Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasa kayak ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dunia yang kita jalani? Sesuatu yang bisa mengubah segalanya dalam sekejap? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia fantasi yang penuh kejutan! “Pilihan Tak Terduga di Ujung Dimensi” bukan cuma soal kekuatan alien dan gempa bumi misterius, tapi juga soal keputusan besar yang harus diambil oleh seorang pemuda biasa, yang ternyata punya peran lebih penting dari yang ia bayangkan!
Yuk, ikuti perjalanan Reksa yang harus memilih antara menyelamatkan dunia atau meninggalkan segalanya demi sebuah takdir yang lebih besar. Kamu nggak bakal mau ketinggalan tiap detik ceritanya yang penuh ketegangan dan romance yang bikin baper!
Cerpen Fantasi Menegangkan
Getaran Pertama di Lapangan Selatan
Hari itu, langit menggantung muram seperti halaman buku yang belum ditulis. SMA Nirmala Satvika terlihat biasa—nyaris membosankan—dengan tiang bendera yang berdiri kaku di tengah lapangan selatan, dikelilingi daun-daun kering yang menari pelan tersapu angin. Di kejauhan, suara peluit pelatih voli terdengar samar-samar, menyatu dengan tawa para siswa yang berlari kecil, menyambut waktu latihan.
Tak ada yang menyangka bahwa hari itu, bumi akan bicara.
Reksa Mahardika berdiri di ujung lapangan, mengikat tali sepatunya sambil sesekali menengadah ke langit. Rambutnya yang sedikit bergelombang tertiup angin, dan tatapannya kosong tapi dalam, seolah sedang menimbang sesuatu yang tak bisa dijelaskan lewat kata. Di sakunya, terselip buku kecil yang berisi catatan bintang, sesuatu yang ia tulis tiap malam sejak kehilangan orang tuanya setahun lalu.
Latihan voli dimulai tanpa banyak semangat. Langit yang suram seolah menyedot semangat para siswa. Bahkan bola voli pun seperti kehilangan pantulan energinya. Di pinggir lapangan, beberapa siswa duduk-duduk, membicarakan hal-hal remeh. Salah satu dari mereka, cowok berkacamata bernama Tamma, bersuara, “Rek, kamu ngelamun lagi. Liatin awan bisa bikin kamu jomblo selamanya, tau.”
Reksa menoleh sebentar, lalu tersenyum setengah. “Daripada ngelatin cewek yang nggak ngelirik balik, mending ngelatin langit. Setidaknya, dia nggak pergi ke mana-mana.”
Tamma mengangkat alis, pura-pura tersinggung. “Pedih, bro.”
Belum sempat mereka tertawa, tanah bergemuruh. Awalnya hanya seperti getaran ringan dari gempa biasa. Namun, dalam waktu dua detik, suara “krakkkk” membelah udara, seperti kaca retak tapi berasal dari langit.
Semua mata terangkat ke atas.
Langit—yang semula penuh awan kelabu—membelah perlahan. Bukan secara fisik seperti kertas disobek, melainkan secara dimensi. Sebuah retakan bercahaya ungu terang muncul, panjang dan berdenyut seperti luka hidup. Udara di sekitar lapangan mendadak menjadi tebal, seperti kabut tak terlihat yang menekan dada siapa pun yang bernapas.
Beberapa siswa mulai panik. Pelatih meniup peluit keras-keras. “Masuk! Semua ke gedung utama! Cepat!”
Namun Reksa tidak bergerak.
Retakan itu seperti menatapnya balik. Seperti memanggil.
Dari dalam cahaya, muncul sebuah sosok. Melayang perlahan, tubuhnya seperti dibentuk dari cahaya bulan dan debu bintang. Rambutnya panjang, mengalir seperti air perak. Kulitnya pucat dengan semburat biru yang hidup, dan matanya… bukan mata manusia. Mata itu dalam dan terang, berwarna toska yang hampir transparan, seperti kaca laut di tengah musim semi.
Semua orang terdiam.
Sosok itu menyentuh tanah. Awan-awan di sekitarnya menyingkir, memberi ruang. Tanah tak lagi bergetar, tapi jantung siapa pun yang melihat, terasa seperti dipalu dari dalam.
Dia berjalan ke arah tengah lapangan, dan hanya berhenti saat berhadapan langsung dengan Reksa.
Reksa membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Sosok itu menatapnya lembut.
“Aku… mendengarmu,” katanya dengan bahasa manusia. Suaranya aneh—tidak berat, tidak pula tipis. Seperti gema dari dasar danau yang tenang. “Suara kamu yang diam. Itu… sampai ke tempatku.”
Reksa menatap balik. “Tempatmu… itu dari mana?”
Perempuan itu menunduk pelan, seolah menyusun kata yang bisa dimengerti manusia. “Dari jauh. Sangat jauh. Aku tak bisa sebut namanya karena lidahmu mungkin tak bisa mengucapkannya. Tapi aku datang karena kamu.”
Tamma, yang tadinya bersembunyi setengah di balik tiang voli, berteriak lirih. “Alien, cuy…! Itu alien!”
Namun anehnya, tidak ada rasa takut yang menguasai Reksa. Bahkan saat perempuan itu mendekat, langkahnya tak memantul seperti manusia. Tanah di bawah kakinya justru menghangat, dan rumput-rumput mati di lapangan selatan mulai tumbuh kembali. Seolah bumi mengenalnya. Seolah… mereka saling menyapa.
“Aku melihat kamu setiap malam,” katanya lagi. “Saat kamu menulis. Saat kamu bicara ke langit. Kamu pikir tak ada yang dengar. Tapi ada.”
Reksa menelan ludah, jantungnya berdetak cepat.
“Kamu… siapa?” tanyanya, nyaris berbisik.
Perempuan itu tersenyum tipis. “Namaku… Xelyra.”
Dan saat ia menyebutkan namanya, gempa kecil terjadi lagi. Hanya sebentar, cukup untuk membuat semua siswa di ujung lapangan kembali berteriak. Namun getaran itu tidak kasar, melainkan seperti napas panjang dari bumi yang bangun dari tidur panjangnya.
Langit di atas mereka mulai menutup perlahan. Retakan cahaya menghilang seiring Xelyra menurunkan tangannya.
Guru-guru datang tergopoh-gopoh, berteriak meminta semua siswa masuk ke aula. Tapi Xelyra sudah berbaur di antara mereka, dan hanya Reksa yang tahu—bahwa perempuan itu bukan dari bumi.
Dan langit… kini menyimpan rahasia yang tak lagi sekadar mitos dari buku sejarah sekolah.
Lapangan selatan, yang biasanya hanya jadi tempat upacara dan voli sore, kini menyimpan luka dimensi yang belum benar-benar sembuh.
Dan kisah mereka baru saja dimulai.
Perempuan dari Retakan Langit
SMA Nirmala Satvika heboh seperti sarang lebah yang barusan dilempar batu. Pagi itu langsung berubah jadi topik viral satu kota. Video rekaman dari ponsel siswa beredar cepat—rekaman cahaya ungu di langit, sosok melayang yang turun perlahan, dan gempa kecil yang terjadi seperti disulap dari kisah fiksi ilmiah.
Pihak sekolah buru-buru mengadakan pertemuan darurat. Para guru, petugas BPBD, sampai perwakilan pemkot datang ke sekolah siangnya. Tapi tidak ada yang bisa menjelaskan secara ilmiah tentang “retakan langit” itu. Di berita, kejadian tersebut hanya disebut sebagai fenomena atmosfer langka—padahal semua yang melihat tahu, itu bukan sekadar atmosfer.
Di antara keramaian itu, Xelyra—dengan identitas barunya sebagai Lyra Celestine—duduk manis di ruang guru bagian administrasi. Dengan cepat, ia menjadi “siswa pindahan dari luar negeri”, dibantu dengan berkas palsu yang entah darimana muncul. Ia terlihat seperti gadis 17 tahun biasa, dengan rambut panjang dan cara bicara sedikit kaku, namun semua orang langsung terpikat. Wajahnya mencuri perhatian, tapi bukan karena cantik saja—ada aura yang sulit dijelaskan. Seperti kilau dari dalam tubuhnya sendiri.
Reksa tahu siapa dia sebenarnya.
Dan itu membuat hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di ujung mimpi.
Di kelas, Lyra duduk di bangku kosong di sebelah Reksa. Ia belajar cepat—matematika, sejarah, bahasa, semua tampak seperti mainan baginya. Tapi yang paling membuat Reksa gelisah adalah cara Lyra menatapnya saat mereka sedang tidak bicara. Tatapan yang dalam, tenang, seperti ia sedang mendengarkan suara yang tidak terdengar oleh siapa pun selain dirinya.
Di perpustakaan, mereka berbicara pelan di antara rak buku tua.
“Kamu bisa nyamar sebaik ini. Bahkan wali kelas percaya kamu beneran dari sekolah di Swiss,” kata Reksa sambil menutup buku fisika yang bahkan belum sempat ia baca.
Lyra tersenyum, tangannya menyentuh rak kayu yang berdebu. “Aku nggak menyamar. Aku cuma… menyesuaikan.”
Reksa melipat tangannya. “Terus kenapa kamu datang? Maksudku, dari semua tempat di semesta, kenapa ke sini?”
Perempuan itu menatap jendela, di mana cahaya matahari sore mulai merambat perlahan ke lantai. “Karena bumi memanggil. Tapi yang lebih kuat… kamu.”
“Kenapa aku?” suara Reksa terdengar ragu.
Lyra memiringkan kepala. “Kamu memancarkan frekuensi emosi yang langka. Rasa kehilangan yang dalam, tapi nggak dibiarkan membusuk. Kamu terus bicara—tanpa suara. Kamu menyampaikan sesuatu… yang membuat dimensi kami terganggu.”
Reksa tertawa pendek, sinis. “Jadi aku bikin semesta kamu… terganggu?”
“Kamu bikin semesta kamu sendiri retak,” balas Lyra pelan. “Dan getarannya sampai ke kami. Rasamu kuat. Bahkan bumi mendengarnya.”
Seketika, jantung Reksa berdebar. Ia tidak tahu harus merasa tersanjung atau takut. Tapi entah mengapa, bersama Lyra, ketakutan itu seperti bukan masalah. Seakan dunia lain bisa runtuh dan ia tetap akan berdiri, asal berdiri di sampingnya.
Hari-hari berikutnya, Lyra mulai menunjukkan keanehan kecil. Ia bisa membuat tanaman tumbuh dari tanah mati. Ia bisa tahu siapa yang sedang sedih meski orang itu tidak menunjukkan apa pun. Ia tidak pernah terlihat makan, namun selalu bertenaga. Namun keanehan itu bukan hal yang menakutkan—justru seolah ia adalah bagian dari dunia ini yang seharusnya memang ada, tapi selama ini tersembunyi.
Suatu sore, di lapangan selatan yang sudah sepi, mereka kembali berdiri berdua.
“Tempat ini masih bergetar, ya,” gumam Reksa sambil menjatuhkan tubuhnya di rumput. “Nggak kayak lapangan lain. Rasanya… hidup.”
Lyra berdiri di sampingnya, lalu perlahan duduk. “Karena luka langit belum tertutup sempurna. Tapi bumi di sini sedang menyembuhkan diri.”
“Dan kamu bagian dari penyembuhannya?”
Lyra tidak langsung menjawab. Ia menatap langit yang mulai jingga. “Aku… datang bukan cuma karena luka. Tapi karena pilihan. Dulu kami nggak pernah peduli sama manusia. Tapi setelah kamu—aku tahu, kadang sesuatu yang kecil bisa mengubah arah bintang.”
Reksa memejamkan mata. Suara Lyra seperti getaran lembut di dada. Tidak seperti suara manusia biasa. Kadang terdengar seperti nada musik yang hanya bisa dirasakan, bukan didengar.
“Kamu mau tinggal di sini selamanya?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tapi ia tahu—jawabannya tidak akan sederhana.
Lyra menoleh padanya. Senyumnya tidak sepenuhnya senyum. Ada perasaan yang berlapis-lapis di balik sorot matanya.
“Aku nggak tahu. Tapi aku ingin tetap dekat… sampai saatnya tiba.”
“Kalau saat itu datang… kamu bakal pergi?”
Lyra tak menjawab.
Langit di atas mereka perlahan meredup, menyisakan cahaya lembut yang menyelimuti tubuh mereka berdua. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah dan bunga pinus dari balik pagar sekolah.
Dan tanpa mereka sadari, dari balik salah satu jendela lantai dua gedung utama, seseorang sedang memperhatikan mereka dengan tatapan curiga. Seseorang yang merasa bahwa Lyra bukan sekadar “siswi pindahan”.
Rahasia mereka tidak akan bisa disimpan selamanya.
Dan langit… belum selesai berbicara.
Suara Hati yang Menggetarkan Bumi
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan semuanya mulai terasa seperti rutinitas yang tak biasa. Lyra—atau Xelyra, bagi Reksa—mulai lebih sering berada di sekitar, seakan menjadi bagian dari dunia ini, meskipun kenyataannya ia jauh lebih dari itu. Bahkan tanpa kekuatan luar biasa yang ia miliki, kehadirannya sudah cukup membuat bumi ini terasa berbeda. Lebih ringan. Lebih tenang. Dan terkadang, lebih sunyi, seperti menunggu sesuatu yang besar terjadi.
Pada suatu sore yang lebih sepi dari biasanya, Reksa duduk di pinggir lapangan selatan, menatap langit yang kini kembali biru cerah setelah berhari-hari mendung. Di tangan kirinya, ia menggenggam buku catatan kecil, yang setiap malam selalu ia bawa untuk menulis tentang apa yang ia rasakan. Sejak bertemu Lyra, catatan itu berubah, penuh dengan kata-kata yang tidak pernah ia ucapkan.
Lyra datang menghampiri, seperti biasa—tanpa suara, seolah angin membawa langkahnya. Sambil tersenyum, ia duduk di samping Reksa, menyandarkan punggung pada tiang bendera.
“Kenapa diam?” tanya Lyra dengan suara lembut, memecah hening yang terasa begitu tebal. “Bumi merasakannya lagi.”
Reksa menoleh, menyipitkan mata untuk menatapnya. “Merasa apa?”
“Gempa.” Lyra tersenyum tipis, seperti tahu apa yang akan datang. “Tapi bukan gempa biasa. Gempa hati.”
Reksa mendengus pelan, tidak sepenuhnya mengerti. “Gempa hati? Maksudmu… aku?”
Lyra mengangguk. “Iya. Kamu.” Ia menatap langit yang mulai berubah jingga, dan di balik sorot matanya, Reksa bisa melihat sesuatu yang tak biasa. Ada rasa kesedihan yang sangat dalam, meskipun tidak ada air mata yang mengalir. “Bumi merasakan apa yang kamu rasa. Aku bisa merasakannya, Reksa. Dan itu sebabnya aku ada di sini.”
Reksa menghela napas panjang, seakan berat untuk berkata-kata. “Aku tidak tahu lagi bagaimana cara menghentikan perasaan ini. Perasaan yang seperti terus menekan dadaku, membuat aku merasa tidak lengkap. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang.”
Lyra mengangguk pelan, seolah memahami. “Bumi tidak bisa menunggu kamu selesai dengan perasaan itu. Itu sebabnya ia mengguncang. Ia ingin kamu melanjutkan. Ia ingin kamu menemukan bagian yang hilang itu.”
Namun, kata-kata Lyra tidak menenangkan. Reksa justru merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perasaan manusia di sana. Ada semacam kekuatan yang ia tidak bisa mengontrol, tapi pada saat yang sama, ia merasa semakin dekat dengan Lyra. Lebih dari sekadar pertemuan tak sengaja di lapangan selatan—lebih dari sekadar teman.
“Aku merasa seperti…” Reksa berhenti sejenak, menelan kata-kata yang terhalang. “Seperti ada yang memanggilku, Lyra. Setiap malam. Aku merasa seperti harus mencari sesuatu yang hilang—sesuatu yang aku nggak tahu apa.”
Lyra menatapnya tajam. “Kamu sedang mencari jiwamu yang hilang, Reksa. Terkadang, manusia harus kehilangan bagian dari dirinya untuk bisa menemukan kembali apa yang sebenarnya penting.”
Reksa merasa tubuhnya seperti dibanjiri sensasi aneh. Ada yang menekannya, dan ada yang mendorongnya untuk terus bertahan. “Tapi kenapa aku merasa… aku tidak sendirian? Seperti ada sesuatu yang selalu memperhatikanku?”
Lyra menyentuh pundaknya, lembut. “Itu adalah kekuatan bumi yang mendengarmu. Itu adalah suara yang mengalir lewat getaran yang ada di dalam diri kamu. Kamu berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kamu sendiri.”
Kata-kata itu seperti suara yang lebih besar daripada apa yang bisa diterima oleh akal sehat Reksa. Tapi dia tidak bisa menyangkalnya. Setiap kali ia menulis di bukunya, seakan ada getaran yang mengikuti, seakan ada sesuatu yang berbicara melalui bumi itu sendiri.
Dan saat itu, gempa kecil terjadi. Tidak hebat, tapi cukup untuk membuat tanah di bawah mereka bergetar.
Lyra tersenyum penuh arti, menatap Reksa yang terkejut. “Lihat? Suara hati itu tidak bisa dipendam lebih lama. Ia mulai berbicara.”
Reksa merasakan sesuatu yang aneh—sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran. Ada rasa yang lebih dalam, yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Tanah di bawah mereka seakan menghangat, dan udara terasa lebih padat, penuh energi yang tak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan.
“Aku…” Reksa mulai berbicara, tapi suara hatinya lebih kuat daripada kata-kata yang ia ucapkan. “Aku nggak tahu harus bagaimana, Lyra. Rasanya seperti aku sedang dibawa oleh sesuatu yang aku nggak ngerti.”
“Tenang,” kata Lyra, meletakkan tangan di atas tangan Reksa. “Kamu nggak sendiri. Aku di sini.”
Tetapi meskipun Lyra ada di sana, Reksa tahu—bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang akan datang, sesuatu yang tak bisa ia hindari. Seperti sesuatu yang sudah ditentukan oleh kekuatan alam, dan entah bagaimana, Lyra adalah bagian dari takdir itu.
Saat malam datang, langit berubah menjadi gelap. Bintang-bintang mulai muncul, satu per satu, namun Reksa merasa tidak ada yang lebih terang dari cahaya yang memancar dari dalam dirinya—dari perasaan yang baru ia sadari. Bumi berbicara melalui getarannya, dan ia mulai memahami bahwa perasaan itu bukan hanya miliknya. Perasaan itu adalah sesuatu yang menghubungkan seluruh kehidupan—dan ia adalah bagian dari jalinan itu.
Namun, di tengah kedamaian malam, ada bayangan lain yang mulai muncul di luar sana. Bukan hanya gempa yang mengguncang, tetapi mungkin juga sesuatu yang lebih berbahaya. Dan Reksa, dengan segala perasaan yang ia pendam, tahu bahwa jalan yang ia tempuh akan membawa dia ke pertemuan yang jauh lebih besar—pertarungan antara kekuatan alam dan dirinya.
Pilihan di Ujung Dimensi
Malam itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit gelap menyelimuti lapangan selatan, dan hanya cahaya rembulan yang memantulkan sedikit pendar ke tanah. Tanah yang terasa hidup. Tanah yang selalu berbicara dalam getaran-getaran halus yang tak bisa disangkal.
Reksa berdiri di ujung lapangan, matanya terfokus pada Lyra yang berada beberapa langkah di depannya. Ada sesuatu di udara malam itu—sesuatu yang lebih dari sekadar ketegangan, tetapi juga seperti panggilan. Sesuatu yang menunggu untuk dipilih.
Lyra berjalan mendekat, wajahnya serius, tak ada lagi senyum tipis seperti biasanya. “Kamu merasa itu, kan?” katanya, suaranya teredam oleh angin malam. “Kekuatan itu semakin kuat. Semakin mendekat.”
Reksa mengangguk perlahan, meski hatinya berdebar hebat. “Apa itu? Apa yang semakin dekat?”
Lyra menatapnya, matanya berkilau dengan cahaya biru transparan yang tak bisa didefinisikan. “Itu adalah gerbang yang akan menghubungkan dunia kita dengan dunia yang lebih dalam. Dan kamu, Reksa, berada di garis tengahnya.”
“Garis tengah?” Reksa merasakan tubuhnya bergetar. “Aku nggak paham. Aku cuma—aku cuma merasa semua ini terjadi terlalu cepat. Semua ini… nggak sesuai dengan apa yang aku kira.”
Lyra mengangkat tangan, menunjuk langit yang mulai berdenyut dengan pola cahaya tak biasa. “Di luar sana, ada dunia yang lebih besar. Tempat kita berasal. Tempat yang telah lama terlupakan. Ketika kita datang ke sini, kami tahu akan ada satu manusia yang akan memutuskan apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Reksa menatap Lyra dengan kebingungannya. “Dan aku harus memilih?”
Lyra hanya mengangguk. “Kamu bisa memilih untuk tinggal di sini, di dunia ini. Tapi ada harga yang harus dibayar—dunia akan terpecah, dan alam semesta akan diliputi oleh kekacauan yang tak terhentikan. Atau kamu bisa memilih untuk kembali ke tempatku. Menjadi bagian dari dunia kami, tempat yang melampaui batas-batas yang ada. Tapi… kamu akan kehilangan semua yang ada di sini. Kamu akan menghapus segala kenangan yang kamu punya. Dan… kamu tak akan pernah bisa kembali.”
Reksa merasa jantungnya seperti terhenti. “Kembali? Kehilangan semuanya? Bahkan… bahkan kamu?”
Lyra menunduk, wajahnya terpantul dalam sinar rembulan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah itu, Reksa. Aku tidak bisa memastikan apakah kita akan bertemu lagi. Aku hanya tahu, apa pun keputusanmu, kita akan tetap saling terhubung. Tidak ada yang benar-benar hilang dalam alam semesta ini.”
Reksa merasa dikelilingi oleh ruang yang tak bisa ia pahami sepenuhnya. Alam semesta yang luas, yang terbentang di hadapannya, tak lagi hanya berupa bintang-bintang yang indah. Namun lebih dari itu—sebuah jalinan takdir yang tidak bisa ia elakkan.
Di kejauhan, suara gempa kecil terdengar lagi, kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Tanah bergetar, dan langit di atasnya mulai memunculkan pola-pola aneh. Reksa bisa merasakan gempa itu, bukan hanya dengan tubuhnya, tetapi dengan hatinya—dengan setiap getaran yang berasal dari dalam dirinya.
“Bumi… mau apa dari aku?” tanya Reksa, suaranya pecah di tengah udara yang semakin tebal.
Lyra menatapnya, matanya lembut. “Bumi ingin kamu memilih, Reksa. Dunia ini menunggu arah yang kamu tentukan. Pilihanmu akan menentukan apakah bumi ini akan tetap hidup dalam keseimbangan atau jatuh dalam kehancuran.”
Reksa menutup mata, mencoba merasakan seluruh getaran itu. Suara hatinya, suara bumi, suara yang datang dari dalam dimensi yang jauh. Ia tahu—pilihan ini bukan hanya tentang dirinya. Ini adalah tentang takdir yang lebih besar.
“Jika aku memilih untuk tinggal… maka aku harus menyerahkan dunia ini untuk selalu seimbang, kan?”
Lyra mengangguk. “Ya. Tetapi dunia yang seimbang tidak selalu bebas dari rasa sakit. Itu adalah harga dari setiap pilihan.”
Reksa merasa dirinya semakin terperangkap dalam dilema. Setiap pilihan terasa seperti kehilangan—kehilangan sesuatu yang tidak bisa ia jangkau, sesuatu yang terlalu besar untuk dipahami.
Namun saat ia menatap Lyra, ia menyadari sesuatu. Tidak ada lagi rasa takut. Tidak ada lagi penyesalan. Hatinya tahu jawabannya, meskipun itu sulit.
Ia menatap langit sekali lagi, dan di sanalah ia menemukan jawabannya—dalam diam, dalam getaran, dalam pilihan yang sudah ditentukan sejak ia pertama kali menulis di buku catatannya. Bumi, dengan segala kekuatan dan keindahannya, bukan hanya milik mereka yang hidup. Bumi adalah milik mereka yang memilih untuk menjaga keseimbangan itu.
“Aku memilih untuk tinggal,” kata Reksa akhirnya, suaranya mantap, meskipun ada sedikit kesedihan di dalamnya. “Aku memilih untuk menjaga dunia ini tetap hidup.”
Lyra tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Ia hanya mengangguk pelan, seolah menerima keputusan yang sudah dipilih. Kemudian, dengan langkah perlahan, ia mendekat dan menatap Reksa dengan mata yang penuh pengertian.
“Kamu membuat pilihan yang tepat, Reksa. Karena pilihan ini bukan hanya untukmu. Ini untuk semua kehidupan di bumi.”
Namun, pada saat itu, getaran itu semakin kuat. Langit di atas mereka mulai memutar, dan sebuah cahaya terang muncul, seperti sebuah portal yang siap membuka. Tapi kali ini, bukan untuk membawa mereka pergi, melainkan untuk membawa dunia ini menuju keseimbangan yang baru.
Reksa berdiri tegak, tangan terulur, merasakan setiap detik yang mengalir. Dengan keputusan ini, ia bukan hanya menyelamatkan dunia, tetapi juga dirinya sendiri. Pilihan itu bukan tentang kehilangan. Pilihan itu adalah tentang memulai kembali—tentang menjaga semuanya tetap hidup.
Dan ketika cahaya itu memudar, hanya ada satu hal yang tersisa—getaran hati yang tak terhentikan.
Dengan ini, cerita ini berakhir. Reksa memilih untuk tetap berada di bumi, menjaga keseimbangannya. Tapi perjalanan mereka, bersama Lyra dan dunia yang lebih besar itu, terus berlanjut di balik dimensi yang tak terjangkau oleh mata manusia.
Aku harap ceritanya sesuai dengan yang kamu inginkan! Terima kasih sudah mengikuti cerpen ini dari awal sampai akhir.
Nah, gimana? Cerpen “Pilihan Tak Terduga di Ujung Dimensi” benar-benar membawa kamu ke dalam petualangan yang nggak cuma bikin deg-degan, tapi juga membuka mata tentang bagaimana sebuah keputusan bisa mengubah nasib dunia, kan?
Dengan alur cerita yang penuh misteri dan pilihan sulit, cerita ini bakal terus terngiang-ngiang di kepala kamu. Jadi, buat kamu yang suka cerita fantasi, romansa, dan ketegangan, jangan sampai kelewatan cerita ini! Kalau kamu penasaran dengan kelanjutannya atau punya pendapat, jangan ragu untuk tinggalkan komentar di bawah ya! Siapa tahu, keputusan Reksa bisa jadi inspirasi buat kamu juga, kan?