Daftar Isi
Pernah gak sih, kalian ngerasa kayak dunia ini nggak adil banget? Kayak ada sesuatu yang hilang, tapi kalian gak tahu apa itu. Nah, bayangin deh, kalo sahabat kalian yang udah lama nggak ada, tiba-tiba muncul lagi. Tapi, tunggu dulu, ada yang aneh. Dia udah nggak hidup lagi.
Nah, begitulah yang Alena rasain. Di sekolah ini, Alena bertemu lagi dengan Arista, sahabat Alena yang seharusnya udah nggak ada. Tapi, semuanya jadi makin gila dan nggak masuk akal. Bukan cuma soal Arista yang muncul, tapi soal apa yang dia bawa—dan itu bukan hal baik. Penasaran? Yuk, ikutin cerita ini sampai habis, karena kamu gak akan nyangka apa yang bakal terjadi!
Sahabat yang Kembali dari Kematian
Kembali ke Sekolah
Setelah tiga hari absen, akhirnya aku kembali ke sekolah. Tiga hari yang cukup bikin aku merasa terasing, apalagi dengan keadaan sekolah yang sepertinya nggak pernah berubah. Suasana pagi itu cerah, dan aku bisa mendengar suara burung berkicau di luar jendela. Aku masih ingat, waktu berangkat tadi pagi, aku sempat mikir, apa sih yang bakal aku lakukan hari ini?
Begitu aku melangkah masuk ke ruang kelas, mataku langsung mencari-cari sosok yang paling aku rindukan. Dan, tentu saja, Arista sudah ada di bangkunya, duduk dengan senyum lebarnya yang selalu bisa bikin suasana jadi lebih ceria.
“Len! Akhirnya kamu datang juga! Tiga hari nggak kabar, kamu tahu nggak aku hampir mati bosan!” serunya dengan nada sedikit mengeluh, meskipun jelas ada tawa di ujung kalimatnya.
Aku cuma bisa nyengir. “Sorry, Ris. Keluarga aku ngadain acara, jadi nggak bisa keluar kota. Nggak bisa kabar-kabarin.” Aku duduk di sampingnya, mengeluarkan tas dan buku catatan yang sempat tertinggal di rumah.
“Emang, sih, kamu ini… bisa-bisanya ngilang gitu,” jawabnya sambil pura-pura cemberut, tapi jelas sekali senyum itu nggak bisa dia tahan. Kami berdua tertawa bareng, kayak nggak ada beban. Rasanya seolah-olah nggak ada yang berubah sejak hari terakhir aku ketemu dia.
Namun, entah kenapa, ada sedikit perasaan aneh yang menggelitik di dalam diriku. Hari pertama masuk setelah beberapa hari absen selalu terasa aneh, apalagi tanpa ada Arista yang ngajak aku ngobrol seperti biasa. Tapi kali ini, ada hal yang berbeda. Mungkin aku terlalu overthinking, atau mungkin karena aku terlalu rindu dia, aku jadi mikir hal-hal yang nggak penting.
Hari itu berjalan biasa-biasa saja. Kami duduk di bangku yang sama, saling bergosip tentang teman-teman sekelas, tentang si guru yang nggak pernah bisa ngeliat kami nyontek, dan tentang Juni, anak populer yang selalu jadi bahan obrolan. Tapi, ada satu hal yang nggak bisa aku abaikan.
Setiap kali Arista melewati Juni, ada reaksi aneh dari anak itu. Juni yang biasanya nggak pernah peduli sama siapa pun, tiba-tiba kelihatan gelisah. Matanya membelalak dan tubuhnya bergetar. Itu yang bikin aku makin penasaran. Kenapa sih Juni bisa begitu takut sama Arista?
Aku mencoba nggak terlalu memperhatikan, tapi semakin lama, kejadian itu semakin sering terjadi. Juni akan selalu berteriak, “Pergi! Jangan ganggu aku!” saat Arista lewat, dan langsung berlari terbirit-birit ke arah lain, seperti dikejar-kejar hantu.
“Eh, Ris, kamu kenapa sih? Kok Juni kayak ketakutan gitu tiap lihat kamu?” tanyaku dengan nada santai, meskipun ada rasa curiga yang mulai tumbuh di hati.
Arista cuma mengangkat bahu, seolah hal itu bukan masalah besar. “Ah, mungkin dia trauma aja, kali. Kamu tahu sendiri dia kan agak paranoid.” Tapi ada sesuatu dalam cara dia bicara yang nggak cukup meyakinkan. Ada ketegangan yang nggak bisa aku abaikan.
Tapi aku nggak ingin berpikir terlalu banyak. Aku cuma melanjutkan obrolan kami, nggak mau mengganggu mood yang sudah mulai cerah lagi. Tapi satu hal yang pasti: aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan semua ini. Entah itu hanya perasaan aku saja atau memang ada yang nggak beres di sekolah ini.
Rehat makan siang datang, dan kami berdua langsung menuju kantin seperti biasanya. Suasana kantin ramai, penuh dengan suara teman-teman yang sedang ngobrol dan tertawa. Kami memilih tempat duduk di pojokan, jauh dari keramaian. Sesaat setelah duduk, Arista mulai membuka kotak makanannya.
“Aku beli pentol pedas, nih. Kamu kan suka,” katanya, sambil membuka bungkus plastik.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya, aku masih inget kalau kamu selalu bawain aku pentol pedas waktu SD.”
Kami melanjutkan makan sambil bercanda, berbicara tentang hal-hal konyol yang nggak pernah kami lewatkan, bahkan tentang betapa absurdnya beberapa teman kami yang selalu saja bikin masalah di sekolah. Waktu terus berjalan, tapi aku nggak bisa menghindari perasaan aneh yang semakin mengganggu. Ada yang kurang, tapi aku nggak bisa menebak apa itu.
Tiba-tiba, saat aku sedang menikmati pentol, aku mendengar suara teriakan.
“Pergi! Jangan ganggu aku, Arista!” teriak Juni lagi, dari kejauhan.
Arista menoleh dan hanya tertawa kecil, seperti itu adalah hal yang biasa. Tapi aku… aku merasa ada sesuatu yang sangat tidak biasa.
“Ris, kenapa dia kayak gitu terus? Kok dia bisa ketakutan gitu sih sama kamu?” tanyaku lagi, kali ini dengan nada serius.
Arista menatapku sebentar, lalu menggelengkan kepala. “Len, kamu terlalu paranoid. Kita makan aja, ya?” jawabnya sambil tersenyum, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku tak bisa memaksa lebih jauh. Tapi ada satu hal yang aku yakini: ini bukan hanya masalah paranoid biasa. Sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.
Dan aku… aku harus mencari tahu apa itu.
Teror yang Tak Terlihat
Hari-hari berlalu begitu saja. Seperti biasa, aku duduk di kelas bersama Arista, menikmati setiap detik kebersamaan kami yang tanpa beban. Meskipun, semakin lama, perasaan aneh itu semakin kuat. Sepertinya ada yang nggak beres di sekolah ini. Aku cuma nggak tahu apa itu. Tapi satu hal yang pasti, Arista berbeda. Ada yang berubah dari dirinya, meskipun aku tak bisa menyebutkan apa yang aneh.
Setiap kali aku memperhatikannya, aku merasa ada sesuatu yang membelenggu Arista. Sesuatu yang tidak kasat mata, tapi cukup untuk membuat aku bertanya-tanya. Setiap kali dia berjalan melewati teman-temannya, ada yang takut, ada yang berlari, ada yang berteriak seperti hendak menghindar darinya. Tapi Arista hanya tersenyum dan melanjutkan langkahnya. Tidak ada yang tampak mengganggu di luar dirinya. Tapi aku tahu, ada yang tidak biasa.
Satu sore, saat aku sedang duduk sendiri di perpustakaan, Arista datang menghampiriku. Dia duduk di sampingku dengan senyuman yang seolah mengaburkan segala kegelapan yang mengikutinya.
“Len,” suaranya terdengar lembut, “Aku merasa ada yang aneh di sini.”
Aku menoleh, mataku bertemu dengan matanya yang penuh dengan keresahan.
“Apa maksud kamu?” tanyaku, tanpa bisa menutupi rasa khawatir di hati.
Arista menundukkan kepala, dan aku bisa melihat gemetar kecil di tangannya. “Kadang… kadang aku merasa ada yang mengikutiku. Seperti ada yang selalu memperhatikanku, tapi aku nggak pernah bisa melihatnya.”
Aku merasakan jantungku berdebar kencang. “Ris, jangan bilang gitu. Kamu cuma capek aja, mungkin stress. Kita bisa cari waktu untuk santai, kok.”
Tapi Arista tidak menjawab. Dia hanya diam, matanya menatap kosong ke depan. Aku bisa merasakan ketegangan yang muncul dari dirinya. Entah apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya ingin melindunginya. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.
Keanehan-keanehan itu semakin sering terjadi. Setiap kali kami berjalan bersama, ada saja teman-teman yang tiba-tiba berteriak ketakutan begitu melihat Arista. Bahkan sih, ada yang sampai menangis, seperti menyaksikan hantu yang sedang menghampiri mereka. Aku bertanya-tanya, kenapa semuanya seperti takut padanya?
Puncaknya terjadi pada hari Jumat. Di saat semua orang sedang asyik menikmati waktu istirahat, aku melihat sesuatu yang membuat darahku beku. Juni—yang biasanya tegar dan sok jago—tiba-tiba berteriak histeris saat Arista lewat. Matanya terbelalak, tubuhnya bergetar hebat, dan dengan panik, Juni berlari tanpa arah, menabrak meja, menabrak kursi, sampai akhirnya terjatuh.
Aku hanya bisa menatapnya, bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Arista tampak terkejut, namun tetap berjalan, seolah itu adalah hal yang biasa.
“Len, kamu lihat itu?” kata Arista sambil mengerutkan kening. “Kenapa mereka kayak gitu ya?”
Aku hanya bisa mengangguk. “Iya, aku lihat. Tapi aku nggak tahu, Ris. Mereka kayak lihat setan.”
Arista tertawa pelan. “Ah, kamu terlalu overthinking. Kita lanjutin aja makan yuk.” Tapi ada sesuatu dalam suara dan matanya yang bikin aku merasa, mungkin, dia nggak sepenuhnya percaya dengan kata-katanya sendiri.
Sore itu, setelah pulang sekolah, aku merasa ada yang aneh. Aku berjalan menuju rumah, tapi tak bisa melepaskan perasaan nggak nyaman. Semua terasa berbeda. Aku merasa seperti Arista, teman dekat yang aku kenal bertahun-tahun, sepertinya bukan orang yang sama. Rasanya ada yang… hilang.
Saat sampai di rumah, aku duduk di depan cermin, mencoba menenangkan diri. Aku memejamkan mata dan mendengar suara-suara sekitar. Tiba-tiba, sebuah suara mengusik pikiranku.
“Alenna…”
Aku terlonjak. Suara itu datangnya dari belakang, dari arah lemari yang tertutup rapat. Dengan langkah hati-hati, aku berbalik, menatap ke arah itu. Nggak ada apa-apa. Tapi aku merasa, ada sesuatu yang bergerak di dalam ruang itu.
Aku melangkah mendekat. Tanganku terulur, membuka pintu lemari dengan sedikit takut. Saat pintu terbuka, nggak ada apa-apa di dalamnya. Aku tertawa canggung. Mungkin aku cuma lelah dan terlalu paranoid, pikirku. Tapi saat aku ingin menutup kembali pintu lemari, aku mendengar suara lagi.
“Alenna…”
Suara itu semakin dekat, seakan mengiringi langkahku. Jantungku berdebar, dan aku hanya bisa diam. Suara itu datang dari dalam lemari.
Aku menatap ke dalam lemari sekali lagi. Kali ini, mata aku tertuju pada sesuatu yang berbeda. Ada bayangan hitam bergerak pelan di dalam sana. Aku menahan napas. Aku ingin berlari, tapi tubuhku kaku. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri.
Lalu, suara itu terdengar lagi. Kali ini, lebih jelas.
“Len… tolong…”
Aku membuka mata, dan apa yang kulihat membuat tubuhku terhuyung. Itu Arista. Sosoknya, tapi… bukan Arista yang aku kenal. Wajahnya tampak pucat, matanya kosong, dan tubuhnya begitu… transparan. Dia hanya bisa tersenyum lemah, meskipun senyum itu terasa begitu sedih.
“Arista…” bisikku.
Dan, seketika, sosok itu menghilang.
Aku berdiri terdiam. Apa yang baru saja aku lihat? Apa semua ini nyata? Atau hanya halusinasi?
Tapi suara Arista di kepalaku tetap terngiang-ngiang. “Tolong…”
Aku tahu, sesuatu yang besar sedang terjadi, dan aku harus menemukan jawabannya.
Mencari Kebenaran
Hari itu terasa semakin berat. Setelah kejadian malam itu, aku merasa seluruh dunia seolah berputar di luar kendaliku. Semua yang ada dalam hidupku—semua yang terasa begitu nyata—tiba-tiba berubah menjadi kabur dan tidak pasti. Terutama saat Arista mulai menunjukkan sisi lain yang tidak bisa aku pahami.
Aku mengabaikan kelas dan memilih untuk berada di rumah seharian, merenung tentang kejadian-kejadian yang aneh dan menakutkan itu. Kenapa aku baru menyadari semuanya sekarang? Kenapa semua ini datang setelah Arista mulai bersikap semakin aneh? Mungkinkah selama ini aku begitu bodoh untuk tidak melihat apa yang jelas di depan mata?
Aku memutuskan untuk pergi ke rumah Arista, mencari jawaban dari ibunya. Setidaknya, aku bisa tahu sedikit lebih banyak tentang apa yang terjadi. Ketika aku tiba di rumahnya, suasana begitu sunyi. Seperti ada sesuatu yang hilang, padahal rumah itu biasanya ramai dengan suara Arista yang tertawa atau teriakannya yang konyol.
Aku mengetuk pintu dan menunggu, hingga akhirnya ibu Arista keluar, wajahnya tampak sangat kelelahan, seolah terbebani oleh sesuatu yang besar.
“Ibu, aku… ada hal yang ingin kutanyakan,” kataku dengan suara agak ragu. “Arista… apakah dia baik-baik saja? Aku… aku khawatir, Bu.”
Ibu Arista menatapku dengan mata yang kosong, seperti matanya sedang mencari-cari sesuatu di langit yang tidak tampak. Dia berdiri diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab dengan suara serak, “Arista… sudah pergi, Len. Dia sudah meninggal karena di dorong di tangga sekolah sama seseorang”
Aku tercekat. “Meninggal? Tapi—tapi bagaimana bisa? Kenapa aku tidak tahu? Dia ada di sekolah, Bu!”
Ibu Arista menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya padamu, Len. Aku hanya… aku hanya merasa hancur dengan semua ini.”
Aku merasa dunia seolah terbalik. Mataku berkunang-kunang, dan aku hampir tidak bisa bernapas. “Tapi… kemarin aku baru saja bersamanya. Dia… dia ada di sekolah, Bu! Dia masih… hidup di sana.”
Ibu Arista memandangku dengan kebingungan yang sangat jelas terlihat di matanya, seperti dia berusaha keras untuk memahami apa yang baru saja aku katakan. “Apa yang kamu maksud?” tanyanya dengan suara pelan. “Len, Arista sudah… sudah tidak ada lagi. Bagaimana bisa dia… di sekolah? Kamu pasti salah lihat.”
Aku merasakan tubuhku gemetar. Semua ini terasa begitu aneh, begitu mustahil. “Tapi Bu… dia… dia masih ada di sana! Aku bisa melihatnya!” Jawabku dengan nada hampir putus asa.
Ibu Arista semakin tampak bingung. “Len, aku tidak tahu… Aku benar-benar tidak tahu. Kenapa kamu bilang begitu? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Dia duduk di kursi, kedua tangannya diletakkan di wajahnya, seperti berusaha mencari pemahaman, seolah memeras ingatan untuk bisa memahami apa yang baru saja aku katakan. “Ini… ini terlalu banyak untuk aku terima. Terlalu berat, Len,” katanya pelan, suaranya serak, seperti ingin menangis tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Aku semakin bingung, dan tanpa sadar, air mataku mulai mengalir. “Ibu, aku… aku benar-benar bingung. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Arista? Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Kenapa aku tidak tahu kalau dia sudah pergi?”
Ibu Arista menatapku dengan tatapan kosong, tampak sangat kehilangan. “Aku juga… aku juga tidak tahu, Len,” jawabnya lirih, seolah-olah dia juga terjebak dalam kebingungannya sendiri.
Aku terdiam. Semua rasa takut dan cemas yang aku rasakan selama ini seolah menguat dengan setiap kata yang keluar dari bibir ibu Arista. Mungkinkah ada sesuatu yang lebih besar yang terjadi, yang tidak bisa aku pahami? Mengapa Arista bisa begitu hadir di hidupku meskipun dia sudah tiada?
Aku keluar dari rumah itu dengan perasaan yang semakin kacau. Arista, sahabatku, sudah meninggal. Tapi kenapa dia masih ada di sekolah? Kenapa aku masih bisa merasakannya di setiap sudut kelas? Dan mengapa setiap hari, aku merasakan bahwa ada sesuatu yang mengikutiku?
Aku tidak punya jawaban. Tapi aku tahu satu hal—aku harus mencari tahu.
Aku harus menemukan kebenaran ini.
Menyusuri Kenangan
Pagi itu terasa begitu sunyi. Aku berjalan perlahan, langkahku terasa begitu berat menuju sekolah. Semua yang ada di sekitar tampak biasa, tapi hatiku, entah kenapa, terus terasa kosong. Seperti ada sesuatu yang hilang, yang tak bisa digantikan oleh apapun. Arista, sahabat terbaikku, sudah tidak ada. Kenyataan itu begitu sulit diterima. Namun anehnya, aku merasa seperti dia masih ada, seolah dia hanya akan muncul kapan saja.
Saat aku tiba di sekolah, hatiku semakin sesak. Langkahku mengarah ke kelas, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian. Di sudut koridor, aku melihatnya. Arista. Berdiri di sana, sama seperti yang selalu dia lakukan dulu. Tertawa, berbicara, seolah tidak ada yang berubah. Namun kali ini, ada sesuatu yang sangat berbeda—aku tahu, dia bukan lagi Arista yang dulu.
Aku melangkah maju, menghampirinya. “Arista…” suaraku bergetar. “Kamu… kamu masih di sini?”
Dia menoleh dengan senyum lebar, seperti tidak ada yang salah. “Tentu saja, Len. Kenapa? Aku di sini kok, sama kamu, kan?” jawabnya dengan nada riang, seperti biasa. Tapi ada yang ganjil. Aku merasa tubuhku menggigil. Aku sudah tahu bahwa Arista telah tiada. Sudah lama. Tapi kenapa dia masih berdiri di depanku, berbicara seperti tidak ada yang aneh?
“Apa kamu… tidak tahu kalau kamu sudah meninggal?” tanyaku pelan, hampir seperti bisikan.
Arista menatapku dengan pandangan kosong, matanya yang dulu ceria kini terlihat sepi. “Apa maksudmu, Len?” tanya Arista, seperti tidak mengerti. “Aku kan masih hidup, kita kan masih bisa bersama. Apa yang aneh?”
Hatiku semakin pecah. “Arista… kenapa kamu masih ada di sini? Kamu sudah meninggal. Kamu jatuh dari tangga, kamu sudah tidak ada!” Aku merasa air mataku sudah tak terbendung. “Kenapa kamu masih ada? Kenapa kamu tidak pergi? Kenapa kamu membuat aku merasa gila seperti ini?”
Aku memandangnya dengan pandangan penuh kebingungan dan kesedihan. “Kamu… kamu tahu apa yang terjadi padaku? Kamu tahu kalau aku sudah tahu kamu sudah meninggal, kenapa kamu tidak pergi?” Aku hampir tak bisa mengeluarkan kata-kata lagi, karena air mataku menetes tanpa henti. Aku menangis di hadapannya, seperti waktu itu ketika aku pertama kali mendengar kabar bahwa Arista sudah tak ada.
Tapi Arista hanya diam. Dia menatapku dengan tatapan yang penuh keraguan, seolah tidak tahu harus berkata apa. Wajahnya kini mulai kabur, semakin tidak nyata, semakin jauh dari kenyataan.
“Arista, kenapa?” aku memohon, suaraku gemetar. “Kenapa kamu membiarkan aku seperti ini? Aku sudah tahu kamu sudah tiada. Aku tahu kamu sudah meninggal. Tapi kenapa kamu tetap datang kepadaku? Kenapa kamu masih muncul di depanku? Kenapa kamu tidak pergi, Arista?”
Aku merasa tubuhku semakin lemah. Rasanya seolah seluruh dunia berputar begitu cepat, menghimpit hatiku. Aku menatap Arista dengan penuh kesedihan yang tak terungkapkan. Aku ingin dia kembali, aku ingin dia hidup lagi. Tapi aku tahu itu tidak mungkin.
Arista akhirnya terdiam. Sesaat kemudian, senyumnya yang dulu ceria memudar, digantikan dengan ekspresi yang kosong. Dia mulai menggelengkan kepalanya pelan. “Kamu sudah tahu, Len?” katanya dengan suara yang pelan. “Kamu sudah tahu semuanya?”
Aku hanya mengangguk, sesak. “Ya, Arista… aku sudah tahu. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin kamu tetap ada, aku ingin kamu kembali.”
Arista terdiam, dan dalam diam itu, aku bisa merasakan betapa berat perasaan yang ada padanya. Sesaat, semuanya terasa begitu sunyi. Lalu, dengan suara yang hampir tak terdengar, Arista berkata, “Aku pergi untuk membalaskan dendamku, Len.”
Darahku seperti beku. “Dendam? Untuk siapa?”
Arista menatapku dengan mata yang mulai terbakar. “Juni. Dia yang mendorong aku, Len. Dia yang membuat aku jatuh.” Suaranya terdengar penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi sebelum aku membalas dendamku padanya.”
Aku terperangah. “Tidak, Arista! Itu tidak bisa! Jangan lakukan itu!”
Tapi Arista tidak mendengarkan. Dia hanya menggelengkan kepalanya. “Aku harus, Len. Aku tidak bisa berhenti. Dia harus merasakan apa yang aku rasakan.”
Aku merasakan hatiku hancur. “Arista, kamu sudah tidak ada. Jangan biarkan dendam itu menguasaimu!” aku menangis lagi, mencoba meraih tangannya yang mulai menghilang, semakin kabur. “Arista… kamu harus pergi.”
Tapi Arista sudah tidak bisa mendengarku lagi. Dia menghilang dalam sekejap, dan aku hanya bisa terdiam, dengan air mata yang semakin membanjir.
Aku tahu, itu adalah perpisahan terakhir kami.
Dengan tubuh yang lemah, aku berjalan keluar dari sekolah, menuju tempat yang tidak pernah kutuju—kuburan Arista. Setiap langkah terasa seperti beban yang tak tertanggungkan. Di sana, aku berdiri di depan makamnya. Tanah yang menutup tubuhnya yang sudah tidak bisa kembali. Aku merasakan kehadiran Arista di sekitarku, seperti ada angin yang membelai wajahku.
Aku terjatuh di depan makamnya, menangis tanpa suara. “Arista… aku tidak bisa hidup tanpamu. Maafkan aku,” bisikku. “Maafkan aku karena tidak bisa menyelamatkanmu. Aku rindu kamu, Arista.”
Aku hanya bisa berdoa di sana, menangis hingga matahari tenggelam. Dan aku tahu, meskipun Arista sudah tiada, kenangan bersamanya akan selalu hidup dalam hatiku—selamanya.
Tapi ya, meskipun segala hal aneh itu terus ngejar Alena, dia nggak bisa nolak kalau ada sesuatu yang masih menghubungkannya sama Arista. Keberadaan Arista yang kayak setengah nyata, muncul tiba-tiba, terus pergi lagi, bikin Alena bingung dan nggak bisa berhenti mikir.
Dia tahu ada banyak hal yang belum dia pahami. Persahabatan mereka? Belum selesai, bahkan setelah semuanya jadi kayak gini. Kadang, teman itu nggak cuma ada buat tawa, tapi juga buat ngelewatin sisi gelap yang nggak kelihatan, yang akhirnya harus diterima.