Cerpen Haruskah Aku Mati untuk Mama? Kisah Seorang Anak yang Terabaikan dan Mencari Harapan

Posted on

Udah capek banget rasanya, kayak hidup ini nggak ada artinya. Terlalu sering merasa nggak dianggap, bahkan sama orang yang seharusnya selalu ada buat kita. Tapi, kadang dalam keputusasaan, kita bisa nemuin sedikit cahaya, meskipun cuma sekecil apapun. Cerita ini mungkin bakal bikin kamu mikir, Apakah hidup aku juga nggak berarti? Tapi inget, kamu nggak sendiri.

 

Cerpen Haruskah Aku Mati untuk Mama?

Bayangan yang Tak Terlihat

Hari itu seperti hari-hari lainnya. Aku bangun lebih pagi dari biasanya, meskipun tidak ada alasan jelas kenapa aku harus terburu-buru. Tapi rasa tidak nyaman yang sudah mengendap sejak semalam membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Aku melangkah menuju dapur, berharap bisa menyiapkan sarapan. Tapi begitu sampai, Mama sudah ada di sana. Tangan kanannya sibuk menyiapkan kopi, sedangkan tangan kirinya memegang ponsel, matanya tidak pernah lepas dari layar.

Aku berdiri di ambang pintu dapur, tidak tahu harus melakukan apa. Tapi Mama sudah lebih dulu menoleh dengan ekspresi yang membuat napasku tercekat.

“Kamu ngapain di sini?” suaranya keras, tanpa senyum sedikit pun.

Aku mengerjapkan mata, merasa kaget. “Aku cuma mau bantuin,” jawabku pelan.

“Bantuin?” Mama melirikku dari atas ke bawah, seolah aku baru saja melakukan kejahatan besar. “Sejak kapan kamu bisa bantu? Yang kamu bisa cuma bikin masalah.”

Aku menelan ludah, menundukkan kepala. Kata-katanya selalu seperti itu, menusuk tanpa henti. Seperti pisau yang menghantam jantungku setiap kali.

Aku coba berbicara lagi, mencoba meyakinkan diriku sendiri untuk tidak menyerah begitu saja. “Ma, aku kan cuma mau bantu… Kan pagi-pagi begini biasanya kita makan bareng?”

Mama menghela napas panjang, dan kemudian dengan santai melanjutkan aktivitasnya seolah aku tidak ada. “Yaudah, buat aja sendiri.” Suaranya dingin, lebih dingin dari kulkas yang ada di sudut dapur.

Aku mengangguk pelan, berbalik dan melangkah menuju meja makan. Tangan kananku meraih piring, tetapi tiba-tiba terdengar suara tawa Nara, adikku, dari ruang tengah. Tawa yang begitu ceria, yang selalu membuatku merasa asing. Seolah mereka berdua hidup di dunia lain, dunia yang tidak termasuk aku.

Aku menggigit bibir, berusaha keras menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di dada, tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Tidak ada yang mengerti, bahkan Mama sekalipun.

Siang itu, aku duduk di ruang tamu, menatap televisi yang tidak kutonton. Semua terasa kosong. Bahkan suara yang terdengar dari ruang makan, percakapan antara Mama dan Nara, semakin menjauhkan aku dari kenyataan. Aku seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar terlihat.

Nara masuk ke ruang tamu, melewati aku yang hanya duduk termenung. Dia tidak berkata apa-apa, hanya melirikku sekilas sebelum menuju kamar. Itulah yang selalu terjadi—kami seperti dua dunia yang berbeda.

Aku melanjutkan mengamati jari-jari tangan kiriku yang gemetar. Apakah aku selalu seperti ini? Apa aku memang tidak bisa menjadi cukup baik bagi Mama? Kadang aku berpikir, jika aku hilang dari hidup mereka, mungkin mereka akan lebih bahagia. Mungkin Nara tidak akan selalu merasa tertekan dengan kehadiranku.

Pikiran itu datang lagi, seperti yang sudah berulang kali datang setiap hari.

Aku ingin berteriak, ingin memberitahu Mama bahwa aku capek, tapi setiap kali aku membuka mulut, hanya kata-kata yang tak pernah didengar yang keluar.

Pagi berikutnya, aku mencoba memasak sarapan. Bukan karena aku ingin membantu, tapi lebih karena aku ingin merasa ada. Mungkin jika aku bisa memasak sesuatu yang sempurna, Mama akan melihatku, sedikit saja. Aku mengupas kentang dengan hati-hati, seperti sedang memotong potongan-potongan kecil dari hatiku sendiri.

Namun, saat Mama masuk ke dapur, ekspresinya langsung berubah. Mata yang biasanya dingin itu seketika menjadi lebih tajam, seperti mata pedang yang siap menghujam.

“Kamu lagi?” katanya, suara penuh kekesalan. “Kamu nggak bisa nggak usah ganggu aku barang satu menit, ya?”

Aku memegang pisau lebih erat, berusaha menenangkan diri. “Aku cuma mau bantu, Ma…”

Mama menggelengkan kepala dengan cepat, dan tatapannya semakin menusuk. “Bantu? Bantu apa? Apa kamu kira aku butuh bantuanmu? Jangan ganggu aku!”

Kalimat itu seperti petir yang menyambar langsung ke wajahku. Aku mencoba untuk tidak menangis, tapi rasanya sulit sekali untuk menahan semuanya. Mata ini mulai berkabut. Namun, aku hanya bisa terdiam. Tidak ada yang bisa aku katakan lagi. Tidak ada yang mengerti.

Waktu sore datang, aku melangkah keluar rumah. Aku tidak tahu ke mana, hanya ingin melarikan diri. Terkadang, dunia terasa terlalu berat untuk dijalani. Aku hanya ingin merasa bebas—bebas dari semua kebencian yang tak pernah bisa aku pahami.

Aku berjalan tanpa tujuan. Rasanya seperti ada yang menahan napasku, seperti udara itu sendiri menjadi musuh. Setiap langkahku terasa lebih berat, seperti aku membawa beban yang tak terlihat.

Namun, di satu sudut jalan, aku berhenti. Tanpa kusadari, aku sudah berdiri di depan toko buku bekas yang selalu aku lewati. Aku masuk tanpa berpikir panjang, hanya untuk mengalihkan perhatian. Di sana, buku-buku yang sudah usang memenuhi rak. Aku memegang satu, lalu membuka halaman demi halaman tanpa tujuan, hanya agar pikiranku tidak berputar-putar di tempat yang sama.

Aku kembali menatap langit. Matahari sudah tenggelam, dan udara terasa lebih dingin. Mungkin kalau aku tidak pernah ada, dunia ini akan lebih baik. Mungkin kalau aku hilang, Mama dan Nara akan hidup dengan lebih bahagia.

Pikiranku semakin gelap, semakin jauh. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan.

Tapi malam itu, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang belum pernah kurasakan. Sebuah rasa… rasa yang tak bisa dijelaskan.

 

Luka yang Tak Terucap

Keheningan malam itu hampir sempurna. Aku duduk di kamar, menatap keluar jendela yang hanya disinari cahaya lampu jalan yang redup. Pikiranku berputar-putar tanpa henti, seperti roda yang terus bergerak tanpa tahu tujuannya. Ada begitu banyak pertanyaan yang mengalir, tapi tidak ada jawaban yang muncul.

Aku memutuskan untuk pergi tidur, berharap aku bisa melupakan semua ini dalam mimpi. Tapi nyatanya, tidur tidak datang dengan mudah. Bahkan mata ini terasa lebih berat karena rasa cemas yang terus menghantui. Aku sudah terlalu lama merasa seperti ini—terasing, tak berarti, terbuang. Setiap napasku terasa sesak, setiap langkahku terasa lebih berat dari yang sebelumnya.

Pagi datang dengan lambat, seperti biasa. Begitu aku membuka mata, aku langsung teringat pada perasaan malam sebelumnya—perasaan kosong yang seperti tak ada ujungnya. Aku bangkit, lalu menghadap cermin di sudut kamar. Melihat wajahku yang tampak lebih lelah dari sebelumnya. Mungkin inilah aku sekarang—hanya bayangan diri yang tak pernah bisa benar-benar dilihat.

Aku turun ke dapur dan menemukan Mama sedang duduk di meja makan. Nara tidak ada. Biasanya, aku senang melihat Nara di rumah. Dia seperti cahaya yang bisa sedikit mengurangi gelapnya hatiku, meski tak banyak yang bisa kami bicarakan. Tapi kali ini, dia tidak ada di sana.

Mama menatapku begitu aku masuk. “Mau apa?” suaranya terdengar datar, tak ada emosi apapun.

Aku menelan ludah, merasa jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. “Aku… cuma mau makan pagi, Ma.”

“Jangan ganggu aku, Elio.” Mama berkata sambil mengalihkan pandangannya ke layar ponsel. “Nara lagi keluar sama temannya. Kamu ngapain di sini? Kalau cuma mau makan, ambil aja sendiri.”

Aku mengangguk, meski rasa sakit itu kembali muncul. Aku tidak tahu kenapa aku masih merasa ingin ada, padahal selama ini aku selalu diabaikan begitu saja. Aku berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Tapi, aku terlalu lelah untuk melawan.

Hari itu berjalan seperti biasa—lambat dan penuh dengan keheningan yang tak bisa terpecahkan. Aku pergi ke sekolah, menjalani rutinitas yang sudah terasa membosankan. Di kelas, semuanya berjalan dengan normal. Teman-temanku tidak pernah peduli, mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri. Aku tidak pernah merasa ada tempat untukku di antara mereka.

Di luar kelas, aku melihat sekelompok anak berkerumun, tertawa terbahak-bahak, berbicara tentang hal-hal yang sepertinya begitu penting bagi mereka. Aku hanya berdiri di sudut, memandangi mereka dengan perasaan yang tak terungkapkan. Ada rasa iri, ada rasa sakit yang tajam, tetapi aku tak bisa mengatakannya. Tidak ada yang akan peduli jika aku bicara.

Lalu, aku teringat pada Mama. Teringat bagaimana dia selalu mengatakan bahwa aku hanya membuang-buang waktu, bagaimana aku selalu gagal melakukan apa pun dengan benar. Aku sudah lama berhenti mencoba untuk mencari pengakuannya. Mama, entah kenapa, sepertinya tidak pernah benar-benar melihatku—aku hanya anak yang ada di sana, yang sering dipandang sebelah mata.

Setelah pulang, aku kembali ke rumah dengan langkah yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Sesampainya di rumah, aku melemparkan tas sekolahku ke sudut ruangan dan berjalan menuju ruang tamu. Tidak ada suara yang menyambut, tidak ada yang menanyakan bagaimana hariku. Keheningan itu semakin menekan dada dan membuat kepalaku berdenyut semakin keras.

Aku masuk ke kamar dan duduk di tepi ranjang, menatap ponsel yang tergeletak di sampingku. Tidak ada pesan dari siapa pun. Tidak ada yang ingin berbicara denganku. Tidak ada yang peduli.

Sejenak, aku berpikir apakah ada yang lebih buruk daripada merasa seperti ini. Ketika aku merasa diabaikan, dilupakan, bahkan dibenci. Aku meraih sebuah buku di meja dan membuka halaman-halamannya tanpa tujuan. Mataku kosong, pikiranku jauh.

Sampai aku mendengar suara langkah kaki di luar kamar. Mama masuk tanpa mengetuk, dan tanpa kata-kata dia duduk di kursi dekat meja. Aku menatapnya dengan perasaan yang semakin sulit dijelaskan.

“Mama…” Aku ingin berbicara, tapi kata-kataku serasa tersangkut di tenggorokan.

Mama tidak menoleh padaku. “Kamu ngapain di sini? Kenapa gak keluar aja, atau lebih baik pergi dari rumah kalau gak mau bantu apa-apa?”

Aku tidak bisa menahan rasa sakit itu lagi. Setiap kata yang keluar dari mulut Mama membuat hatiku seperti terkoyak sedikit demi sedikit. Aku ingin berteriak, ingin mengatakan betapa lelahnya aku, betapa hancurnya aku. Tapi aku hanya bisa diam.

“Mama…” Aku mengulang sekali lagi, lebih pelan. “Kenapa Mama benci sama aku?”

Pertanyaan itu menggantung di udara. Mama menatapku sekilas, lalu menghela napas. “Kamu selalu mengganggu. Selalu membuat masalah. Aku tidak butuh kamu di sini.”

Itu seperti pukulan yang sangat keras. Aku merasa dunia seakan berhenti sejenak. Aku tahu jawabannya, tapi mendengarnya langsung dari mulutnya membuat hatiku remuk.

“Aku nggak pernah diinginkan, ya?” Aku berbisik, hampir tidak bisa mendengar suaraku sendiri.

Mama diam. Tidak ada jawaban. Tidak ada kata-kata penghiburan. Cuma keheningan yang membuat udara terasa semakin berat.

Aku menundukkan kepala, merasakan air mata mulai menetes. Tapi aku tidak ingin Mama melihatnya. Tidak ada gunanya menangis. Tidak ada yang peduli. Aku ingin keluar, menjauh dari semua ini. Tapi aku tahu, pada akhirnya, aku akan kembali lagi ke tempat yang sama—ke tempat di mana aku tidak pernah benar-benar dihargai.

 

Hanya Sebuah Bayangan

Hari-hari mulai berlanjut, semakin lama semakin terasa sepi. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah ada beban yang mengikat setiap gerakan tubuhku. Aku terus berusaha bertahan, meski rasa sakit itu semakin menggerogoti. Ada saat-saat aku ingin menyerah, ingin melepaskan semua ini, tetapi entah kenapa, aku selalu berusaha untuk tetap ada, meski aku tahu tidak ada yang menginginkanku.

Sekolah semakin terasa menyiksa. Setiap kali aku melangkah di lorong, aku merasa seperti orang asing, seperti sosok yang tidak seharusnya ada di tempat itu. Aku melihat teman-temanku tertawa, berbicara, berinteraksi, tetapi aku hanya bisa diam, berdiri di belakang mereka seperti bayangan yang tak dihiraukan. Tak ada yang peduli, tak ada yang melihat. Mereka tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku, merasa seperti tidak ada, seperti kosong.

Aku duduk di ruang kelas, mencoba fokus pada pelajaran, tetapi pikiranku terus melayang. Terus teringat pada Mama, pada kata-kata yang selalu keluar begitu mudah dari mulutnya. “Kamu cuma beban. Kamu nggak punya masa depan.” Kalimat itu berputar-putar di kepalaku tanpa henti. Aku tidak tahu bagaimana bisa keluar dari perangkap perasaan ini, dari ketidakberhargaan yang aku rasakan setiap hari.

Selama istirahat, aku duduk sendirian di sudut ruang kantin. Teman-temanku sudah dengan teman-teman mereka, tertawa dan bercanda. Aku hanya menatap mereka, merasa seolah aku tidak ada di sana. Rasanya seperti ada tembok tebal yang membatasi aku dengan dunia mereka, dan aku tidak bisa menemukan jalan untuk menembusnya.

Aku mengangkat sendok, mencoba makan sedikit, tapi rasanya seperti sesuatu yang hilang di dalam diri. Aku hanya menelan tanpa bisa merasakan apa-apa. Tidak ada rasa, tidak ada kepuasan. Makanan di depanku terasa hambar, seperti hidupku yang semakin lama semakin hambar pula.

Bel pulang berbunyi dan aku bergegas meninggalkan sekolah. Aku tidak ingin berada lebih lama di tempat yang hanya mengingatkanku pada betapa sendirinya aku. Begitu sampai di rumah, aku langsung ke kamarku dan mengunci pintu. Aku terjatuh di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang gelap. Ada begitu banyak hal yang ingin aku katakan, tapi semuanya terhenti begitu saja.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa seolah tidak ada yang tahu apa yang aku rasakan. Tidak ada yang peduli dengan bagaimana perasaan aku. Mama, yang seharusnya menjadi tempatku berlindung, malah menjadi sumber segala luka. Dia masih terus dengan sikap dinginnya, tidak peduli, tidak pernah mencoba mengerti.

Aku ingin berteriak. Ingin memecahkan semuanya. Tapi aku takut. Takut jika semuanya justru akan semakin buruk. Takut jika akhirnya aku benar-benar dianggap tidak berguna, tidak diinginkan. Jadi aku hanya diam. Membiarkan semua perasaan ini menumpuk, menggerogoti diriku sedikit demi sedikit.

Aku meraih ponselku, scrolling tanpa tujuan. Ada beberapa pesan dari Nara, tapi aku tak merasa ingin membalasnya. Mungkin dia juga tidak akan mengerti. Semua orang sibuk dengan dunianya masing-masing. Aku hanya seperti bayangan yang melintas di sana, tak lebih dari itu. Bahkan Nara yang dulu selalu ada untukku pun mulai jauh. Dia punya hidupnya sendiri, sementara aku masih terjebak di tempat yang sama.

Hari-hari berikutnya terasa semakin berat. Setiap kali aku bertemu dengan Mama, rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di dada. Aku ingin berbuat sesuatu yang bisa membuatnya bangga, tapi aku tidak tahu apa. Semua yang aku lakukan tampak salah di matanya. Semua usahaku hanya berakhir dengan ketidakpedulian. Aku tidak pernah cukup baik. Tidak pernah cukup bagi Mama.

Suatu sore, Mama memanggilku. Aku tahu ini bukan hal yang baik. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki ruang tamu.

“Kamu nggak tahu malu, ya?” Mama memandangku dengan tatapan tajam. “Sekali lagi kamu nggak bantu di rumah, aku nggak tahu lagi mau ngomong apa. Kamu pikir kamu siapa? Nara saja lebih berguna dari kamu!”

Kata-kata itu lagi. Seperti pedang yang menyayat hatiku. Aku mencoba menahan air mata yang hampir keluar, tapi tak bisa. Ada perasaan sakit yang terlalu dalam untuk ditahan. “Ma… aku udah coba, Ma…” suaraku pecah. “Aku cuma ingin kamu bangga sama aku.”

Mama hanya mendengus, seperti tak peduli. “Bangga? Kamu nggak usah harap itu. Kalau kamu nggak mau bantu di rumah, nggak usah tinggal di sini!”

Aku terdiam. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mendengar kata-kata itu. “Kalau gitu, aku pergi.” Aku tidak tahu kenapa kata-kata itu keluar begitu saja, tapi begitu aku mengucapkannya, aku merasa seolah aku baru saja menutup jalan terakhirku. Aku bisa pergi. Mungkin itu yang terbaik.

Mama terdiam, tak membalas. Aku pun hanya berdiri, menatapnya tanpa bisa mengatakan apapun lagi. Perasaan ini sudah terlalu penuh, terlalu berat. Aku tidak tahu bagaimana lagi harus bertahan. Apa aku harus mati untuk membuat semuanya berakhir? Apa itu satu-satunya cara agar semuanya berhenti?

Aku berjalan keluar rumah, menatap langit yang mulai gelap. Malam datang begitu cepat, dan aku hanya berdiri di sana, di tengah-tengah dunia yang terasa sangat asing. Tanpa arah. Tanpa tujuan. Tanpa harapan.

Apakah aku harus mati untuk Mama?

 

Di Ujung Jalan

Aku berjalan tanpa arah, hanya mengikuti langkah kakiku yang lelah. Di jalanan yang sunyi, setiap detik terasa begitu berat. Malam semakin pekat, seolah dunia menelan setiap jejakku. Aku merasa seperti hantu yang berjalan tanpa tujuan, tanpa makna, hanya ada untuk mengisi kekosongan yang tak bisa terisi oleh apapun. Perasaan ini—sepi, frustasi, dan kesendirian—seperti telah menjadi bagian dari diriku yang tak terpisahkan.

Langit yang gelap dan dingin menyelubungi tubuhku, dan aku merasa semakin kecil. Jalan yang kutempuh terasa begitu panjang, namun langkahku tetap tak berhenti. Di balik setiap sudut, di balik setiap pohon, aku mencoba mencari sesuatu yang bisa memberi harapan. Namun, tak ada. Tidak ada yang bisa mengerti. Tidak ada yang peduli.

Aku ingin berteriak, ingin melemparkan semua rasa sakit ini ke dunia, berharap dunia bisa mendengarnya. Tapi aku tahu, dunia ini terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Tidak ada tempat untuk orang sepertiku. Tidak ada tempat untuk orang yang selalu gagal, yang tak pernah cukup. Aku bukan siapa-siapa.

Perasaan itu semakin mencekam, semakin menyesakkan. Aku berhenti di pinggir jalan, hanya berdiri di sana, menatap trotoar yang basah. Hujan mulai turun perlahan, membasahi tubuhku yang sudah lelah. Aku menggigil, tetapi entah kenapa aku tidak ingin pergi. Seperti ada sesuatu yang menahan. Sebuah perasaan yang tidak ingin aku lepaskan, meski itu hanya menyakitkan.

Apakah ini yang harus kulakukan? Menyerah? Mengakhiri semuanya? Aku berpikir, apakah itu yang terbaik. Aku sudah terlalu lelah bertahan. Begitu lama berusaha, tetapi tak ada yang berubah. Mama, yang seharusnya menjadi pelindungku, malah menjadi sumber luka yang terus menggerogoti. Aku ingin berlari jauh, melupakan semuanya. Tetapi aku tahu, aku tidak akan bisa.

Tiba-tiba, ponselku bergetar di dalam saku. Aku terkejut, hampir tidak percaya. Aku mengeluarkannya, melihat nama yang muncul di layar: Nara. Aku menatapnya sejenak, merasa seperti ada sesuatu yang terlewat, sesuatu yang mungkin bisa membuatku berhenti dari pemikiranku yang gelap ini.

Aku menekan tombol jawab, suara Nara terdengar di ujung telepon. “Hei, kamu di mana? Aku baru aja denger dari temen-temen kamu, kamu nggak masuk sekolah hari ini. Aku khawatir, kenapa nggak bilang sesuatu?” Suaranya terdengar cemas, dan itu membuat hatiku sedikit tergerak.

Aku terdiam sejenak, memikirkan apa yang harus kukatakan. “Aku… cuma butuh waktu sendiri,” jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam dalam rintik hujan.

Nara diam beberapa detik. “Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi kamu nggak sendirian. Aku ada kok, kamu cuma perlu ngomong, dan aku akan dengerin. Apa pun itu.”

Aku merasa sesuatu bergerak di dalam dada, seperti ada secercah cahaya yang menerobos kegelapan yang sudah terlalu lama memburuku. Aku menundukkan kepala, menyeka air mata yang mulai jatuh tanpa bisa kuhentikan. Selama ini, aku hanya merasa kosong, tetapi kata-kata itu… kata-kata itu sedikit membuka hatiku.

“Nara,” suaraku pecah, hampir tidak bisa terdengar, “Aku udah capek. Rasanya nggak ada yang peduli. Mama nggak peduli. Aku nggak tahu harus gimana lagi.”

“Jangan pernah merasa nggak berarti, oke?” jawab Nara dengan lembut. “Aku peduli. Kamu berharga, kamu lebih dari yang kamu pikirkan.”

Aku terdiam. Kata-kata itu terasa seperti pelukan yang hangat di tengah hujan yang dingin. Mungkin selama ini aku hanya takut untuk melihat kenyataan—bahwa ada orang yang peduli, bahkan meski aku merasa seperti orang yang tidak penting.

“Makasih, Nara,” bisikku pelan.

Aku menatap langit yang semakin gelap, merasa sedikit lebih ringan, meskipun rasanya masih ada bagian dari diriku yang hilang. Tapi aku tahu satu hal: mungkin aku tidak perlu mati untuk mendapatkan perhatian, atau untuk dihargai. Mungkin aku hanya perlu berhenti mencari perhatian itu di tempat yang salah.

Aku menarik napas dalam-dalam, menghapus air mata yang masih tersisa di pipi. Aku bisa mulai bergerak maju, sedikit demi sedikit, bahkan jika itu berarti aku harus berjalan sendiri untuk sementara waktu. Tidak ada yang mengatakan ini akan mudah, tetapi mungkin aku sudah siap untuk mencoba.

Langkahku terasa lebih ringan. Aku mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi esok, atau apakah Mama akan pernah melihatku. Tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa seperti aku masih punya sedikit harapan. Dan itu sudah cukup untuk membuatku tetap bertahan.

Dengan langkah perlahan, aku mulai berjalan kembali ke rumah. Tidak ada jawaban pasti untuk semua pertanyaan yang menghantui, tetapi aku tahu, kali ini aku punya kesempatan untuk menemukan diriku sendiri.

 

Dan meski perjalanan ini masih panjang, aku belajar satu hal: nggak ada yang bisa nentukan nilai diri kita kecuali diri kita sendiri. Kadang, kita cuma butuh sedikit keberanian untuk melihat bahwa di tengah kegelapan, ada harapan yang bisa menyinari jalan. Jadi, jangan pernah nyerah. Walaupun semuanya terasa berat, ada selalu kesempatan buat mulai lagi.

Leave a Reply