Cerpen Fabel Licik dan Jebakan Teman di Hutan

Posted on

Pernah nggak sih, kamu punya teman yang keliatannya baik banget, tapi ternyata malah licik dan suka ngelakuin hal nggak terduga buat keuntungan pribadi?

Nah, cerpen kali ini bakal ngasih kamu cerita tentang dua sahabat di hutan, di mana satu dari mereka punya rencana licik yang nggak kebayang bakal bawa mereka berdua ke masalah besar. Siapa yang bakal keluar sebagai pemenang? Dan siapa yang bakal jatuh ke dalam jebakan? Yuk, baca terus, biar nggak penasaran!

 

Cerpen Fabel Licik dan Jebakan Teman di Hutan

Janji Manis di Tepi Danau

Matahari pagi memantulkan sinarnya di permukaan danau yang tenang. Airnya jernih, berkilau seperti cermin, seakan ikut mengantarkan semangat pagi ke seluruh penghuni hutan. Di tepi danau, seekor kancil tampak melangkah santai, tapi pikirannya jauh dari kata santai. Makar, si kancil, sedang menyusun rencana.

Langkah kakinya berhenti begitu ia melihat Kerot, si kura-kura, duduk santai di atas batu besar, menghirup udara pagi. Kerot terkenal sebagai hewan yang baik hati, selalu siap membantu siapa saja tanpa banyak bertanya. Tapi, Kerot juga lambat dalam berpikir—sesuatu yang Makar pikir bisa dimanfaatkan.

“Pagi, Kerot,” sapa Makar dengan suara ceria.

Kerot menoleh perlahan, senyum ramah menghiasi wajahnya. “Eh, pagi, Makar. Tumben kamu di sini pagi-pagi.”

Makar melompat ringan ke atas batu yang lebih kecil di dekat Kerot. “Ya, aku kebetulan lagi ada kabar bagus, dan kamu adalah satu-satunya teman yang kupikir cocok buat diajak kerja sama.”

Kerot mengangkat alis. “Kabar bagus apa? Aku jarang dengar kamu ngomong serius.”

Makar tertawa kecil, mengibas-ngibaskan ekornya. “Ini serius, Kerot. Aku dengar ada pohon ajaib di tepi sungai kecil dekat hutan utara. Pohon itu nggak biasa—buahnya berkilauan kayak permata. Kalau kita bisa ambil buahnya, aku yakin hidup kita bakal berubah!”

Kerot mendengarkan dengan raut wajah setengah bingung, setengah tertarik. “Pohon ajaib? Kalau bener ada, kenapa nggak ada yang pernah cerita sebelumnya?”

Makar mendekat, menurunkan suaranya seakan ini adalah rahasia besar. “Karena jalannya susah, dan nggak semua hewan tahu tempatnya. Aku pun dapat info ini dari burung jalak tua di pohon beringin. Dia bilang pohon itu cuma bisa ditemukan sama yang cukup berani buat mencarinya.”

Kerot mengernyit, mencoba mencerna informasi itu. “Tapi kalau jalannya susah, kamu yakin kita bisa sampai ke sana?”

Makar memasang wajah penuh keyakinan. “Tentu saja! Kamu lupa siapa aku? Aku tahu jalan pintas yang aman. Lagipula, kalau kamu ikut, kita bakal jadi tim yang nggak terkalahkan. Kamu kuat, aku cepat. Kamu yang panjat, aku yang ngatur semua strateginya.”

Kerot terlihat ragu. “Tapi… kenapa kamu nggak ajak hewan lain?”

Makar tersenyum lebar. “Karena aku tahu kamu beda, Kerot. Kamu teman yang bisa diandalkan. Aku nggak mau ajak siapa pun yang cuma mikirin dirinya sendiri. Lagian, aku mau berbagi keberuntungan ini sama kamu, bukan sama yang lain.”

Kerot mulai luluh. Kata-kata Makar memang terdengar tulus, dan ia tidak pernah berpikir Makar punya niat buruk. “Ya udah, kapan kita mulai?”

Makar melompat dari batunya, matanya berbinar. “Sekarang juga! Semakin cepat, semakin baik. Aku sudah siap dari tadi. Kamu cuma butuh semangat dan sedikit keberanian. Gimana? Siap jadi teman petualangan terbaikku?”

Kerot mengangguk pelan. “Oke, aku ikut. Tapi kalau jalannya terlalu berbahaya, aku nggak jamin bakal terus lanjut, ya.”

“Setuju. Tapi percayalah, aku bakal pastiin semuanya aman,” kata Makar sambil menepuk punggung Kerot dengan kaki depannya.

Kerot pun turun dari batunya, mulai berjalan mengikuti Makar yang melompat-lompat di depannya.

Di sepanjang perjalanan, Makar terus bercerita tentang keindahan pohon permata, bagaimana buahnya memancarkan cahaya di malam hari, dan bagaimana hewan lain yang mendapatkannya pasti akan dipandang sebagai raja hutan. Sementara itu, Kerot hanya mengangguk-angguk, meski sesekali wajahnya memancarkan keraguan.

“Jadi, aku cuma perlu manjat pohon itu, kan? Gampang,” kata Kerot mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Makar menoleh ke belakang, senyumnya melebar. “Iya, bener. Sisanya biar aku yang urus. Kamu nggak perlu mikirin apa-apa lagi.”

Makar melanjutkan langkahnya, tapi di dalam hati, ia menahan tawa. Ia tahu betul Kerot terlalu polos untuk menyadari ada sesuatu yang ia sembunyikan. Rencana licik itu mulai terbentuk jelas di pikirannya, seperti buah matang yang tinggal dipetik.

Matahari semakin tinggi, tapi perjalanan mereka baru saja dimulai. Di depan, semak berduri yang tebal menanti, dan lebih jauh lagi, bahaya yang sesungguhnya sedang melingkar menunggu mangsa.

 

Perjalanan ke Pohon Ajaib

Kerot mulai merasakan lelah, meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan tanda-tanda keletihan. Makar sudah beberapa kali melompat-lompat dari satu batu ke batu lainnya, memimpin jalan dengan antusiasme yang tinggi, sementara Kerot hanya bisa berjalan pelan-pelan mengikuti. Udara di hutan utara semakin kering dan panas, dan semak-semak yang mereka lalui mulai semakin rapat. Namun, Makar tak tampak kelelahan sedikit pun, seolah-olah dia sudah biasa melewati jalanan berat seperti ini.

“Satu langkah lagi, Kerot! Kita hampir sampai!” seru Makar dengan suara ceria, meskipun ia tahu betul bahwa jalan mereka masih sangat panjang.

Kerot hanya bisa mengangguk pelan, mencoba untuk tidak terlalu berpikir tentang beratnya perjalanan ini. Baginya, Makar adalah teman yang sudah lama ia percayai, dan meski keraguan mulai tumbuh di dalam hati, ia berusaha menepisnya. Namun, setiap kali ia melihat raut wajah Makar yang terlalu cerah dan tidak terlalu peduli akan tantangan di hadapan mereka, sesuatu terasa tidak beres.

“Tunggu dulu, Makar. Kita sudah berjalan cukup jauh. Kenapa nggak kita berhenti sebentar, cari tempat teduh?” tanya Kerot, berusaha mengatur napasnya yang mulai terengah.

Makar berhenti sejenak, menoleh ke belakang dengan senyuman yang tetap terpasang di wajahnya. “Kamu memang mudah lelah, ya, Kerot? Jangan khawatir, kita tinggal beberapa langkah lagi kok. Kalau kamu butuh istirahat, ambil napas sejenak di sini. Aku akan lanjut dulu, ya?”

Kerot merasa sedikit cemas, tapi dia tidak ingin menghalangi Makar. “Oke deh,” jawabnya sambil duduk di atas batu besar, mulai memejamkan mata untuk sejenak.

Makar melangkah lebih jauh, lalu berhenti di sebuah pohon besar yang tampaknya sudah tua. Dia memandangi Kerot dari kejauhan, memastikan bahwa kura-kura itu tidak melihatnya. Wajahnya berubah serius, senyum yang sebelumnya cerah kini menghilang. Perlahan, Makar mendekati pohon itu, menatap dahan-dahan yang tinggi dan berkelok.

“Ini saat yang tepat,” bisiknya pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba, sebuah suara di belakangnya membuatnya terkejut. “Makar, kamu mau ke mana?” suara Kerot terdengar, sedikit khawatir.

Makar menoleh dengan senyum datar. “Ah, nggak apa-apa, Kerot. Aku cuma cek jalan sedikit, biar kamu nggak kebingungan di belakang.”

Kerot mengernyit, tidak yakin, tetapi ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. “Kalau begitu, hati-hati ya. Aku kan nggak bisa bantu kalau terjadi apa-apa,” kata Kerot dengan nada sedikit khawatir.

Makar melangkah cepat menuju semak-semak yang lebih lebat, berpikir bahwa saatnya telah tiba. Tanpa memberi kesempatan pada Kerot untuk mengejarnya, ia menyelinap di antara pohon-pohon besar, menuju sebuah jalan setapak yang hanya bisa dilihat dari tempat tinggi.

Di dalam hatinya, Makar tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tak akan datang dua kali. Pohon permata yang ia cari mungkin tidak benar-benar ada, atau jika ada, ia tidak ingin berbagi buah ajaib itu dengan Kerot. Makar berpikir, lebih baik mengelabui Kerot dengan janji kosong, karena apa yang lebih penting daripada menguasai hutan ini sendirian? Tidak ada yang lebih berharga dari itu.

Beberapa langkah lebih jauh, Makar menemukan sebuah tebing curam yang tersembunyi di balik semak-semak. Ia menatapnya sejenak, lalu mulai mengintip ke bawah. Tiba-tiba, ia melihat kilauan warna biru kehijauan yang mengambang di kejauhan—sebuah batu berkilau, lebih mirip permata daripada buah pohon. Makar tersenyum lebar. Ini adalah kesempatan yang tepat untuk mengelabui Kerot lebih jauh.

Setelah memastikan bahwa Kerot masih berada di tempat yang cukup jauh, Makar berbalik dan berlari kembali ke arah teman lamanya. “Kerot! Aku menemukan jalannya!” teriaknya dengan penuh semangat, mencoba menyembunyikan rencananya yang sebenarnya. “Burung jalak tua memang benar, ada jalur rahasia yang hanya aku yang tahu. Cepat, ikuti aku!”

Kerot terlihat ragu, namun dengan semangat yang semula ia bawa, ia mengikuti Makar. “Aku harap ini bukan jebakan, ya, Makar,” kata Kerot pelan, meski ia sudah mulai merasa ada yang tidak beres.

Makar hanya tertawa kecil. “Jebakan? Jangan khawatir, aku nggak akan bikin kamu jatuh. Ayo, kita akan segera sampai.” Suaranya masih terdengar sangat meyakinkan, meskipun di dalam hatinya, dia merasa bahwa ini adalah langkah pertama menuju tujuannya.

Namun, di dalam hati Kerot, keraguan itu semakin menguat. Mungkin saja Makar benar-benar tidak berniat jahat, tetapi jalan yang mereka tempuh semakin menakutkan. Setiap kali ia mencoba menanyakan sesuatu, Makar selalu punya jawaban yang lebih meyakinkan, yang membuatnya merasa terjebak dalam permainan besar yang tidak ia pahami.

Mereka terus berjalan menyusuri jalan yang semakin sempit. Tanpa mereka sadari, bahaya sudah mulai mendekat dari balik hutan. Di sekitar mereka, hutan hening, seolah menunggu sesuatu yang lebih besar untuk datang.

 

Jebakan yang Tak Terduga

Langkah kaki Kerot semakin berat. Hutan semakin lebat, dan jalan yang mereka tempuh semakin sulit. Makar berjalan cepat di depannya, seolah tak merasa lelah sedikit pun. Namun, meskipun ia berusaha menyembunyikan kelelahan, Kerot mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Ada rasa khawatir yang menggantung di udara. Setiap kali Makar menoleh ke belakang, ia hanya tersenyum tipis, namun senyuman itu terasa semakin mengganggu.

“Mak, sepertinya kita sudah jauh banget, ya?” tanya Kerot, berusaha untuk berbicara dengan nada yang santai meski hatinya semakin gelisah.

Makar menoleh dengan cepat, masih dengan senyum yang tidak berubah. “Tenang aja, Kerot. Kita sudah dekat banget. Nggak jauh lagi kok, pohon itu sudah terlihat dari sini.”

Namun, semakin mereka berjalan, semakin Kerot merasa ada yang aneh. Hutan di sekitar mereka terasa semakin sunyi. Suara angin yang biasanya berbisik di antara daun-daun kini tidak terdengar sama sekali. Yang ada hanya suara langkah kaki mereka yang semakin menambah kegelisahan.

“Ayo cepat, Kerot! Jangan lambat gitu,” seru Makar, sedikit terburu-buru.

Kerot mengangguk, tapi rasa ragu semakin membayangi pikirannya. “Makar, aku merasa kita udah berjalan terlalu jauh. Apa kamu yakin kita di jalur yang benar?”

Makar berhenti dan menatap Kerot dengan mata yang tak lagi cerah. “Kenapa kamu jadi takut, sih? Ini cuma perjalanan biasa. Kalau kamu nggak sanggup, ya tinggal bilang saja,” kata Makar, sedikit ketus. Ia berusaha menutupi kegelisahannya, padahal di dalam hatinya, ia tahu ia sudah jauh lebih dekat dengan tujuannya.

Kerot, yang biasanya selalu sabar dan tenang, merasa ada yang tidak beres. Namun, ia tidak ingin meragukan Makar begitu saja. Makar adalah teman lamanya, dan meskipun ada rasa tidak nyaman, ia tetap memilih untuk percaya.

Beberapa langkah lagi, dan mereka tiba di sebuah celah besar di hutan. Di depan mereka, sebuah jurang yang dalam terbentang. Namun, di sisi lainnya, sebuah batu besar berkilauan seperti permata. Itu bukan pohon, tetapi batu itu tampaknya berkilau lebih terang dari yang sebelumnya mereka lihat.

Makar berdiri tegak di tepi jurang, memandangi batu itu dengan wajah yang tampak sangat puas. “Ini dia, Kerot! Aku bilang kan, kita akan menemukan sesuatu yang luar biasa.”

Kerot menatap batu itu, perasaan semakin kacau. “Tapi, itu batu, Makar. Bukan pohon. Kamu bilang… kita cari pohon ajaib.”

Makar berbalik, senyum lebar terukir di wajahnya. “Iya, benar. Batu ini yang akan membawa kita pada keberuntungan, Kerot. Buahnya ada di bawah sana, kita tinggal ambil saja.”

Kerot mulai merasa ada yang janggal. “Tunggu dulu, Mak. Kenapa kita harus turun ke bawah jurang untuk ambil ‘buah ajaib’ itu? Aku rasa ada yang salah.”

Makar tertawa kecil, matanya menyipit karena senyum liciknya. “Kerot, kamu memang selalu cemas. Itu hanya batu permata. Aku tahu jalannya, kita nggak akan jatuh kok. Kamu ikut aja, nanti juga tahu.”

Kerot berdiri di tempatnya, semakin ragu. “Mak, kamu bilang kita cari pohon, bukan batu. Aku mulai merasa ini nggak bener.”

Makar mendekat, memegang keranjang yang ada di sampingnya, yang ternyata sudah penuh dengan potongan-potongan batu berkilauan. “Kamu nggak ngerti, Kerot. Pohon ajaib itu nggak akan kita temukan. Yang ada, ini lah jawabannya. Kamu harus percaya sama aku. Aku kan yang lebih tahu.”

Kerot terdiam, bingung antara memilih untuk percaya atau pergi saja. “Tapi, kamu bawa semua ini?” tanya Kerot, menunjuk keranjang Makar yang kini sudah hampir penuh dengan batu-batu berkilau.

“Jangan tanya-tanya, Kerot. Cuma ikut aja,” jawab Makar dengan cepat. “Kalau kamu nggak mau, yaudah, aku jalan sendiri. Aku kan bisa, kok. Kamu nggak perlu khawatir.”

Kerot terdiam, tapi di dalam hatinya, ada perasaan yang sangat kuat untuk menahan diri. Sesuatu di dalam dirinya memberontak, mencoba untuk menilai situasi ini lebih hati-hati. Namun, ia merasa terperangkap dalam janji yang sudah terucap.

“Makar… aku takut kamu sedang bohong,” kata Kerot pelan, matanya mulai menatap tajam pada Makar.

Makar tersenyum sinis, dan kali ini senyum itu terasa sangat berbeda—seperti predator yang sudah siap memangsa. “Kamu ini bener-bener lambat, Kerot. Kalau kamu masih ragu, ya sudah. Aku akan teruskan sendiri. Aku nggak butuh teman yang takut.”

Tanpa memberikan kesempatan pada Kerot untuk berbicara lagi, Makar melangkah mundur, perlahan mendekati tepi jurang. Di dalam hatinya, ia mulai merencanakan langkah selanjutnya, meskipun ia tahu bahwa rencananya sudah semakin dekat dengan titik puncaknya.

Kerot berdiri mematung, merasakan ada yang salah dengan semuanya. Namun, saat ia hendak berbicara, sebuah suara keras terdengar dari belakang mereka, suara gemuruh yang berasal dari hutan yang tiba-tiba berguncang. Semua pohon bergetar, dan suara berderak keras itu semakin mendekat.

Di kejauhan, muncul bayangan besar yang membuat Kerot terpaku. Seperti ada sesuatu yang lebih besar dari yang ia duga sedang mengawasi mereka.

“Mak… ada yang salah! Lihat itu!” teriak Kerot.

Makar berbalik, wajahnya berubah kaget. “Apa itu?!”

Sebuah bayangan gelap bergerak cepat, hampir tak terlihat, menuju mereka dengan kecepatan yang tak terduga. Sebuah ancaman yang nyata, lebih besar daripada yang bisa mereka hadapi.

 

Jebakan Terungkap

Kerot merasa jantungnya hampir berhenti berdetak saat bayangan besar itu semakin mendekat. Suara derak ranting yang patah semakin keras, dan angin yang berhembus kencang membuat hutan terasa seperti tempat yang penuh ancaman. Makar, yang awalnya terlihat tenang, kini tampak kebingungan, matanya melotot, dan tubuhnya kaku. Kepercayaan diri yang biasa ia tunjukkan kini hilang entah ke mana.

“Mak… kita harus lari!” teriak Kerot, yang langsung berlari ke arah yang berlawanan, tapi Makar hanya berdiri terpaku, tampaknya tidak bisa bergerak. Ia memandangi bayangan gelap yang semakin mendekat.

“Apa itu…?” Makar bergumam, suaranya seperti tercekat. Tiba-tiba, bayangan besar itu semakin jelas terlihat. Sebuah makhluk hitam besar dengan mata merah menyala, bergerak cepat menghampiri mereka.

Kerot semakin panik, ia berlari tanpa berpikir lagi. “Mak! Jangan cuma diam! Kita harus keluar dari sini!”

Makar hanya bisa menatap bayangan itu dengan ekspresi takut. Namun, sebelum ia bisa bergerak, makhluk itu melompat tinggi, menimbulkan suara menderu saat turun ke tanah. Dan di saat yang sama, Kerot menarik tangan Makar, menariknya sekuat tenaga.

“Makar, kita harus pergi! Sekarang!” teriak Kerot, tapi Makar masih terdiam, seolah terperangkap dalam pandangan makhluk itu.

“Tunggu, Kerot. Aku… aku nggak bisa pergi,” kata Makar dengan suara hampir tak terdengar, suaranya penuh ketakutan.

Kerot berhenti sejenak, terkejut dengan jawaban itu. “Kenapa nggak bisa? Kita nggak bisa bertahan di sini!”

Makar menatapnya dengan mata penuh ketakutan, wajahnya pucat. “Kerot… aku sudah melakukan hal yang salah. Itu… itu adalah jebakan. Aku bawa kamu ke sini untuk menjeratmu. Makhluk itu… aku kenal. Dia yang akan mengambil semuanya.”

Kerot terdiam, kata-kata Makar membuatnya terperangkap dalam kebingungannya. “Apa maksudmu? Kamu sengaja bawa aku ke sini?”

Makar mengangguk pelan, matanya penuh penyesalan. “Aku… aku hanya ingin mengambil batu-batu itu. Aku tahu kalau kamu yang ikut, kita bisa selamat, tapi aku salah, Kerot. Aku nggak menyangka kalau makhluk itu akan datang.”

Kerot merasa sakit hati. Ia tidak menyangka teman yang selalu ia percayai akan begitu licik. “Jadi, kamu memanfaatkan aku, Mak? Semua ini hanya untuk keuntunganmu?”

Makar terdiam, sesaat sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan. “Iya… aku tahu aku salah. Aku bodoh, Kerot. Tapi sekarang kita harus keluar dari sini.”

Kerot memandang Makar dengan perasaan campur aduk. Ia ingin marah, tapi ada rasa iba yang muncul. Mereka berada dalam bahaya, dan Makar kini menyadari kesalahannya. Namun, semuanya sudah terlambat.

Makhluk itu semakin mendekat, matanya yang merah menyala memancarkan ancaman yang mengerikan. Sekilas, Kerot bisa melihat tubuh makhluk itu yang besar dan kuat, dengan cakar yang sangat tajam. Sepertinya tidak ada jalan keluar.

“Kerot, maafkan aku,” ujar Makar dengan suara terbata-bata. “Aku… aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan.”

Kerot menatap Makar, perasaan kecewa bercampur dengan keinginan untuk melarikan diri. “Kamu… kamu bisa memperbaikinya. Kalau kita bekerja sama, kita mungkin bisa keluar dari sini.”

Tapi saat itulah, makhluk itu melompat dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan kerumunan besar bayangannya menyelimuti mereka. Waktu terasa berhenti, dan Kerot tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Namun, di saat terakhir yang tak terduga, sebuah suara keras terdengar. Suara gemuruh yang menghancurkan tanah, seakan ada kekuatan yang datang dari dalam bumi. Makhluk itu terhenti sejenak, bingung, sebelum akhirnya mundur dengan cepat, seolah ketakutan.

Makar dan Kerot menatap dengan kaget. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi, tetapi mereka menyadari bahwa makhluk itu, yang semula tampak tak terkalahkan, kini melarikan diri.

Kerot menarik Makar lebih dekat, “Ayo! Kita pergi dari sini!”

Mereka berlari secepat mungkin, melompati setiap batu dan semak belukar, tidak mempedulikan apapun selain melarikan diri dari bahaya. Sesampainya di tempat yang lebih aman, mereka berhenti dan terengah-engah, mencoba untuk mengumpulkan tenaga.

Makar menatap Kerot dengan penyesalan yang mendalam, matanya masih dipenuhi rasa takut dan kesalahan. “Aku… aku nggak tahu kalau ini akan berakhir seperti ini. Aku nggak pernah bermaksud untuk membahayakanmu, Kerot.”

Kerot menatapnya dengan tegas, tapi ada sedikit rasa empati yang masih ada. “Aku tahu, Mak. Tapi jangan lagi coba-coba menipu orang lain demi keuntungan pribadi. Kita harus percaya pada satu sama lain.”

Makar mengangguk, wajahnya terlihat penuh kesedihan dan kesadaran atas kesalahannya. “Aku janji, Kerot. Aku janji nggak akan melakukannya lagi.”

Dan dengan itu, mereka berdua berjalan menjauh dari hutan, menuju tempat yang lebih aman. Meskipun kepercayaan antara mereka sudah terguncang, perjalanan mereka masih jauh, dan siapa tahu apa yang akan mereka hadapi selanjutnya. Tapi satu hal yang pasti—perjalanan itu akan jauh lebih berarti jika mereka bisa belajar dari kesalahan yang telah terjadi.

 

Gimana, seru kan? Terkadang, kita nggak bisa terlalu percaya sama orang di sekitar kita, bahkan teman sekalipun. Tapi, siapa sangka kalau kebohongan dan kesalahan bisa jadi pelajaran berharga?

Jadi, semoga cerita ini bikin kamu mikir dua kali sebelum percaya sama orang yang kelihatan terlalu baik. Sampai jumpa di cerita selanjutnya yang pasti nggak kalah seru!

Leave a Reply