Daftar Isi
Jadi, bayangin deh kamu masuk ke sekolah yang super mewah, terkenal banget, dan semua orang di sana kayak punya hidup yang jauh lebih keren daripada kamu. Penuh dengan aturan tak tertulis, orang-orang dengan agenda masing-masing, dan semua yang kamu tahu cuma satu: kamu harus bertahan.
Cerpen ini bakal ngasih kamu gambaran tentang gimana rasanya jadi siswa baru di Aquila Academy, sekolah yang nggak cuma ngajarin pelajaran, tapi juga hidup. Siap buat tahu gimana ceritanya? Let’s go!
Cerpen Hari Pertama di Sekolah Mewah
Langkah Pertama di Jalan Tak Tampak
Pagi itu, aku melangkah masuk ke halaman Aquila Academy dengan jantung berdebar keras. Pagi yang penuh harapan, sekaligus ketakutan. Semua orang bilang, sekolah ini adalah tempat bagi mereka yang ingin meraih mimpi besar, tapi aku hanya bisa berharap tak terseret arus persaingan yang semakin tajam.
Sekolah ini terlihat seperti istana—tinggi, megah, dengan bangunan modern yang menyentuh langit. Lantai marmer mengkilap di bawah kaki, dan dinding kaca besar memperlihatkan pemandangan taman yang rapi, penuh patung-patung seni modern. Di belakangku, gerbang besar menutup perlahan, seolah memisahkanku dari dunia luar, membawa aku ke dalam dunia yang baru.
Aku mengatur napas, berusaha menenangkan diri. Namaku Arvid, dan hari ini adalah hari pertamaku di sekolah terkenal ini. Rasanya seperti mimpi yang nyata, tetapi pada saat yang sama, aku merasa terasing. Semua orang di sini tampaknya sudah terlatih hidup dalam kemewahan, dan aku, yang tidak terbiasa dengan kehidupan seperti ini, harus berusaha keras untuk menyesuaikan diri.
Beberapa siswa sudah berkumpul di depan gedung, berbincang-bincang dengan santai. Mereka mengenakan seragam yang tampak mahal, sepatu kulit berkilau, dan ada sedikit canda tawa yang mengisi udara pagi. Aku merasa seperti orang asing yang terlempar ke dalam dunia yang sama sekali berbeda.
Tiba-tiba, seorang gadis mendekat, melangkah dengan keanggunan yang tak bisa diabaikan. Rambut hitam legamnya tergerai sempurna, dan matanya yang tajam menatapku. Itu Nyx—gadis yang sering kali menjadi perbincangan di sekolah ini. Wajahnya terkenal, dan bukan hanya karena kecantikannya yang hampir sempurna, tetapi juga karena status sosialnya yang luar biasa. Semua orang ingin berteman dengannya, atau setidaknya mendekat.
“Hei,” katanya, suaranya terdengar lebih lembut dari yang aku bayangkan. “Kamu Arvid, kan?”
Aku mengangguk pelan, sedikit canggung. “Iya, aku Arvid.”
Nyx tersenyum tipis, seolah sudah mengetahui siapa aku hanya dari namaku. “Selamat datang di Aquila Academy,” ujarnya, masih dengan senyum yang sama, namun matanya seperti menilai setiap inci dari diriku. “Kamu akan terbiasa dengan semuanya. Sekolah ini memang luar biasa, tapi di sini… kamu harus pintar-pintar memilih teman. Banyak yang bisa jadi musuh tanpa kamu sadari.”
Aku terdiam. Kata-kata Nyx tidak bisa dianggap remeh, dan aku bisa merasakan ada sesuatu di balik senyumannya yang terlalu sempurna itu. “Terima kasih,” jawabku pelan, mencoba terlihat tenang.
Namun, sebelum aku sempat menambahkan kata-kata lain, Nyx sudah berjalan menjauh, melangkah dengan anggun menuju kelompok teman-temannya yang sudah menunggu. Aku hanya bisa memandanginya sejenak, merasa sedikit bingung. Apa maksudnya dengan “memilih teman”? Bukankah di sini tempat untuk berteman dan belajar? Tapi sepertinya, bagi mereka, sekolah ini lebih dari sekedar itu.
Aku melanjutkan langkahku memasuki gedung, mengikuti arah tanda yang mengarah ke ruang kelas pertama. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku sedang berjalan di atas jalanan yang tidak tampak ujungnya. Aku tak bisa tidak merasa cemas, meski berusaha untuk tetap terlihat percaya diri.
Di dalam kelas, suasana sangat berbeda. Aku duduk di bangku belakang, seperti kebanyakan siswa baru. Meja dan kursinya tampak modern, disertai dengan layar sentuh yang terhubung dengan sistem sekolah. Semua siswa sudah duduk rapi, menunggu guru masuk. Beberapa dari mereka berbicara dengan suara pelan, namun ada juga yang sibuk dengan ponsel mereka, seolah tidak peduli dengan keadaan sekitar.
Tiba-tiba, pintu terbuka, dan seorang pria muda memasuki ruangan. Guru baru, mungkin. Wajahnya tampak sangat muda, namun matanya tajam, penuh ketegasan. Dia mengenakan jas hitam rapi yang membuatnya terlihat seperti orang penting, meskipun hanya seorang guru. Di belakangnya, beberapa siswa mulai diam, memberi perhatian penuh.
“Selamat pagi, siswa-siswi baru dan lama,” ucapnya dengan suara yang tegas namun tidak berlebihan. “Selamat datang di Aquila Academy, tempat di mana kalian akan mengasah kemampuan dan siap menghadapi dunia luar. Di sini, bukan hanya otak yang dihargai, tetapi juga karakter dan kemampuan kalian untuk memimpin.”
Aku mendengarkan kata-katanya dengan serius. Sepertinya, dia bukan hanya berbicara tentang pendidikan. Dia berbicara tentang kompetisi. Tentang cara bertahan hidup di dunia yang penuh ambisi. Aku tahu, di sekolah ini, bukan hanya kemampuan akademis yang menentukan, tapi juga kemampuan untuk beradaptasi, untuk menemukan tempat dalam sistem yang rumit ini.
Kelas dimulai, dan aku berusaha fokus pada materi yang diajarkan. Namun, pikiranku tetap melayang pada pertemuanku dengan Nyx tadi. Ada banyak hal yang belum aku mengerti tentang sekolah ini, dan mungkin, itulah yang harus aku cari tahu. Apa yang sebenarnya terjadi di balik dinding-dinding megah Aquila Academy ini?
Hari pertama berlalu begitu cepat. Terkadang aku merasa terlibat dalam setiap pelajaran, namun di sisi lain, ada perasaan aneh yang terus membayangi. Mungkin ini hanya perasaan awal, tapi aku bisa merasakan bahwa hari-hariku di sini tidak akan semudah yang aku bayangkan. Sekolah ini lebih dari sekadar tempat belajar. Ini adalah medan pertempuran bagi mereka yang ingin menjadi yang terbaik. Dan aku… aku harus bertahan.
Saat bel berbunyi, menandakan akhir dari pelajaran pertama, aku beranjak dari kursi dan melangkah keluar. Di luar, langit cerah menyambut, namun di dalam diriku, ada bayangan ketegangan yang mulai terbentuk. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah aku cukup kuat untuk bertahan di dunia yang penuh persaingan ini?
Aku menghela napas dalam-dalam, menyadari satu hal: perjalanan ini baru saja dimulai. Dan aku belum tahu apa yang akan menantiku di depan.
Di Antara Mimpi dan Kenyataan
Hari-hari pertama di Aquila Academy berjalan begitu cepat, namun tetap terasa asing. Aku mulai terbiasa dengan rutinitas sekolah yang sibuk, berlari dari satu kelas ke kelas lain, mencoba menyerap sebanyak mungkin informasi. Tapi, semakin aku berusaha, semakin aku merasa ada sesuatu yang tak beres. Semuanya berjalan terlalu mulus, seperti ada sesuatu yang disembunyikan di balik kemewahan dan keanggunan yang ditawarkan sekolah ini.
Pagi itu, aku melangkah menuju kelas matematika, salah satu pelajaran yang paling aku takuti. Dengan sistem yang rumit dan berbagai teori yang membuat kepala pusing, aku tahu bahwa aku harus siap menghadapi ujian sejati di sekolah ini. Aku memasuki ruang kelas, dan seperti biasa, sebagian besar siswa sudah duduk dengan tenang di bangku mereka. Beberapa dari mereka terlihat sibuk, bercakap-cakap, sementara yang lain duduk dengan ekspresi serius, seolah tidak ada hal lain yang lebih penting selain pelajaran.
Aku mencari tempat duduk kosong dan duduk di belakang, mencoba menyatu dengan keramaian. Pikiranku melayang, mencoba fokus pada pelajaran yang akan segera dimulai, namun aku tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang terus mengusik. Ada sesuatu di sini yang terasa berbeda, sesuatu yang lebih dari sekadar persaingan akademik.
Tiba-tiba, Nyx muncul, kali ini dengan senyum yang sedikit lebih tipis dari biasanya. Matanya yang tajam melirikku sejenak sebelum dia melangkah menuju kursinya di dekat depan. Aku hanya bisa menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang dia pikirkan, namun dia sudah terlalu jauh.
Saat pelajaran dimulai, aku berusaha keras untuk tetap fokus. Guru matematika, seorang pria paruh baya yang tampak serius, mulai menjelaskan teori yang sulit dipahami. Namun, aku tak bisa menahan rasa bingung yang mulai menyelubungi kepalaku. Ada perasaan seolah-olah dunia ini bukanlah tempat yang ramah untuk orang sepertiku. Semua orang di sini tampak memiliki segalanya—kecerdasan, keberuntungan, bahkan teman-teman yang tampaknya sudah terpilih dengan cermat.
Setelah pelajaran selesai, aku kembali ke koridor sekolah. Sebuah ruang makan besar dengan langit-langit tinggi memanggil, dan aku merasa lapar setelah pagi yang panjang. Sambil berjalan, aku mendengar bisikan-bisikan kecil yang datang dari kelompok-kelompok siswa yang berdiri di sekeliling. Mereka berbicara dengan suara rendah, namun aku bisa mendengar nama-nama yang sering muncul di percakapan mereka—Nyx, Damien, dan berbagai sosok lain yang tampaknya memiliki pengaruh besar di sekolah ini.
Aku merasa seperti seorang penonton yang hanya bisa melihat, tanpa pernah bisa ikut terlibat dalam percakapan mereka. Aku menyadari bahwa sekolah ini bukan hanya tentang kemampuan akademis, tapi juga tentang siapa yang kamu kenal dan bagaimana kamu bisa memanfaatkan hubungan-hubungan itu untuk bertahan.
Namun, aku tidak bisa mengabaikan perasaan terasing yang terus mengusik. Aku mencari tempat duduk di sudut ruang makan, mencoba makan siang dengan tenang. Tapi, tak lama setelah aku duduk, seseorang duduk di meja yang sama. Aku menoleh, dan mata kita bertemu.
“Hey, Arvid,” suara itu terdengar akrab. Itu adalah Damien, salah satu siswa populer di sekolah ini. Ia tersenyum dengan percaya diri, ekspresinya sedikit lebih santai daripada yang aku harapkan. “Boleh aku duduk?”
Aku mengangguk, sedikit terkejut. Damien adalah tipe orang yang hampir semua siswa di sekolah ini kenal, dan dia punya cara berbicara yang membuat orang merasa nyaman. Tidak seperti Nyx yang terkesan dingin, Damien lebih terbuka, meski tetap menyimpan misteri di balik senyumannya.
“Jadi, apa yang kamu pikirkan tentang sekolah ini?” tanya Damien sambil membuka kotak makan siangnya.
Aku mengangkat bahu, sedikit ragu. “Banyak hal yang masih aku pelajari,” jawabku jujur. “Tapi aku merasa seperti… ada banyak yang tersembunyi di sini.”
Damien tertawa ringan. “Kamu nggak salah. Di Aquila Academy, apa yang terlihat belum tentu yang sebenarnya. Semua orang di sini punya agenda mereka sendiri. Kamu tahu, untuk bertahan, kamu harus tahu siapa yang benar-benar bisa dipercaya.”
Aku menatapnya dengan cermat. “Kamu berbicara seolah-olah kamu sudah lama berada di sini.”
Dia mengangguk, wajahnya berubah serius. “Sudah cukup lama. Aku sudah lihat banyak hal di sini. Bahkan teman-teman dekatku sendiri bisa berubah jika keadaan menguntungkan mereka. Sekolah ini bukan tempat untuk orang lemah, Arvid.”
Kata-katanya menempel di pikiranku sepanjang sisa hari itu. Aku merasa seperti terperangkap dalam dunia yang penuh dengan teka-teki dan rahasia yang tak bisa dipecahkan. Setiap orang di sini tampaknya memiliki peran, dan aku hanya penonton yang mencoba menemukan tempatku.
Sore harinya, saat aku sedang berjalan menuju asrama, aku bertemu lagi dengan Nyx di lorong yang sepi. Kali ini, dia tidak tersenyum. Matanya memancarkan sesuatu yang lebih tajam dari sebelumnya.
“Kamu harus berhati-hati,” katanya, suara rendah namun penuh makna. “Sekolah ini bisa jadi tempat yang sangat baik… atau sangat berbahaya. Pilih dengan bijak siapa yang ingin kamu percayai.”
Aku terdiam. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuatku merasa cemas. Nyx bukan tipe orang yang berbicara tanpa alasan. Sepertinya, dia tahu lebih banyak dari yang aku duga.
“Terima kasih,” kataku, berusaha tetap tenang meski jantungku berdetak lebih cepat.
Dia hanya menatapku sejenak, sebelum melangkah pergi, meninggalkan aku dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Aku menghela napas, menyadari bahwa hari-hari berikutnya akan penuh dengan teka-teki yang harus aku pecahkan jika ingin bertahan di sini.
Di Aquila Academy, aku tidak hanya berhadapan dengan pelajaran dan ujian. Aku juga harus berhadapan dengan dunia yang penuh ambisi, persaingan, dan hubungan yang jauh lebih rumit dari yang aku bayangkan. Aku harus belajar cepat, atau aku akan tenggelam dalam permainan yang tidak pernah aku pilih untuk dimulai.
Jejak yang Tertinggal
Hari-hari setelah pertemuan dengan Nyx dan Damien berjalan semakin membingungkan. Aku merasa seperti terjebak dalam sebuah dunia yang serba salah. Di satu sisi, aku ingin beradaptasi dengan lingkungan baru ini, mencoba menemukan teman-teman sejati dan meraih prestasi. Di sisi lain, aku merasa semakin terasing, seolah-olah aku berjalan di atas tali yang rapuh, siap terjatuh kapan saja.
Aku mulai menyadari betapa sekolah ini lebih dari sekadar tempat untuk belajar. Aquila Academy bukan hanya menawarkan pendidikan, tetapi juga memperkenalkan kita pada permainan yang lebih besar—permainan kekuasaan, pengaruh, dan identitas. Semua orang di sini seperti memiliki tujuan tersembunyi, dan aku hanyalah salah satu dari sekian banyak yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Pagi itu, aku melangkah masuk ke ruang kelas bahasa Inggris, mencoba menenangkan diri. Kelas ini sedikit lebih santai daripada yang lainnya, tapi aku masih bisa merasakan ketegangan di udara. Beberapa siswa sudah duduk dengan sikap yang biasa—berbicara dengan teman-temannya, saling melemparkan senyum dan candaan. Namun, di sudut ruangan, ada sesuatu yang menarik perhatian.
Nyx duduk sendirian di meja dekat jendela, matanya yang tajam terfokus pada buku di depannya. Meskipun dia dikelilingi oleh teman-teman sekelas yang tampaknya ingin berbicara dengannya, dia tidak peduli. Aku bisa merasakan jarak yang dia bangun, seperti dia tidak ingin benar-benar terlibat dengan siapapun. Aku tidak bisa menahan rasa ingin tahuku, jadi aku mendekat.
“Kamu nggak sedang sibuk kan?” tanyaku, sedikit ragu.
Nyx mengangkat wajahnya, matanya menyapu sekeliling sebelum akhirnya tertuju padaku. Dia tersenyum tipis. “Kamu ingin ngobrol?” tanyanya, seolah-olah ini bukan hal yang biasa bagiku.
Aku mengangguk, merasa sedikit canggung. Kami mulai berbicara tentang pelajaran, tapi setiap kali aku menatap matanya, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuatku merasa seperti ada lapisan tersembunyi di balik kata-katanya. Aku mencoba untuk membuka topik tentang kehidupan di sekolah ini, tentang semua yang terjadi di balik layar, namun Nyx hanya memberikan jawaban samar.
“Kamu akan tahu nanti,” katanya dengan nada yang agak membingungkan. “Di sini, ada yang harus kamu pahami lebih dulu sebelum kamu benar-benar mengerti.”
Aku mencerna kata-katanya, namun lebih banyak pertanyaan yang muncul daripada jawaban. Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, bel tanda pelajaran dimulai, dan Nyx segera kembali ke buku yang ada di hadapannya, menandakan bahwa percakapan kami sudah selesai. Aku merasa sedikit kehilangan arah, tetapi aku tidak bisa memaksakan lebih banyak. Ada batas yang dia buat, dan aku tahu aku belum cukup dekat untuk melewatinya.
Siang harinya, aku duduk di ruang makan seperti biasanya, mencoba untuk makan dengan tenang meski pikiranku masih terus melayang. Tiba-tiba, seseorang duduk di meja yang sama, dan aku langsung tahu siapa itu.
“Arvid,” suara Damien terdengar di sampingku, begitu akrab. “Kamu kelihatan lagi bingung.”
Aku mengalihkan pandangan, mencoba menenangkan diri. “Gimana bisa nggak bingung? Rasanya seperti ada yang nggak beres di sini.”
Damien tertawa pelan. “Kamu baru mulai, Arvid. Nggak ada yang beres di Aquila Academy—semua orang cuma main peran. Beberapa orang lebih baik dalam peran mereka, sementara yang lain cuma bertahan.”
Aku menatapnya, merasa semakin bingung. “Peran? Maksudmu?”
Damien menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menyala dengan rasa percaya diri yang luar biasa. “Lihat sekelilingmu. Semua orang punya tujuan mereka sendiri di sini. Ada yang ingin menjadi terkenal, ada yang cuma ingin kekuasaan, ada juga yang cuma ingin bertahan di tengah permainan yang rumit ini. Tapi yang paling penting adalah—siapa yang bisa kamu percayai.”
Aku merasa seperti ada yang mulai terungkap, meskipun aku masih tidak sepenuhnya mengerti. “Kamu bilang kalau aku nggak bisa percaya semua orang di sini?”
Dia mengangguk, wajahnya serius. “Jangan percaya siapa pun tanpa alasan yang jelas, Arvid. Bahkan teman-teman yang kelihatan baik sekalipun bisa saja menyembunyikan agenda mereka.”
Aku terdiam. Kata-kata Damien terasa seperti peringatan yang lebih serius daripada yang aku kira. Dunia di sekitar aku memang penuh dengan teka-teki, dan semakin banyak aku mendengarkan, semakin aku merasa seolah aku baru berada di permukaan. Ada banyak hal yang belum aku ketahui.
Setelah makan siang, aku berjalan kembali ke asrama dengan perasaan gelisah. Semua ini semakin terasa berat. Seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk beradaptasi dengan cepat, namun di sisi lain, aku merasa terjebak dalam kebingungan. Di lorong yang sepi, aku hampir melewati sebuah pintu yang sedikit terbuka. Tanpa sadar, aku berhenti, penasaran dengan suara samar yang terdengar dari dalam.
Aku melangkah mendekat, perlahan, dan membuka pintu itu sedikit. Dari dalam, aku bisa melihat beberapa siswa berbicara dalam bisikan, dan di antara mereka—Nyx. Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas, namun ada sesuatu dalam bahasa tubuh mereka yang membuatku merasa semakin cemas. Nyx tampaknya sangat serius, matanya yang biasanya tajam kini terlihat lebih gelap, seolah-olah dia sedang membicarakan sesuatu yang penting.
Aku memutuskan untuk mundur perlahan, menghindari perhatian mereka. Aku tahu, ada lebih banyak lagi yang disembunyikan di Aquila Academy daripada yang bisa aku bayangkan.
Keesokan harinya, saat aku berjalan ke kelas pertama, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Matahari terbit lebih cerah, namun suasana di dalam sekolah terasa semakin tegang. Aku bertemu dengan Damien di koridor, dan kali ini, dia menatapku dengan ekspresi serius.
“Ada yang perlu kamu tahu,” katanya, suara rendah dan penuh peringatan. “Di sini, semuanya bisa berubah dalam sekejap. Jika kamu nggak hati-hati, kamu bisa saja jadi bagian dari permainan yang tidak pernah kamu inginkan.”
Aku menelan ludah. Kata-kata Damien semakin terasa nyata. Aku harus berhati-hati. Dunia ini lebih rumit dari yang aku kira, dan aku harus menemukan tempatku—sebelum semuanya terlambat.
Menemukan Posisi
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Setiap sudut Aquila Academy yang aku kunjungi, setiap wajah yang aku temui, seolah-olah semakin menambah beban di pundakku. Semua terasa seperti teka-teki yang harus diselesaikan, dan aku semakin menyadari bahwa aku hanya memegang satu potongan kecil dari keseluruhan gambar.
Aku berusaha menjaga jarak, mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Damien dan Nyx. Tapi semakin aku berusaha untuk tetap berada di jalur yang aman, semakin aku merasa terjerat dalam permainan yang lebih besar dari yang aku sangka. Terkadang aku bertanya-tanya, apakah ini hanya permulaan dari sesuatu yang lebih buruk.
Siang itu, setelah kelas berakhir, aku berjalan sendirian menuju taman belakang sekolah. Aku suka tempat itu, sepi dan jauh dari keramaian. Tapi ada yang aneh hari itu—sebuah perasaan yang menggelitik di dalam dada, seolah-olah ada yang mengawasi.
Aku berhenti sejenak, berusaha mencari tahu dari mana perasaan itu datang. Dan kemudian aku melihatnya—Nyx, berdiri di bawah pohon besar dengan punggung yang tegap, tampak seperti menunggu seseorang. Matanya mengarah padaku, dan meskipun jarak kami cukup jauh, aku bisa merasakan ketegangan di udara.
Aku berjalan menuju dia, langkahku sedikit ragu. “Nyx, ada apa?” tanyaku, mencoba mengusir kegelisahan yang mulai menguasai.
Dia menatapku beberapa detik dengan ekspresi yang tak terbaca. Kemudian, dia melangkah maju, menghampiriku dengan wajah serius. “Kamu sudah tahu kan?” katanya, suaranya lebih rendah dari biasanya.
Aku menunduk, bingung. “Tahu tentang apa?”
Dia menghela napas, seolah-olah mempertimbangkan apakah dia harus memberitahuku lebih banyak. “Tentang permainan yang sedang berlangsung di sini,” jawabnya, akhirnya. “Aku tahu kamu berpikir ini cuma tentang belajar, tentang mendapatkan nilai bagus. Tapi ini lebih dari itu. Ini tentang kekuasaan, pengaruh, dan siapa yang bisa bertahan sampai akhir.”
Aku terdiam. Kalimat-kalimat Nyx terdengar lebih nyata dari sebelumnya, lebih menakutkan. Aku merasa semakin terperangkap dalam permainan yang aku sendiri tidak tahu aturan mainnya. “Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku, suara aku terdengar lebih kecil dari yang aku inginkan.
Nyx tersenyum tipis, tapi kali ini senyum itu bukan senyum yang biasa aku lihat. Itu senyum yang penuh makna, yang seolah memberi tahu aku bahwa ada jalan yang harus aku pilih. “Kamu harus memilih,” katanya. “Di sini, kamu nggak bisa menjadi pemain yang ragu. Kamu harus tahu siapa yang harus kamu percayai dan siapa yang harus kamu lawan.”
Aku merasa seolah-olah semua yang aku tahu tentang dunia ini hancur berkeping-keping. Aku tidak bisa lagi melihat sekolah ini seperti tempat yang penuh janji. Aquila Academy bukan hanya sebuah sekolah, itu adalah medan perang, dan aku hanya pemain baru yang harus belajar bertahan hidup.
“Tapi… apakah kamu benar-benar tahu siapa yang bisa dipercaya?” tanyaku, suara aku terasa penuh keraguan. “Atau apakah kita semua hanya saling menipu?”
Nyx menatapku dengan serius, dan untuk pertama kalinya, aku melihat secercah kejujuran di matanya. “Tidak ada yang tahu. Dan itu yang paling menakutkan.”
Kami berdiri di sana, dalam keheningan yang begitu tegang, seolah-olah dunia berhenti berputar untuk beberapa saat. Aku tahu, aku baru saja memasuki sebuah permainan yang lebih besar, yang tidak bisa aku mundurkan langkahnya lagi. Tidak ada jalan keluar, hanya jalan yang harus aku pilih—dan jalan itu penuh dengan risiko.
“Tunggu,” Nyx berkata lagi, kali ini lebih lembut. “Ada satu hal lagi yang perlu kamu ketahui, Arvid.”
Aku menatapnya, menunggu kata-kata yang akan datang. “Apa itu?”
Dia menunduk sejenak, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat. “Siapa yang kamu pilih untuk berdiri di sampingmu, itu yang akan menentukan jalanmu ke depan.”
Aku mengerutkan kening. “Jadi, semua ini soal memilih pihak?” Aku merasa sedikit marah dengan kenyataan itu, tapi aku tahu itu adalah kebenaran yang harus aku hadapi.
Nyx tidak menjawab langsung, hanya menatapku dengan tatapan yang dalam, penuh makna. “Bukan soal memilih pihak,” jawabnya pelan. “Ini soal mengetahui siapa kamu sebenarnya di tengah semua ini. Kalau kamu tahu siapa dirimu, kamu akan tahu pihak mana yang benar-benar layak kamu perjuangkan.”
Aku terdiam, mencerna kata-katanya. Dalam diam, aku mulai menyadari bahwa apa yang dikatakan Nyx benar—ini lebih dari sekadar memilih teman. Ini adalah soal siapa aku di dalam dunia yang jauh lebih besar dan lebih rumit dari yang aku bayangkan.
Ketika aku berbalik untuk meninggalkan taman itu, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Mungkin ini adalah awal dari perjalanan panjang dan penuh tantangan yang akan aku jalani di Aquila Academy. Perjalanan yang akan mengubah aku, dan mungkin, mengubah cara pandangku tentang dunia ini selamanya.
Sejak saat itu, aku tahu satu hal pasti: Tidak ada lagi jalan mundur. Semua pilihan yang aku buat, semua langkah yang aku ambil, akan menentukan siapa aku—dan siapa yang akan aku percayai dalam permainan besar ini.
Dan aku hanya bisa berharap bahwa aku akan siap menghadapi apa pun yang datang.
Jadi, itu dia perjalanan hari pertama di Aquila Academy. Terkadang, hidup itu nggak sesederhana yang kita bayangin, apalagi di tempat yang penuh dengan rahasia dan permainan.
Tapi, siapa tahu? Mungkin langkah pertama kamu justru bakal ngebuka jalan yang lebih seru dan penuh tantangan. Sampai ketemu di cerita selanjutnya, karena di dunia ini, yang pasti cuma satu: kamu nggak akan pernah tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya.