Daftar Isi
Siapa yang nggak pernah ngerasain seramnya malam yang sepi, kan? Nah, bayangin deh kalau kamu lagi berdiri di halte bus tua yang udah nggak jelas, dikelilingi kabut tebal, dan tiba-tiba ada bus yang muncul entah dari mana.
Gak cuma penumpangnya yang aneh, tapi suasana di dalamnya juga bikin bulu kuduk berdiri. Di cerita ini, Celine bakal ngalamin hal yang bikin kamu mikir dua kali sebelum naek bus malam lagi. Jadi, siap-siap aja, karena kisah horor ini bakal bikin kamu merinding dan nggak bisa tidur.
Cerpen Horor Halte Bus Tua Misterius
Bayang di Halte Tua
Celine memegang erat buku catatannya, menunduk, berusaha menghindari pandangan mata yang tajam dari teman-temannya yang masih berkumpul di sekitar meja. Sudah hampir tengah malam, dan tugas kelompok yang seharusnya selesai dua jam lalu, masih belum ada tanda-tanda akan berakhir. Mereka, teman-teman sekolahnya, sibuk berbicara tentang apa yang mereka lakukan di akhir pekan, sementara dia hanya sibuk mencatat apa yang bisa dia kerjakan lebih lanjut di rumah. Pekerjaan yang, sepertinya, harus selesai malam itu juga.
Akhirnya, setelah mengucapkan salam pada teman-temannya, Celine keluar dari ruang kelas yang sudah sunyi. Kamar mandi wanita di ujung lorong juga sudah sepi. Sepertinya, seluruh sekolah ini sudah tidur.
Langkahnya cepat, hampir tergesa. Dia sedikit cemas. Tidak ada angkutan umum yang tersedia saat begini. Satu-satunya bus yang lewat di dekat sekolah sudah pasti berhenti melayani malam ini. “Aku harus berjalan kaki, ya?” gumamnya pelan pada diri sendiri, menyadari tidak ada pilihan lain.
Jalanan yang biasanya ramai ini, malam itu terasa sunyi. Udara dingin mengalir, memukul wajahnya dengan sedikit paksa. Celine mendekap tubuhnya lebih erat, mencoba menghangatkan diri. Tidak ada suara kendaraan. Hanya suara sepatu hak tinggi miliknya yang beradu dengan trotoar, menciptakan ritme langkah yang sepi. Begitu sepi, hampir terasa seperti berjalan di dalam dunia yang terisolasi.
Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya Celine tiba di halte bus yang sering dia lewati. Halte bus yang tampaknya sudah lama tidak terurus. Celine mengernyit. Halte ini terlihat usang, dengan cat yang mulai mengelupas dan papan namanya hampir jatuh. Semestinya, halte ini sudah tidak digunakan lagi. Namun, entah kenapa, malam ini ada sesuatu yang menarik Celine untuk berhenti.
Dia melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada orang di dekatnya. Keheningan malam membuatnya semakin merasa aneh. Di hadapannya, ada sebuah bangku di halte yang tampaknya sudah bertahun-tahun tak pernah dibersihkan. Celine duduk di salah satu sisi bangku, membuka buku catatannya lagi, mencoba melanjutkan tugas yang hampir terlupakan.
Namun, entah kenapa, mata Celine terasa berat. Sepertinya malam ini sudah terlalu panjang, dan matanya mulai mengantuk. Dia menatap ke depan, melihat lampu-lampu jalan yang berkedip-kedip jauh di kejauhan, namun seolah-olah tidak ada yang datang.
Lalu, tanpa diduga, sebuah bus tua meluncur mendekat. Celine terperanjat, hampir tidak percaya apa yang dilihatnya. Bus itu terlihat aneh. Lampu depannya redup, menyorot ke arahnya seperti mata yang kosong. Tubuh bus berkarat, seolah sudah lama tidak diperbaiki. Jendela-jendela yang kotor membuat bus itu semakin tampak seperti kendaraan yang terlupakan.
Tanpa berpikir panjang, Celine berdiri dan melangkah ke arah pintu bus yang sudah terbuka. Dari dalam, seorang pria tua menatapnya. Matanya kosong, tanpa ekspresi. Dia mengenakan topi usang dan pakaian yang sudah usang. Sopir bus itu hanya menatapnya sejenak sebelum mengangguk pelan.
“Naiklah,” katanya dengan suara serak yang hampir tidak terdengar.
Celine ragu-ragu. Untuk beberapa detik, dia berdiri di ambang pintu, merasa ada sesuatu yang salah dengan situasi ini. Tapi, bus itu tampaknya seperti satu-satunya pilihan yang tersedia. “Mungkin hanya bus biasa,” pikirnya, meskipun perasaan aneh semakin mengganggu.
Dengan langkah yang sedikit ragu, Celine melangkah masuk. Tidak ada suara mesin yang berderu keras, hanya ada suara halus seperti bus itu sedang melayang. Celine duduk di kursi kosong yang terletak agak di belakang. Suasana di dalam bus tidak jauh berbeda dengan luarannya. Kegelapan memenuhi ruang, dan hanya sedikit cahaya lampu yang memberi penerangan.
Dia melirik ke sekeliling. Bus ini tampak sangat sepi. Hanya ada tiga orang penumpang lainnya yang duduk diam di kursi masing-masing, memandang ke depan tanpa menggerakkan kepala atau tubuh mereka. Celine merasa sedikit cemas, namun dia mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Tidak ada suara percakapan. Suasana sangat sunyi. Celine merasa semakin tidak nyaman. Mungkin ini hanya perasaan aneh saja, pikirnya. Tapi kemudian, dia menyadari sesuatu yang lebih janggal. Bus ini mulai berjalan dengan kecepatan yang tidak biasa. Jalannya sangat halus, tidak berguncang sedikit pun. Seperti ada kekuatan lain yang menggerakkannya.
Dia melihat keluar jendela, berharap melihat sesuatu yang familiar, sesuatu yang menunjukkan bahwa bus ini masih berada di jalan yang benar. Namun, yang terlihat justru kegelapan pekat. Jalanan yang tadinya terlihat jelas kini berubah menjadi kabut tebal yang menutupi semua pandangan. “Ada apa ini?” pikirnya, mulutnya terasa kering.
Dengan terburu-buru, Celine mencoba berbicara kepada salah satu penumpang yang duduk di depannya. Seorang wanita dengan rambut panjang terurai. Mungkin wanita itu bisa memberinya jawaban.
“Kak, ini bus ke mana, ya?” tanyanya dengan suara pelan, mencoba memecah keheningan yang mencekam.
Namun, wanita itu tidak menjawab. Celine merasa semakin cemas, ingin memanggilnya lagi, tetapi ketika tangannya menyentuh pundaknya, kepala wanita itu perlahan-lahan berputar. Lebih dari 180 derajat. Mata wanita itu kosong, seperti tidak ada hidup di dalamnya.
“Jangan cari jalan pulang…” wanita itu berbisik, suaranya seperti suara angin, gemetar dan seram.
Celine terkejut, mundur dengan cepat, dan hampir terjatuh dari kursinya. Tubuh wanita itu terkulai, jatuh begitu saja, seperti boneka yang tak bernyawa. Celine hanya bisa menatap dengan mata terbelalak. Wajahnya pucat, dan napasnya terengah-engah. Hal yang baru saja dia lihat membuat seluruh tubuhnya bergetar, dan jantungnya berdetak kencang.
Bus itu berhenti tiba-tiba. Suara rem berdecit keras mengiris telinga, dan Celine merasa dunia sekelilingnya berubah seketika. Dalam sekejap, bus itu sudah tidak bergerak lagi, dan suasana menjadi mencekam.
Bus Tanpa Akhir
Celine terengah-engah, tubuhnya terasa kaku dan matanya masih terfokus pada tubuh wanita yang kini tergeletak di kursi dengan posisi yang tidak wajar. Bus itu berhenti mendadak, dan suasana tiba-tiba berubah menjadi sangat sunyi. Jantungnya berdebar keras, berpacu dengan ketakutannya yang semakin mendalam. Pikirannya kacau, berusaha mencerna apa yang baru saja dilihatnya, tapi tubuhnya seolah tidak mau bergerak.
Suara gemuruh dalam dirinya semakin keras, namun ada satu hal yang membuatnya lebih takut daripada apapun: semua penumpang lain masih diam. Mereka tetap duduk dengan wajah kosong, tidak ada ekspresi, bahkan tidak ada gerakan sedikit pun. Wajah-wajah pucat mereka tampak seperti bayangan yang hilang dari dunia ini.
Celine menggigit bibirnya, berusaha mengusir rasa takut yang merayap di tulangnya. Ia menoleh ke depan, melihat sopir yang terus mengemudi dengan wajah hampa, tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan atau perhatian. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapapun.
Tiba-tiba, sopir itu menoleh ke kaca spion, matanya bertemu dengan mata Celine yang penuh kecemasan. Ada senyum tipis di bibirnya, senyum yang tidak menyenangkan, yang justru semakin menambah ketakutannya. “Kau ingin pulang?” suara sopir itu serak, namun jelas, seperti suara yang sudah lama tak pernah didengar.
Celine hanya mengangguk pelan, suara di kepalanya semakin membingungkan. “Tapi kenapa bus ini berhenti?” tanyanya, mencoba terdengar tenang meskipun dalam hatinya terasa seperti ribuan pisau menusuk.
Sopir itu tidak langsung menjawab. Ia hanya melirik ke luar jendela, seolah melihat sesuatu yang tidak bisa Celine lihat. “Ini adalah tujuanmu,” jawabnya akhirnya, dengan nada yang datar.
Celine mengerutkan kening. “Tujuanku?” Ia merasa ada yang sangat salah dengan jawaban itu. “Ini bukan tempat yang aku kenal. Apa yang sedang terjadi?”
Saat dia membuka mulut untuk bertanya lagi, bus itu mulai bergerak. Tanpa ada peringatan, tanpa suara mesin yang biasanya terdengar keras, bus itu melaju dengan sangat halus, seperti melayang di udara. Celine merasakan punggungnya menempel pada kursi, seolah ada kekuatan tak terlihat yang mendorongnya ke belakang. Dia menggigil, meskipun udara di dalam bus terasa sangat panas.
Dia menoleh lagi ke jendela. Namun kali ini, dia tidak bisa melihat apapun. Gelap. Hanya kabut tebal yang menutupi segala sesuatu di luar bus. Tidak ada tanda-tanda lampu jalan atau bangunan yang bisa dikenali. Hanya ada ruang kosong yang tak berujung. “Ke mana kita pergi?” pikirnya, mulutnya terasa kering.
Penumpang-penumpang lain masih diam. Mereka tidak menunjukkan reaksi apapun. Celine merasa seperti sedang berada di dalam ruang hampa yang tidak bisa dia keluar darinya. Rasa takut semakin menekan dadanya. Tubuhnya terasa berat, napasnya semakin cepat. Dia harus mencari cara untuk keluar. Tetapi bagaimana?
Hatinya berdebar, pikiran terus berputar. Suasana yang begitu mencekam membuat dirinya ingin berteriak, tetapi lidahnya terasa kelu. Dia mencoba berbicara pada penumpang yang duduk di kursi sebelahnya, seorang pria dengan rambut rontok dan wajah yang tampak semakin lama semakin mengkerut.
“Apa yang terjadi dengan bus ini?” Celine berusaha bertanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Namun pria itu hanya menatapnya, dan sebelum Celine bisa memahami reaksinya, kepalanya berputar ke arah yang tidak seharusnya. Lebih dari 180 derajat. Wajahnya yang penuh keriput kini menatapnya dengan mata yang terbuka lebar. Suara pria itu terdengar berat dan berat, hampir tidak bisa dipahami.
“Jangan mencoba lari. Kamu tidak akan bisa keluar dari sini,” kata pria itu, suaranya bergetar, seolah datang dari tempat yang jauh.
Celine terkejut, tubuhnya merinding. Semua darah di tubuhnya seolah berhenti mengalir. “Tidak…” jawabnya terbata-bata, mencoba menahan rasa takut yang mulai memenuhi dada. “Ini tidak nyata. Semua ini tidak nyata.”
Namun bus itu terus berjalan, meskipun Celine tidak tahu ke mana tujuannya. Semuanya terasa semakin aneh. Setiap kali ia melihat ke luar, hanya ada lebih banyak kabut, semakin pekat dan gelap. Tiba-tiba, bus itu berhenti lagi. Namun kali ini, suasana di dalam bus terasa semakin menakutkan.
Lama-lama, bus itu seperti berada di sebuah tempat yang tidak pernah Celine kenali sebelumnya. Tidak ada jalanan, tidak ada lampu, hanya kegelapan yang menelan segalanya. Pintu bus terbuka dengan sendirinya, dan Celine bisa melihat dengan jelas apa yang ada di luar.
Sebuah halte. Namun, ini bukan halte yang dia kenal. Ini adalah halte yang terlihat lebih tua, lebih rusak, dengan papan nama yang hampir roboh dan kursi-kursi yang sudah lapuk. Celine merasa ada sesuatu yang sangat salah. Ada sesuatu yang mengancam.
Tiba-tiba, bus itu berhenti, dan pintu belakang terbuka lebar. Suasana semakin mencekam, seolah ada bayangan yang menunggu di luar sana. Celine berusaha melangkah keluar dari bus, namun langkah kakinya terasa sangat berat, seolah ada sesuatu yang menariknya kembali ke dalam.
Sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, suara dari dalam bus terdengar kembali. “Jangan keluar. Semua penumpang yang pernah keluar, tidak pernah kembali.”
Celine berhenti. Suara itu begitu jelas dan memekakkan telinga. Dada Celine terasa sesak, dan dengan terpaksa, ia menoleh kembali ke dalam bus. Semua penumpang itu, dengan wajah kosong, kini menatapnya dengan tajam. Senyum-senyum kosong muncul di wajah mereka. Seperti mereka tahu sesuatu yang Celine tidak tahu.
Bus itu menunggu. Waktu terasa semakin lama. Waktu seolah berhenti. Celine tidak tahu harus berbuat apa. Langkah pertama yang dia ambil, membawa dia ke dalam lingkaran yang tidak bisa dia hentikan.
Malam semakin mencekam. Celine terperangkap.
Terjebak dalam Kabut
Celine berdiri di ambang pintu bus, perasaan semakin berat di dadanya. Suara gemuruh di telinganya semakin menguat, seolah seluruh bus itu bergetar dengan ancaman yang tak terlihat. Pandangannya berkeliling, matanya kembali menatap para penumpang yang duduk dengan diam, wajah mereka kosong, seolah tak ada kehidupan di sana. Dan di luar bus, kabut itu semakin pekat, menggelapkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Tidak ada suara selain desah napasnya yang terengah-engah.
“Jangan keluar…” Suara itu kembali terdengar, begitu jelas dan mengerikan, seolah datang dari segala arah sekaligus. Celine merinding. Ia merasa tubuhnya seperti terkunci di dalam ruang hampa, terperangkap dalam dunia yang tak bisa ia pahami.
Ia mundur selangkah dari pintu, berusaha mengusir rasa takut yang meliputi dirinya. Namun, langkahnya terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menahan setiap gerakan tubuhnya. Sebuah kekuatan yang tak bisa ia lawan.
“Kenapa… kenapa semua ini terjadi?” gumam Celine, mencoba untuk berpikir jernih. Tapi tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin menghimpit. Matanya tertuju pada sosok pria yang duduk di kursi dekat pintu, yang sebelumnya menatapnya dengan mata yang tidak manusiawi. Kini, pria itu menunduk, wajahnya disembunyikan di balik tangan yang terlipat.
Celine berusaha menghampiri pria itu, berharap dia bisa memberinya jawaban. Mungkin dia tahu sesuatu, mungkin dia bisa membantunya keluar dari situasi ini. Namun, ketika langkahnya semakin mendekat, pria itu mengangkat kepalanya dengan gerakan yang sangat lambat. Wajahnya, yang penuh keriput dan memucat, terlihat semakin mengerikan.
Dia tersenyum, tetapi senyuman itu tidak menunjukkan tanda-tanda kebahagiaan atau kedamaian. Justru, senyum itu terasa seperti ancaman. “Kau masih ingin keluar?” suara pria itu terdengar serak, hampir seperti bisikan yang mengandung bahaya.
“Ya,” jawab Celine tegas, meskipun hatinya bergetar. “Aku harus keluar. Aku harus keluar dari sini.”
Pria itu menggelengkan kepala, gerakannya lembut namun penuh makna. “Tidak ada yang bisa keluar dari sini. Bus ini sudah membawa kita ke tempat yang tidak bisa dijangkau oleh waktu atau ruang. Tak ada yang bisa kembali.”
Kata-kata pria itu membekukan Celine di tempat. Pikiran dan tubuhnya terasa tumpul, seperti ada dinding tebal yang menghalangi setiap usahanya untuk bergerak maju. “Tidak mungkin… Aku masih hidup. Aku bisa kembali,” kata Celine, meskipun hatinya tahu ada kebenaran dalam kata-kata pria itu yang tak ingin ia akui.
Tiba-tiba, sebuah suara lain terdengar dari salah satu penumpang yang duduk di belakang. Suara itu tipis, hampir seperti suara angin yang berbisik, namun cukup jelas untuk membuat Celine menoleh. “Celine… jangan percayakan kata-kata mereka.”
Celine terkejut. Dia menoleh, mencari sumber suara itu. Seorang wanita muda dengan rambut panjang dan hitam seperti arang, duduk di kursi dengan wajah yang sangat pucat. Mata wanita itu menatapnya dengan intens, seolah ada sesuatu yang harus ia katakan, sesuatu yang sangat penting.
“Apa yang kamu maksud?” tanya Celine, meskipun suara itu hampir hilang karena ketegangan yang begitu tebal di udara.
Wanita itu menatapnya lebih dalam, seakan mengukur setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. “Kau harus tahu bahwa bus ini bukan hanya mengantarmu ke tempat yang jauh. Tempat ini mengubah segala sesuatu. Jika kamu mencoba melawan, itu akan mengubahmu. Begitu kamu turun, tak ada yang bisa kembali lagi. Kamu akan terjebak, seperti kami.”
Celine merasakan tubuhnya kaku. Peringatan itu terdengar nyata, seolah wanita itu berbicara dari pengalaman langsung. Tapi Celine tidak bisa berhenti berharap. “Aku bisa keluar… Aku pasti bisa,” desahnya, meskipun dia tidak tahu lagi apakah itu untuk meyakinkan dirinya sendiri atau orang lain.
Wanita itu menggelengkan kepala. “Kamu masih bisa memilih. Tapi pilih dengan hati-hati, Celine. Ada jalan, tapi itu akan memakan segala yang kamu miliki. Kamu tidak akan pernah menjadi diri kamu yang dulu.”
Celine menatap wanita itu dalam kebingungannya, otaknya berputar-putar. Tiba-tiba, bus itu melaju lagi. Pintu belakang tertutup dengan sendirinya, dan bus bergerak dengan kecepatan yang semakin meningkat. Tidak ada suara mesin yang terdengar, hanya deru angin yang semakin kencang, seolah membawa bus itu menuju kegelapan yang semakin dalam.
Dari jendela, Celine melihat kabut semakin meluas, menutupi seluruh pandangan, dan jalanan yang tidak tampak. Namun, di balik kabut itu, ia melihat sesuatu yang lebih gelap lagi. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Sebuah bayangan besar yang bergerak cepat di luar sana. Semakin lama, bayangan itu semakin mendekat, dan Celine merasakan adanya ancaman yang tak terlihat.
Keringat dingin mulai menetes di dahinya. Celine memalingkan wajahnya, berusaha untuk menahan rasa takut yang semakin mencekam. “Apa itu?” tanya Celine, suaranya terdengar lemah. Tapi tak ada yang menjawab. Semua penumpang tetap diam, tidak ada yang bergerak.
Tiba-tiba, bayangan itu muncul di depan kaca jendela. Terlihat jelas kini—sebuah wajah besar, bercahaya dari dalam kabut, dengan mata yang memantulkan cahaya merah darah. Wajah itu memandang Celine dengan tajam, seperti menunggu sesuatu, atau mungkin menuntut.
Celine mundur langkah demi langkah, tetapi wajah itu semakin mendekat. Ketika bayangan itu menyentuh kaca jendela, Celine merasakan tubuhnya bergetar hebat. Seperti ada sesuatu yang merasukinya, membuatnya merasa semakin lemah dan kehilangan kontrol.
“Celine…” suara pria yang tadi berbicara terdengar kembali, tetapi kali ini lebih berat dan lebih penuh ancaman. “Waktu untuk memilih sudah habis.”
Celine menatap wajah itu, yang kini lebih jelas dan sangat nyata di depannya. Wajah itu membuka mulutnya, dan suara bergema seperti guruh terdengar dari dalamnya. “Kamu… akan tetap tinggal di sini selamanya.”
Keputusan Terakhir
Celine terdiam, tubuhnya beku di tempatnya. Wajah itu, dengan mata merah menyala, terus menatapnya, seolah menunggu reaksi darinya. Bus itu semakin mencekam, dan kabut di luar semakin pekat. Setiap detak jantung Celine terasa seperti guntur yang bergemuruh di telinganya. Ia tahu, saat ini, ia sedang berada di ambang keputusan yang bisa mengubah segalanya.
“Tidak…” bisik Celine, matanya tertuju pada wajah itu yang semakin mendekat. “Aku tidak akan terjebak di sini. Aku tidak akan menyerah.”
Suara bayangan itu bergema, menyentuh setiap serat ketakutannya. “Kamu sudah terjebak, Celine. Terlalu lama. Tidak ada jalan kembali.”
Celine menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan dirinya. Setiap desahan napasnya terasa begitu berat, seperti ada beban yang mengikatnya. Namun, saat itu, hatinya memberontak. Ia tidak bisa menyerah begitu saja, tidak bisa membiarkan dirinya terjebak dalam kegelapan ini.
Dengan tangan gemetar, Celine meraih pintu bus dan berusaha membuka. Namun, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menghalanginya. Pintu itu menolak terbuka, walaupun Celine berusaha dengan segala kekuatannya. Rasa takut itu mencekam, namun ada sesuatu dalam dirinya yang berteriak untuk melawan.
“Kenapa tidak ada yang bisa keluar?” suara wanita muda yang duduk di dekatnya terdengar lagi. “Kami sudah mencoba, Celine. Kami semua mencoba untuk keluar. Tapi tidak ada jalan.”
Celine memandang wanita itu dengan tajam, seolah ingin mencari harapan. “Tapi, aku masih bisa mencoba. Aku tidak akan menyerah begitu saja!”
Namun, suara pria yang duduk dekat pintu itu kembali terdengar, kali ini jauh lebih serius dan tegas. “Waktu sudah habis. Jangan membuang waktu lagi.”
Celine bergetar, bukan hanya karena takut, tetapi karena sesuatu dalam dirinya mulai mengerti—bahwa segala sesuatu yang ada di bus ini bukanlah sekadar mimpi buruk. Ia sudah berada dalam perangkap yang sangat nyata, dan untuk keluar, ia harus membuat pilihan. Pilihan yang sangat berat.
Ia melihat keluar jendela, dan bayangan itu semakin jelas. Di luar, kabut itu semakin menyelimuti segala sesuatu, dan jalanan yang seharusnya bisa dilalui tidak lagi tampak. Di dalam bus, para penumpang diam, tampak tidak merasa apa-apa lagi, seperti mereka sudah menyerah pada nasib mereka masing-masing.
Namun, Celine tahu, jika ia ingin keluar, ia harus melewati ketakutan terbesar dalam dirinya—ia harus memilih. Pilihan itu akan menentukan takdirnya, entah itu akan membuatnya bebas atau justru semakin terperangkap.
Tiba-tiba, sesuatu berdesir di hatinya. Sesuatu yang mengarah pada keputusan yang ia tahu harus diambil. Ia menatap pintu bus dengan penuh tekad, meskipun tubuhnya masih gemetar ketakutan. Tanpa menghiraukan suara-suara yang terus mendorongnya untuk menyerah, ia mengulurkan tangannya sekali lagi, kali ini lebih mantap.
Celine menekan tombol pintu dengan jari-jarinya yang hampir mati rasa. Pintu itu akhirnya terbuka sedikit, dan dia bisa melihat dunia di luar bus, yang sudah sangat berbeda—kegelapan yang tak terukur, kabut yang menelan segala sesuatu, bahkan suara-suara yang dulu ia kenal pun terasa begitu jauh.
Sekali lagi, ia mendengar suara pria itu, kali ini penuh penekanan dan ancaman. “Celine, kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan. Keluarlah, dan kamu akan kehilangan segalanya. Bahkan dirimu sendiri.”
Namun, suara itu semakin jauh, semakin memudar, seperti tersedot oleh kekuatan gelap yang menguasai bus itu. Celine menggigit bibirnya, membulatkan tekad.
“I’m not going to stay in this nightmare…” gumamnya dengan penuh tekad, berbisik pada dirinya sendiri.
Dengan satu langkah mantap, Celine melangkah keluar dari bus itu. Rasanya seperti tubuhnya dihantam oleh ribuan batu, namun ia terus melangkah maju, melawan rasa sakit yang menghancurkan setiap sarafnya. Kabut itu menyelimutinya, menutup pandangannya. Namun, meski dunia di sekitarnya tak terlihat, ia merasa ada cahaya di ujung kegelapan itu, seolah ada harapan yang menunggu.
Ketika kakinya menapakkan tanah di luar bus, dunia terasa hening. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Semua terasa begitu damai, seperti waktu berhenti.
Tapi, ketika Celine menoleh untuk melihat bus itu sekali lagi, bus itu mulai menghilang, seperti menguap begitu saja ke dalam kabut. Tidak ada jejaknya. Hanya kekosongan yang tersisa.
Celine menarik napas panjang, perlahan-lahan, dan merasakan udara segar yang membasahi wajahnya. Ia masih tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Namun, satu hal yang ia yakini—ia bebas. Sesuatu yang gelap dan tak terlihat mengikatnya di sana telah lenyap.
Celine menatap ke depan, melangkah jauh dari tempat itu. Ada sesuatu yang baru di hadapannya, sesuatu yang lebih baik. Tak ada lagi bus tua yang mengerikan. Tak ada lagi ancaman atau kabut tebal. Hanya langit yang cerah dan jalan yang terbentang luas.
Dan dengan langkah pasti, Celine berjalan meninggalkan tempat itu, untuk selamanya.
Jadi, setelah semua yang terjadi, Celine akhirnya keluar dari kegelapan yang menjeratnya. Tapi, siapa yang tahu, kan, kalau dunia ini punya cara-cara aneh untuk ngejebak kita? Mungkin, kamu bakal mikir dua kali sebelum naik bus malam lagi.
Dan mungkin, ada tempat-tempat yang sebaiknya kita hindari, karena siapa yang tahu apa yang sembunyi di balik kabut? Semoga cerita ini nggak bikin kamu takut naik bus sendirian, tapi kalau nanti kamu lihat halte bus tua yang sepi, jangan-jangan kamu bakal ingat Celine, dan mungkin, kamu juga bakal berpikir: Apakah aku harus masuk atau… lari aja?