Daftar Isi
Kamu pasti pernah denger kan, kalau rumah sakit itu tempat yang horor banget, terutama kalau udah malam? Bayangin deh, sebuah bangsal yang sepi, cuma terdengar suara mesin yang berdetak dan hawa dingin yang nggak karuan. Tapi ternyata, ada yang jauh lebih serem dari itu: hantu yang senang tertawa.
Bukan cuman tawa biasa, tapi yang bisa bikin bulu kuduk merinding dan nyali ciut. Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dunia itu, ke dalam bangsal rumah sakit yang udah lama jadi tempat tinggal bagi mereka yang… yah, udah nggak ada lagi. Siap-siap, karena ketakutan yang bakal kamu rasain nggak bakal mudah hilang!
Cerpen Horor Bangsal Rumah Sakit
Bisikan di Ujung Koridor
Arel baru saja selesai mengganti seragam perawatnya, mengenakan pakaian biru muda yang khas. Hari itu, bangsal 13 terasa sunyi—seperti biasa. Meskipun sinar matahari menerobos dari jendela, membuat dinding bangsal yang pucat tampak sedikit lebih hidup, ada sesuatu yang tetap terasa asing. Tapi, ia menganggap itu hanya perasaan. Semua bangsal di rumah sakit pasti punya suasana seperti ini, pikirnya.
“Arel!” Suara teriakan dari pintu masuk menarik perhatiannya. Seorang perawat senior, Ibu Rina, berdiri dengan senyum yang bisa dibilang setengah ikhlas. “Kamu shift malam, kan? Jangan sampai lupa periksa pasien di ruang 13 ya, anak baru. Jangan terlalu lama di sini.”
“Ayah, iya, Bu Rina. Saya pasti cek, kok,” jawab Arel dengan senyum ramah, meskipun hatinya sedikit cemas.
Bangsal 13 selalu menjadi tempat yang menarik perhatian. Di luar jam kerja, banyak cerita yang beredar tentang bangsal itu. Ada yang mengatakan bahwa bangsal itu berhantu, bahwa ia dihuni oleh sosok-sosok yang tak terlihat. Arel sendiri tak pernah percaya hal-hal seperti itu. Bagi Arel, cerita-cerita seperti itu hanya untuk menakut-nakuti orang.
Namun, pada malam pertama tugasnya, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Saat berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang 13, ia mendengar suara-suara aneh. Suara itu seperti desahan halus yang datang entah dari mana.
“Pasti cuma angin,” gumamnya pada dirinya sendiri, meskipun ia tidak begitu yakin.
Saat ia memasuki ruang 13, suasana di dalamnya terasa lebih berat. Di dalam ruang itu, hanya ada tiga pasien, yang semuanya tampak tidur dengan tenang. Ada Pak Gana, seorang pria lanjut usia yang sedang menderita stroke. Tidur di ranjang sebelah jendela. Lalu ada Ibu Wulan, seorang wanita tua yang sering mengeluh tentang rasa sakit di kakinya. Dan terakhir, ada Anton, pemuda yang baru saja menjalani operasi patah tulang kaki akibat kecelakaan.
Arel mengambil catatan medis dan mendekati Pak Gana. Tubuh pria itu tampak kurus, dengan wajahnya yang penuh kerutan dan matanya yang setengah terbuka.
“Pak Gana, tidur yang nyenyak ya…” ujar Arel dengan lembut sambil mencatat perkembangan pasien di atas kertas. Namun, Pak Gana hanya diam, tak menjawab.
Arel berpikir, mungkin pria itu sedang tidur lelap. Namun, saat ia kembali menatap Pak Gana, pria itu tiba-tiba berbicara dengan suara pelan, “Dia datang lagi…”
Arel berhenti, menatap Pak Gana dengan bingung. “Siapa, Pak? Siapa yang datang?”
Pak Gana menoleh sedikit, matanya yang hampir kosong hanya menatap Arel dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan. “Perempuan itu…” katanya, suaranya bergetar. “Dia tertawa. Tawa yang buruk.”
Arel mencoba tersenyum, merasa canggung. “Pak, Bapak jangan khawatir, itu cuma bayangan saja.”
Pak Gana mengguncang-guncangkan kepalanya pelan. “Tidak, tidak… Tawa itu. Kalian tidak mendengarnya, tapi aku mendengarnya. Itu tawa yang datang di malam hari, tawa yang mengerikan.”
Arel merasa sedikit tak nyaman. “Pak, coba tidur lagi ya. Saya pastikan tidak ada yang mengganggu.”
Namun, sebelum Arel berbalik pergi, sebuah suara terdengar dari ujung lorong. Suara itu terdengar seperti langkah kaki yang berat, memantul di sepanjang dinding rumah sakit yang sunyi. “Tok, tok, tok.”
Arel menoleh, matanya menangkap sosok bayangan hitam yang melintas cepat di ujung koridor. Hatinya berdebar-debar, namun ia mencoba tetap tenang. Mungkin hanya perawat lain, pikirnya.
Ia melangkah keluar dari ruang 13, menuju lorong yang lebih gelap. Tiba-tiba, sebuah cekikikan kecil terdengar dari arah yang sama. Suara itu lirih, seperti tawa anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Namun, ada sesuatu yang aneh dari tawa itu—seperti ada sesuatu yang tidak beres.
Arel menahan napas, mempercepat langkahnya. “Mungkin cuma imajinasiku,” bisiknya. Tetapi suara tawa itu semakin keras, seolah-olah mengikuti langkahnya.
Saat Arel hampir sampai di meja perawat, lampu di koridor tiba-tiba berkedip. Tertinggal dalam kegelapan sekejap, sebelum akhirnya menyala kembali. Namun, saat itu, tawa itu tak lagi terdengar seperti tawa anak kecil. Kini, tawa itu terdengar lebih dalam, lebih mengerikan—seperti seseorang yang sudah lama hilang akal sehatnya.
Arel membeku di tempat, rasa takut mulai merayap ke sekujur tubuhnya. Ia berbalik perlahan, matanya mencoba menangkap sosok di balik bayangan yang baru saja ia lihat.
Dan di sana, di bawah cahaya lampu yang berkedip, sebuah sosok perempuan muncul. Rambutnya panjang, menutupi sebagian wajahnya yang pucat, mengenakan gaun pasien yang compang-camping. Arel ingin berteriak, tetapi kata-kata itu tak keluar. Matanya hanya terpaku pada sosok itu, sementara tawa perempuan itu semakin keras, semakin menggema di seluruh koridor.
Perempuan itu bergerak perlahan ke arah Arel, tubuhnya terhuyung seperti boneka yang putus talinya. Dan saat dia mendekat, Arel bisa melihat wajahnya—sosok yang tak bisa didefinisikan. Matanya hitam pekat, dan senyum lebar yang mengerikan mulai terbentuk di bibirnya.
Tawa itu semakin keras, menembus ke dalam telinga Arel, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arel merasa benar-benar takut. Takut hingga jantungnya serasa ingin lepas dari dadanya.
“S-s-siapa kamu?” suara Arel tercekat.
Perempuan itu berhenti, hanya beberapa langkah dari Arel. Matanya yang hitam pekat menatap tajam, dan senyum itu semakin lebar. “Aku penjaga… Penjaga bangsal malam.”
Sebelum Arel bisa merespons, perempuan itu menghilang, meninggalkan tawa yang mengisi seluruh bangsal, tawa yang seolah-olah tertawa pada ketakutannya.
Arel berdiri kaku di tempatnya, berusaha menenangkan napas yang terengah-engah. Suasana seakan semakin berat, udara terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Dan di ujung koridor, di bawah lampu yang semakin redup, suara tawa itu kembali terdengar…
“Apa yang sedang terjadi di sini?” gumam Arel, namun ia tahu jawabannya sudah datang. Begitu malam datang, bangsal 13 bukan hanya rumah sakit biasa. Itu adalah tempat di mana kengerian mulai hidup.
Tawa itu tidak akan berhenti.
Tawa di Balik Kegelapan
Malam itu, Arel tidak bisa tidur. Matanya terpejam, tetapi pikirannya tak henti-hentinya membayangkan sosok perempuan yang ia lihat di koridor. Tawa itu terus mengiang di telinganya, seperti terperangkap di dalam otaknya, memutar-mutar dengan suara yang semakin mendalam dan mengerikan.
Ia memutuskan untuk tidak memberitahukan kejadian itu pada siapa pun. Takut dianggap gila atau terlalu membesar-besarkan hal yang tidak ada. Tapi, entah bagaimana, hatinya tak bisa tenang. Rasa cemas yang merayap sejak langkah pertama memasuki bangsal itu kini semakin menyiksa.
Malam itu, bangsal 13 terasa lebih sepi dari biasanya. Cahaya lampu yang terpasang di sepanjang koridor mulai redup, seakan menyesuaikan diri dengan kegelapan yang datang. Hanya suara detak jam yang terdengar berirama monoton, menambah ketegangan yang ada.
Arel mencoba untuk fokus pada tugasnya, mengelilingi ruangan dan memeriksa setiap pasien. Pak Gana, Ibu Wulan, dan Anton masih tidur dengan posisi yang sama seperti tadi siang. Mungkin mereka tidak merasa apa-apa. Tapi, Arel tidak bisa mengusir perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang tidak beres.
Saat ia berada di ruang perawatan Anton, sebuah suara kembali mengganggu ketenangannya.
“Tok… tok… tok…”
Langkah kaki itu. Kali ini lebih keras, lebih berat, dan semakin mendekat. Arel menatap pintu ruang perawatan Anton dengan cemas. Suara langkah itu semakin nyata, seolah-olah datang dari lorong yang semakin dekat.
Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, lalu membuka pintu perlahan.
Di ujung koridor, sosok itu berdiri lagi—perempuan yang sama.
Dia tidak bergerak, hanya berdiri di sana, dalam kegelapan, dengan senyum lebar yang mengerikan. Rambutnya yang panjang tergerai, menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Arel merasakan detak jantungnya semakin cepat.
“A-apa kamu mau apa?” suara Arel bergetar, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutannya.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya tertawa. Tawa itu, tawa yang semakin dekat dan menusuk, berputar-putar di udara, seolah menggelitik setiap saraf Arel.
Arel ingin berlari, tetapi tubuhnya terasa beku. Tak bisa bergerak. Ia menatap perempuan itu dengan ketakutan yang semakin dalam. Matanya, yang hitam pekat seperti kegelapan malam itu, menatapnya tajam.
“Aku tahu kamu akan datang,” perempuan itu akhirnya berkata dengan suara yang lembut, namun ada sesuatu yang tidak manusiawi dalam intonasinya. “Kamu… anak baru. Masih takut, kan?”
Arel hanya bisa mengangguk, bibirnya tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ia merasa seperti terperangkap dalam tatapan mata perempuan itu yang semakin dalam, seperti dua lubang hitam yang siap menelan seluruh dirinya.
Tawa itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras, lebih menakutkan. Arel tidak bisa lagi menahan rasa takutnya. Kakinya bergerak mundur, tapi sesuatu menahan gerakannya. Sesuatu yang tak terlihat, seakan ada kekuatan gaib yang mengikatnya.
Tiba-tiba, perempuan itu melangkah maju. Dengan langkah yang pelan, namun pasti. Setiap langkahnya menambah ketegangan di udara, seperti suara gemerincing batu yang bergerak di bawah kaki Arel.
“Siapa kamu?” Arel akhirnya berhasil bertanya, meskipun suaranya hampir tenggelam dalam rasa cemas yang mencekam.
Perempuan itu hanya tersenyum lebih lebar. “Aku… penjaga. Penjaga bangsal ini,” jawabnya, kata-katanya seperti terpotong-potong, membuat Arel semakin bingung. “Kamu akan melihat banyak hal, Arel. Banyak hal yang tidak bisa kamu bayangkan.”
Arel merasa dunia sekelilingnya berputar. Tawa perempuan itu semakin melengking, memenuhi seluruh lorong, merasuki setiap celah ruang yang ada.
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Arel dengan suara yang hampir tak terdengar.
Perempuan itu tertawa lebih keras lagi, seolah menikmati ketakutan yang terpantul dalam diri Arel. “Apa yang terjadi? Hahaha… Semua yang terjadi di sini adalah bagian dari takdir yang tak bisa diubah. Bangsal ini… adalah penjara. Penjara untuk mereka yang tidak tahu bagaimana cara keluar.”
Arel merasa seluruh tubuhnya gemetar. “Apa maksudmu?”
“Suara tawa ini… adalah suara mereka yang tidak bisa pergi. Mereka terjebak di sini. Kamu tidak akan bisa pergi begitu saja, Arel.” Perempuan itu melangkah lebih dekat, dan kali ini, Arel bisa merasakan hembusan udara dingin yang datang darinya. “Kamu akan tahu apa yang aku maksud… malam ini.”
Dengan gerakan cepat, perempuan itu menghilang dalam sekejap, seperti asap yang tertiup angin. Arel berdiri kaku di tempatnya, tak tahu harus berbuat apa. Tawa itu tetap menggema di telinganya, seakan terus mengikuti setiap langkahnya.
Ia menoleh ke arah Anton dan dua pasien lainnya. Mereka semua masih tidur. Tidak ada yang tahu apa yang baru saja terjadi. Tapi Arel tahu, tidak ada yang bisa menolongnya sekarang.
Malam itu, bangsal 13 tidak hanya menjadi tempat kerja. Itu menjadi dunia lain. Dunia yang tidak bisa ia hindari, tidak bisa ia tinggalkan. Bangsal ini telah menjadi bagian dari dirinya, dan sepertinya, bagian itu tidak akan hilang begitu saja.
Arel melangkah keluar dari ruang perawatan Anton, berusaha untuk tetap tenang. Tetapi di setiap sudut, di setiap lorong yang ia lewati, ia bisa merasakan tatapan mata yang mengintainya, bisa mendengar tawa itu kembali.
“Ini baru permulaan,” gumamnya pada dirinya sendiri, dan ia tahu, tawa itu akan terus menghantui setiap langkahnya.
Tawa di Balik Kegelapan
Malam itu, Arel tidak bisa tidur. Matanya terpejam, tetapi pikirannya tak henti-hentinya membayangkan sosok perempuan yang ia lihat di koridor. Tawa itu terus mengiang di telinganya, seperti terperangkap di dalam otaknya, memutar-mutar dengan suara yang semakin mendalam dan mengerikan.
Ia memutuskan untuk tidak memberitahukan kejadian itu pada siapa pun. Takut dianggap gila atau terlalu membesar-besarkan hal yang tidak ada. Tapi, entah bagaimana, hatinya tak bisa tenang. Rasa cemas yang merayap sejak langkah pertama memasuki bangsal itu kini semakin menyiksa.
Malam itu, bangsal 13 terasa lebih sepi dari biasanya. Cahaya lampu yang terpasang di sepanjang koridor mulai redup, seakan menyesuaikan diri dengan kegelapan yang datang. Hanya suara detak jam yang terdengar berirama monoton, menambah ketegangan yang ada.
Arel mencoba untuk fokus pada tugasnya, mengelilingi ruangan dan memeriksa setiap pasien. Pak Gana, Ibu Wulan, dan Anton masih tidur dengan posisi yang sama seperti tadi siang. Mungkin mereka tidak merasa apa-apa. Tapi, Arel tidak bisa mengusir perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang tidak beres.
Saat ia berada di ruang perawatan Anton, sebuah suara kembali mengganggu ketenangannya.
“Tok… tok… tok…”
Langkah kaki itu. Kali ini lebih keras, lebih berat, dan semakin mendekat. Arel menatap pintu ruang perawatan Anton dengan cemas. Suara langkah itu semakin nyata, seolah-olah datang dari lorong yang semakin dekat.
Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, lalu membuka pintu perlahan.
Di ujung koridor, sosok itu berdiri lagi—perempuan yang sama.
Dia tidak bergerak, hanya berdiri di sana, dalam kegelapan, dengan senyum lebar yang mengerikan. Rambutnya yang panjang tergerai, menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Arel merasakan detak jantungnya semakin cepat.
“A-apa kamu mau apa?” suara Arel bergetar, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutannya.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya tertawa. Tawa itu, tawa yang semakin dekat dan menusuk, berputar-putar di udara, seolah menggelitik setiap saraf Arel.
Arel ingin berlari, tetapi tubuhnya terasa beku. Tak bisa bergerak. Ia menatap perempuan itu dengan ketakutan yang semakin dalam. Matanya, yang hitam pekat seperti kegelapan malam itu, menatapnya tajam.
“Aku tahu kamu akan datang,” perempuan itu akhirnya berkata dengan suara yang lembut, namun ada sesuatu yang tidak manusiawi dalam intonasinya. “Kamu… anak baru. Masih takut, kan?”
Arel hanya bisa mengangguk, bibirnya tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ia merasa seperti terperangkap dalam tatapan mata perempuan itu yang semakin dalam, seperti dua lubang hitam yang siap menelan seluruh dirinya.
Tawa itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras, lebih menakutkan. Arel tidak bisa lagi menahan rasa takutnya. Kakinya bergerak mundur, tapi sesuatu menahan gerakannya. Sesuatu yang tak terlihat, seakan ada kekuatan gaib yang mengikatnya.
Tiba-tiba, perempuan itu melangkah maju. Dengan langkah yang pelan, namun pasti. Setiap langkahnya menambah ketegangan di udara, seperti suara gemerincing batu yang bergerak di bawah kaki Arel.
“Siapa kamu?” Arel akhirnya berhasil bertanya, meskipun suaranya hampir tenggelam dalam rasa cemas yang mencekam.
Perempuan itu hanya tersenyum lebih lebar. “Aku… penjaga. Penjaga bangsal ini,” jawabnya, kata-katanya seperti terpotong-potong, membuat Arel semakin bingung. “Kamu akan melihat banyak hal, Arel. Banyak hal yang tidak bisa kamu bayangkan.”
Arel merasa dunia sekelilingnya berputar. Tawa perempuan itu semakin melengking, memenuhi seluruh lorong, merasuki setiap celah ruang yang ada.
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Arel dengan suara yang hampir tak terdengar.
Perempuan itu tertawa lebih keras lagi, seolah menikmati ketakutan yang terpantul dalam diri Arel. “Apa yang terjadi? Hahaha… Semua yang terjadi di sini adalah bagian dari takdir yang tak bisa diubah. Bangsal ini… adalah penjara. Penjara untuk mereka yang tidak tahu bagaimana cara keluar.”
Arel merasa seluruh tubuhnya gemetar. “Apa maksudmu?”
“Suara tawa ini… adalah suara mereka yang tidak bisa pergi. Mereka terjebak di sini. Kamu tidak akan bisa pergi begitu saja, Arel.” Perempuan itu melangkah lebih dekat, dan kali ini, Arel bisa merasakan hembusan udara dingin yang datang darinya. “Kamu akan tahu apa yang aku maksud… malam ini.”
Dengan gerakan cepat, perempuan itu menghilang dalam sekejap, seperti asap yang tertiup angin. Arel berdiri kaku di tempatnya, tak tahu harus berbuat apa. Tawa itu tetap menggema di telinganya, seakan terus mengikuti setiap langkahnya.
Ia menoleh ke arah Anton dan dua pasien lainnya. Mereka semua masih tidur. Tidak ada yang tahu apa yang baru saja terjadi. Tapi Arel tahu, tidak ada yang bisa menolongnya sekarang.
Malam itu, bangsal 13 tidak hanya menjadi tempat kerja. Itu menjadi dunia lain. Dunia yang tidak bisa ia hindari, tidak bisa ia tinggalkan. Bangsal ini telah menjadi bagian dari dirinya, dan sepertinya, bagian itu tidak akan hilang begitu saja.
Arel melangkah keluar dari ruang perawatan Anton, berusaha untuk tetap tenang. Tetapi di setiap sudut, di setiap lorong yang ia lewati, ia bisa merasakan tatapan mata yang mengintainya, bisa mendengar tawa itu kembali.
“Ini baru permulaan,” gumamnya pada dirinya sendiri, dan ia tahu, tawa itu akan terus menghantui setiap langkahnya.
Bayangan Terakhir
Tangan dingin itu menggenggam pundaknya dengan kuat, membuat tubuh Arel membeku di tempat. Jantungnya berdegup kencang, matanya membelalak seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia rasakan. Namun, saat ia berbalik, tak ada siapa pun di sana.
Pintu ruang perawatan itu tertutup rapat, hanya ada kegelapan yang menyelimuti ruangan. Namun, rasa takut yang mencekam tak bisa dihindari. Tawa itu, yang semula hanya terdengar samar, kini mulai bergema di sekelilingnya. Seolah suara itu berasal dari setiap sudut ruangan. Dari setiap lorong yang gelap.
Arel menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan diri. “Ini hanya halusinasi,” bisiknya pada dirinya sendiri, berusaha mencari kekuatan untuk berlari. Namun, setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seperti ada sesuatu yang menghambat tubuhnya, mengikatnya pada tempat itu. Rasanya seakan ia tak bisa bergerak, terperangkap dalam lingkaran ketakutan yang tak berujung.
Tawa itu semakin keras, semakin dekat, hingga akhirnya terdengar tepat di telinganya. “Kamu sudah terlalu jauh, Arel…” suara itu terdengar begitu jelas, begitu nyata, namun berasal dari sesuatu yang tak terlihat.
Arel menutup mata, mencoba mengabaikan suara itu, namun seketika tubuhnya dipenuhi rasa dingin yang merayap dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seketika, ruangan itu dipenuhi bayangan hitam yang bergerak cepat, mengikuti gerak tubuhnya, memenjarakan Arel di tengah kegelapan yang semakin mencekam.
“Jangan lari,” suara itu kembali terdengar, lebih rendah, lebih mengerikan, seolah datang dari bawah tanah. “Kamu tidak bisa lari. Kami ada di sini, Arel. Kamu ada di sini bersama kami.”
Arel menoleh ke sekeliling, mencari sumber suara itu, namun hanya kegelapan yang terlihat. Ia ingin berteriak, tetapi suara itu terhenti begitu saja di tenggorokannya. Tubuhnya tidak bisa bergerak, terhimpit oleh ketakutan yang begitu nyata. Tawa itu kini menjadi jeritan yang menghantui setiap sudut kesadarannya. Setiap suara di sekitarnya terasa seperti bisikan yang datang dari makhluk yang tak terlihat, seolah seluruh rumah sakit itu hidup dan menyaksikan penderitaannya.
“Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?” Arel akhirnya berhasil berbisik, suaranya hampir tidak terdengar, teredam oleh kegelisahan yang semakin dalam.
Bayangan itu muncul di depan matanya. Perlahan, sosok itu mulai terbentuk. Wajahnya buram, hanya terlihat samar, tetapi tawa yang keluar dari bibirnya membuat jantung Arel hampir berhenti. Tawa itu, begitu keras, begitu mengerikan, seolah tidak ada lagi kemanusiaan di baliknya. Hanya ada kekosongan yang tak terisi, hanya ada kegelapan yang merangkul seluruh ruang itu.
“Kami… kami adalah mereka yang terlupakan. Kami adalah yang hilang,” suara itu bergetar, seolah berasal dari dalam tubuh Arel sendiri. “Kami menunggu. Kami menunggu seseorang yang cukup kuat untuk bertahan. Dan akhirnya, kamu datang…”
Arel merasa tubuhnya terguncang, merasa seperti jatuh ke dalam kegelapan yang tak berujung. Kaki dan tangannya tak lagi bisa digerakkan. Terasa seakan ada tangan yang tak terlihat menahan setiap gerakannya. Wajah itu semakin jelas, dan Arel mengenalinya. Wajah itu adalah wajah para pasien yang hilang satu per satu. Mereka yang meninggalkan dunia ini tanpa jejak, tanpa penjelasan. Kini, mereka hadir di hadapannya, tersenyum, tertawa.
“Jangan takut,” suara itu datang lagi, lebih lembut kali ini. “Kamu tidak sendiri. Kami semua di sini bersamamu.”
Arel ingin berteriak, ingin lari, tetapi tubuhnya seolah tidak bisa bergerak. Pandangannya mulai kabur, dan suara-suara itu semakin terdengar jelas. Tawa itu kini menjadi suara yang memekakkan telinga, memenuhi ruang itu hingga Arel tak bisa lagi membedakan kenyataan dan mimpi buruk yang terus terulang.
Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menunggu. Menunggu untuk menjadi bagian dari mereka yang terlupakan, menjadi bagian dari kegelapan yang tak berujung. Seperti bayangan yang tak pernah bisa lepas dari cahaya. Sebagai bagian dari bangsal yang selalu dihantui oleh mereka yang hilang.
Arel akhirnya mengerti. Tidak ada jalan keluar dari bangsal ini. Dan saat malam datang, semuanya menjadi sangat nyata.
Jadi, gimana rasanya? Ketakutan yang nggak cuma datang dari suara atau bayangan, tapi dari sesuatu yang udah lama berdiam di sana, menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan diri. Rumah sakit itu memang penuh dengan cerita yang nggak pernah selesai, dan nggak ada yang bisa bilang kalau mereka yang sudah pergi benar-benar hilang.
Ketakutan akan terus hidup di setiap sudut, di setiap malam. Semoga, kamu nggak pernah harus menghadapi mereka yang tertawa dalam kegelapan itu. Tapi kalau suatu saat nanti kamu pernah, ingatlah—takut itu wajar, tapi jangan biarkan itu menguasai kamu.