Cerpen Fabel Magis: Petualangan Kelinci dan Gajah di Hutan Purnama

Posted on

Jadi, bayangin deh, ada dua sahabat, seekor kelinci cerdik dan gajah besar yang nggak biasa, yang tiba-tiba terjebak di hutan magis yang penuh misteri.

Mereka nggak cuma bertualang, tapi juga harus hadapi pilihan yang bisa mengubah dunia. Penasaran kan? Yuk, ikuti perjalanan seru mereka yang penuh dengan keajaiban, pilihan berat, dan tentunya, persahabatan yang nggak bakal kamu lupain!

 

Cerpen Fabel Magis

Kabut Awan di Tepi Danau

Di ujung hutan, di mana pohon-pohon besar menjulang tinggi dengan daun berwarna ungu keperakan, ada sebuah danau yang tak seperti danau pada umumnya. Danau Awan, begitu mereka menyebutnya. Danau ini terletak di sebuah lembah yang dikelilingi oleh bebatuan besar yang tertutup lumut hijau. Airnya begitu jernih, tapi lebih dari itu—danau ini memiliki kekuatan magis. Ketika malam datang, cahaya dari langit seakan berkumpul di permukaannya, menciptakan ilusi seperti dunia lain di bawah permukaan air. Setiap orang yang datang ke sana bisa merasakan sesuatu yang berbeda, seperti ada kekuatan besar yang tersembunyi, menunggu untuk dibangunkan.

Pada saat itu, di tepi danau yang tenang, Riana melompat-lompat dengan ceria. Kelinci perak itu memiliki kebiasaan melompat-lompat tanpa alasan yang jelas, hanya karena kebebasannya, melesat ke sana kemari, membuat riak kecil di permukaan air. Tubuhnya yang ramping dan bulunya yang berkilauan seperti bulan baru tampak begitu menyatu dengan alam di sekitar. Matanya yang berwarna biru terang seakan menyiratkan rasa ingin tahu yang tak pernah habis.

Namun, ada sesuatu yang berbeda hari itu.

“Kamu lihat itu, Gandi?” Riana berhenti sejenak, menatap langit yang semakin gelap. Awan-awan mulai berkumpul di langit, bergerak lebih cepat dari biasanya. Biasanya langit senja memberi nuansa hangat dan damai, tapi kali ini, ada yang tak beres.

Gandi, si gajah biru besar, berjalan pelan mendekati Riana. Meski tubuhnya yang besar tampak tidak sesuai dengan tempat-tempat sempit, Gandi tahu bagaimana caranya bergerak tanpa membuat gaduh. Dia berhenti di sebelah Riana, memandang ke arah awan yang mulai berputar.

“Ada yang aneh,” kata Gandi, suaranya berat dan dalam, seperti gemuruh guntur. Dia mengangkat kepala, merasakan adanya getaran yang berbeda di udara. “Tapi aku tak tahu apa itu.”

Riana mengangguk pelan. Dia melompat sedikit, meraih dahan pohon yang menjuntai. “Aku rasa ada sesuatu yang memanggil kita, Gandi. Sesuatu yang… kita tak bisa abaikan begitu saja.”

Gandi mendengus pelan. “Panggilan macam apa, Riana? Kita hanya kelinci dan gajah biasa. Aku rasa kita lebih baik menjaga hutan ini seperti biasa.”

Namun, Riana tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ada sesuatu yang aneh dengan hutan ini, dengan danau ini. Sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang mengguncang inti hatinya. Dia melompat ke atas batu besar di dekat tepi danau, menatap permukaan air yang mulai beriak.

“Aku rasa kita harus mencari tahu lebih dalam,” ujarnya dengan suara sedikit tegang. “Aku yakin ini bukan kebetulan.”

Gandi memandang Riana dengan ragu. Dia tak suka perubahan mendadak. Gajah sepertinya lebih suka berjalan dengan langkah yang pasti, menjaga ketenangan, tidak terburu-buru. Tetapi, ada yang berbeda dengan Riana—kelincinya yang selalu ceria, yang selalu mendorongnya untuk mengambil langkah berani, bahkan ketika dia merasa takut.

Satu langkah kecil dari Riana sudah cukup untuk meyakinkannya.

“Kalau begitu, ayo kita cari tahu,” kata Gandi, dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya.

Tiba-tiba, sebuah suara yang dalam dan bergema terdengar dari dalam kabut tipis yang mulai terbentuk di atas danau. Riana dan Gandi saling berpandangan, merasa ada sesuatu yang datang—sesuatu yang lebih besar daripada mereka.

“Riana, Gandi, kalian telah dipilih.”

Suara itu memerintah dengan lembut, namun mengandung kekuatan yang tak terbantahkan. Itu bukan suara angin atau gema biasa—itu suara yang datang dari tempat yang jauh, dari dalam kedalaman hutan ini.

Riana melompat mundur, tubuhnya terasa kaku. “Apa itu?” tanyanya dengan suara terkejut, menoleh ke Gandi yang tampak lebih tenang namun tetap waspada.

Gandi berdiri tegak, telinganya bergerak-gerak, mencoba menangkap lebih banyak suara yang bisa dijelaskan. Tapi suara itu hanya datang sekali lagi, dan kali ini, lebih jelas.

“Kalian telah dipilih untuk menjaga Hutan Langit Senja. Ada kekuatan gelap yang sedang datang, dan hanya kalian yang bisa menghentikannya.”

Riana menelan ludah. “Kita? Hanya kita?” Dia melirik ke Gandi yang tampak serius. “Tapi kita kan hanya… hanya kita, Gandi. Aku hanya kelinci yang suka berlari ke sana kemari. Kamu hanya gajah yang besar dan kuat. Bagaimana mungkin kita bisa menghentikan kekuatan gelap?”

Namun, Gandi hanya menatapnya dengan mata yang tenang. “Kita bisa, Riana. Apa pun itu, kita hadapi bersama.”

Awan di langit kini berputar lebih cepat, menciptakan lingkaran yang semakin besar, seakan menghisap segala cahaya di sekitarnya. Suasana di sekitar mereka terasa tegang, dan meskipun hati Riana dipenuhi kebingungan dan ketakutan, ia tahu bahwa ini adalah panggilan yang tidak bisa diabaikan.

“Di mana kita mulai, Gandi?” tanyanya dengan suara yang lebih tenang, meski matanya masih penuh dengan pertanyaan.

“Kita harus mencari Bunga Purnama. Itu satu-satunya cara kita bisa menghentikan kekuatan gelap ini,” jawab Gandi, nadanya penuh keyakinan.

Riana mengangguk pelan. Ia tahu perjalanan mereka tidak akan mudah. Mereka harus melewati seluruh hutan, menghadapi rintangan yang mungkin belum pernah mereka temui sebelumnya. Tetapi bersama Gandi, kelinci perak ini merasa sedikit lebih percaya diri.

“Kalau begitu, ayo kita mulai perjalanan ini,” kata Riana dengan semangat yang baru.

Dan begitulah, dua sahabat yang sangat berbeda—satu kecil, lincah, dan penuh rasa ingin tahu, yang lainnya besar, kuat, namun penuh kebijaksanaan—memulai perjalanan mereka menuju Bukit Bintang. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi, tetapi satu hal yang pasti: mereka tak akan menyerah begitu saja. Hutan ini adalah rumah mereka, dan mereka akan melindunginya dengan segala cara.

Dan saat mereka meninggalkan tepi danau itu, kabut semakin tebal, seakan mengiringi mereka ke dalam petualangan yang tak terduga.

 

Jejak Cahaya di Bukit Bintang

Langit malam semakin gelap saat Riana dan Gandi mulai melangkah meninggalkan Danau Awan. Mereka berjalan berdampingan, meski langkah Gandi jauh lebih lambat dan berat dibandingkan dengan Riana yang melompat-lompat dengan gesit. Di sekitar mereka, hutan semakin sunyi, hanya terdengar suara angin yang berbisik lembut melalui pepohonan. Pohon-pohon tinggi itu tampak semakin rimbun, dengan daun-daun keperakan yang berkilau di bawah sinar bulan, menciptakan ilusi seperti ribuan bintang yang bertebaran di tanah.

“Gandi, menurutmu, apa yang sebenarnya kita hadapi?” tanya Riana, melompat ke atas batu besar untuk melirik ke belakang. Matanya yang cerah menatap hutan yang semakin gelap dan dalam.

“Aku tidak tahu,” jawab Gandi, suaranya tenang namun penuh perhatian. “Tapi aku rasa, apa pun itu, kita harus berhati-hati. Sesuatu yang buruk sedang mendekat.”

Riana mengangguk, meskipun ia merasa kebingungan, sekaligus takut. Ia ingin percaya bahwa mereka bisa menghadapi apapun yang datang, tetapi ketegangan di udara membuatnya ragu. Mereka belum tahu persis apa yang harus mereka lakukan, dan perjalanan mereka menuju Bukit Bintang terasa semakin jauh, semakin penuh misteri.

Tiba-tiba, angin berhembus lebih kencang, membawa bau tanah basah dan aroma bunga liar yang tajam. Seiring dengan itu, sebuah cahaya lembut mulai terlihat di kejauhan, bersinar seperti bintang jatuh yang melintasi langit. Cahaya itu tidak bergerak, tetapi tampak sangat hidup, seperti sesuatu yang mengundang.

“Lihat itu, Gandi!” seru Riana dengan kegembiraan yang tiba-tiba muncul. “Cahaya itu—apakah itu…?”

“Bunga Purnama,” kata Gandi pelan, matanya tajam menatap cahaya yang semakin dekat. “Aku yakin itu petunjuk yang kita cari.”

Mereka mempercepat langkah, meskipun Riana tetap melompat-lompat ke sana kemari, menikmati perjalanan mereka meski penuh dengan ketegangan. Semakin mereka mendekati cahaya itu, semakin jelas bahwa cahaya itu bukanlah bintang atau benda langit biasa. Cahaya itu seperti sebuah jalan yang terbentang di depan mereka, mengarah ke sebuah bukit yang tersembunyi di antara pepohonan rimbun.

Sesampainya di kaki Bukit Bintang, cahaya itu tiba-tiba padam, meninggalkan kegelapan yang mencekam. Riana dan Gandi berdiri di sana, saling berpandangan, merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Namun, ada satu hal yang mereka tahu pasti: mereka berada di tempat yang benar.

“Ini dia, Gandi. Kita harus mencari jalan ke atas bukit,” kata Riana, memulai langkahnya menuju jalan setapak yang terbuat dari batu-batu besar. Batu-batu itu terasa licin, seolah-olah sudah lama tidak terjamah oleh kaki manusia atau makhluk hidup lainnya.

Gandi mengikuti dengan hati-hati, meskipun tubuh besar dan beratnya membuatnya sedikit kesulitan menavigasi jalur berbatu yang curam. Namun, ketenangan yang dia bawa memberikan rasa aman bagi Riana. Mereka terus mendaki, tanpa tahu pasti apa yang menunggu di puncak.

“Riana, aku rasa ada sesuatu di sini,” kata Gandi dengan suara dalam. Dia berhenti sejenak, mengangkat kepalanya, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari sekeliling mereka. “Ada suara bisikan…”

Riana berhenti dan menoleh, mencoba mendengar. Di antara keheningan hutan, bisikan itu terasa sangat jelas—seperti suara yang melantunkan kata-kata tak dimengerti, yang datang dari dalam tanah.

“Apa itu?” tanya Riana, berbisik, seolah takut jika suara itu mendengar mereka.

“Aku tidak tahu,” jawab Gandi, suaranya bergetar sedikit. “Tapi kita tidak bisa mundur sekarang.”

Mereka melanjutkan perjalanan mereka, semakin dekat ke puncak bukit, sampai akhirnya mereka mencapai sebuah dataran luas yang terhampar di atas bukit. Di tengahnya, ada sebuah pohon raksasa dengan batang perak berkilau dan daun yang berwarna-warni, seperti pelangi. Di bawah pohon itu, terbaringlah sebuah bunga besar yang indah, bersinar terang, hampir menyilaukan mata.

“Bunga Purnama…” Riana berbisik, matanya terpaku pada bunga itu. “Ini yang kita cari.”

Gandi menatap bunga itu dengan hati-hati. “Tapi kenapa aku merasa ada yang tidak beres? Kenapa sepertinya bunga ini menunggu kita?”

Riana melangkah maju, mendekati bunga tersebut. Keheningan yang menyelubungi tempat itu terasa semakin tebal. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang hidup dalam bunga itu, seolah-olah bunga tersebut bukan hanya sekadar bunga, tetapi sesuatu yang lebih besar, lebih kuat, dan lebih tua dari hutan itu sendiri.

Tiba-tiba, bunga itu mengeluarkan cahaya yang semakin terang, mengelilingi mereka berdua. Suara bisikan yang tadi terdengar semakin jelas, kali ini dengan kata-kata yang bisa mereka pahami.

“Waktunya telah tiba. Kalian berdua dipilih untuk menjaga keseimbangan. Jangan biarkan kekuatan gelap menguasai dunia ini.”

Riana dan Gandi saling pandang, kebingungannya bertambah. “Kekuatan gelap?” tanya Riana, matanya terbuka lebar. “Apa maksudnya?”

Bunga itu tidak menjawab lagi. Cahaya yang menyelimutinya meredup, kembali menjadi warna alami bunga yang indah. Namun, Riana dan Gandi tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Kekuatan yang mereka hadapi lebih besar daripada yang mereka bayangkan. Dan mereka harus siap untuk melawan apa pun yang akan datang.

“Ayo, Gandi. Kita harus kembali dan memberi tahu yang lain,” kata Riana dengan suara yang penuh tekad. “Ini belum selesai.”

Gandi mengangguk, perlahan-lahan mengikuti Riana. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang mereka yakin—dengan bunga Purnama yang mereka temukan, mereka kini memiliki kunci untuk menghadapi kekuatan gelap yang mengancam Hutan Langit Senja.

 

Bayang-Bayang yang Menghantui

Malam semakin larut saat Riana dan Gandi menuruni Bukit Bintang. Udara semakin dingin, dan meskipun langkah mereka cepat, ada rasa cemas yang menggelayuti setiap jejak yang mereka tinggalkan di tanah lembab hutan. Cahaya dari Bunga Purnama masih terpatri di benak mereka—cahaya itu bukan hanya terang, melainkan sarat dengan arti. Tapi semakin jauh mereka pergi, semakin jelas rasa takut yang menggerogoti hati mereka. Tidak ada yang tahu apa yang menanti mereka setelah ini.

“Riana,” suara Gandi menginterupsi keheningan malam yang semakin berat. “Apakah kamu merasa… seperti ada yang mengawasi kita?”

Riana berhenti berjalan dan menoleh. Pandangannya tajam, berusaha menangkap sesuatu yang tak kasat mata. “Aku merasa itu juga,” jawabnya, suara berbisik. “Sesuatu yang tidak terlihat, tapi… ada. Seperti bayang-bayang yang terus mengikuti kita.”

Hutan di sekitar mereka seolah berdesis, seperti ada bisikan yang berkelindan di antara pepohonan. Riana merasakan bulu kuduknya meremang. Sesuatu terasa salah, dan itu lebih dari sekadar rasa takut biasa. Sesuatu jauh lebih gelap sedang mengintai mereka.

Mereka terus berjalan dengan hati-hati, namun di setiap langkah, rasa gelisah itu semakin menguat. Tak lama setelah itu, mereka sampai di persimpangan jalan setapak. Di depannya, hutan mulai menipis, dan seberkas cahaya dari desa kecil di ujung sana dapat terlihat. Namun, Riana dan Gandi tahu, mereka tidak bisa langsung pulang. Kekuatan yang mereka temui di Bukit Bintang masih belum sepenuhnya jelas, dan mereka merasa ada yang harus mereka selesaikan terlebih dahulu.

“Gandi, kita harus kembali ke tempat itu. Aku merasa ada yang belum selesai,” kata Riana, mengangkat wajahnya dengan tatapan penuh tekad. “Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang bunga itu.”

Gandi mengangguk setuju, meskipun raut wajahnya menunjukkan rasa khawatir yang lebih besar. “Aku tahu… tapi kita harus lebih berhati-hati. Rasanya ada kekuatan gelap yang sedang menunggu momen yang tepat untuk bergerak. Kita harus siap.”

Mereka pun kembali berbalik arah, melangkah ke dalam hutan yang semakin gelap. Suara angin yang berdesir di antara dahan-dahan pohon memberikan kesan aneh, seolah-olah seluruh alam ini tengah mengawasi gerak-gerik mereka. Semakin dalam mereka masuk ke dalam hutan, semakin berat suasana yang mereka rasakan.

Tiba-tiba, di tengah perjalanan, sebuah suara terdengar—suara seperti langkah berat yang menghantam tanah. Suara itu datang dari arah belakang mereka. Riana berbalik cepat, menatap ke dalam kegelapan.

“Gandi… apa itu?” bisiknya, wajahnya tampak semakin tegang.

Gandi hanya bisa memandang ke arah yang sama, tidak bisa memberikan jawaban. Dia merasakan ada sesuatu yang mendekat, bukan hanya secara fisik, tetapi juga energi yang menekan udara di sekitar mereka. Suara langkah itu semakin mendekat, dan dari kegelapan, sebuah bayangan besar mulai muncul. Semakin lama, bayangan itu semakin jelas, bentuknya besar dan kokoh, dengan mata yang berkilau seperti dua bintang di malam hari.

“Siapa kamu?” tanya Riana dengan suara tegas meskipun tangannya terasa gemetar.

Bayangan itu berhenti beberapa langkah di depan mereka, seolah-olah sedang mengukur mereka. Mata yang berkilau itu menatap tajam, namun tidak ada kata-kata yang keluar. Hanya suara desisan angin yang mengelilingi mereka, memberi tekanan yang semakin dalam.

“Aku adalah Penjaga Kegelapan,” suara dalam itu terdengar berat, seolah-olah datang dari dalam bumi. “Kalian telah melangkah terlalu jauh.”

“Penjaga Kegelapan?” Gandi bertanya, suaranya bergetar. “Apa maksudmu?”

“Bunga Purnama yang kalian temui itu adalah kunci, kunci untuk mengendalikan keseimbangan alam ini,” jawab penjaga itu dengan suara yang menembus jiwa. “Namun, ada harga yang harus dibayar untuk menggunakannya.”

Riana menatap bunga itu yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Apa maksud Penjaga Kegelapan? Apa yang harus mereka bayar?

“Jika kalian berniat menggunakan kekuatan bunga itu, kalian harus tahu bahwa ada yang harus dikorbankan. Alam ini tidak akan membiarkan keseimbangannya terganggu tanpa konsekuensi,” lanjut penjaga itu, matanya bersinar lebih terang. “Hanya mereka yang siap dengan pengorbanan sejati yang bisa menguasainya.”

“Pengorbanan?” tanya Gandi, suaranya sedikit lebih tenang. “Apa yang dimaksud dengan pengorbanan itu?”

Penjaga Kegelapan tidak langsung menjawab. Keheningan menghampiri mereka, hanya terdengar suara angin yang semakin kencang.

“Ada sebuah jalan, jalan yang harus dipilih. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana akhirnya. Apakah kalian akan memilih jalan itu atau kembali tanpa tahu apa-apa?”

Riana terdiam sejenak, merenungkan kata-kata penjaga itu. Meskipun rasa takut semakin menggelayuti hatinya, ia tahu satu hal—mereka tidak bisa mundur begitu saja. Dunia ini sedang berada di ambang kehancuran, dan mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada sekadar diri mereka.

“Bunga itu adalah harapan, bukan? Kami tidak bisa mundur begitu saja. Jika harus berkorban untuk menjaga keseimbangan alam, kami siap,” kata Riana, matanya penuh ketegasan.

Penjaga Kegelapan menatap Riana dengan lama, seolah menguji ketulusan dalam kata-katanya. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, dia akhirnya mengangguk perlahan.

“Jika itu yang kalian pilih, maka perjalanan kalian baru saja dimulai,” jawab Penjaga Kegelapan. “Tetaplah waspada. Alam ini penuh dengan jebakan yang tak terlihat.”

Dengan itu, bayangan besar itu mulai menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan keduanya dalam kesunyian yang lebih pekat. Riana dan Gandi berdiri di tempat yang sama, menatap satu sama lain tanpa kata-kata. Namun, dalam diam mereka, ada perasaan yang sama—mereka tahu, mereka tidak bisa berhenti. Kini, tak hanya bunga Purnama yang harus mereka pertahankan, tetapi juga kekuatan alam yang lebih besar.

Dan perjalanan mereka menuju masa depan yang penuh tantangan baru saja dimulai.

 

Jejak Terakhir di Hutan Purnama

Pagi tiba dengan sinar matahari yang perlahan merayap di antara dahan pohon besar. Suasana hutan yang tadi malam terasa begitu menekan kini mulai menyelimuti mereka dengan ketenangan yang aneh. Riana dan Gandi duduk di atas batu besar yang tertutup lumut, berhadapan dengan cakrawala yang mulai memerah, tanda bahwa hari baru mulai terlahir. Meskipun pagi tampak cerah, hati mereka masih diliputi rasa gelisah yang tak kunjung reda.

“Gandi, apakah kita benar-benar siap?” tanya Riana dengan suara lembut, namun di balik itu terbalut banyak keraguan. Matanya yang memandang jauh ke depan tampak penuh tanda tanya, seolah alam ini menyimpan rahasia yang jauh lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.

Gandi menatap wajah Riana, dan meskipun tatapannya tenang, ada kerisauan yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku… aku tidak tahu. Tapi kita tidak punya pilihan. Kalau kita tidak melakukan ini, siapa lagi?”

Tangan Gandi mengusap wajahnya, lelah dengan perjalanan panjang yang telah mereka jalani. Tanah yang telah mereka pijak membawa mereka pada titik ini—di tengah hutan Purnama yang magis dan penuh dengan kekuatan yang sulit dipahami. Mereka harus menghadapi apa yang datang, meskipun bayang-bayang kegelapan terus menghantui.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” Riana bertanya lagi, suara ketegasannya sedikit menghilang karena kebingungannya.

Gandi menarik napas panjang. “Aku rasa… kita harus kembali ke tempat itu, tempat kita pertama kali menemukan bunga itu. Hanya di sana kita bisa tahu apa yang harus kita lakukan.”

Dengan langkah mantap, mereka berdua beranjak. Bunga Purnama—bunga yang mengubah segalanya—menjadi pusat dari perjalanan mereka. Namun kali ini, mereka tidak hanya mencari jawab. Mereka harus menuntaskan tugas yang telah ditentukan alam, sekaligus menghadapi konsekuensi dari pilihan mereka. Mereka tidak lagi hanya dua manusia yang kebetulan terjebak dalam peristiwa besar. Mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak terelakkan.

Ketika mereka sampai di tengah lembah di mana mereka pertama kali menemui Bunga Purnama, suasana tiba-tiba berubah. Tidak ada suara angin, tidak ada langkah binatang yang terdengar, hanya kesunyian yang mencekam. Di tengah lembah itu, bunga itu tampak lebih mempesona dari sebelumnya, seolah ia memancarkan cahaya yang jauh lebih terang.

Namun, di balik kecantikannya, ada sesuatu yang berbeda. Riana merasakan getaran yang tidak wajar di udara. Ada sesuatu yang sedang menunggu mereka. Keheningan itu bukan tanda damai, tetapi ancaman yang sangat nyata.

“Ini adalah tempatnya,” bisik Riana.

Gandi mengangguk perlahan, meskipun hatinya berdebar-debar. “Apa yang harus kita lakukan, Riana? Apa yang sebenarnya terjadi dengan bunga ini?”

Riana mendekati bunga Purnama itu dengan hati-hati. Tangannya terulur, namun saat jarinya hampir menyentuh kelopak bunga yang bersinar itu, suara berat yang sama dari malam sebelumnya bergema di udara.

“Jangan sentuhnya!” suara itu perintah, membuat tubuh mereka terhenti. Penjaga Kegelapan muncul kembali, namun kali ini, wujudnya lebih nyata, lebih menekan.

“Kalian sudah sampai pada titik ini,” katanya, matanya memancarkan kebekuan yang dalam. “Tapi ingat, kalian akan kehilangan lebih dari yang kalian kira. Apa yang kalian cari, akan menuntut lebih dari sekadar nyawa. Jika kalian ingin menggunakan kekuatan bunga itu, kalian harus siap dengan pengorbanan yang tak akan pernah bisa kembali.”

Riana dan Gandi saling berpandang. Rasanya, keputusan ini lebih sulit dari yang mereka bayangkan. Kekuatan yang ditawarkan Bunga Purnama adalah harapan, tapi harapan itu datang dengan harga yang sangat mahal. Berapapun harga itu, apakah mereka benar-benar siap membayarnya?

“Apa yang harus kami korbankan?” tanya Riana, suara yang penuh tantangan meskipun hatinya ragu.

Penjaga Kegelapan menggelengkan kepala perlahan. “Bukan semua yang bisa dibayar dengan darah. Ada pengorbanan yang lebih dalam dari itu. Kalian harus melepaskan sesuatu yang lebih berharga daripada yang kalian miliki.”

Kata-kata itu menggema di benak mereka. Apa yang bisa lebih berharga daripada kehidupan mereka sendiri? Pikiran itu menggantung di udara, berat, mencekam.

Kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Bunga Purnama itu mulai mengeluarkan cahaya yang semakin terang. Cahaya itu menyelimuti Riana dan Gandi, seolah memanggil mereka untuk memilih. Cahaya itu berputar, berkelip, dan akhirnya membentuk suatu pola yang mereka kenali—pola kehidupan dan kematian yang saling terhubung. Riana merasakan sesuatu yang mendalam di dalam hatinya, sesuatu yang mengarah pada keputusan yang tak bisa dihindari.

Riana menoleh pada Gandi, dan untuk pertama kalinya, mereka merasa benar-benar tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka tahu bahwa pilihan ini akan mengubah segalanya—bukan hanya untuk mereka, tetapi untuk seluruh alam.

“Jika ini jalan yang harus kita pilih,” kata Riana dengan suara yang lebih tegas daripada sebelumnya, “maka kita harus siap dengan apa pun yang datang setelahnya.”

Gandi mengangguk, meskipun dia merasa seolah-olah dunia ini berguncang. Dengan langkah pelan, dia mendekati bunga itu, tangan terulur, siap untuk meraih takdir yang tak bisa dihindari.

Dan saat jari-jarinya menyentuh kelopak bunga, dunia di sekitar mereka tiba-tiba terdiam. Semua yang mereka ketahui berubah dalam sekejap, dan yang tersisa hanya keheningan yang penuh dengan kekuatan tak terbayangkan.

Kehidupan dan kematian, harapan dan pengorbanan, semuanya menyatu dalam satu sentuhan.

 

Jadi, apa yang akan terjadi setelah pilihan besar itu dibuat? Hutan Purnama menyimpan lebih banyak rahasia dari yang kita kira, dan perjalanan Riana serta Gandi baru saja dimulai.

Di dunia yang penuh keajaiban dan pengorbanan, kadang-kadang, sahabat sejati bukan hanya tentang siapa yang ada di sisi kita, tapi juga tentang siapkah kita mengorbankan segalanya demi satu tujuan. Cerita ini mungkin sudah berakhir, tapi perjalanan mereka? Masih jauh dari selesai.

Leave a Reply