Daftar Isi
Baca cerpen ini, ya, kalau kamu lagi merasa hujan dalam hidupmu—yang rasanya nggak pernah berhenti. Cerita ini tentang kenangan yang nggak bisa hilang, tentang seseorang yang kita coba lupakan, tapi selalu datang kembali, kayak hujan yang terus turun tanpa kita minta.
Kadang kita terlambat menyadari betapa berharganya sesuatu sampai itu hilang, dan kamu cuma bisa menatap hujan sambil teringat segalanya. Kalau kamu pernah ngerasain sakitnya kehilangan, cerpen ini pasti bakal nyentuh banget.
Cerpen Hujan dan Jejak Kenangan
Melodi di Bawah Hujan
Hujan pertama kali turun dengan derasnya di malam itu. Aku masih ingat jelas suara gemuruh yang memecah keheningan kota, seolah ikut merayakan suasana hati yang berat. Langit gelap, tidak ada bulan, hanya kilatan petir sesekali yang menyinari jalanan kota kecil ini. Aku berjalan cepat, menunduk, menghindari cipratan air yang mengguyur. Payung biru tua di tanganku tampak tak cukup besar untuk menahan derasnya hujan. Namun, aku tidak peduli. Aku hanya ingin sampai ke sana, ke tempat yang dulu selalu terasa seperti rumah—Delah’s Cafe.
Malam itu, kafe itu masih sepi, sepi seperti yang aku harapkan. Pintu kayu tua terbuka dengan suara berderit, dan bell kecil yang tergantung di atas pintu berbunyi nyaring. Aku melangkah masuk, aroma kopi yang samar langsung menyeruak ke hidungku. Kafe ini tidak pernah berubah. Kursi-kursi kayu dengan pelapis vinil merah, lampu-lampu kecil yang menggantung rendah, dan dinding dengan wallpaper berwarna cokelat tua. Begitu banyak kenangan yang tersimpan di sini.
Tapi satu hal yang hilang—Eleanor.
Dia dulu suka duduk di meja dekat jendela, tempat yang tepat untuk menonton hujan. Itu adalah tempat favorit kami. Saat kami duduk di sana, waktu seolah berhenti. Aku bisa melihat matanya yang berkilau saat dia bercerita tentang segala hal, dan aku hanya mendengarkan, membiarkannya berbicara tentang apa saja—tentang buku yang baru ia baca, tentang impian-impian besar yang dia punya.
Aku meraih kursi yang biasa aku duduki, tepat di sebelah kursi tempat Eleanor biasa duduk. Rasanya aneh, seolah ada bagian diriku yang hilang. Aku duduk, menunduk sejenak, menunggu Bu Delah, pemilik kafe, datang menyapaku.
Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan aku bisa mendengar suara familiar itu.
“Kieran?”
Aku menoleh dan melihat Bu Delah, wanita tua yang selalu mengurus kafe ini dengan penuh cinta. Wajahnya berkeriput, tapi matanya masih cerah. “Kau kembali lagi ke sini, nak?”
Aku hanya mengangguk, sedikit tersenyum, meski hatiku terasa berat. “Iya, Bu Delah. Aku cuma ingin duduk di sini sebentar.”
Dia mengangguk pelan, mungkin mengerti tanpa aku perlu menjelaskan lebih jauh. “Silakan. Aku buatkan kopi untukmu.”
Aku mengangguk kembali, lalu menatap kembali ke luar jendela, memandangi hujan yang turun semakin deras. Keheningan di dalam kafe terasa memekakkan telinga. Hanya ada bunyi detak jam di dinding, dan suara hujan yang terus menghujam kaca jendela.
Lima tahun yang lalu, malam yang sama, aku dan Eleanor duduk di tempat yang sama. Hujan mengguyur deras, dan suara piano yang dimainkan Eleanor memenuhi setiap sudut kafe. Saat itu, kami hanya berdua, duduk berseberangan. Dia dengan senyum lebar di wajahnya, dan aku dengan mata yang mulai lelah, merasa nyaman dalam keheningan yang hanya terputus oleh musik piano itu.
“Kieran,” Eleanor memanggilku dengan suara lembut, suara yang selalu menenangkan meskipun kadang aku tidak tahu apa yang ingin dia katakan. “Kau tahu apa yang istimewa dari hujan?”
Aku yang sedang menikmati secangkir kopi mengangkat wajah dan menatapnya. Mata cokelatnya itu selalu bisa membuatku terhanyut, terjebak dalam pesonanya.
“Apa?” aku bertanya, meski aku rasa dia sudah sering mengajukan pertanyaan yang sama.
“Hujan menyembunyikan air mata,” jawabnya sambil tersenyum, namun ada kesan tersembunyi di balik senyum itu. Aku ingat betul saat itu. Meski kami tertawa, ada sesuatu di matanya yang membuat aku berpikir dia sedang menyembunyikan sesuatu.
Aku hanya mengangguk pelan, tidak tahu harus berkata apa. “Kalau begitu, kita biarkan hujan yang menyembunyikan semuanya malam ini, ya?”
Eleanor tidak menjawab. Dia hanya tertawa kecil dan kembali memainkan pianonya. Lagu yang dia mainkan malam itu sangat indah. Melodinya lembut dan mengalun seperti hujan yang turun di luar.
Aku kembali ke masa kini, ke kafe ini, di bawah hujan yang sama. Kenangan itu tak bisa lepas dari pikiranku. Sakit itu masih terasa. Apa yang terjadi malam itu? Mengapa dia pergi tanpa kata perpisahan? Mengapa aku tidak bertanya lebih banyak, memperhatikannya dengan lebih seksama?
Hujan yang jatuh kali ini terasa lebih berat. Mungkin karena aku tahu, jawabannya takkan pernah aku temukan.
“Apa yang terjadi, Kieran?” Bu Delah tiba-tiba bertanya, suaranya lembut dan penuh empati.
Aku menatapnya sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku… Aku tidak tahu, Bu. Dia pergi begitu saja, tanpa pesan. Aku… tidak sempat bertanya.”
Bu Delah menghela napas panjang. “Aku ingat malam itu. Dia berdiri di luar, di bawah hujan. Cukup lama. Aku pikir dia ingin kau mengejarnya.”
Aku memejamkan mata. Kenangan itu datang begitu kuat, begitu nyata, seperti aku baru saja melewatkannya. Saat itu, aku hanya duduk di sini, menikmati secangkir kopi, tak tahu apa yang dia rasakan. Mungkin kalau aku tahu, aku bisa menghentikannya. Tapi aku terlambat. Selalu terlambat.
Aku menghela napas, menatap cangkir kopi di depanku yang mulai dingin. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Apa kau pikir dia akan kembali?” Bu Delah bertanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut, seperti memahami keraguan dalam diriku.
Aku tidak menjawab. Aku hanya duduk diam, menunggu hujan yang tak kunjung reda. Karena aku tahu, tidak ada yang bisa menghentikan hujan ini. Tidak ada yang bisa menghentikan kenangan yang terus menghujam seperti tetesan hujan yang tak pernah berhenti.
Air Mata di Balik Senyuman
Kafe mulai semakin ramai, meskipun hujan masih deras, orang-orang datang dengan alasan yang sama—untuk berlindung dari hujan. Tapi aku tetap duduk di sana, sendirian, dengan secangkir kopi yang sudah dingin. Bu Delah masih sibuk dengan pengunjung lainnya, dan aku hanya bisa tenggelam dalam pikiranku, dalam kenangan yang terus menghantui.
Pikiranku kembali melayang pada malam itu, malam terakhir aku melihat Eleanor. Kejadian itu seperti mimpi buruk yang terus terulang, meskipun aku sudah berusaha keras untuk melupakannya. Waktu itu hujan juga turun dengan sangat deras, dan kami berdua sedang duduk di meja dekat jendela, tempat yang biasa kami duduki. Eleanor terlihat begitu ceria, seolah-olah tidak ada yang salah. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyumannya yang manis itu.
“Kieran, kamu tahu nggak, kadang aku merasa seperti hujan,” kata Eleanor, tiba-tiba memecah keheningan malam itu.
Aku menatapnya dengan tatapan kosong, merasa sedikit bingung. “Hujan?” aku bertanya, berusaha mengerti.
Dia tersenyum tipis, matanya yang berbinar-binar itu terhalang oleh rambutnya yang tergerai di depan wajah. “Ya, hujan. Terkadang, aku merasa seperti aku jatuh begitu saja, tanpa bisa berhenti. Aku jatuh dan nggak tahu kapan aku akan berhenti. Kamu tahu kan, betapa derasnya hujan, betapa tak terhentikannya?”
Aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Aku hanya bisa mengangguk pelan, merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri untuk benar-benar memahaminya.
Itulah aku—terlalu sibuk dengan diriku sendiri untuk melihatnya. Dan ketika aku menyadari bahwa dia sedang terluka, itu sudah terlambat.
Hari-hari setelah malam itu terasa kosong. Aku kembali ke rutinitasku, bekerja seperti biasa, namun ada sesuatu yang hilang. Aku merasa seperti ada kekosongan besar di dalam diriku, sesuatu yang tak bisa diisi oleh apapun. Aku mencoba menghubungi Eleanor, mengirim pesan, menelepon, tapi tak ada balasan. Ponselku kosong, dan begitu juga hatiku.
Satu minggu berlalu, lalu dua minggu, dan aku mulai merasa cemas. Ada rasa khawatir yang tidak bisa aku hilangkan. Aku tahu ada sesuatu yang salah, tapi aku tidak tahu apa. Dia tidak memberiku kesempatan untuk bertanya.
Suatu sore, aku kembali ke Delah’s Cafe untuk mencari sedikit kenyamanan. Hujan masih turun, namun kali ini aku tidak merasa bahwa itu bisa menyembunyikan apa pun. Di meja dekat jendela, aku melihat sebuah catatan kecil yang tergeletak di atas meja yang dulu kami duduki bersama.
Aku mengambilnya, jari-jari tangan terasa kaku. Catatan itu hanya berisi beberapa kata singkat yang tergores dengan tinta biru.
“Maaf, Kieran. Aku harus pergi. Aku tak bisa teruskan ini. Ini bukan salahmu. Hujan selalu menemani kita, tapi kali ini, aku yang harus meninggalkanmu. Selalu ada kenangan tentang kita. Tapi aku takut, aku tak bisa bertahan lagi.”
Bacaanku terhenti di situ, dan napasku tercekat. Kenapa? Mengapa dia pergi begitu saja? Kenapa dia tidak memberiku kesempatan untuk berbicara? Kenapa dia tidak memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?
Catatan itu jatuh dari tanganku, dan aku merasa dunia seperti runtuh. Mungkin itulah yang terjadi, aku terlalu terlambat untuk memahami bahwa dia sudah berada di ujung ambang, siap untuk melepaskan semuanya. Aku hanya duduk diam di sana, dengan air mata yang mulai menggenang di sudut mataku. Tapi aku tidak bisa menangis. Aku merasa seperti terjebak dalam kesedihan yang tidak bisa aku keluarkan.
Hari berikutnya, aku mencoba mengunjungi rumah Eleanor, berharap mungkin aku bisa menemukan jawabannya di sana. Aku tahu dia tinggal di apartemen kecil di dekat pusat kota, tempat yang dulu sering kami datangi untuk menghabiskan waktu bersama.
Aku berdiri di depan pintu apartemennya, menatap angka yang tertera di pintu, dan merasa jantungku berdegup lebih cepat. Aku tahu ini bukan sesuatu yang mudah. Aku sudah lama tidak datang ke sini, dan rasanya semakin sulit untuk menghadapinya.
Aku menekan bel, menunggu, tapi tak ada jawaban. Aku menekan bel lagi. Hening.
Akhirnya, setelah beberapa saat, aku memutuskan untuk menunggu di luar, di bawah hujan. Rasanya tidak ada tempat lain yang lebih tepat untuk merasakan kehadiran Eleanor selain di sini, di tempat yang penuh kenangan itu. Tapi meski hujan terus mengguyur, aku tahu jawaban itu tidak akan datang.
Saat aku mulai berbalik dan berjalan pergi, terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku menoleh, dan tampak seorang pria berdiri di depan pintu apartemen Eleanor, memandangiku dengan tatapan dingin.
“Siapa kamu?” Pria itu bertanya dengan suara tegas, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dari caranya menatapku.
Aku tersentak. “Aku… aku mencari Eleanor,” jawabku, merasa bingung dan terkejut.
Pria itu menatapku lebih lama, lalu menjawab dengan nada yang lebih keras, “Eleanor tidak tinggal di sini lagi. Kamu terlambat.”
Aku merasa tubuhku terhuyung, seolah dunia ini berputar di sekitarku. “Apa maksudmu?”
Pria itu menghela napas panjang. “Dia sudah pergi, Kieran. Dia meninggalkan semuanya. Tak ada yang bisa kamu lakukan.”
Kata-kata itu seperti hantaman yang sangat keras, mengingatkanku pada kenyataan yang selama ini aku hindari. Aku menatapnya, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan, tapi wajah pria itu begitu serius, dan ada kekosongan yang bahkan lebih besar dari yang aku rasakan.
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku hanya bisa berdiri di sana, di tengah hujan yang terus mengguyur, merasa semakin terperangkap dalam kesedihan yang aku ciptakan sendiri.
Kenangan yang Menyesakkan
Hujan masih tak berhenti, dan aku berdiri di sana, basah kuyup, dengan perasaan yang lebih kacau daripada sebelumnya. Kata-kata pria itu terus terngiang di telingaku, berputar-putar di dalam kepala tanpa bisa aku hentikan. “Eleanor sudah pergi, Kieran. Tak ada yang bisa kamu lakukan.”
Aku tahu, aku harus menerima kenyataan ini. Tapi hati kecilku masih enggan melepaskan harapan yang sangat tipis, berharap mungkin ada penjelasan yang bisa memberiku alasan, atau setidaknya memberi sedikit ketenangan. Tapi di depan apartemennya yang kosong ini, di bawah hujan yang semakin deras, aku merasa seperti tak ada lagi ruang bagi aku untuk bernafas.
Aku menoleh, hendak meninggalkan tempat itu, namun tiba-tiba aku merasakan sebuah sentuhan di bahuku. Aku terkejut, langsung menoleh, dan melihat seorang wanita berdiri di belakangku. Rambutnya basah kuyup, dan wajahnya sedikit terlindung oleh rambut yang menutupi matanya.
“Eleanor?” suaraku tercekat.
Wanita itu menatapku dengan tatapan kosong, tanpa senyum. “Kieran…” suara itu terdengar begitu lemah, seperti seretan angin yang hampir tak terdengar.
Aku terpaku. Ini bukan dia. Tapi wajahnya, suara itu, begitu familiar. Aku merasakan jantungku berdebar kencang, seolah tubuhku sedang dikhianati oleh perasaan yang tak dapat dijelaskan.
“Siapa kamu?” Aku berusaha menenangkan diri, berusaha mengatasi perasaan bingung yang begitu kuat.
Wanita itu hanya berdiri, tidak menjawab. Ia mengangkat tangannya yang gemetar dan menunjuk ke arah jendela apartemen Eleanor. “Eleanor tidak akan kembali, Kieran.”
Jantungku seperti dihimpit, dan tubuhku terasa begitu berat. “Kamu… kenapa kamu bilang begitu?”
Wanita itu hanya menghela napas, seakan ada begitu banyak hal yang ingin dia ungkapkan, tapi tak tahu harus mulai dari mana. “Aku adalah teman lamanya, teman yang sudah lama tak bertemu. Aku tahu dia pergi tanpa memberi penjelasan kepada siapa pun, terutama kamu.”
Aku mencoba mengingatnya, wajahnya tidak asing, meski aku tak bisa mengingat dengan pasti. “Teman lama? Dari mana kamu tahu tentang Eleanor?”
Wanita itu menggelengkan kepala pelan, kemudian melangkah sedikit mendekat. “Eleanor selalu menutupi banyak hal, Kieran. Dia memang tampak kuat di luar, tapi di dalam…” Dia terdiam sebentar, menahan isak tangis yang mulai keluar. “Eleanor… dia sakit. Sakit yang bahkan aku pun tak bisa bantu. Dan kamu, kamu yang terlalu sibuk dengan dirimu sendiri, kamu tak pernah melihat apa yang sebenarnya terjadi padanya.”
Kata-katanya melukai, lebih tajam dari hujan yang terus mengguyur tubuhku. Aku ingin marah, tapi aku juga merasa begitu malu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, dengan masalahku sendiri, hingga tak pernah sadar betapa Eleanor sedang berjuang sendirian.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” suara aku terdengar tercekat, mencoba menahan tangis yang sudah semakin sulit dibendung.
Wanita itu memandangku dengan tatapan penuh belas kasihan, lalu menggenggam tanganku. “Dia tak pernah ingin kamu tahu, Kieran. Dia merasa takut, merasa seperti dia membebanmu dengan semua masalahnya. Tapi yang lebih menyakitkan adalah, dia mencintaimu. Sangat mencintaimu.”
Satu kalimat itu, satu kalimat yang menyayat hatiku. Aku tercengang, hampir tak bisa mempercayainya. “Apa… kamu bilang dia mencintaiku?”
Wanita itu mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Dia tak pernah bisa mengungkapkannya, karena dia takut. Dia takut kalau kamu akan meninggalkannya begitu dia menunjukkan sisi rapuhnya. Jadi dia memilih untuk pergi, tanpa memberi tahu siapa pun. Bahkan kamu, yang selalu ada untuknya.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kenapa aku tidak pernah menyadari hal itu? Kenapa aku selalu mengabaikan perasaan Eleanor? Kenapa aku tidak pernah mendengarkan apa yang tak dia ucapkan?
“Jadi, dia benar-benar pergi?” tanyaku, suara bergetar, hampir tak terdengar.
Wanita itu menundukkan kepala, menyeka air matanya yang jatuh, lalu berkata pelan, “Iya. Dia pergi jauh dari semua orang, untuk mencari kedamaian yang dia butuhkan. Dia ingin melupakan semuanya, termasuk kamu, Kieran.”
Seperti ada sesuatu yang pecah di dalam dadaku. Rasanya seperti dunia ini berputar dengan kecepatan yang tidak wajar, dan aku terjatuh, terseret jauh ke dalam kesedihan yang begitu dalam. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak tahu bagaimana harus mencari jalan untuk keluar dari rasa sakit ini.
Aku hanya bisa menatap langit yang semakin gelap, mendengar hujan yang terus mengguyur, dan merasakan kesepian yang semakin menyesakkan dada.
Beberapa hari setelah pertemuanku dengan wanita itu, aku merasa seperti hidup dalam bayangan. Setiap hari aku kembali ke Delah’s Cafe, berusaha menghabiskan waktu, namun rasanya seperti ada kekosongan yang mengikutiku ke mana pun aku pergi.
Suatu sore, aku duduk sendirian di meja yang biasa aku dan Eleanor duduki. Segelas kopi di depanku sudah dingin, dan aku hanya bisa menatap jendela yang basah oleh hujan. Kenangan tentang Eleanor datang begitu mendalam, dan seolah-olah aku bisa mendengar suaranya di antara riuh hujan yang terus turun.
Tapi kali ini, aku tidak lagi merasa marah, atau bingung. Aku merasa lelah, lelah dengan diriku sendiri, lelah dengan kenyataan yang harus aku terima. Aku hanya ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Eleanor, dan mengapa semuanya harus berakhir seperti ini.
Aku menghela napas panjang, menatap ke luar jendela, dan berharap suatu hari nanti aku bisa menemukan kedamaian. Bahkan jika itu berarti harus berpisah selamanya dengan kenangan tentangnya.
Akhir dari Segalanya
Hujan akhirnya mereda, menyisakan kabut tipis yang menutupi jalan-jalan kota. Tapi bagiku, segala yang terasa begitu gelap ini belum juga hilang. Aku masih terjebak dalam kenangan-kenangan yang datang seperti gelombang, menerjang aku setiap kali aku berpaling.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berdiri di tempat ini. Waktu seolah berhenti sejak hari itu. Sejak aku tahu kebenarannya. Sejak aku dipaksa untuk menerima kenyataan pahit ini. Eleanor—wanita yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku—sudah pergi. Dan aku, dengan segala egoku yang terlalu besar, baru menyadari apa yang telah hilang.
Hari itu, aku kembali ke tempat yang dulu sering kami kunjungi. Masih ada jejak-jejak kenangan di sini. Meja kecil di pojok yang selalu kami pilih, kursi yang selalu aku duduki di sebelahnya. Semuanya terasa sama, tapi entah mengapa, kali ini aku merasa begitu jauh dari semuanya.
Suara langkah kakiku bergema di sepanjang lorong cafe yang hampir kosong. Tangan kiriku menggenggam erat secangkir kopi yang sudah lama tak kupegang. Seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatku merasa sedikit hidup lagi. Tapi aku tahu, itu tidak akan pernah cukup. Tak ada lagi yang bisa menggantikan Eleanor. Tak ada lagi yang bisa menggantikan kenangan-kenangan yang telah kami ciptakan bersama.
Aku menunduk, memandangi cincin pernikahan yang terjatuh dari jari manisku. Ternyata, selama ini aku tidak pernah menyadari betapa dalamnya ikatan itu. Betapa aku telah membiarkan segalanya terlambat untuk aku pahami.
Kutatap cincin itu dengan hati yang penuh sesal. Kenangan itu datang kembali, datang begitu jelas, seolah aku baru saja mengalaminya. Eleanor, dengan senyum manisnya, dengan segala caranya yang begitu lembut tapi penuh kekuatan. Semuanya terasa begitu nyata, dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk menerima kenyataan bahwa dia tidak akan pernah ada lagi.
“Eleanor…” bisikku pelan, seakan berharap namanya akan memanggilnya kembali. Tapi hanya sepi yang menyambutku.
Aku ingin berlari mengejar masa lalu, ingin memutar waktu dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah aku buat. Namun, aku tahu itu mustahil. Waktu sudah berjalan terlalu jauh, dan aku sudah terlambat untuk meminta maaf.
Akhirnya, aku berdiri dan meninggalkan cafe itu. Suara derap langkah kakiku semakin jauh, dan aku merasa semakin terasing dengan setiap langkah yang kutempuh. Aku tahu, aku tak bisa terus terjebak dalam masa lalu. Tapi kenangan tentang Eleanor, tentang kami, akan selalu ada di sini—di dalam hatiku, meski aku tak bisa lagi memilikinya.
Langit mulai terang, mengingatkanku pada hari-hari yang dulu kami habiskan bersama, saat langit yang cerah menyaksikan tawa kami. Kini, hanya ada hujan yang terus mengguyur, menyisakan jejak kenangan yang tak akan pernah bisa hilang.
Aku berhenti di depan jalan yang dulu kami lewati bersama. Di sana, aku teringat saat kami berdua berlari menuju mobil dalam hujan deras, tertawa bersama tanpa peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Kini, hujan itu hanya meninggalkan kesepian, dan jejak-jejak kenangan yang tak pernah bisa dihapus.
Aku meraih dompet dari kantong jaketku, dan di sana, aku menemukan foto lama kami berdua. Itu adalah satu-satunya hal yang masih mengingatkanku pada dirinya, pada kami.
Lalu aku membalik foto itu, dan di baliknya, ada sebuah kalimat yang membuat hati ini semakin sesak. “Aku akan selalu mencintaimu, Kieran. Hujan akan selalu mengingatkan kita.”
Air mataku turun tanpa bisa aku tahan. Aku menatap foto itu sekali lagi, mencoba mengingat setiap senyuman Eleanor, setiap detik kebersamaan yang pernah kami lewati. Tapi kini, semuanya telah berlalu. Tak ada lagi yang bisa mengembalikannya.
Aku menarik napas panjang, menatap langit yang sekarang hanya berwarna kelabu. Hujan mungkin telah berhenti, tetapi kenangan itu akan terus mengalir dalam diriku. Aku tak bisa melepaskan masa lalu, karena itu adalah bagian dari siapa aku sekarang.
Mungkin aku harus belajar untuk merelakan, untuk menerima kenyataan yang tak bisa kuubah. Namun, di dalam hati ini, akan selalu ada ruang untuk Eleanor. Seperti hujan yang selalu kembali setiap tahun, kenangan tentangnya akan terus mengalir, tak terhentikan, hingga aku pun akhirnya bisa menemukan kedamaian dalam kenangan yang telah tercipta.
Jadi, mungkin kadang kita harus merasakan sakit untuk belajar melepaskan, dan hujan menjadi cara alam mengingatkan kita bahwa segala kenangan—baik atau buruk—selalu punya tempat di hati.
Meskipun semuanya terasa hilang, jejak-jejak yang ditinggalkan tetap akan ada, seperti hujan yang selalu kembali. Jadi, biarkan kenangan itu tetap ada, tapi jangan biarkan itu mengikatmu. Karena pada akhirnya, kita harus bisa berjalan meskipun langit tak selalu cerah.