duduk bersama, berbicara tentang apa yang ingin kami capai. Aku melirik kursi yang dulu selalu menjadi tempat kami bercengkerama, sekarang hanya ada debu yang menutupi permukaannya. Di sebelahnya, ada meja kecil yang kami gunakan untuk menaruh cangkir teh, sebuah kenangan sederhana yang kini terasa seperti beban.
Aku duduk di kursi itu, merasakan dinginnya kulit kursi yang menempel pada tubuhku. Seolah waktu berhenti di sini, membekukan segala sesuatu yang pernah ada. Tak ada yang bergerak, hanya hujan yang terus turun, seolah mengisi kekosongan ini dengan suara gemericiknya.
“Aku sudah mencoba,” gumamku pelan pada diriku sendiri, merasa seperti seorang yang berjuang melawan badai yang tak pernah reda. “Tapi kenangan ini, kenapa enggak bisa hilang?”
Di luar, suara mobil yang melintas kembali menyadarkanku. Sebuah mobil berwarna gelap melaju dengan cepat, suara mesinnya menggema di tengah hujan. Aku tahu, aku harus terus melangkah, meninggalkan rumah ini, namun langkahku terasa begitu berat. Seperti ada yang menahan, memaksaku untuk tetap berada di sini, di tempat yang penuh dengan kenangan pahit.
Aku keluar dari rumah itu, berjalan ke trotoar yang basah. Hujan kini semakin deras, tapi entah kenapa, aku tak bisa pergi begitu saja. Hujan ini, seolah mengikatku pada masa lalu yang tak ingin kutinggalkan. Aku merasakan bahwa setiap tetesnya mengalirkan kenangan yang begitu dalam, memaksa aku untuk kembali mengenang malam itu—malam yang mengubah segalanya.
Aku kembali melihat ke sekeliling, mencoba mencari sesuatu yang bisa membawaku keluar dari bayang-bayang itu. Namun yang aku temukan hanyalah jalan yang tampak semakin gelap, semakin kosong. Hujan ini bukan hanya soal air yang jatuh dari langit, tapi juga tentang kehilangan yang terus mencekik, tak memberi ruang untuk bernafas.
Ada yang aneh di dalam diriku, sesuatu yang terus menggerogoti, menuntut aku untuk menerima kenyataan pahit yang tak bisa diubah. Kehilangan itu sudah terjadi, dan sekeras apapun aku berusaha menghindari, kenangan itu akan selalu hadir, selalu mengikuti, bagaikan bayangan yang tak pernah lepas.
Lalu aku berhenti di ujung jalan, memandang ke depan, ke arah tempat yang dulu kami impikan. Di sana, ada sebuah taman kecil yang dulu kami buat dengan tangan kami sendiri, menanam pohon dan bunga-bunga yang kini sudah tumbuh besar. Itu adalah tempat di mana kami berjanji akan selalu bersama, di mana kami menulis impian-impian yang kini terasa seperti lelucon.
Aku duduk di bangku taman itu, menatap pohon-pohon yang telah tumbuh tinggi, seperti menggambarkan betapa lama waktu telah berlalu. Mereka kuat dan kokoh, seolah mereka tidak peduli pada kenangan yang pernah ada. Tapi aku, aku masih di sini, terjebak dalam perasaan yang tak bisa kuhentikan.
“Apa yang harus aku lakukan, Rendra?” tanyaku pada angin yang menghempas wajahku, berusaha mencari jawaban yang tidak akan pernah datang. “Kenapa aku masih di sini?”
Hujan terus turun, lebih deras, seakan menuntutku untuk menjawab pertanyaan yang tak pernah bisa kutemukan jawabannya. Aku merasakan berat di dadaku, rasa yang semakin dalam, semakin menghimpit, seiring berjalannya waktu yang terus maju tanpa menghiraukan luka yang kutanggung.
“Semua sudah berakhir,” aku berbisik pada diri sendiri, lebih kepada pengakuan yang sulit kuterima. Tapi entah mengapa, meskipun kata-kata itu keluar, aku masih merasa seolah aku belum benar-benar merelakannya. Setiap tetes hujan yang jatuh di sekitarku seperti terus mengingatkan bahwa aku belum bisa melupakanmu. Dan mungkin, aku tidak akan pernah bisa.
Malam semakin larut. Hujan semakin lebat. Dan aku, masih duduk di sini, merasakan dingin yang tidak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam hatiku yang telah lama beku.
Kebenaran yang Tak Terungkap
Malam semakin gelap, dan aku masih duduk di bangku taman itu, mencoba menenangkan pikiran yang tak pernah bisa tenang. Hujan yang terus mengguyur bumi hanya menambah kesan sunyi yang semakin mencekam. Sesekali, suara gemericik air yang mengalir di selokan terdengar begitu jelas, menggantikan percakapan yang tak pernah lagi bisa aku lakukan. Percakapan yang dulu penuh tawa, kini tergantikan oleh kebisuan yang lebih dalam daripada hujan ini sendiri.
Aku mencoba memejamkan mata, berharap bisa melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu yang seakan menghantuiku. Tapi ketika mata terpejam, wajah itu kembali muncul—Rendra. Wajah yang dulu begitu aku kenal, yang kini hanya tersisa dalam kenangan samar. Aku ingat betul bagaimana senyumannya, bagaimana matanya yang selalu penuh harapan. Harapan yang kini hancur begitu saja.
Kenapa aku harus mengingatnya? Kenapa kenangan itu terus muncul, menggerogoti setiap sisi pikiranku? Aku berusaha bangkit dari bangku taman itu, berkeliling sebentar, berharap bisa melupakan semua ini. Tapi langkahku terhenti di depan sebuah patung kecil di tengah taman. Patung itu dulu adalah hadiah darinya, sebuah simbol dari janji kami untuk selalu ada, bahkan dalam hujan sekalipun. Sekarang, patung itu terasa kosong, tak bermakna lagi.
Aku mendekat, menyentuh patung itu dengan perlahan, merasakan dingin yang sama dengan yang mengalir dalam diriku. “Aku sudah berusaha, Rendra. Aku benar-benar sudah berusaha untuk melupakan semuanya.” Suaraku bergetar, hampir tak terdengar di tengah suara hujan yang terus mengguyur.
Tapi dalam hati, aku tahu—aku belum benar-benar melupakan. Bagaimana bisa melupakan seseorang yang telah menjadi bagian dari hidupku selama bertahun-tahun? Semua kenangan yang kami bagi, semua rencana yang kami buat bersama—semuanya kini tinggal serpihan yang menyakitkan. Dan aku hanya bisa duduk di sini, merasakan kepergiannya, merasakan kehilangan yang begitu dalam, seperti hujan yang tak pernah berhenti.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Rendra?” tanyaku pada malam yang sunyi. Seakan-akan hujan ini bisa memberikan jawaban atas segala yang tersembunyi. “Kenapa kamu pergi begitu saja? Kenapa kamu tinggalkan aku sendirian di sini?”
Aku menarik napas panjang, seolah mencoba menarik kekuatan dari udara yang berat ini. Tapi tak ada kekuatan yang datang. Yang ada hanya rasa kosong yang semakin dalam. Aku teringat hari itu, hari terakhir kami berbicara. Aku tidak tahu, saat itu, jika itu akan menjadi pertemuan terakhir kami. Kami berbicara dengan biasa, seperti biasa. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang menandakan bahwa dunia kami akan berubah begitu cepat.
“Aku akan pergi, Ari. Ini keputusan terbaik,” kata-katanya masih terngiang jelas di telingaku, meski sudah bertahun-tahun berlalu. Kata-kata itu begitu sederhana, namun memecah hatiku dalam diam. Tak ada peringatan, tak ada tanda apa pun yang memberitahuku bahwa semuanya akan berakhir seperti ini. Aku hanya menerima semua itu dengan pasrah, tanpa sempat bertanya kenapa.
Tapi yang lebih membuatku bingung adalah kenapa aku tidak merasa ada yang benar-benar menjelaskan apa yang terjadi. Kenapa dia pergi begitu saja? Mengapa tak ada alasan yang jelas, hanya sebuah keputusan yang seolah sudah dipikirkan matang-matang. Semua alasan itu kabur, tertutup oleh kabut yang semakin pekat, menyembunyikan kebenaran yang tak pernah berhasil kutemukan.
Aku berdiri, menatap langit yang semakin gelap. Hujan belum juga berhenti. Mungkin hujan ini memang diciptakan untuk menutupi kesedihan, untuk menutupi segala sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Hujan adalah pelipur lara, atau mungkin justru pengingat akan luka yang tak pernah sembuh.
Di tengah malam yang semakin larut, aku berjalan perlahan menuju jalan pulang, meski rasanya berat untuk kembali. Setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya. Rumah itu sudah tak lagi terasa seperti rumah. Kenangan tentang Rendra terus menghantuiku, mengisi setiap ruang kosong yang ada.
Sesampainya di depan pintu rumah, aku berhenti sejenak, menatap kunci yang ada di tanganku. Kunci yang dulunya memberi aku kebebasan untuk masuk ke rumah ini kapan pun aku mau, tapi kini terasa seperti beban. Aku menyentuh pintu dengan pelan, merasakan dinginnya kayu yang telah lama tidak kujamah. Tangan yang menggenggam kunci itu terasa kaku, dan aku tahu—mungkin aku tidak akan pernah benar-benar bisa melupakan semua yang telah terjadi.
Aku membuka pintu dengan perlahan, masuk ke dalam rumah yang terasa begitu asing. Dulu, rumah ini penuh dengan tawa dan canda, penuh dengan kehadiran yang selalu menghangatkan. Sekarang, rumah ini kosong, hanya ada aku dan kenangan yang terus mengganggu. Aku berjalan ke ruang tamu, duduk di sofa yang dulu selalu kami duduki bersama, dan menyadari satu hal yang selama ini tidak ingin kuakui.
Aku masih terjebak di dalam masa lalu, dan aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari sini. Semua yang terjadi begitu cepat, begitu mendalam, dan aku merasa terhimpit oleh semuanya. Dan yang lebih menyakitkan, aku tahu—mungkin tak akan ada penjelasan. Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini. Mengapa harus ada kehilangan yang begitu dalam, yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Hujan terus turun. Dan aku, masih terperangkap dalam kenangan yang terus menghantui.
Akhir yang Terlupakan
Hari-hari terus berlalu, dan aku semakin merasa seperti bayangan diri sendiri yang tak bisa aku kenali lagi. Hidupku yang dulu dipenuhi dengan canda tawa, kini hanya sepi dan penuh dengan kebingungannya. Aku merasa semakin jauh dari diriku yang dulu, dan semakin dekat dengan ketidakpastian yang tak tahu akan kemana arah ini membawa.
Aku masih ingat, betapa dulu aku menunggu di sini—di depan rumah ini, dengan secangkir kopi hangat, menunggu kabar darinya, menunggu tawa yang selalu hadir setelah hari yang panjang. Aku menunggu seperti seorang anak yang menunggu boneka kesayangannya, berharap semuanya akan kembali seperti semula. Namun harapanku lenyap seperti kabut yang menghilang ditelan oleh matahari.
Aku mengingat masa-masa itu, saat aku dan Rendra duduk di taman ini, berbicara tentang masa depan yang indah, penuh harapan. Kami merencanakan hari-hari yang cerah, meskipun saat itu kami tidak tahu bahwa hujan akan datang dengan begitu cepat. Namun saat hujan benar-benar turun, aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi kenyataan bahwa tidak ada lagi masa depan yang bisa kami bangun bersama. Tidak ada lagi tawa yang bisa kami bagi.
Setiap kali hujan turun, aku merasa seperti terjebak dalam loop waktu yang sama—kembali ke malam itu, malam terakhir kami berbicara. Setiap tetes air yang jatuh ke bumi seperti mengingatkan aku bahwa aku tidak akan pernah bisa melupakan apa yang sudah terjadi. Rendra telah pergi, meninggalkan aku tanpa alasan yang jelas. Tanpa penjelasan yang bisa aku terima. Semua yang pernah kami impikan dan bangun bersama kini hanya tinggal kenangan yang tak bisa kutemukan jalan keluarnya.
Hujan itu tidak hanya membawa air, tapi juga membawa segala kenangan yang tak bisa hilang. Semakin banyak waktu berlalu, semakin jelas bahwa aku tidak bisa menyelamatkan apa yang sudah hilang. Aku tidak bisa mengembalikan waktu atau membuatnya kembali. Aku hanya bisa menerima kenyataan bahwa ada hal-hal dalam hidup yang tak bisa dijelaskan, dan ada kenangan yang hanya bisa disimpan dalam hati, meskipun itu menyakitkan.
Aku berdiri di depan rumah ini, menatap pintu yang sudah lama tidak ku buka. Di dalamnya, rumah ini kosong. Semua yang aku rasakan saat ini hanyalah kehampaan yang lebih dalam dari sebelumnya. Aku tahu—mungkin ini adalah hal terakhir yang bisa aku lakukan, berjalan keluar dari ruang ini, meninggalkan semuanya. Tapi ada rasa takut yang terus mengganggu. Takut akan apa yang akan terjadi setelah aku menutup pintu ini. Takut akan hidup yang tidak pasti. Takut akan kehilangan yang tak akan pernah bisa aku hindari.
“Apa yang harus aku lakukan, Rendra?” tanyaku pada malam yang sudah semakin larut. “Kenapa kamu tinggalkan aku tanpa kata-kata? Apa yang seharusnya aku pahami dari semua ini?”
Aku menyentuh pintu dengan pelan, merasakan ketegangan yang ada. Tak ada jawaban. Tak ada apa pun di dunia ini yang bisa menjelaskan. Aku merasa begitu kecil, terhimpit oleh semua rasa sakit dan kebingunganku. Rendra tidak pernah memberiku jawaban, dan aku tidak tahu apakah aku akan pernah menemukannya.
Lama-kelamaan, aku sadar bahwa hujan ini mungkin akan terus turun, dan aku akan terus ada dalam kenangan itu, meskipun aku berusaha untuk menghindar. Aku akan terus hidup, berjalan, dan menghadapi kenyataan—meskipun rasanya sangat sulit untuk menerima semuanya. Kenangan akan tetap tinggal di sini, di tempat ini, dan di hati ini.
Aku menatap langit yang semakin gelap, merasa ketenangan yang sama sekali tak bisa kurasakan. Mungkin aku akan selalu mengenangnya—Rendra, hujan, dan malam-malam yang penuh dengan kebingungannya. Mungkin aku akan selalu merindukan sesuatu yang tidak bisa kubawa lagi. Aku tahu, aku akan terus melangkah, meski jalan ini terasa sangat sunyi, sangat berat.
Akhirnya, aku menutup pintu itu perlahan, membiarkan hujan terus mengalir di luar. Rumah ini, yang dulu penuh dengan cerita, kini hanya meninggalkan jejak-jejak kenangan yang tak bisa lagi kuubah. Dan meskipun ada banyak hal yang tak terucapkan, aku mulai tahu satu hal yang pasti—beberapa kenangan memang lebih baik disimpan di dalam hati, meskipun itu menyakitkan.
Langkahku semakin berat, namun aku tahu—aku harus melangkah, karena hidup tidak akan menunggu.
Jadi, begitulah. Kadang kita harus belajar menerima kenyataan yang nggak kita harapkan, meskipun itu sakit. Hujan mungkin nggak bisa berhenti, tapi hidup harus tetap berjalan.
Kenangan itu tetap ada, entah kita mau mengingatnya atau enggak, dan mungkin, itu yang bakal jadi bagian dari kita yang nggak bisa hilang. Jadi, kita cuma bisa terus melangkah, meskipun jalan di depan masih gelap dan penuh tanda tanya.