Daftar Isi
Bayangin deh, kamu masuk ke sebuah rumah yang kelihatannya kosong, tapi entah kenapa ada sesuatu yang bikin bulu kuduk merinding. Rumah itu kayak punya rahasia gelap yang nggak mau terbuka, dan setiap sudutnya penuh dengan cerita menakutkan yang siap menghantui.
Ini bukan cuma soal hantu atau kejadian aneh, tapi tentang perasaan takut yang makin dalam seiring kamu mencoba untuk keluar. Satu-satunya yang pasti, rumah ini nggak akan membiarkanmu pergi dengan mudah. Kalau berani, ayo ikut ngerasain sendiri gimana rasanya jadi terjebak dalam kegelapan itu.
Cerpen Horor Rumah Kosong
Rumah yang Tak Pernah Diam
Keyara melangkah perlahan menuju gerbang tua yang hampir tak terlihat di antara belukar liar. Angin sore berhembus dingin, membawa aroma tanah basah dan debu yang sudah lama tak terjamah. Rumah itu, yang dulunya adalah kediaman keluarga Marquez, tampak berdiri sendiri, seakan menantang siapa pun yang berani mendekat. Cat yang mengelupas di dindingnya tampak seperti luka yang tak sembuh-sembuh, dan jendela yang pecah memberi kesan rumah ini seperti wajah yang kehilangan senyum.
Ini bukan rumah pertama yang ia selidiki, tetapi entah kenapa, rumah ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengikat Keyara, menariknya lebih dalam, seolah-olah rumah ini punya cerita yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang berani menguaknya.
Saat ia menyentuh gerbang itu, sebuah rasa dingin menjalar di sekujur tubuhnya, membuat bulu kuduknya merinding. Ia mengabaikan perasaan aneh itu dan memutar kenop besi yang berkarat. Gerbang itu terbuka dengan suara berderit, keras dan menusuk telinga.
“Rumah kosong, tapi kenapa aku merasa seperti ada yang mengawasi?” gumam Keyara pada dirinya sendiri, meskipun ia tahu tidak ada orang di sekitar.
Ia melangkah masuk ke halaman yang ditumbuhi semak belukar. Beberapa batu bata yang pernah digunakan sebagai jalan setapak kini tenggelam dalam tanah, tertutup lapisan rumput liar yang menjalar tak terkendali. Di ujung halaman, terlihat siluet rumah yang lebih mengerikan dari apa yang ia bayangkan. Atapnya miring, dan salah satu sisi bangunannya tampak hampir runtuh.
Keyara menatap rumah itu sejenak, menenangkan pikirannya. Kamera yang tergantung di lehernya sudah siap untuk bekerja. Ia memutuskan untuk mengambil gambar pertama, sebagai tanda bahwa ia sudah mulai memasukinya.
Langkah kaki Keyara berhenti di depan pintu utama. Pintu itu terbuka sedikit, seakan menantang untuk dimasuki. Saat ia menginjakkan kaki di ambang pintu, segerombolan burung terbang keluar dari dalam rumah dengan suara kicauan yang memekakkan telinga. Keyara tersentak, hatinya berdebar lebih cepat, tetapi ia menepis rasa takut itu.
“Ini cuma burung. Aku bisa melakukannya,” bisiknya pada diri sendiri.
Dengan suara deritan yang lebih keras dari sebelumnya, pintu itu terbuka sepenuhnya, membiarkan Keyara memasuki ruangan pertama yang gelap. Bau lembap dan berjamur menyapa hidungnya, mencampur aduk dengan bau kayu yang lapuk. Di dalam, ruangan itu kosong—kecuali beberapa perabotan yang sudah rusak, terbengkalai dan tertutup debu. Keyara menyalakan senter di kameranya dan menyapu seluruh ruangan. Dinding yang dulu mungkin pernah dicat kini hanya menyisakan lapisan cat yang terkelupas, membentuk corak yang menyeramkan.
Matanya tertuju pada sebuah bingkai foto yang tergantung di dinding, miring dan terabaikan. Keyara mendekat, tangannya menggigil saat ia menyentuh kaca foto itu. Foto keluarga Marquez, yang tersenyum bahagia di tengah kebahagiaan mereka. Tetapi ada yang aneh—di antara mereka, ada seorang gadis kecil dengan mata kosong yang menatap langsung ke kamera. Tatapannya terasa seperti menembus ruang dan waktu, menatap langsung ke Keyara.
“Siapa ini?” Keyara bertanya pelan, seolah mencari jawaban dari gambar itu.
Namun, saat ia meletakkan kamera di depan wajah gadis itu untuk mengambil foto, tiba-tiba, ada suara berderit dari lantai atas. Suara langkah kaki yang berat, diiringi dengan bunyi pintu yang terbuka perlahan.
Keyara terkesiap, matanya terbelalak, dan tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan kamera ke arah suara itu. Kamera menangkap gambar koridor panjang yang tak terlihat dengan jelas, gelap dan menyeramkan. Keyara menarik napas dalam-dalam dan mulai berjalan perlahan menuju tangga.
“Apa itu?” bisiknya, takut jika ada yang mendengarnya.
Tangga tua itu tampak rapuh, dengan beberapa anak tangga yang hampir patah. Setiap langkah yang ia ambil membuat rumah itu berderak, seperti mengingatkan bahwa ia tidak diinginkan di sana.
Sesampainya di lantai atas, Keyara berdiri di depan sebuah pintu kamar yang terbuka sedikit. Bau busuk semakin kuat, bercampur dengan bau kayu yang membusuk. Tanpa bisa mengendalikan rasa penasaran, ia mendekati pintu itu. Ketika ia membukanya, pandangannya tertuju pada sebuah ruangan kecil yang tak terawat. Kasur yang compang-camping, boneka-boneka yang usang dan penuh debu, semuanya tampak seperti benda yang tak ingin dilihat.
Kemudian, matanya menangkap sebuah tulisan di dinding dengan tinta merah tua yang tampak sudah mengering.
“Mereka tidak mendengar. Mereka tidak peduli.”
Keyara memotret tulisan itu, tetapi ketika kilatan kamera menerangi ruangan, sesuatu yang lebih gelap muncul. Di sudut ruangan, seorang anak kecil duduk menyendiri, wajahnya tertutup rambut panjang, dan matanya kosong.
“Hei,” Keyara berusaha menyapa dengan suara gemetar, “Apa kamu… siapa namamu?”
Anak itu mengangkat wajahnya, dan Keyara merasa seluruh tubuhnya seperti dibekukan. Wajah anak itu hampa, tanpa ekspresi, hanya kosong. Ia memegang boneka yang sudah rusak, dan suara itu keluar dari mulutnya dengan serak.
“Aku hanya ingin pulang…” suara itu terdengar begitu lemah dan menyayat hati.
Keyara mendekat, merasa hatinya berdetak lebih cepat. Saat ia melangkah lebih dekat, anak itu menghilang dalam sekejap. Kamar itu kembali kosong, meninggalkan Keyara dengan pertanyaan yang menggantung.
“Ini pasti hanya ilusi,” Keyara berkata pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan hatinya yang mulai cemas. Namun, saat ia menoleh ke arah pintu, ada sebuah bayangan yang bergerak cepat di luar sudut matanya. Keyara berbalik, dan tidak ada apa-apa—hanya kegelapan yang menyelimuti rumah itu, lebih menekan, lebih gelap dari sebelumnya.
“Tunggu dulu,” gumam Keyara, “Aku harus menyelesaikan ini. Aku datang untuk mencari jawaban.”
Namun, tanpa ia sadari, jawaban itu justru semakin mendekat, menunggu untuk ditemukan.
Bisikan di Dalam Kegelapan
Keinginan untuk segera keluar dari rumah itu semakin menguat, namun Keyara menahan langkahnya. Pintu yang terbuka lebar di hadapannya tampak seperti sebuah jalan keluar, namun saat ia menoleh ke belakang, bayangan itu masih mengganggu pandangannya. Anak kecil dengan wajah kosong itu—atau lebih tepatnya, ilusi yang ia kira—seakan tidak hanya menghantui ingatannya, tapi juga ruang itu sendiri.
Dengan tubuh yang berat, Keyara melangkah mundur, mencari jalan menuju tangga. Tetapi, langkahnya terhenti ketika sebuah suara lembut terdengar dari balik dinding.
“Aku ingin pulang…” Suara itu lebih jelas sekarang, lebih mendalam, dan penuh rasa sakit. Keyara menggigil.
“Apa kamu mendengar itu?” gumamnya sendiri, menoleh ke sekitar, mencari sumber suara. Tidak ada yang tampak—hanya kegelapan yang menutupi setiap sudut ruangan.
Langkah Keyara kembali terseok-seok, mendekati tangga dengan perasaan yang semakin tidak nyaman. Kali ini, ia memilih untuk tidak menoleh ke belakang. Suara berderit dari lantai atas semakin sering terdengar, seperti langkah kaki yang mengikuti gerakannya. Setiap detik terasa semakin tegang.
Saat ia tiba di tangga, suara itu semakin jelas. Semakin dekat. Seakan sesuatu—atau seseorang—sedang mengikutinya. Keyara merasakan bulu kuduknya meremang. Sebuah bisikan yang pelan, tapi menggema, memenuhi udara dingin di sekitar rumah itu.
“Jangan pergi…” suara itu berbisik, terdengar seperti berasal dari dalam dinding, hampir seperti sebuah amarah yang terpendam.
Keyara memegang erat kamera di tangannya, berusaha mengendalikan nafas yang terengah. Ia memutuskan untuk melangkah lebih cepat, menuruni tangga yang rapuh, takut jika semakin lama ia berdiam, suara itu akan semakin mengganggu.
Namun, saat ia mencapai lantai bawah, suasana menjadi semakin sunyi. Terlalu sunyi. Bahkan suara derak lantai yang biasa mengikutinya seakan hilang. Hanya ada keheningan yang menekan dada.
Di ruang tamu, tempat pertama kali ia memasuki rumah ini, sesuatu yang aneh terlihat. Bayangan gelap itu tampak bergerak di salah satu sudut ruangan, begitu cepat dan hampir tak terlihat jika Keyara tidak berfokus.
Sesuatu muncul dari balik tembok.
Sebuah sosok tinggi, mengenakan jubah hitam yang berlubang, seakan menyeret tanah dengan langkahnya. Wajahnya tertutup oleh bayangan, hanya sepasang mata merah yang tampak memancar keluar dari kegelapan. Keyara terhenti, nafasnya tercekat.
“Siapa… siapa kamu?” suara Keyara terpecah, suaranya sendiri terasa seperti menggema di udara sepi.
Namun sosok itu tidak menjawab. Mata merah itu hanya menatapnya, penuh amarah dan kegelapan. Keyara tidak bisa bergerak, tubuhnya terasa kaku, seolah-olah waktu berhenti di antara mereka.
Kemudian, suara keras terdengar, mengalihkan perhatiannya—sebuah pintu yang terbanting terbuka, diikuti oleh suara langkah berat yang semakin dekat. Sosok itu mulai bergerak, mendekati Keyara dengan kecepatan yang tidak wajar. Meskipun tubuhnya terasa terikat oleh ketakutan, Keyara berusaha menggerakkan kakinya, berlari ke arah pintu depan.
Pintu itu—yang semula terbuka lebar—kini tertutup rapat. Keyara mencoba mendorongnya, tetapi pintu itu tidak bergeming. Sesuatu yang menekan, seakan ada yang menghentikan dia dari keluar.
“Apa yang terjadi?” Keyara menoleh dengan panik, melihat sekeliling. Ruangan itu, yang tadinya penuh dengan cahaya temaram, kini hanya diterangi oleh kilatan-kilatan cahaya samar dari kamera di tangannya.
Bayangan hitam itu semakin mendekat, tetapi kali ini, Keyara tidak bisa melihat dengan jelas siapa atau apa itu. Sosok tersebut hanya tampak seperti sebuah bayangan yang berputar-putar, mengelilinginya dengan cepat.
“Mengapa kamu tidak pergi?” suara bisikan itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, lebih memaksa. Keyara menjerit, namun suaranya terasa teredam oleh udara berat yang mengelilinginya.
Dengan cepat, Keyara berbalik, berlari ke arah lain, mencari pintu atau jalan keluar. Tangannya terulur, meraih pegangan pintu lainnya. Begitu ia menariknya, pintu itu terbuka. Namun bukan jalan keluar yang ia temui—hanya sebuah ruangan kecil yang gelap.
Di dalam ruangan itu, ada sebuah meja tua yang tertutup kain putih lusuh. Tepi-tepi kain itu tampak bernoda, dan ketika Keyara mendekat, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil di atas meja. Tangannya gemetar saat ia membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat beberapa benda antik, namun ada satu benda yang mencuri perhatian—sebuah kunci tua dengan ukiran aneh.
Keyara merasakan getaran di tangannya saat menyentuh kunci itu. Mata merah dari sosok hitam itu kembali melintas di sudut matanya. Kali ini, Keyara tahu bahwa ia harus segera keluar dari rumah ini. Kunci itu terasa seperti jalan satu-satunya menuju keselamatan.
Tetapi saat ia berbalik, sosok itu sudah ada di hadapannya. Tanpa kata, tanpa peringatan. Hanya ada rasa dingin yang menyelimutinya, lebih pekat dari sebelumnya. Kunci di tangan Keyara semakin terasa berat, seakan ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya yang menariknya lebih dalam ke dalam rumah ini.
Dan saat bayangan itu melangkah maju, Keyara tahu bahwa apa yang ia pikirkan tentang rumah ini, tentang rahasia yang tersembunyi di dalamnya, baru saja dimulai.
Menggali Kegelapan
Kunci tua di tangan Keyara terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap detik yang berlalu, semakin dalam ia terjebak dalam dunia yang tidak bisa ia pahami. Sosok hitam itu berdiri tepat di depannya, matanya menyala merah, seakan menunggu sesuatu. Keyara tahu, ia harus bergerak. Jika tidak, ia akan terjebak di tempat ini selamanya.
Dengan langkah tergesa-gesa, ia berlari kembali menuju ruang tamu, tempat pertama kali ia memasuki rumah ini. Namun saat ia menginjakkan kaki di sana, sesuatu yang tak terlihat menghentikannya. Kekuatan yang tidak tampak seakan meremas dadanya, memaksanya untuk berhenti.
“Kamu tidak akan bisa keluar,” suara bisikan itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, lebih memaksa. Keyara menoleh dengan cepat, namun tidak ada siapa pun di sana. Yang ada hanya bayangan gelap yang menari-nari di sudut-sudut ruangan.
Tak bisa berdiam diri lebih lama, Keyara menempelkan kunci itu ke pintu depan yang tertutup rapat. Sesuatu aneh terjadi. Kunci itu berputar dengan sendirinya, seperti ada kekuatan lain yang menggerakkannya. Dengan suara berderak keras, pintu itu terbuka, dan Keyara melangkah maju.
Namun, dunia di luar tidak tampak seperti yang ia harapkan. Pintu itu membawanya ke halaman belakang yang gelap. Tidak ada langit, tidak ada bintang, hanya kegelapan yang pekat. Keheningan begitu menyeluruh, seolah seluruh alam ikut terdiam.
Keyara melihat ke sekeliling, matanya terbuka lebar, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan. Namun yang ia temui hanya sebuah sumur tua di tengah halaman, tertutup rapat oleh tumpukan tanah dan batu. Sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk mendekat. Ia merasakan ada sesuatu yang menariknya ke sana—sebuah kekuatan yang tidak bisa ia jelaskan.
Ketika ia berdiri di depan sumur, suara bisikan itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, seakan datang dari dalam sumur itu sendiri.
“Jangan… jangan buka…” suara itu terdengar semakin menakutkan, seperti peringatan yang terlambat.
Namun Keyara merasa dirinya tak bisa berhenti. Ia meraih batu-batu yang menutupi mulut sumur, dan mulai menariknya. Setiap batu yang ia singkirkan terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menahan setiap gerakannya. Tetapi Keyara tetap melanjutkan, karena ia tahu bahwa hanya dengan membuka sumur itu, ia bisa menemukan jawaban.
Ketika akhirnya batu-batu itu terangkat, mulut sumur terbuka lebar, dan udara dingin yang mengerikan keluar dari dalamnya. Keyara menatap ke dalam sumur itu dengan rasa takut yang menyelimuti hatinya. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu di dalam sana—sesuatu yang menginginkan kebebasannya.
Tiba-tiba, sebuah tangan muncul dari dalam sumur. Tangan yang kurus, kering, dan pucat, dengan kuku-kuku panjang yang tampak terkulai. Keyara mundur, matanya terbelalak ketakutan, namun tangan itu semakin lama semakin kuat, memaksa dirinya untuk meraih tepi sumur.
Akhirnya, sosok itu muncul sepenuhnya. Sebuah tubuh pucat dengan wajah yang hampir tidak terlihat. Hanya matanya—mata yang kosong, hitam pekat, tanpa iris—yang menatap Keyara dengan penuh kebencian.
“Terlalu lama…” suara itu terdengar seperti suara serak yang tercabik-cabik, “Terlalu lama aku terperangkap di sini…”
Keyara terdiam, kunci di tangannya mulai terasa panas. Sesuatu di dalam sumur itu menatapnya dengan intens, seakan mengerti apa yang ada dalam pikirannya.
“Siapa kamu?” Keyara berteriak, meskipun suaranya sendiri terasa tidak cukup kuat untuk mengalahkan kegelapan yang mengelilinginya.
Sosok itu hanya tersenyum, senyuman yang tidak wajar, senyuman yang penuh rasa sakit dan dendam. “Aku… salah satu dari mereka yang terjebak di rumah ini,” jawabnya, suaranya seperti terpecah-pecah, menambah ketegangan yang semakin menyesakkan.
Keyara berusaha mundur, namun sumur itu tidak memberinya kesempatan. Setiap gerakan sosok itu hanya membuat kegelapan semakin pekat, dan udara semakin sesak. Matanya seakan dibutakan oleh bayangan yang menyelimuti seisi halaman belakang.
Tiba-tiba, sosok itu melangkah keluar dari sumur, merayap mendekat dengan kecepatan yang mustahil. Keyara jatuh terduduk di tanah, tubuhnya hampir tidak bisa digerakkan, seolah terikat oleh kekuatan yang lebih besar dari dirinya.
“Jangan lari…” bisikan itu semakin keras, semakin menakutkan.
Keyara hanya bisa menatap dengan mata yang terbuka lebar. Bayangan itu sekarang hampir berada di atasnya, menghadapinya dengan senyum yang penuh dengan kebencian. Namun sebelum sosok itu bisa bergerak lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara keras, seperti sesuatu yang pecah di dalam rumah.
Keyara menoleh, dan tanpa pikir panjang, ia segera berlari kembali menuju pintu yang terbuka lebar. Begitu melangkah ke dalam rumah, pintu itu tertutup rapat di belakangnya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah keheningan yang menekan setiap napasnya.
Namun saat ia menoleh, semua berubah.
Seluruh ruangan itu kini dipenuhi oleh bayangan—bayangan-bayangan yang bergerak, berbentuk tubuh, berwajah kosong. Mereka bergerak tanpa suara, mengelilingi Keyara dengan perlahan. Di sudut-sudut rumah, ia bisa melihat siluet-siluet yang semakin banyak, semua menatapnya, semua terhubung dalam sebuah kehampaan yang mengerikan.
“Selamat datang… di rumah ini.” Suara itu kembali terdengar, kali ini seperti seruan yang berasal dari ribuan mulut, seakan semuanya berbicara dalam satu suara yang mengerikan.
Dan Keyara, yang tidak pernah berniat untuk kembali ke dalam rumah itu, kini menyadari bahwa tidak ada jalan keluar lagi.
Kegelapan yang Abadi
Keyara berlari, meskipun kakinya terasa berat dan tubuhnya dipenuhi ketakutan yang luar biasa. Bayangan-bayangan itu semakin mendekat, bergerak di setiap sudut ruangan, seakan menginginkannya, menunggunya untuk menjadi bagian dari mereka. Ruangan itu terasa sempit, semakin lama semakin sesak. Setiap langkah terasa seperti langkah menuju kegelapan yang tak bisa dihindari.
“Jangan lari…” bisikan itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, lebih nyata, seperti suara yang berasal dari dalam tubuhnya sendiri. Suara yang menggelisahkan setiap sarafnya. Keyara berhenti sejenak, menahan napasnya. Pintu depan yang tadinya terbuka kini telah terkunci rapat, tak bisa dibuka, dan setiap langkahnya di rumah itu semakin terasa seperti perangkap yang mengikatnya.
Ia berbalik, melihat ke belakang. Di sana, berdiri sebuah sosok—lebih besar, lebih mengerikan dari sebelumnya. Wajahnya yang pucat, dengan mata kosong yang hitam pekat, menatapnya. Matanya penuh dengan amarah, kebencian, dan penderitaan yang seolah tak pernah berakhir.
“Semua ini milikku,” suara itu menggelegar, mengguncang setiap sudut rumah. “Kamu tidak bisa pergi, Keyara. Kamu tidak akan pernah pergi.”
Keyara merasa tubuhnya gemetar, tetapi entah dari mana datangnya, sebuah keberanian muncul. Ia menatap sosok itu, meski rasa takut menyesaki jantungnya. Ia tahu, hanya satu hal yang bisa menyelamatkannya sekarang—jawaban.
“Salah… Salah siapa kamu terperangkap di sini?” Keyara berteriak, suaranya keras dan penuh rasa takut yang menyusup dalam setiap kata.
Sosok itu terdiam sejenak, senyum kaku yang penuh kebencian muncul di wajah pucatnya. “Kami semua terperangkap karena kesalahan yang sama… kesalahan yang sudah terlalu lama terlupakan,” jawabnya, suara itu terputus-putus, seolah terperangkap dalam rasa sakit yang mendalam.
Keyara bisa merasakan seolah waktu berhenti, seperti seluruh dunia itu berhenti berputar. Sosok itu melangkah mendekat, namun langkahnya terdengar aneh, seperti suara pasir yang jatuh dari langit. Semakin mendekat, semakin besar tekanan yang dirasakannya. Keyara menutup mata, mencoba mencari jawaban di kegelapan ini.
Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya menyilaukan, menerangi ruangan yang gelap gulita itu. Keyara membuka matanya, dan sosok itu mulai memudar, tubuhnya yang semula begitu nyata kini mulai menghilang ke dalam udara, seperti bayangan yang hilang tertiup angin.
“Jangan… jangan tinggalkan aku…” suara itu terdengar lemah, hampir seperti isak tangis yang datang dari dalam kegelapan.
Namun, sebelum Keyara bisa bergerak, suara itu berhenti, dan segala sesuatu menjadi sunyi. Keheningan yang mencekam, yang membuat hatinya hampir berhenti berdetak. Perlahan, ia menoleh ke sekelilingnya. Semua bayangan, semua sosok yang mengerikan itu hilang. Ruangan itu kini kosong, tak ada yang tersisa kecuali dirinya yang terdiam, bingung, dan masih diselimuti ketakutan yang dalam.
Ia berjalan pelan, tidak tahu lagi harus ke mana. Tidak tahu lagi apakah ia masih berada di dunia yang nyata, atau apakah semuanya hanyalah ilusi. Setiap langkahnya terasa berat, seperti berjalan melalui kabut tebal yang tak terlihat ujungnya.
Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka terdengar di belakangnya. Tanpa berpikir panjang, Keyara berlari menuju suara itu. Pintu itu terbuka lebar, dan dia melihat langit malam yang tenang di luar sana—bintang-bintang yang bersinar terang, meski sedikit gemetar.
Ia berhenti sejenak, berdiri di ambang pintu, menatap langit. Suara angin yang lembut menyapanya, dan saat itu, ia merasa seperti dibebaskan dari jeratan kegelapan yang begitu lama menjeratnya.
Namun, saat ia hendak melangkah keluar, suara itu kembali terdengar—bisikan yang berasal dari dalam rumah itu sendiri. “Kamu… masih milikku.”
Keyara menoleh sekali lagi, dan di dalam kegelapan itu, sesuatu yang mengerikan terlihat. Sebuah wajah, bukan wajah manusia, muncul di jendela rumah. Matanya hitam pekat, dan senyumannya tampak lebih lebar dari sebelumnya.
Tapi kali ini, Keyara tidak takut. Ia menatapnya dengan tatapan yang penuh keheningan. Tiba-tiba, segalanya mulai mengabur. Langit malam yang tenang itu menghilang, dan yang ada hanya gelap.
Mungkin, kata-kata itu benar.
Mungkin, ia memang tidak akan pernah pergi dari rumah itu.
Jadi, gimana rasanya? Cukup serem kan, ternyata nggak semua rumah kosong itu benar-benar kosong. Terkadang, yang ada di dalamnya lebih menakutkan daripada sekadar hantu atau suara-suara aneh.
Mungkin, kegelapan itu nggak cuma di luar sana, tapi juga ada di dalam diri kita sendiri. Dan meski kamu keluar dari rumah itu, perasaan takutnya bisa jadi nggak akan pernah hilang sepenuhnya. Karena rumah kosong itu, entah kenapa, tetap tinggal di dalam pikiranmu.