Cerpen Horor Terseram: Kegelapan yang Menghantui

Posted on

Bayangin deh, kamu lagi duduk santai, ngebaca cerita horor yang bakal bikin kamu merinding sampai ke tulang. Cerita ini bukan sekadar tentang hantu, tapi tentang kegelapan yang lebih dalam dari yang kamu bayangin.

Kegelapan yang bukan cuma ngeliputin kamu, tapi ngerasain gimana rasanya terjebak di dalamnya. Kamu bakal dibawa ke tempat yang kamu nggak tau, ditemani rasa takut yang nggak bakal hilang. Jadi siap-siap aja, kamu bakal ketemu dengan sesuatu yang lebih menyeramkan daripada yang kamu pernah lihat sebelumnya.

 

Cerpen Horor Terseram

Pintu Menuju Ketakutan

Suara hujan mengguyur keras di luar jendela apartemen yang baru saja aku tempati. Langit malam begitu gelap, hanya kilatan-kilatan petir yang terkadang mencuri perhatian, memberikan penerangan sekilas di antara kegelapan. Aku berdiri di depan pintu apartemen dengan sedikit rasa ragu, menatap angka 707 yang terukir di sana. Kunci di tangan terasa berat, seolah membawa beban yang tak terlihat. Tapi aku sudah memutuskan, aku harus tinggal di sini. Tempat ini, gedung tua yang menyimpan cerita-cerita tentang lantai tujuh, adalah pilihan terbaik untuk memulai kembali.

Dengan langkah pasti, aku membuka pintu dan melangkah masuk. Begitu pintu terbuka, bau lembap dan udara dingin menyambutku. Ruangan itu lebih gelap dari yang aku bayangkan. Hanya ada sedikit cahaya dari lampu lorong yang menerobos celah pintu. Mungkin karena sudah lama tidak ada yang menempati, lantai kayu yang berderit di bawah kakiku seakan mengingatkan pada usia gedung ini. Suasana yang sama sekali tidak menyenangkan, namun aku menahannya, berusaha menelan rasa takut yang tiba-tiba muncul begitu saja.

Aku mematikan handphone dan meletakkannya di meja kecil di dekat pintu. Mataku menyusuri ruangan yang luas itu. Ada ruang tamu kecil di sebelah kiri, dengan kursi-kursi yang terbuat dari kayu tua. Di dinding, ada cermin besar yang memantulkan cahaya redup dari luar. Pada bagian kanan, sebuah pintu terbuka menuju kamar tidur yang lebih luas, dengan jendela besar menghadap ke arah gedung bertingkat di seberang sana.

Namun, ada satu hal yang langsung menarik perhatian. Kursi goyang. Terletak di sudut ruang tamu, di dekat jendela. Kursi itu terlihat tua, dengan kain pelapis yang sudah mengelupas. Tapi yang membuatku merasa tidak nyaman adalah posisi kursinya yang sedikit miring, seolah-olah baru saja digunakan. Tidak ada siapa-siapa di sana, tentu saja. Tapi… kenapa kursi itu bisa miring begitu?

Aku menggelengkan kepala, berusaha menenangkan diri. “Mungkin cuma angin,” kataku pelan pada diri sendiri, berharap suara itu cukup meyakinkan.

Tapi saat aku melangkah lebih dekat, kursi itu bergoyang perlahan. Aku berhenti, mataku tertuju pada kursi itu, sementara detak jantungku mulai terasa lebih cepat. Tidak ada angin di dalam ruangan. Kursi itu bergerak sendiri, seolah-olah ada yang duduk di sana.

“Apa-apaan ini?” aku bergumam. Suara gemerisik itu semakin jelas, seiring kursi yang semakin bergoyang.

Aku merasa tubuhku kaku. Rasanya sulit untuk bernapas. Aku ingin berbalik dan keluar, tapi ada sesuatu yang menahan. Entah apa, mungkin hanya rasa penasaranku yang lebih besar daripada rasa takut yang mulai merayapi tubuhku.

Aku mendekat, dan sebelum aku sempat meraih kursi itu, suara ketukan terdengar di pintu depan. Tiga ketukan pelan namun cukup jelas untuk mengganggu ketenanganku.

“Tok… tok… tok…”

Aku terkejut, dan langsung berbalik. Tidak ada orang di depan pintu. Hanya lorong gelap yang membentang di luar sana, dengan lampu yang berkedip-kedip. Jantungku berdebar, dan aku mencoba menenangkan diri. Mungkin hanya penghuni lain yang mengetuk secara tidak sengaja.

Namun, ketukan itu datang lagi. Kali ini lebih keras. Suaranya bergaung di dalam apartemen kosong ini.

“Tok… tok… tok…”

Aku ragu. Rasa takut mulai menggerogoti pikiranku, membuatku meragukan segalanya. Siapa yang bisa datang ke apartemen ini di malam yang begitu gelap dan hujan seperti ini? Aku berjalan perlahan menuju pintu, tanganku gemetar saat menyentuh gagangnya. Sebelum membuka pintu, aku mencoba melihat lewat lubang intip.

Tidak ada apa-apa.

Hanya lorong kosong yang menyatu dengan kegelapan. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ini pasti hanya perasaan saja. Mungkin angin, atau suara-suara dari gedung seberang. Aku membanting pintu dengan keras dan mengunci rapat. Tapi, begitu aku berbalik, aku melihatnya.

Sosok itu.

Di cermin besar di ruang tamu, aku bisa melihat bayangan yang bergerak perlahan. Sosok tinggi, dengan tubuh yang samar, berdiri di sana. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya bayangan gelap yang menutupi seluruh detail. Mataku membelalak, dan aku merasa tubuhku kaku, seakan-akan beku di tempat.

Sosok itu tidak bergerak. Ia hanya berdiri, menatapku dari balik cermin.

Aku mundur beberapa langkah, hampir terjatuh. “Tidak… ini hanya halusinasi,” aku bergumam, berusaha meyakinkan diri.

Namun, begitu aku menoleh untuk pergi, bayangan itu bergerak. Dengan cepat. Langsung mendekat ke arahku.

Aku membeku.

Mataku terbuka lebar. Ini bukan halusinasi. Ini nyata.

Sosok itu, yang entah siapa, mulai mendekat, bergerak dari dalam cermin seolah-olah cermin itu bukan penghalang sama sekali. Dalam sekejap, aku merasa tubuhku terjebak dalam ketakutan yang tidak bisa aku jelaskan. Semua suara di sekitar seakan mati. Hanya ada suara detakan jantungku yang menggelegar, dan suara halus dari sosok itu yang semakin mendekat.

“Jangan takut…” suara itu berbisik, begitu lembut dan menenangkan, namun membuatku merasa sangat terancam. “Aku hanya ingin kamu tahu… kamu takkan pernah keluar dari sini.”

Aku ingin berlari. Ingin menghindar dari sosok itu. Tapi tubuhku terasa sangat berat. Rasanya seolah-olah aku tidak bisa bergerak, tidak bisa berbuat apa-apa. Sosok itu semakin mendekat, hingga aku merasa udara di sekelilingku semakin dingin, lebih dingin dari malam itu.

Dan tiba-tiba, kursi goyang itu berhenti bergoyang. Seperti menunggu sesuatu.

Aku menatap kursi itu. Dan sosok di cermin.

Tiba-tiba, ketukan itu datang lagi.

“Tok… tok… tok…”

 

Cermin di Tengah Kegelapan

Kunci apartemen di tanganku terasa semakin berat. Aku menundukkan kepala, berusaha menenangkan diriku, tapi tak ada yang bisa menghilangkan rasa takut yang merayap. Ketukan itu kembali menghantui telingaku, seakan mengusir sisa-sisa keberanian yang aku coba kumpulkan.

“Tok… tok… tok…”

Suara itu datang lebih cepat. Aku memutar tubuhku, namun kali ini bukan hanya suara ketukan. Ada sesuatu yang menggetarkan udara. Suara gemerisik yang semakin dekat. Sesuatu, atau seseorang, yang semakin menekan atmosfer di sekitarku. Aku merasakan hawa dingin yang menembus hingga ke tulang, dan untuk pertama kalinya aku merasa seolah-olah apartemen ini bukan tempat yang seharusnya kutinggali.

Dengan napas terengah, aku melangkah perlahan ke arah ruang tamu. Cermin besar itu, yang tadi hanya mencerminkan bayanganku, kini terlihat mengerikan. Ada sesuatu yang berbeda dengan pantulan di dalamnya. Seakan cermin itu bukan lagi cermin biasa. Pantulan bayanganku terlihat kabur, tidak jelas, dan aku bisa merasakan ketegangan yang semakin kuat.

Aku menatap cermin itu lebih lama, merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi dari dalam sana.

“Kenapa kamu di sini?” Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, lebih mendalam. Itu bukan suara yang berasal dari ruang tamu atau lorong depan, tetapi seolah berasal dari dalam cermin itu sendiri.

Aku mundur beberapa langkah, hampir terjatuh ke kursi goyang yang tetap diam di sudut ruangan. Aku ingin berteriak, namun suara itu membekukan lidahku. “Aku tidak bisa… tidak bisa keluar.” Kata-kata itu keluar dari bibirku dengan suara yang tercekat.

Ada sesuatu yang salah. Cermin itu bukan hanya memantulkan bayangan. Cermin itu, atau entitas yang ada di dalamnya, tahu siapa aku. Itu menatapku, seolah menginginkan sesuatu dariku, atau mungkin… hanya menunggu aku menyerah.

Aku merasa ada sesuatu yang bergerak di sudut mataku, sesuatu yang mengamati. Ketika aku menoleh, aku melihat bayangan lain, lebih gelap, lebih kabur daripada yang ada di cermin. Aku menoleh dengan cepat, mencoba melihat dengan jelas, tetapi tidak ada apa-apa di balik punggungku. Tak ada sosok yang muncul dari kegelapan. Hanya kesunyian yang menekan.

Namun, aku tahu. Sesuatu menunggu di sini.

Rasa takut itu tak kunjung hilang. Aku merasa seolah-olah apartemen ini memiliki matanya sendiri. “Tidak ada yang bisa keluar.” Kata-kata itu berbisik lagi, kali ini lebih dekat. Aku menoleh dengan panik, merasa suhu di sekitarku semakin dingin, semakin mencekam. Tak ada yang terlihat, namun aku tahu. Aku tahu bahwa sesuatu sedang mengintai.

Cermin itu, dengan bayangan yang semakin kabur, perlahan mulai memantulkan gambar yang berbeda. Bukan wajahku, bukan bayanganku yang berdiri di sana. Tapi sebuah gambar… sebuah sosok yang lebih gelap dari apapun yang pernah kulihat. Sosok itu bergerak, mendekat, dan seolah memanggilku. Aku tidak bisa bergerak. Tubuhku kaku, terperangkap dalam ketakutan yang begitu dalam.

“Jangan… jangan lihat aku!” teriak suara itu. Tetapi sudah terlambat. Aku sudah terperangkap dalam pandangannya.

Langkah kaki yang berat terdengar di lorong, diiringi dengan ketukan yang semakin keras. “Tok… tok… tok…” Kali ini, ketukan itu berasal dari dalam apartemen, bukan dari luar. Aku tidak bisa berpaling. Mataku terpaku pada cermin, pada sosok itu yang semakin mendekat. Aku ingin berteriak, tetapi mulutku terasa terkunci. Tidak ada suara yang keluar.

Ada sesuatu yang bergerak di belakangku, di luar cermin. Aku bisa merasakannya—sebuah pergerakan yang sangat nyata, seolah seseorang melangkah mendekat dari belakang, namun ketika aku menoleh, hanya ada ruang tamu kosong. Dan kursi goyang itu… bergerak lagi, sangat perlahan.

Aku ingin berlari, ingin melarikan diri dari tempat ini, tetapi kakinya terasa sangat berat, seolah tertanam dalam lantai. Rasanya sangat sulit untuk bergerak. Setiap gerakan terasa begitu lambat, penuh dengan ketakutan yang menghalangi pikiranku.

“Jangan takut… atau kamu akan menjadi bagian dari mereka.” Suara itu berbisik lebih keras, kali ini langsung ke telingaku. Aku merasakan kehadiran yang begitu nyata di belakangku, dan tanpa bisa kutahan, tubuhku berbalik secara tiba-tiba.

Namun, tidak ada siapa-siapa. Hanya aku dan kursi goyang yang bergoyang dengan tenang, seakan menunggu sesuatu. Aku melangkah mundur dengan terburu-buru, berjalan menjauh dari cermin. Aku harus keluar dari sini, tetapi rasanya setiap langkah yang kuambil terasa lebih berat daripada sebelumnya.

Aku melihat jendela besar di ujung ruangan. Hanya sedikit cahaya yang masuk, seolah langit malam telah sepenuhnya gelap. Aku ingin keluar, melangkah ke luar apartemen, tetapi saat aku mencapai pintu, tubuhku terasa kaku. Lengan kanan rasanya mati rasa. Tidak bisa bergerak. Aku menggenggam gagang pintu, berusaha sekuat tenaga untuk membukanya.

Tiba-tiba, cermin itu berkilau, dan bayangan sosok itu muncul lagi. Kali ini tidak ada kata-kata yang terdengar. Hanya bayangan yang bergerak lebih cepat, dan sebelum aku bisa menghindar, sosok itu sudah berdiri di depan pintu. “Kamu tak akan bisa pergi.”

Dengan napas tercekat, aku menatap bayangan itu, yang kini hampir nyata. Dan di balik matanya, aku bisa melihat… cermin, di mana aku akan terperangkap selamanya.

 

Menembus Kegelapan

Keringat dingin mengalir di dahiku, tubuhku gemetar. Tangan yang memegang gagang pintu terasa semakin lemas, namun aku tak bisa melepaskannya. Rasa takut yang semakin menyesakkan membuat dadaku sesak. Di depan pintu, sosok itu berdiri tanpa bergerak, seolah menunggu sesuatu—mungkin aku untuk menyerah, atau mungkin aku sudah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar, yang tak bisa aku hindari.

Aku memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri, mencoba mencari keberanian yang semakin terkikis. Tetapi saat aku membuka mata, sosok itu tidak lagi berada di depan pintu. Keheningan yang mencekam menggantikan segala sesuatu yang terasa nyata. Aku menghirup udara dengan cepat, napasku terengah-engah, dan tiba-tiba suara dari dalam apartemen itu terdengar semakin jelas.

“Kamu tak bisa lari. Tak ada tempat yang aman.”

Suara itu terdengar langsung di telingaku, bukan dari luar atau dari ruang tamu, tetapi dari dalam diriku sendiri. Aku ingin berteriak, tetapi mulutku hanya terbuka, tidak ada suara yang keluar. Jantungku berdetak cepat, semakin cepat, seolah ingin meledak dari dadaku.

Aku menatap pintu yang ada di hadapanku. Aku tidak tahu apa yang menungguku di luar sana, tetapi aku tahu, sesuatu di sini lebih menakutkan daripada apapun yang ada di luar. Aku merasa seperti ada yang mengamati dari dalam apartemen, dan cermin besar itu, yang terletak tepat di ujung lorong, mulai bersinar kembali, dengan cahaya yang semakin terang.

“Kamu… tidak akan keluar.” Suara itu berbisik lagi, kali ini begitu dekat, seperti menggema dalam kepala. Aku merasa seolah-olah aku sudah menjadi bagian dari tempat ini, bagian dari kekuatan yang lebih besar daripada diriku. “Ini adalah rumah kita sekarang.”

Aku menggigit bibirku, berusaha mengusir suara itu dari pikiranku, tetapi semakin lama, suara itu semakin keras. Ada perasaan aneh yang muncul, seperti sesuatu yang menggerogoti diriku dari dalam, seperti sebuah kekuatan yang mendorongku untuk tinggal, untuk tidak melawan. Tetapi aku tahu aku harus pergi. Aku harus keluar dari sini.

Tiba-tiba, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Aku tidak tahu siapa yang membukanya, atau bagaimana itu bisa terjadi, tetapi aku tidak sempat berpikir panjang. Aku melangkah maju dengan panik, dan tanpa sadar, aku mendapati diriku berdiri di ruang tamu, dengan mata tertuju pada cermin besar yang memantulkan bayanganku. Namun, kali ini ada yang berbeda.

Bayanganku—tidak bergerak.

Aku merasa tubuhku kaku, tidak bisa bergerak. Kaki-kakiku terasa seperti tertanam di lantai. Setiap gerakan terasa berat, seolah ada tangan tak terlihat yang menahanku. Aku ingin berteriak, tetapi lidahku terasa terbalut. Tidak ada suara yang keluar.

Aku mendekatkan diri ke cermin, meskipun aku tahu itu berbahaya. Aku ingin melihat lebih jelas, ingin mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Cermin itu tidak hanya memantulkan bayanganku. Kali ini, di dalam cermin, aku melihat sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang bergerak, sesuatu yang tidak bisa kulihat dengan jelas.

“Jangan lihat lebih lama.” Suara itu berbisik lagi, lebih dalam, lebih mengancam. “Kamu akan kehilangan dirimu.”

Aku mundur sejenak, merasakan tekanan berat yang menghalangi setiap gerakan. Tetapi seolah tak bisa menahan rasa ingin tahuku, aku tetap memandang cermin itu, meskipun semakin gelap, semakin tidak nyata. Sosok itu—yang tidak pernah benar-benar ada di dunia nyata—terlihat lebih jelas. Bayangannya, kabur namun nyata, tampak memandangku dengan tatapan yang begitu dalam, seperti ingin menarikku masuk ke dalam dunia lain. Dunia yang tak ada lagi jalan keluar.

Tiba-tiba, cermin itu bergetar, dan bayangan itu mulai meronta. Kekuatan yang begitu besar seolah keluar dari dalam cermin, menyentuh dinding-dinding apartemen, merobek udara, membuat setiap sudut terasa seperti berada dalam cengkeraman sesuatu yang tak terlihat.

Aku mundur dengan cepat, berusaha untuk melarikan diri, namun kegelapan itu seakan mengikutiku. Setiap langkah terasa lebih berat, dan di belakangku, suara gemerisik semakin terdengar jelas—langkah yang datang dari kegelapan yang lebih dalam. Sosok itu, yang entah apa namanya, mulai keluar dari cermin dengan lambat, dengan gerakan yang sangat halus namun sangat nyata. Tidak ada suara, hanya sebuah bayangan yang bergerak lebih dekat ke arahku.

Aku merasa jantungku hampir berhenti. “Aku tidak bisa… tidak bisa lari…” Desis suara itu terdengar jelas di belakangku.

Aku berbalik cepat, namun di depan mataku hanya ada kegelapan. Tak ada jalan, tak ada pelarian. Sosok itu semakin mendekat. Aku merasa tubuhku lemas, tetapi tak ada lagi waktu untuk ragu. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus menemukan cara untuk keluar.

Tetapi ketika aku menoleh ke cermin lagi, aku melihat sesuatu yang lebih buruk. Bayanganku yang sebelumnya masih jelas di cermin kini mulai mengabur. Bukan aku yang ada di sana. Bukan aku yang berada di depan cermin itu. Aku bisa melihat… bayangan yang lebih gelap, lebih besar, yang memegang tubuhku, menarikku ke dalam.

“Kamu sudah menjadi bagian dari kami.” Kata-kata itu terdengar sekali lagi. Dan kali ini, aku merasa kegelapan itu mulai merasuki setiap sudut pikiranku, mencengkram, dan aku tidak bisa melawan lagi.

Sosok itu semakin jelas, semakin nyata. Dan sebelum aku bisa berteriak, kegelapan itu menelan seluruh keberadaanku.

 

Keabadian dalam Kegelapan

Aku tidak bisa mengingat kapan persisnya aku berhenti merasakan dunia di sekitarku. Waktu rasanya terhenti, atau mungkin aku yang terhenti. Semua yang aku kenal, semua yang aku inginkan, hilang begitu saja, ditelan oleh kegelapan yang dalam. Namun, saat aku membuka mataku—entah bagaimana—aku merasa seperti tidak pernah benar-benar terjaga sebelumnya.

Dunia ini berbeda. Tak ada suara, tak ada cahaya. Hanya ruang kosong yang tak terhingga, yang tak dapat kutemukan ujungnya. Ada semacam keheningan yang lebih dari sekadar diam—keheningan yang mengelilingi dan mengikatku, tak memberi ruang untuk bernafas. Kegelapan ini bukanlah sesuatu yang biasa, dan aku merasa seperti… aku bukan lagi aku.

Aku berdiri di tempat yang tidak jelas, tubuhku tidak terasa seperti milikku. Seperti bayangan yang kosong, terombang-ambing dalam kekosongan. Ada suara—suara itu lagi, suara yang tidak berasal dari dunia ini. Suara yang menjalar dalam tubuhku, menyusup ke dalam jiwaku.

“Kamu akhirnya datang.” Suara itu, begitu akrab dan asing pada saat bersamaan, menggetarkan udara. Aku ingin melawan, berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar. Aku hanya bisa merasakan kehadiran itu, menjalar, menggulung tubuhku dengan kekuatan yang tak bisa kuhindari.

“Kamu sudah bagian dari kami.”

Kata-kata itu berulang, semakin menekan. Aku ingin meronta, ingin lari, tetapi setiap gerakan terasa sia-sia. Aku tidak bisa melawan. Tak ada tempat untuk pergi, tak ada tempat untuk sembunyi. Aku terjebak dalam dunia yang tidak aku pahami, dipenuhi dengan bayangan yang begitu gelap, begitu mencekam.

“Tidak ada yang bisa keluar dari sini,” kata suara itu, seolah tahu apa yang ada di pikiranku. “Kamu telah terpilih untuk tetap bersama kami.”

Tiba-tiba, sebuah gambaran muncul di benakku. Sebuah cermin. Cermin besar yang pernah kulihat di apartemen itu, di mana bayanganku hilang dan digantikan oleh sesuatu yang lebih gelap. Seperti cermin itu, aku merasa diriku berubah, bukan hanya di luar, tetapi juga di dalam—terhisap dalam sesuatu yang lebih gelap dan lebih besar daripada diriku sendiri.

Aku tidak tahu berapa lama aku terdiam, terjebak dalam kegelapan ini. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku, tetapi aku merasakan sesuatu yang aneh, sebuah kekosongan yang semakin mengisi setiap sudut pikiranku. Aku bukanlah diriku lagi, aku tidak bisa mengenali siapa aku sekarang.

Di depan aku, bayangan itu muncul lagi. Sosok itu. Sosok yang memegang cermin, yang mengendalikan semua ini. “Kamu tidak bisa lari,” katanya, suaranya kini lebih dalam, lebih menguasai. “Ini adalah rumahmu sekarang. Kamu sudah menjadi bagian dari kami.”

Aku merasa tubuhku mulai melunak, seperti ada kekuatan yang mengubahku dari dalam. Bayanganku semakin kabur, dan aku bisa merasakan kesadaran yang perlahan menghilang. Aku mencoba untuk berpikir, mencoba untuk mengingat siapa aku, mengingat bahwa aku dulu punya kehidupan, punya mimpi, punya harapan. Tetapi semua itu terasa begitu jauh, seolah-olah itu bukan milikku lagi.

Ada sesuatu yang menuntun pikiranku ke satu tempat, ke satu hal yang aku ingat dengan jelas. Seperti sebuah pintu. Sebuah pintu yang dulu pernah aku temui, yang harusnya menjadi jalan keluar, tetapi sekarang hanya terbuka ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Pintu itu, yang kini semakin kabur, tampaknya merupakan satu-satunya harapan terakhirku. Namun, aku sadar, harapan itu hanya ada dalam pikiranku yang semakin pudar.

Aku berusaha untuk mengingat, berusaha untuk berjuang, tetapi semakin lama semakin sulit. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu satu hal—aku tidak akan pernah meninggalkan tempat ini. Kegelapan ini akan menjadi rumahku, dan aku akan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Tak ada lagi cara untuk kembali.

Saat semuanya mulai memudar, aku menyadari sesuatu yang lebih mengerikan. Ini bukan hanya tentang aku. Ini tentang sesuatu yang lebih tua, lebih gelap, yang tak bisa dibendung. Dan aku, aku hanyalah bagian dari kisah yang tak akan pernah berakhir.

Kegelapan itu akhirnya menelan seluruh diriku. Segalanya hilang. Dan aku tahu, aku tidak akan pernah keluar.

 

Jadi, gimana? Masih bisa tidur setelah baca cerita ini? Atau malah ngerasa ada yang ngikutin? Kegelapan dalam cerita ini nggak cuma ada di halaman, tapi bisa nempel di pikiran kamu, bikin kamu mikir dua kali setiap kali malam datang.

Tapi, yang jelas, ini bukan akhir dari kisahnya. Karena kadang, kegelapan itu nggak pernah pergi, dia cuma nunggu waktu yang tepat untuk datang lagi. Sampai jumpa dicerita horor lainnya yang nggak kalah seram!!

Leave a Reply