Daftar Isi
Siapa yang nggak suka cerita horor yang bikin merinding? Tapi, siap-siap deh, karena cerita ini bakal bikin kamu nggak bisa tidur malam.
Bayangin aja, terjebak dalam kegelapan yang nggak ada ujungnya, dengan sesuatu yang nggak bisa dijelaskan, dan perasaan ketakutan yang terus menggerogoti. Kalau kamu suka cerita horor dengan twist yang nggak terduga, siap-siap ketakutan banget! Ini bukan cerita biasa, jadi pastikan kamu siap menghadapi setiap detiknya.
Cerpen Horor Paling Seram
Pintu yang Tak Boleh Dibuka
Langit malam sudah gelap, penuh awan yang bergerak cepat, menutupi cahaya bulan yang biasanya terang. Udara malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, menggigit kulit dan membuat tubuhku merinding. Aku dan Elvira berdiri di depan Rumah Lorong Gelap, sebuah bangunan tua yang sudah lama terlupakan. Tak ada yang berani mendekat ke sini, apalagi malam-malam seperti ini. Tapi Elvira, yang selalu mencari tantangan, mengajakku untuk masuk.
“Ayo, kita masuk. Apa kamu takut?” Elvira menantangku dengan senyum nakal yang sudah sangat familiar.
Aku menatap rumah itu sejenak. Dinding-dindingnya tampak berkarat, retakan-retakan tua menghiasi hampir seluruh permukaan bangunan. Jendela-jendelanya gelap, tanpa cahaya sedikit pun. Namun, ada sesuatu yang terasa sangat aneh dengan tempat ini. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Sesuatu yang membuatku merasa… tidak nyaman.
“Jangan ngomong kayak gitu,” jawabku, menyembunyikan rasa takut yang mulai tumbuh di dadaku. “Kamu tahu kan, ini bukan tempat sembarangan. Banyak orang yang hilang di sini.”
Elvira hanya tertawa kecil. “Serius, Nathaniel? Kamu ini terlalu paranoid. Aku cuma ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.”
Aku memutar kunci di tas kamera, memastikan semuanya siap. Elvira memang penuh keberanian, tapi aku tahu, di dalam dirinya juga ada rasa takut yang terkadang ia sembunyikan. Aku juga tidak bisa menyalahkannya. Aku merasakan hal yang sama.
Pintu depan terbuka dengan suara berderit yang tajam. Aku melangkah masuk terlebih dahulu, diikuti Elvira yang masih terlihat senang, meskipun matanya mengedipkan rasa khawatir. Rumah itu penuh dengan debu dan bau lembap. Dari langit-langit yang tinggi, lampu gantung yang sudah rusak menggantung seperti bayangan tak bergerak. Semua terasa mati. Sepi.
“Coba lihat!” Elvira menunjuk ke arah dinding, tempat sebuah ukiran kuno terlihat samar-samar. “Ini keren banget, kan? Tertulis simbol-simbol aneh.”
Aku mengangguk, meskipun aku tidak terlalu tertarik pada hal-hal seperti itu. Aku lebih fokus pada suasana yang mulai terasa semakin berat. Makin dalam kami masuk, makin terasa ada sesuatu yang mengikuti kami. Sesuatu yang tak terlihat, tapi bisa dirasakan.
Elvira menoleh padaku, tersenyum lebar. “Kenapa kamu kelihatan nggak enak? Santai aja, ini cuma rumah tua kok. Lagian, kita cuma mau lihat-lihat.”
Aku berusaha tersenyum balik, tapi entah kenapa senyuman itu terasa canggung. “Oke, oke. Tapi tetap hati-hati, ya? Kita nggak tahu apa yang ada di dalam sini.”
Kami melangkah lebih jauh ke dalam, menuruni koridor yang semakin gelap. Lampu senter yang kami bawa hanya menerangi sebagian kecil lorong, dan bayangan-bayangan aneh terpantul di dinding. Setiap langkah kami terasa berat, seperti ada sesuatu yang menghalangi, membuat kami semakin terperangkap dalam kegelapan.
Elvira yang berjalan di depanku tiba-tiba berhenti. “Dengar itu?” suaranya hampir berbisik.
Aku mengernyitkan dahi. Tidak ada suara apa-apa, hanya derit lantai kayu yang kami injak. “Apa maksudmu? Nggak ada suara.”
“Serius, Nathaniel. Dengar lagi!” Elvira mendekat, menyentuh lenganku. Kali ini aku juga mulai mendengar sesuatu—seperti suara bisikan samar yang datang entah dari mana.
Aku menatap sekeliling, mencoba mencari sumber suara itu, tapi lorong itu kosong. Tidak ada orang. Hanya ada kami berdua dan suara kami sendiri.
“Ya ampun, Elvira. Kamu pasti cuma halusinasi,” kataku sambil tersenyum canggung. “Ayo, kita lanjut aja. Ini cuma rumah tua. Nggak ada yang aneh.”
Tapi Elvira tidak bergerak. Matanya terfokus pada ujung lorong, di mana ada sebuah pintu besar yang tampaknya sudah sangat lama tidak dibuka. Pintu itu tampak lebih mengintimidasi dibandingkan pintu-pintu lain yang kami lewati. Gagang pintunya berkarat, dan ada ukiran aneh yang hampir tidak terlihat karena terhalang oleh debu tebal.
“Apa itu?” Elvira bertanya, matanya melebar. “Kenapa pintu ini nggak pernah kita lewati?”
Aku merasa ada yang tidak beres. “Ayo, jangan deh. Kita nggak tahu apa yang ada di dalam sana.”
Tapi Elvira sudah terlanjur bergerak ke arah pintu itu, tangannya meraih gagang pintu dengan gerakan yang penuh rasa penasaran. Aku melangkah mundur, tetapi tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya. Kami terdiam. Tidak ada suara. Hanya kegelapan yang menyambut.
Elvira menoleh padaku. “Ayo, Nathaniel. Ini kesempatan kita untuk tahu lebih banyak.”
Aku ingin berkata tidak, tetapi sesuatu dalam diriku juga merasa tertarik untuk menjelajah lebih dalam. Aku menghela napas dan mengikutinya. Pintu itu tertutup setelah kami masuk, meninggalkan kami terkurung di dalam ruangan yang lebih gelap dari sebelumnya.
Suasana dalam ruangan itu sepi, hanya terdengar suara napas kami yang beradu. Semua perabotan tampak rusak dan usang, namun ada satu kursi kayu besar yang masih berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Tidak ada jendela, hanya dinding-dinding hitam yang mengelilingi kami.
“Ini aneh banget, kan?” Elvira bertanya, suaranya bergetar.
Aku hanya bisa mengangguk, merasa ada sesuatu yang tak beres. Sesuatu yang menunggu di kegelapan.
Tiba-tiba, suara tertawa pelan terdengar. Aku menatap Elvira, dan wajahnya yang terkejut mencerminkan perasaan yang sama yang mulai merayapi diriku. Suara itu semakin keras. Dan itu datang dari belakang kami.
Bisikan di Kegelapan
Suasana dalam ruangan itu tiba-tiba terasa sangat berbeda. Tertawa itu, meskipun lemah dan pelan, meresap dalam udara, menghantui setiap sudut ruangan yang gelap. Aku menatap Elvira, matanya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi ketakutan yang jelas terlihat. Dia melangkah mundur, tubuhnya menegang. Aku ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkan, tetapi kata-kataku terhenti di tenggorokan, terhambat oleh ketegangan yang makin meningkat.
“Dengar itu?” bisik Elvira, suaranya hampir tenggelam dalam keremangan.
Aku mengangguk perlahan, tubuhku mulai terasa berat, terperangkap dalam sebuah perasaan yang tak bisa kujelaskan. Suara itu, tawa yang terdengar seperti bisikan, kini berubah menjadi desiran halus yang berputar di sekitar kami. Mencoba mencari asal suara itu, aku berbalik dan melihat lorong yang mengarah ke belakang. Gelap. Kosong. Hanya ada bayangan yang bergerak cepat, seakan-akan sesuatu atau seseorang bergerak sangat cepat dan menyelinap di antara ruang yang tak tampak.
Aku melangkah ke belakang, menatap ruangan dengan perasaan semakin tidak enak. “Kita harus keluar dari sini,” kataku, suaraku terdengar lebih gugup dari yang kubayangkan.
“Jangan,” jawab Elvira, suaranya lebih berani meskipun aku bisa melihat ketakutan di matanya. “Kita harus tahu lebih banyak, Nathaniel. Ini—ini bukan hanya rumah tua. Ada sesuatu di sini. Kita bisa temukan jawaban.”
Aku merasa keraguan itu mulai menelan pikiranku. Ada sesuatu yang sangat salah. Sesuatu yang membuat semua inderaku berteriak untuk lari, tetapi Elvira malah semakin tertarik. Dia bergerak ke arah lain, menelusuri ruangan yang tampaknya semakin sempit. Aku mengikuti, meskipun setiap langkah terasa semakin sulit. Lorong sempit ini seakan tak berujung. Setiap kali kami berbelok, ruang di sekitar kami tampak semakin gelap, dan bisikan itu semakin keras. Aku bisa merasakannya, seperti ada ribuan suara yang berbisik, namun tidak ada satu pun yang bisa kumengerti.
“Elvira… ini nggak beres.”
Elvira berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi yang sulit kutebak. Matanya penuh keinginan untuk tahu, tapi ada juga ketegangan yang tak bisa dia sembunyikan. “Aku tahu, Nathaniel. Tapi kita sudah di sini. Ini satu-satunya kesempatan kita. Aku bisa merasakannya. Sesuatu yang sangat besar ada di sini.”
Kami melangkah lebih jauh. Tak ada jalan mundur. Di ujung koridor, ada sebuah pintu lagi. Kali ini lebih besar, lebih berat, dan terasa seperti menunggu kami di sana. Gagang pintunya tampak baru, seolah baru saja dipasang, meskipun ruangan itu sudah begitu lama tak terjamah. Sebuah keanehan yang semakin membuatku terintimidasi.
“Jangan,” aku mengingatkannya dengan suara yang lebih tegas kali ini. “Kita harus pergi.”
Namun Elvira sudah lebih dulu meraih gagang pintu. “Aku harus tahu apa yang ada di balik sini. Kita sudah sampai sejauh ini, Nathaniel. Kita nggak bisa mundur sekarang.”
Tanpa menunggu jawabanku, dia membuka pintu itu.
Ruangan di balik pintu itu jauh lebih besar dari yang kami duga. Langit-langitnya tinggi dan gelap, tak ada jendela yang memperbolehkan cahaya masuk. Namun yang paling mencolok adalah meja kayu besar di tengah ruangan. Di atasnya, ada sebuah buku tebal yang tampaknya sudah sangat tua. Sepertinya itulah yang menarik perhatian Elvira.
“Elvira, jangan!” teriakku, tubuhku terasa seperti dibekukan saat aku menyaksikan tangannya menyentuh sampul buku itu.
Buku itu terbuka dengan sendirinya saat Elvira menyentuhnya. Hal pertama yang terlihat adalah gambar-gambar aneh, simbol-simbol yang tidak bisa dikenali, dan tulisan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Tiba-tiba, sebuah cahaya gelap memancar dari dalam buku, seperti ada kekuatan yang mulai bangkit. Aku merasa tubuhku menegang. Sesuatu mulai bergerak di dalam ruangan ini.
“Lihat ini, Nathaniel! Ini—ini sepertinya kunci untuk memahami semua ini!” Elvira hampir tidak bisa menahan kegembiraannya. Namun, matanya yang penuh percaya diri mulai berubah menjadi ketakutan.
Aku merasa udara di sekitar kami menjadi semakin berat, dan bisikan itu semakin keras. Lalu, dengan tiba-tiba, lampu gantung yang sudah lama mati menyala. Cahaya putih yang terang menyilaukan, namun anehnya, lampu itu hanya menyinari satu titik—meja tempat kami berdiri.
Dan di belakang kami, aku mendengar langkah kaki. Langkah yang berat, lambat, dan pasti. Seperti ada sesuatu yang sedang mendekat. Aku menoleh dengan cepat, tetapi tidak ada apa-apa di balik kami. Hanya kegelapan yang menunggu.
Tiba-tiba, suara keras terdengar. Bukan langkah kaki lagi, tapi suara seperti benda besar yang jatuh, diikuti dengan desisan tajam. Elvira langsung menoleh, matanya dipenuhi ketakutan.
“Apa itu?” Elvira berbisik, suaranya hampir tak terdengar.
Aku menelan ludah, tubuhku terasa kaku, dan jantungku berdegup sangat cepat. Suara itu kini datang dari segala arah, seolah-olah ada ribuan orang yang mengelilingi kami. Dalam kegelapan, di tengah ruangan yang mulai terasa semakin sempit, ada sebuah bentuk gelap yang perlahan muncul. Bentuk itu mulai jelas, semakin besar, semakin mendekat.
“Elvira…” Suaraku tercekat. Aku ingin berlari, tapi tubuhku terasa terkunci.
Bentuk itu akhirnya keluar dari kegelapan. Sebuah wajah, sangat pucat, dengan mata yang kosong dan mulut yang terbuka lebar seolah ingin menelan kami hidup-hidup.
Aku berusaha untuk berteriak, tetapi suara itu hanya keluar dalam bisikan. Tidak ada yang bisa mendengar. Kami terjebak dalam kegelapan yang semakin mengancam.
Terperangkap dalam Kegelapan
Sekejap, seluruh tubuhku terasa mati rasa. Ada perasaan yang sangat asing menyelimuti hatiku, seolah-olah tubuhku tahu bahaya itu lebih dulu daripada pikiranku. Wajah pucat yang tiba-tiba muncul di tengah kegelapan semakin mendekat, dan setiap detik terasa seperti berjam-jam. Aku menoleh ke Elvira, tapi dia terdiam, terhanyut dalam pandangan kosong yang menakutkan, seolah-olah dia sedang berhadapan dengan sesuatu yang tak bisa dia hindari.
“Jangan… jangan lihat itu!” teriakku, tapi suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan yang mencekam.
Tapi Elvira hanya terpaku. Matanya tak pernah lepas dari sosok itu. Aku bisa melihat mulutnya yang perlahan terbuka, seolah-olah ingin berkata sesuatu, namun tak ada suara yang keluar. Hanya bisikan-bisikan aneh yang berputar-putar di udara, berusaha memasuki kepala kami, mencoba menggugah pikiran kami.
Aku harus melakukan sesuatu.
Dengan gemetar, aku menarik tangan Elvira, mencoba membawanya pergi, namun tubuhnya terhenti, seperti ada daya tarik yang tidak terlihat menghalangi kami. Tangan Elvira terulur ke arah sosok itu, seolah-olah dia terpikat oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
“Elvira, jangan!” teriakku sekali lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras, lebih putus asa.
Namun, dia tidak mendengarkan. Matanya yang kosong mulai berkilau dengan kilatan aneh, seperti ada sesuatu yang menguasai dirinya. Aku bisa merasakan bahwa apa pun itu, itu bukanlah Elvira yang kukenal.
Sosok di depan kami semakin jelas. Tak hanya wajahnya, tubuhnya kini muncul dengan penuh kengerian. Tingginya tidak wajar, tubuhnya seperti tergantung di udara, melayang dengan gerakan lambat yang tidak alami. Tangan-tangannya panjang, dengan kuku-kuku yang menonjol, dan jari-jarinya seperti cakar yang siap mencengkeram apa saja yang mendekat. Aku merasa napasku sesak, setiap helaan udara seperti serat-serat terakhir yang menghubungkan aku dengan dunia nyata.
Dan ketika itu, suara itu kembali, lebih keras dari sebelumnya. Suara desisan yang terdengar seperti berteriak dalam bisikan. Sosok itu berbicara, namun bukan dengan suara yang bisa dimengerti oleh telinga manusia.
Aku mencoba mengalihkan pandangan, mencari jalan keluar. Tapi ruangan ini seperti melarutkan dirinya sendiri. Pintu yang kami buka beberapa menit lalu kini tak terlihat lagi. Ruangan itu, yang seharusnya tampak luas, kini terasa semakin sempit, semakin mengerikan.
“Elvira!” teriakku sekali lagi, kali ini mengguncang tubuhnya dengan keras.
Dia merespons. Matanya yang kosong tiba-tiba berfokus, namun hanya sesaat, seolah ada yang menahan diri di dalamnya. “Nathaniel…” suaranya parau, seperti bergema, seolah-olah suaranya datang dari tempat yang sangat jauh. “Kita… kita harus ikut dengannya.”
Aku terkejut mendengarnya. “Apa yang kamu katakan? Ini bukan kamu, Elvira. Ini… ini bukan kamu!”
Namun, Elvira tersenyum, senyuman yang tidak wajar, senyuman yang penuh kebingungan dan ketakutan. “Dia tidak akan membiarkan kita pergi, Nathaniel. Tidak akan pernah.”
Mataku melirik kembali ke sosok itu, dan kali ini, aku merasakan sesuatu yang sangat kuat, sesuatu yang tak bisa ditangkal lagi. Ada sesuatu dalam diriku yang mulai rapuh, sebuah keinginan yang aneh untuk menyerah, untuk membiarkan semuanya berlalu begitu saja. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkan Elvira, tidak seperti ini.
Aku menariknya, memaksanya bergerak mundur, dengan segala kekuatan yang aku miliki. Namun, semakin aku mencoba menariknya menjauh, semakin berat tubuh Elvira. Seolah ada sesuatu yang menahannya, memeluknya dalam sebuah cengkraman yang tak terlihat.
“Kita harus keluar dari sini, Elvira!” seruku sekali lagi, berusaha menenangkan diriku sendiri.
Tapi sepertinya tak ada yang bisa menenangkan kami lagi. Ruangan ini—atau entah apa itu—seakan memegang kendali penuh. Sebuah suara keras dan rendah tiba-tiba terdengar, menggetarkan seluruh tubuh kami. Suara itu datang dari dalam dinding, dari bawah lantai, dari segala penjuru. Itu seperti dentingan logam, berirama, dan semakin lama semakin cepat, sampai akhirnya hampir tak tertahankan.
“Ada sesuatu yang datang,” bisik Elvira, matanya yang mulai sadar kembali berisi kecemasan yang mendalam. “Kita harus pergi, Nathaniel. Kita harus keluar sekarang juga.”
Namun, aku tahu, tidak ada jalan keluar. Tak ada pintu yang terbuka, tak ada jalan yang jelas. Kami hanya terperangkap dalam sebuah kegelapan yang semakin menelan kami hidup-hidup.
Dan kemudian, terdengar suara berat, seperti suara langkah kaki yang berjalan perlahan dari atas. Suara itu bergerak, semakin mendekat, semakin jelas, semakin cepat. Kami berdua menoleh ke arah suara itu, dan di ujung lorong, muncul bayangan gelap besar, tinggi dan mengerikan.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku terperangkap di tenggorokan. Tubuhku terasa beku. Semua yang ada di sekitar kami seperti meluap dengan kengerian yang tak bisa dijelaskan.
Bayangan itu semakin dekat, dan aku merasa dunia ini mulai berputar, menghilang perlahan-lahan, seperti mimpi buruk yang semakin dalam. Sebuah suara gemuruh terdengar, memecah kesunyian, dan tiba-tiba, kami dikepung oleh kegelapan. Semua harapan seakan lenyap.
Aku menggenggam tangan Elvira, berusaha bertahan, meskipun aku tahu, entah bagaimana, ini mungkin adalah akhir dari segalanya.
Akhir yang Tak Terduga
Saat bayangan itu semakin mendekat, aku merasakan sesuatu yang asing. Bukan hanya rasa takut yang biasa, tapi seperti ada bagian dari diriku yang mulai menyerah. Dunia di sekitar kami semakin gelap, semakin sempit, dan ada sesuatu dalam kegelapan itu yang terasa semakin nyata, semakin menguasai.
Tapi saat itulah, tiba-tiba sebuah cahaya menyala. Cahayanya tidak besar, hanya sebuah kilatan kecil yang muncul di ujung lorong yang tampaknya tak bisa kami lihat sebelumnya. Cahaya itu muncul seperti seberkas harapan, seolah-olah menyadari ketakutan kami, mengusir segala gelap yang berusaha menelan kami.
“Elvira!” teriakku dengan suara yang mulai pecah. “Lihat! Ada cahaya!”
Aku menariknya sekuat tenaga, berlari menuju cahaya itu, meskipun langkahku terasa berat, terikat oleh kegelapan yang ingin menghalangi kami. Rasanya seperti ada jaring halus yang melilit tubuh kami, berusaha menarik kami kembali ke tempat yang lebih mengerikan.
Namun, kami terus berlari, menembus kegelapan yang semakin pekat. Setiap langkah yang kami ambil seolah mengeluarkan suara-suara aneh, desahan yang datang dari bawah tanah, seperti ada sesuatu yang terbangun dari tidur panjangnya. Aku menoleh ke belakang, melihat sosok bayangan itu masih mengikuti kami, semakin mendekat, semakin mengintai.
“Jangan berhenti, Elvira!” seruku. Aku tidak tahu apakah dia masih mendengarkan, tapi aku tidak bisa berhenti. Aku tidak bisa membiarkan kami berdua terjebak lebih lama lagi.
Dan akhirnya, kami sampai di tempat itu. Sebuah ruangan terbuka yang tampaknya sudah lama terlupakan. Pintu besar dengan ukiran tua berdiri tegak di hadapan kami, seperti menyambut kedatangan kami. Di luar sana, suara langkah kaki itu berhenti, seolah terhenti begitu saja. Namun, kami tidak punya waktu untuk berpikir lebih lama.
Aku mendorong pintu itu dengan seluruh kekuatanku. Dengan suara berderak yang memecah keheningan, pintu itu terbuka, memperlihatkan ruang yang kosong, luas, dan… terang. Tidak ada sosok mengerikan lagi, tidak ada suara gemuruh atau bisikan yang mengganggu. Hanya ada keheningan yang menenangkan.
Aku menarik napas panjang, merasa lega untuk pertama kalinya sejak kami memasuki tempat ini. Namun, Elvira berdiri diam, matanya menatap lurus ke depan, tidak bergerak sedikit pun.
“Elvira?” aku memanggilnya pelan. “Kita… kita berhasil keluar.”
Namun, dia tidak menanggapi. Matanya kosong, lebih kosong dari sebelumnya. Aku mulai merasa ada yang salah. Ini bukan Elvira yang aku kenal. Wajahnya tidak tampak terkejut, tidak ada rasa lega, hanya kebingungan yang mengaburkan segala emosi lainnya.
Tiba-tiba, sebuah suara bergema di ruangan itu, suara yang sangat familiar, tapi sama sekali tidak bisa aku kenali. “Kau pikir kalian sudah keluar?” suara itu terdengar begitu dekat, namun tak ada tubuh yang tampak. “Tidak ada yang bisa keluar dari sini.”
Aku merasa gemetar. Itu bukan suara Elvira. Itu suara yang asing, suara yang datang dari dalam dinding, dari setiap sudut ruangan yang tampaknya kosong. Seperti suara yang terperangkap, terperangkap bersama kami.
“Dengar, Nathaniel,” suara itu berkata lagi. “Elvira sudah menjadi milikku. Dan kalian semua… akan tetap terperangkap di sini. Selamanya.”
Wajah Elvira mulai berubah. Tidak banyak, hanya sedikit, tetapi cukup untuk membuatku merinding. Senyuman aneh muncul di bibirnya, senyuman yang aku tak bisa pahami. “Kita sudah bersama sekarang, Nathaniel. Ini tidak akan berakhir begitu saja.”
Aku mundur sedikit, tidak tahu harus berbuat apa. Seakan ada hal yang menjalar dalam diriku, menghimpit, menarikku menuju kegelapan yang ada di dalamnya. Aku bisa merasakan jari-jari halus itu menjalar ke arah tubuhku, menarikku untuk tinggal di sini, menjadi bagian dari tempat ini, bagian dari sesuatu yang tak bisa dimengerti.
“Elvira, tidak… tidak seperti ini,” kataku dengan suara tercekat. “Ini bukan kamu!”
Tapi dia hanya tersenyum lebih lebar, matanya yang kosong semakin membingungkan. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar ada di sana atau kalau dia sudah hilang. Jika dia hilang, maka aku juga sudah terperangkap dalam dunia ini. Dunia yang tak bisa dijelaskan, dunia yang aku tak ingin mengerti lebih jauh.
Dan tiba-tiba, tubuh Elvira terangkat, melayang di udara, lebih tinggi dari yang bisa diperkirakan. Cahaya terang itu mulai memudar, perlahan. Ada perasaan aneh di dalam diriku—perasaan bahwa aku benar-benar telah jatuh ke dalam perangkap ini.
Sebelum aku bisa berbuat apa-apa, suara itu terdengar lagi. “Selamat datang di tempat yang takkan pernah kau tinggalkan, Nathaniel. Kalian semua… sudah menjadi bagian dari aku.”
Aku menjerit keras, namun tidak ada yang mendengarkan. Semuanya menghilang dalam kegelapan.
Dan aku tahu, saat itu, kami berdua—Elvira dan aku—telah menjadi bagian dari dunia ini, dunia yang tidak pernah bisa keluar. Dunia yang menguasai kami. Dunia yang telah menunggu terlalu lama.
Nah, itu dia cerita horor yang bakal ngeguncang dunia imajinasimu. Gimana? Merinding, kan? Kadang, kegelapan memang nggak cuma soal tempat, tapi juga perasaan yang nggak bisa dijelaskan. Semua yang kamu baca tadi cuma awal dari rasa takut yang nggak ada habisnya.
Jadi, pastikan kamu selalu siap, karena kadang, dunia ini jauh lebih menyeramkan daripada yang bisa kita bayangkan. Sampai jumpa di cerita horor selanjutnya, dan jangan lupa, tidur dengan lampu nyala ya!