Daftar Isi
Pernah gak sih kamu ngerasa jadi orang yang paling keren di sekolah? Bisa ngatur semuanya, dan semua orang tuh kayaknya takut banget sama kamu. Nah, itu yang dulu dirasain sama Deril, si pembully yang gak pernah kepikiran kalau karma itu bakal ngejar.
Tapi, bayangin deh, kalau kamu tiba-tiba dihantui sama masa lalu yang gelap, dan kamu harus bayar harga atas semua yang pernah kamu lakuin? Cerpen ini bakal ngebawa kamu ke dalam dunia Deril yang berubah dari seorang pembully jadi orang yang bener-bener nyesel. Penasaran? Yuk, simak ceritanya!
Cerpen Hindari Kekerasan di Sekolah
Raja Kecil dan Sang Sasaran
Deril selalu merasa seperti orang paling hebat di sekolah. Tidak ada yang bisa menandingi gengnya. Bersama Reno dan Aji, mereka adalah trio yang tak terpisahkan, dan apa pun yang mereka inginkan, selalu bisa mereka dapatkan. Geng ini sudah terkenal di kalangan siswa kelas 11 dan 12. Mereka bukan cuma jagoan di luar sekolah, tetapi juga penguasa di dalam kelas. Kalau ada yang berani menentang, mereka tinggal ‘menghadapi’ dengan cara mereka sendiri.
Hari itu, mereka sudah memilih sasaran yang baru. Seperti biasa, seorang siswa pendiam yang tidak tahu apa-apa dan hanya ingin menjalani hari-harinya tanpa gangguan. Nama siswa itu Rehan, seorang anak yang jarang bicara, selalu duduk di pojok kelas dengan buku-buku tua di tangannya. Tidak peduli apapun yang terjadi, Rehan tidak pernah melawan. Maka, dia adalah sasaran yang tepat.
“Rehan, sini!” Deril memanggil dengan suara keras. “Buku-bukumu itu gak akan laku kalau cuma ditaro di meja, bro!”
Rehan hanya memandang mereka dengan tatapan kosong, tampaknya ragu untuk menanggapi. Matanya melirik ke buku-bukunya, kemudian kembali menatap Deril.
“Ayo, kasih kita lihat bukumu,” seru Reno, sambil mendekat dan mengambil salah satu buku dari tumpukan di meja Rehan.
“Jangan! Itu milikku,” Rehan berusaha menarik kembali buku itu, tapi tangan Aji sudah lebih cepat mencapainya dan melemparkan buku itu ke Reno.
Deril terkekeh, merasa dirinya menang. “Gue bilang kan, lu gak bakal bisa bertahan sama kita. Sini, kasih semua bukumu. Biar gue yang tentuin apa yang bisa lu simpan.” Deril berdiri dengan senyum kemenangan, menggenggam buku-buku yang dilemparkan Aji.
Rehan berdiri dengan cemas, mencoba meraih kembali buku-bukunya, tapi geng itu terlalu cepat dan sudah menghalangi langkahnya.
Tiba-tiba, suara dingin terdengar, seolah-olah datang dari dalam dinding sekolah. “Berhenti.”
Semua orang terdiam. Suara itu bukan suara guru atau penjaga sekolah. Suara itu seperti datang dari ruang kosong yang entah dari mana.
Deril, yang biasanya begitu percaya diri, sedikit terkejut, namun berusaha tetap santai. “Ah, palingan suara angin doang, Rehan,” katanya sambil tersenyum sinis, mencoba menutupi kegelisahannya.
Namun, Reno dan Aji yang ada di dekat jendela terlihat gelisah. Reno berbalik, matanya menyapu seluruh lorong di luar kelas. Hanya ada bayang-bayang yang bergerak samar di balik pintu yang sedikit terbuka.
“Deril, gue gak bohong, tadi ada suara, deh,” kata Aji, suaranya sedikit gemetar.
Deril mencibir. “Gue gak ada waktu buat dengerin omong kosong kalian. Lu mau jadi bego, ya silakan.”
Tapi meskipun berkata seperti itu, ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. Deril merasakan ada yang salah. Matanya tetap menatap lorong yang sepi, namun perasaan tidak nyaman semakin mengganggunya.
Tiba-tiba, bayangan hitam muncul di ujung lorong kelas. Bayangan itu tidak jelas bentuknya, hanya gelap dan bergerak cepat.
“Kamu pikir, menyakiti orang lain itu lucu?” suara yang dingin itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, seolah berbicara langsung di belakang Deril.
Keringat mulai membasahi pelipisnya. Deril menoleh cepat, namun tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Hanya beberapa teman kelas yang berdiri terpaku, tampak bingung.
“Lu denger gak?” Deril bertanya kepada Reno yang tampaknya sedikit pucat.
“Apa itu, Deril?” Reno menatap lorong dengan mata terbuka lebar, tak tahu harus bagaimana.
“Ada yang salah,” Aji berbisik. “Itu… itu bukan cuma angin. Itu… itu sesuatu.”
“Udah, semua balik aja ke kelas,” Deril mencoba terdengar tenang. “Gue gak peduli. Kalau lu pada takut, silakan keluar aja. Gue gak akan mundur cuma gara-gara suara kayak gitu.”
Tetapi di dalam dirinya, ada perasaan aneh yang terus mengganggu. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Seperti ada yang mengawasi setiap gerakannya. Deril berusaha mengusir perasaan itu, tapi tidak bisa. Keringat di tubuhnya semakin banyak, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ketakutan.
Reno, yang biasanya berani, kini mulai terlihat ragu. “Deril, gue gak tahu kenapa, tapi gue rasa kita harus keluar aja deh. Ada sesuatu yang aneh di sini.”
“Jangan cuma cari alasan. Itu cuma khayalan kalian!” Deril menjawab keras, mencoba menghilangkan rasa cemas yang mulai merasuki hatinya.
Namun, di dalam hatinya, suara itu kembali terdengar, semakin keras. “Kamu harus berhenti.”
Saat itulah, untuk pertama kalinya, Deril merasa seolah-olah ada yang mengawasinya.
Gengnya melangkah mundur, dan Deril mengikuti mereka, meskipun ada rasa takut yang tumbuh dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, Deril tidak merasa seperti penguasa di sekolah ini. Bayangan itu mengikutinya, dan dia tahu, ini baru permulaan.
Suara di Lorong Sepi
Keesokan harinya, Deril mencoba menenangkan dirinya. Ia masih merasa aneh dengan kejadian semalam, tetapi sebagai seorang pemimpin geng, ia tidak bisa menunjukkan ketakutannya. Dia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan suara misterius yang mengganggunya. Namun, meski berusaha terlihat biasa, ada perasaan yang terus menggeliat di dalam dirinya. Perasaan seperti ada sesuatu yang mengawasi, sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain, tapi nyata di matanya.
Saat Deril berjalan menuju kelas, matanya tetap memindai lorong-lorong sekolah. Setiap langkah terasa berat, seperti ada bayangan yang mengikuti di belakangnya, meskipun ia tak melihat siapa pun. Reno dan Aji berjalan di sebelahnya, tapi mereka tampak tidak nyaman. Mereka tidak berkata apa-apa, seolah mereka tahu bahwa Deril juga merasa cemas, tetapi tidak mau mengakuinya.
“Bro, kemarin lo denger suara itu juga kan?” tanya Reno dengan suara pelan, hampir seperti berbisik, meskipun tidak ada yang lain di sekitar mereka.
Deril hanya mengangguk, tapi tidak mengatakan apa-apa. Ia berusaha keras menutupi kegelisahannya. “Udah, jangan banyak ngomong. Itu cuma suara angin atau apalah,” jawabnya, walaupun hatinya berkata lain.
Namun, sepanjang jalan menuju kelas, perasaan itu semakin menguat. Deril merasa ada yang mengikuti mereka. Bahkan saat ia melangkah cepat, suara langkah kaki di belakangnya tampak semakin mendekat. Deril menoleh, tapi hanya melihat beberapa siswa yang berjalan dengan santai, tidak ada yang tampak mencurigakan.
Setibanya di kelas, Deril duduk dengan canggung di tempatnya. Matanya melirik ke seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang aneh. Tetapi bahkan di dalam kelas yang ramai, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres.
Rehan, yang tadi pagi sempat menjadi sasaran kekerasan mereka, duduk di pojok kelas dengan wajah tenang. Buku-buku tua di tangannya tampak sama seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda. Rehan sepertinya tidak terpengaruh dengan semua yang terjadi, seolah-olah dia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Itu membuat Deril sedikit heran. Kenapa Rehan bisa begitu tenang? Bahkan setelah apa yang mereka lakukan padanya?
Tiba-tiba, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat dari sebelumnya. “Berhenti.” Suara itu seolah berbisik langsung di telinga Deril, membuatnya menggigil.
Deril menahan napas, mencoba tidak terlihat panik. Namun, Reno dan Aji yang duduk di sebelahnya mulai melirik satu sama lain. “Gue gak tahan, bro,” bisik Aji dengan cemas. “Gue bisa denger lagi, suara itu. Kayak ada yang ngomongin kita.”
Deril menoleh ke arah mereka, mulutnya terkatup rapat. Ia tahu bahwa mereka semua merasa cemas, tetapi tidak ada yang mau mengakuinya. Hanya satu yang mereka semua tahu: ada sesuatu yang mengintai di dalam sekolah ini, dan itu bukan hanya khayalan.
Beberapa menit kemudian, bel sekolah berbunyi, menandakan waktunya untuk istirahat. Deril memutuskan untuk pergi ke luar kelas dan mencoba menghirup udara segar. Mungkin udara segar bisa membersihkan pikirannya yang semakin kacau.
Saat ia melangkah menuju halaman sekolah, ia melihat Rehan duduk di bawah pohon, masih dengan buku-buku tuanya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Bayangan hitam yang sama, yang ia lihat kemarin di lorong, melintas di sudut matanya. Deril hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bayangan itu bergerak di sekitar Rehan, tapi Rehan tidak tampak terpengaruh.
Deril mendekat, perlahan-lahan. “Rehan…” suaranya serak. “Lu… denger gak suara itu?”
Rehan mengangkat wajahnya dan menatap Deril dengan tatapan kosong. “Suara itu? Sudah lama sekali aku mendengarnya,” jawabnya pelan. “Tapi aku tidak takut lagi.”
Deril terdiam. “Lu gak takut? Itu… itu bukan cuma suara, Rehan. Ada sesuatu yang aneh di sekolah ini.”
Rehan tersenyum tipis. “Aku tahu. Tapi suara itu datang bukan untuk menghancurkan, Deril. Itu datang untuk memberi peringatan.”
Deril merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Peringatan? Peringatan apa?”
Rehan menutup bukunya dan berdiri, langkahnya pelan. “Bahwa apa yang kamu lakukan itu salah. Bahwa kalian akan dihukum jika terus seperti ini. Itu yang akan kamu rasakan. Tapi hanya jika kamu mau mendengarkan suara itu.”
Deril tercengang. “Hukuman?”
Rehan menatapnya dalam-dalam, seolah-olah melihat ke dalam jiwanya. “Terkadang, kita harus merasakan apa yang kita lakukan pada orang lain, baru kita tahu rasanya.”
Deril merasa ada berat di dadanya. Kata-kata Rehan semakin membuatnya bingung. “Lu ngomong apa sih?”
Namun, sebelum Rehan bisa menjawab, bayangan itu kembali muncul, lebih jelas daripada sebelumnya. Bayangan hitam besar yang seolah menyelimuti seluruh halaman. Deril terkejut dan mundur beberapa langkah, matanya membelalak.
“Kamu tidak bisa lari dari apa yang telah kamu lakukan,” suara itu terdengar lagi, lebih keras, menggema di sekelilingnya.
Deril berbalik dan lari menuju kelas, meskipun kaki rasanya semakin berat. Suara langkah kaki di belakangnya semakin jelas, seolah-olah sesuatu mengikuti dengan cepat. Begitu ia memasuki kelas, suara itu berhenti. Tetapi perasaan takut itu masih mengendap, tidak pergi. Bayangan itu tidak hilang, dan Deril tahu, ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar yang akan datang.
Di dalam kelas, Rehan duduk dengan tenang seperti biasa, seolah-olah semua yang terjadi tidak mempengaruhi dirinya. Deril merasa tertekan. Perasaan aneh itu semakin kuat.
Apa yang sebenarnya terjadi di sekolah ini? Dan apakah ini ada hubungannya dengan apa yang telah ia lakukan?
Ketakutan yang Tak Terlihat
Hari-hari setelah pertemuan dengan Rehan semakin aneh bagi Deril. Setiap langkah yang ia ambil di sekolah terasa seperti ada bayangan yang mengikuti, mengawasi setiap gerak-geriknya. Meskipun ia berusaha keras untuk terlihat biasa, ketakutannya mulai semakin menggerogoti pikirannya. Bahkan di tengah keramaian, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Seolah-olah setiap orang di sekelilingnya adalah bayangan dari masa lalunya yang tak bisa ia lupakan.
Di hari yang sama, saat istirahat, Deril duduk di pojokan kantin bersama Reno dan Aji. Mereka makan dengan hening, masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Tak ada yang berani bicara lebih dulu, meskipun mereka tahu suasana hati Deril lebih gelap dari biasanya.
“Bro, gimana sih lo? Kok kayaknya lagi gak enak banget,” tanya Reno, meskipun jelas terlihat bahwa dia sendiri juga mulai merasakan ketegangan yang sama.
Deril hanya mengangkat bahu, berusaha menutupi rasa takutnya. “Gak apa-apa, cuma lagi capek aja,” jawabnya singkat.
Aji menatapnya tajam. “Lo gak bisa bohong, Deril. Kita semua bisa ngerasain. Ada yang aneh di sini.”
Deril menatap teman-temannya satu per satu, lalu matanya kembali melirik ke pintu kantin, merasakan seolah ada seseorang yang mengawasi mereka dari luar. Ia berusaha mengalihkan pandangannya, tapi bayangan itu semakin jelas. Terlihat dari kaca jendela, seorang sosok berdiri di luar, mengenakan pakaian gelap, wajahnya tertutup bayangan. Deril menelan ludah, merasa jantungnya berdegup kencang.
Aji mengikuti arah pandang Deril, dan matanya menyipit. “Bro, lo liat itu juga?” tanyanya dengan suara pelan, cemas.
Deril mengangguk perlahan. “Kita harus pergi dari sini,” ujarnya dengan suara tercekat. “Sekarang!”
Mereka bertiga berdiri dengan tergesa-gesa, meninggalkan meja dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Tapi semakin mereka menjauh, semakin terasa ada sesuatu yang mengikuti mereka. Di setiap sudut yang mereka lewati, bayangan itu selalu ada, seperti mengejar, tapi tetap tak terlihat jelas.
Saat mereka melangkah ke luar sekolah, langit tiba-tiba berubah suram. Awan gelap menyelimuti langit, memberikan kesan bahwa mereka tidak sedang berada di dunia yang sama. Deril menoleh ke belakang, berharap bayangan itu hanya halusinasi, tetapi tidak. Bayangan itu semakin dekat, langkahnya semakin keras, seperti derap kaki yang tak bisa ditahan.
“Lo liat kan?” Reno berbisik, wajahnya pucat. “Ada yang ngikutin kita, kan?”
Deril mengangguk, kepalanya berdenyut. “Kita harus pergi ke tempat yang ramai, gak bisa di sini.”
Mereka berlari menuju taman dekat sekolah, tempat yang biasanya penuh dengan orang-orang. Namun kali ini, suasana terasa sepi dan mencekam. Hanya ada angin yang berhembus pelan, menciptakan suara gemerisik daun yang mengingatkan Deril pada suara yang ia dengar malam itu.
Di tengah taman, mereka berhenti sejenak, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba, Rehan muncul di depan mereka, duduk di bangku taman yang biasanya kosong, matanya yang kosong menatap Deril dengan tajam.
“Apa yang terjadi?” tanya Rehan, suaranya tenang namun tegas.
Deril mendengus, merasa marah. “Kenapa lo tahu apa yang sedang terjadi? Apa lo juga bisa denger suara itu?”
Rehan mengangguk perlahan. “Aku tahu, karena aku sudah lama mendengarnya. Dan aku tahu, apa yang terjadi sekarang adalah akibat dari tindakan kalian. Tapi bukan karena kalian berbuat jahat. Itu karena kalian tidak pernah berhenti mendengarkan.”
Aji dan Reno saling bertukar pandang. “Maksud lo apa, Rehan?” tanya Reno bingung.
Rehan tersenyum tipis. “Sekolah ini punya cerita lama, cerita yang tidak pernah kalian dengar. Seorang siswa yang pernah melakukan hal yang lebih buruk dari apa yang kalian lakukan sekarang. Dan dia juga mendengar suara itu, persis seperti kalian.”
Deril merasa ada beban berat yang mendesak dada. “Dan apa yang terjadi pada orang itu?”
Rehan menatapnya dengan tatapan penuh arti. “Dia dihukum, tapi bukan oleh orang lain. Itu oleh dirinya sendiri. Setiap perbuatan buruk akan menemukan jalannya kembali. Hukumannya bukanlah kekerasan fisik, tetapi ketakutan yang semakin merasuk ke dalam diri.”
Deril tidak mengerti. “Jadi, ini… ini semua salah kita?” suaranya hampir tidak terdengar, seperti bisikan yang hilang tertelan angin.
Rehan mengangguk. “Kalian harus berhenti. Berhenti dari apa yang kalian lakukan. Karena kalau tidak, suara itu tidak akan berhenti menghantui kalian.”
Deril menatap Rehan, tetapi kata-katanya seperti menyentuh tempat yang terdalam dalam dirinya, membuat hatinya bergetar. Ada ketakutan yang tak bisa dijelaskan, seperti ada sesuatu yang sangat mengancam. Bayangan itu semakin dekat, semakin nyata, dan semakin menakutkan.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Deril dengan suara rendah, hampir putus asa.
Rehan hanya menjawab dengan satu kalimat. “Dengarkan suara itu. Karena hanya dengan mendengarkan, kalian bisa menemukan jalan keluar.”
Tanpa berkata lebih banyak, Rehan berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan mereka yang masih terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Ketakutan semakin melingkupi mereka. Bayangan itu semakin jelas, dan Deril merasa, semakin lama, semakin besar pula ketakutan itu. Seperti ada sesuatu yang siap menyambarnya kapan saja.
Deril tahu satu hal: Ia harus berubah, sebelum semuanya terlambat. Tetapi pertanyaan yang menggantung adalah, apakah ia bisa mengubah dirinya sendiri?
Jalan Menuju Pembebasan
Hari-hari setelah peringatan Rehan terasa semakin berat bagi Deril dan teman-temannya. Ketakutan yang mulai merasuki mereka semakin nyata, dan meskipun mereka berusaha untuk berbuat baik, bayangan itu selalu ada, mengintai di setiap sudut. Deril merasakan setiap langkahnya menjadi lebih berat, seolah ada sesuatu yang mengikatnya, menariknya ke dalam kegelapan yang tidak bisa ia hindari. Bahkan di tengah keramaian, suara itu terus bergema, seolah mengingatkannya akan segala kesalahan yang pernah ia buat.
Namun, semakin lama Deril mulai menyadari satu hal penting. Ia tidak bisa melarikan diri selamanya. Ketakutan yang mengganggu pikirannya bukan hanya tentang bayangan yang mengejarnya, tapi tentang perasaan bersalah yang terus menghantui. Dan kini, di hadapannya, hanya ada satu pilihan: menghadapi apa yang telah ia lakukan, atau terjerumus lebih dalam ke dalam ketakutan yang tak berujung.
Pagi itu, di tengah keramaian sekolah, Deril duduk sendiri di bangku taman. Suasana di sekitarnya terasa sepi, meskipun banyak siswa yang lalu lalang. Deril menatap langit yang kelabu, menunggu sesuatu yang tak pasti. Tiba-tiba, seseorang duduk di sampingnya. Reno, dengan wajah serius dan penuh kecemasan.
“Kita harus bicara, Deril,” kata Reno dengan nada yang berbeda dari biasanya.
Deril menoleh ke samping. “Apa yang lo maksud?”
“Aku gak bisa terus-terusan seperti ini,” Reno melanjutkan. “Kita harus bener-bener berubah, gak hanya demi kita, tapi demi mereka yang udah kita sakiti.”
Deril menelan ludah. “Tapi bagaimana caranya, Reno? Gimana kalau kita nggak bisa ngelakuin itu?”
Aji yang muncul dari balik pohon, ikut bergabung. “Kita udah terlanjur, Deril. Tapi kalau kita gak mulai sekarang, selamanya kita akan dihantui oleh semua ini.”
Deril menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Tapi aku gak bisa lupakan semuanya. Itu gak semudah yang lo bayangin.”
“Lo gak perlu lupakan, Deril,” jawab Aji. “Cukup terima. Kalau lo nggak bisa terima itu, ya lo gak bakal bisa move on.”
Pikiran Deril berputar. Dia teringat saat pertama kali menindas Rehan, saat-saat dimana mereka merasa jadi penguasa sekolah, seolah-olah tidak ada yang bisa menghentikan mereka. Tetapi kini, semuanya berbeda. Rehan sudah mengatakan bahwa mereka harus mendengarkan suara itu, suara penyesalan yang mereka hindari begitu lama.
“Kita harus minta maaf,” Deril akhirnya berkata, suaranya penuh tekad. “Bukan cuma ke Rehan, tapi ke semua orang yang pernah kita sakiti. Kalau itu yang bisa menghentikan semua ini, maka itu yang harus kita lakukan.”
Reno dan Aji saling bertukar pandang, merasa terkejut sekaligus lega. “Kita bakal mulai dari mana?” tanya Reno.
“Dari yang pertama,” jawab Deril, menatap mereka dengan serius. “Kita minta maaf ke Rehan.”
Tanpa menunggu lebih lama, ketiganya berjalan menuju ruang kelas Rehan. Begitu sampai di depan pintu, Deril berhenti sejenak. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang semakin kencang. Semua ketakutan yang selama ini ia rasakan terbayang kembali, tetapi kali ini ia tidak mundur.
Rehan sedang duduk di mejanya, menatap layar ponsel. Deril menghampirinya dengan perlahan, diikuti oleh Reno dan Aji. Mereka berdiri di depan Rehan, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Deril berbicara.
“Rehan,” suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya. “Kita… kita minta maaf. Semua yang udah kita lakuin ke lo, itu salah. Kami gak punya alasan buat itu. Dan kami sadar, itu gak cuma bikin lo sakit hati, tapi juga nyakitin diri kita sendiri.”
Rehan mendongak, menatap mereka dengan tatapan tenang, hampir seperti tidak terkejut. “Kalian akhirnya paham,” ujarnya, suaranya datar.
Deril mengangguk, merasa ada beban yang sedikit terangkat dari pundaknya. “Iya, kami paham. Dan kami siap untuk berubah.”
Rehan tersenyum tipis, namun tatapannya tidak lagi keras. “Perubahan itu bukan cuma tentang kata-kata. Tapi tentang apa yang kalian lakukan setelahnya.”
Deril merasa lega. Meskipun kata-kata Rehan masih terngiang di telinganya, ia merasa langkah pertama sudah diambil. Ia berbalik dan melangkah keluar dari ruang kelas, bersama Reno dan Aji. Mereka berjalan menyusuri koridor dengan perasaan yang lebih ringan.
Tapi yang lebih penting adalah, mereka sudah memulai perjalanan menuju perubahan. Perjalanan yang mungkin tidak mudah, tetapi mereka tahu bahwa itu adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan diri mereka dari ketakutan yang telah lama menghantui.
Ketakutan itu, yang dulu terus mengejar mereka, kini perlahan mulai memudar. Tidak karena mereka menghindarinya, tetapi karena mereka menghadapi masa lalu mereka dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Deril tahu bahwa jalan ke depan tidak akan mudah. Tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan. Harapan bahwa setiap orang bisa berubah, dan bahwa setiap kesalahan, meskipun besar, tetap bisa ditebus dengan penyesalan yang tulus dan niat untuk berbuat lebih baik.
Dan meskipun bayangan itu mungkin tidak sepenuhnya hilang, Deril akhirnya tahu bahwa untuk menghadapinya, ia harus berani menatapnya dengan mata terbuka.
Jadi, siapa bilang perubahan itu gak mungkin? Kadang, untuk bisa jadi lebih baik, kita harus menghadapi masa lalu yang gelap dan belajar dari setiap kesalahan. Deril gak langsung jadi orang baik, tapi dia berusaha untuk berubah.
Dan mungkin, perjalanan kita untuk menjadi lebih baik juga gak akan langsung mulus. Tapi yang penting, kita udah mulai, kan? Jadi, jangan takut buat memperbaiki diri dan menjalani hidup yang lebih baik. Karena siapa tahu, langkah pertama itu yang akan ngebawa kita menuju kebahagiaan yang sejati.