Cerpen Drama Permusuhan: Dendam, Pertengkaran, dan Kebenaran yang Tak Terucap

Posted on

Jadi gini ceritanya… Ada lima orang yang dulu banget dekat banget, tapi sekarang? Mereka cuma saling bertemu karena gak ada pilihan lain. Ada yang penuh dendam, ada yang kayak nyesel tapi gak bisa bilang, dan semuanya tahu, nggak ada lagi yang bisa diperbaiki. Kalau kamu suka cerita yang penuh drama, pertengkaran, dan nggak ada yang benar-benar baikan, berarti cerpen ini buat kamu banget!

 

Cerpen Drama Permusuhan

Sisa-Sisa Kepercayaan

Ruangan itu sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas, seakan mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan, meski hati mereka terhenti dalam kebekuan. Lima kursi berjajar, tetapi tak ada yang duduk berdampingan. Masing-masing memilih sudut sendiri, menjaga jarak yang teramat jauh. Lantai kayu berderak pelan setiap kali seseorang bergerak, dan udara yang seharusnya membawa ketenangan, justru terasa berat.

Magnus duduk di ujung ruangan, tangannya terlipat, matanya menatap lurus ke depan, tidak memedulikan siapa pun di sekitarnya. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi, namun ada ketegangan di sudut bibirnya yang mengatakan semuanya. Sejak mereka semua tiba, tak ada satu kata pun yang terucap. Semua menunggu, entah untuk apa.

Elara duduk beberapa langkah dari Magnus. Rambutnya yang panjang dan tergerai sedikit acak, namun wajahnya tetap anggun seperti biasa. Meskipun begitu, matanya kosong, seakan tak ada lagi yang bisa dilihat dengan jelas. Setiap kali matanya bertemu dengan Magnus, ada rasa sakit yang tak terucapkan, sebuah beban yang tak bisa lagi disembunyikan.

Di sisi lain, Darien duduk memeluk lutut, menunduk, jarang sekali mengangkat wajahnya. Dia tidak berani menatap siapa pun di ruangan itu, apalagi Magnus. Hatinya terluka, tapi dia lebih memilih diam. Tak ingin menambah api yang sudah cukup membakar dirinya.

Ysolde berdiri di dekat jendela, melihat hujan yang turun dengan deras di luar. Dia bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi kehadirannya selalu cukup untuk memberi ketenangan yang semu. Namun, kali ini, ketenangan itu tak lagi ada. Dia tahu, tak ada yang bisa diperbaiki di antara mereka. Dia hanya berharap ada jalan keluar dari semua ini.

Arvid yang sejak awal berdiri di sudut lain, diam, memandang semua dengan tatapan penuh makna. Tidak ada perasaan apapun yang tersisa untuk mereka. Sudah terlalu banyak kebohongan dan pengkhianatan, dan Arvid lebih memilih menjadi orang luar yang tak terlibat. Namun, hatinya tetap terluka, bahkan lebih dalam dari yang lain.

Akhirnya, Magnus membuka mulut, suaranya berat, seperti menarik napas panjang setelah berlama-lama menahan kata-kata.

“Kamu…,” katanya, suara itu penuh dengan kebencian yang tak bisa disembunyikan. “Kamu yang memilih Darien, Elara. Dan kau tahu apa yang terjadi setelah itu. Semua yang hancur ini karena pilihanmu.”

Elara menatapnya, ada keraguan di matanya, namun tak ada kata yang keluar. Darien menoleh, tangan yang memeluk lututnya meremas semakin keras, menahan gejolak di dalam dirinya.

“Ini bukan hanya tentang pilihan, Magnus. Kamu tahu aku tidak pernah berniat melukaimu. Tapi saat itu, aku merasa… merasa kehilangan,” jawab Elara pelan. “Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya ingin bahagia, tapi kebahagiaan itu malah menyakitkan.”

“Bahagia?” Magnus tertawa pahit. “Kau pikir aku ini apa, Elara? Kau pergi begitu saja, meninggalkan aku untuk Darien. Dan kau bilang kau ingin bahagia? Semua yang kita punya dihancurkan hanya karena kebohongan ini.”

Darien mengangkat wajahnya akhirnya, menatap Magnus dengan tatapan yang penuh kebingungan dan amarah yang sama.

“Kau juga tidak lebih baik, Magnus. Kita semua tahu siapa yang pertama kali melukai, dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas ini,” ujar Darien dengan suara rendah, namun penuh kekuatan. “Elara memang salah, tapi kita semua bagian dari masalah ini. Kau pikir kamu yang paling terluka? Kami semua terluka, dan kau tidak lebih baik dari kami.”

Magnus menatap Darien tajam, seolah ingin menerobos masuk ke dalam pikirannya. “Kau pikir kamu bisa mengubah semuanya dengan kata-kata itu? Kau yang merusak semuanya, Darien. Kau yang merebut segalanya dariku, dan kau ingin bicara tentang luka?”

Ysolde yang sejak tadi hanya diam, akhirnya berbalik, wajahnya keras, namun ada kelelahan yang jelas terlihat.

“Cukup, Darien. Cukup, Magnus. Tidak ada gunanya terus saling menyalahkan,” kata Ysolde, suaranya datar. “Kita semua sudah tahu ini takkan selesai. Semua sudah terlanjur rusak.”

“Jadi kita hanya berhenti di sini?” Arvid ikut bicara dengan nada rendah. “Kita semua hanya duduk dan memandang satu sama lain, saling terluka, dan berharap semuanya akan baik-baik saja?”

Elara menunduk, menggigit bibirnya, tidak mampu menahan air mata yang perlahan mulai mengalir. “Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya ingin melupakan semua ini, tapi itu tidak mungkin. Semua yang terjadi terlalu besar untuk diabaikan.”

Arvid mendekat, menghampiri Elara, dan meletakkan tangan di bahunya. “Kamu tidak bisa melupakan, Elara. Kita tidak bisa melupakan. Semua yang kita lakukan telah meninggalkan bekas yang tak bisa hilang.”

Suasana kembali hening, seakan waktu yang terus berjalan itu memaksa mereka untuk tetap berada di sini, dalam ruang ini, dengan kenangan-kenangan yang tak akan pernah terhapus. Tak ada lagi harapan untuk perdamaian. Mereka semua tahu bahwa tak ada jalan kembali, tak ada perbaikan yang bisa dilakukan.

Di luar, hujan terus turun, menambah kesedihan yang menguar di dalam ruangan ini. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu, menunggu sampai semua ini benar-benar berakhir, dan mereka terpisah lebih jauh lagi.

 

Di Antara Dendam dan Pengkhianatan

Ruang itu masih terasa sama, penuh ketegangan yang menyesakkan. Meski hujan telah reda, udara di dalamnya tetap lembap, berat. Setiap kata yang terucap hanya menambah jarak yang semakin lebar di antara mereka. Tidak ada satu pun dari mereka yang bergerak, seolah ruang itu telah membekukan waktu, menghentikan segala kemungkinan untuk mencari jalan keluar.

Magnus duduk tegak, tetap tidak bergeming. Wajahnya yang dingin seolah menunjukkan bahwa dia sudah lelah berbicara, lelah berusaha untuk memperbaiki sesuatu yang menurutnya sudah rusak. Namun, dari sorot matanya yang tajam, jelas bahwa dia masih menahan amarah yang membara.

Darien, yang sejak tadi hanya diam, kini berdiri. Gerakannya agak terburu-buru, seperti seseorang yang ingin melarikan diri dari kenyataan. “Apa yang sebenarnya kalian inginkan, huh?” suaranya serak, penuh kebingungan. “Apa kita masih bisa memperbaiki ini? Atau kita cuma berputar-putar dalam lingkaran yang sama? Aku tidak tahu lagi. Aku capek.”

Elara menatap Darien dengan penuh keputusasaan. “Aku capek, Darien. Aku capek dengan semua ini. Aku ingin kita bisa baik-baik saja lagi, tapi aku tahu itu tidak mungkin.” Suaranya pecah di kalimat terakhir. Dia tidak bisa lagi menahan emosi yang selama ini dipendam.

Ysolde menyandarkan tubuhnya pada dinding, matanya terpejam sebentar, mencoba menenangkan dirinya. Hatinya terasa sesak, tetapi dia tahu dia tidak bisa ikut larut dalam pertengkaran ini. “Sudah cukup,” katanya, suara pelan namun tegas. “Kita tidak akan pernah kembali seperti dulu. Kita semua tahu itu. Jadi, apa gunanya terus menerus saling menyalahkan?”

Arvid yang sejak tadi tidak bergerak, menghela napas panjang. “Kalian masih berpikir ada cara untuk memperbaiki ini?” tanyanya tanpa harapan. “Aku sudah berhenti berharap. Aku sudah lelah. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi.”

Tak ada yang menjawab. Mereka semua terdiam, saling bertatapan tanpa kata. Elara mencoba menahan air matanya, namun itu sia-sia. Semua yang dia simpan di dalam hatinya akhirnya pecah. “Aku menyesal. Aku benar-benar menyesal,” katanya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun di ruangan itu.

Darien mendekat, dan meski wajahnya penuh dengan luka, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara. “Kita semua menyesal, Elara. Tapi apa artinya penyesalan kalau kita tidak bisa memperbaikinya? Kita sudah terlalu jauh.”

“Sudah cukup dengan penyesalan!” teriak Magnus, suaranya keras, penuh dengan rasa frustrasi. “Penyesalan tidak akan mengubah apapun! Apa yang sudah terjadi, sudah terjadi! Kita semua sudah menghancurkan diri kita sendiri. Dan kalian masih berharap pada hal yang sama?”

Elara menoleh, wajahnya penuh dengan air mata yang sudah tak bisa dibendung lagi. “Apa yang kamu ingin aku lakukan, Magnus? Apa yang kamu harapkan dari aku?” tanyanya dengan nada yang penuh keputusasaan. “Aku tidak bisa membalikkan waktu. Aku tidak bisa mengubah apa yang sudah kita lakukan.”

Ysolde berjalan mendekat, melangkah dengan perlahan, dan menatap Elara dengan sorot mata yang penuh dengan rasa empati yang dalam. “Kadang, kita tidak bisa memperbaiki semuanya, Elara. Kita hanya bisa menerima kenyataan dan berusaha melanjutkan hidup kita masing-masing. Tapi itu tidak berarti kita harus saling memaafkan.”

“Benar,” Arvid menambahkan, suaranya keras dan penuh penekanan. “Tidak ada maaf lagi yang bisa diberikan. Terlalu banyak kebohongan yang sudah diceritakan, terlalu banyak pengkhianatan. Itu tidak akan bisa dilupakan. Kita hanya bisa memilih untuk berpisah.”

Magnus menoleh ke Arvid, tatapannya dingin. “Dan kalian pikir itu solusi terbaik? Meninggalkan semua ini begitu saja? Kita sudah terlalu lama terjebak dalam permainan ini, Arvid. Kita sudah terlalu dalam.”

Namun, Arvid tidak membalas. Hanya ada keheningan yang mengisi ruang itu. Setiap orang terjebak dalam pikirannya masing-masing, bertanya-tanya apakah ada jalan keluar dari kebuntuan ini, atau apakah mereka hanya akan saling menyakiti tanpa ada habisnya.

“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan,” Elara akhirnya mengakui, suaranya lemah. “Aku merasa seperti… seperti aku sudah kehilangan semuanya.”

Ysolde menatapnya, kali ini lebih lembut. “Kadang, kita harus kehilangan semuanya untuk menemukan siapa kita sebenarnya,” katanya. “Tapi itu tidak berarti kita harus kembali bersama lagi. Kita bisa pergi masing-masing, dan kita harus melanjutkan hidup.”

Darien berpaling, menyandarkan punggungnya pada dinding, matanya kosong. “Lalu, apa yang kita lakukan sekarang?” tanyanya, suara terdengar hampir seperti bisikan. “Kita tetap bertahan dalam kebencian ini?”

“Apa lagi yang kita punya?” jawab Magnus, suaranya penuh dengan kepahitan. “Semua yang kita punya sudah hancur. Kenapa kita harus terus berpura-pura?”

Keheningan menyelimuti mereka lagi. Semua yang ada di ruangan itu, lima jiwa yang pernah dekat, kini terpisah oleh dinding kebencian yang tinggi. Tidak ada kata yang bisa memperbaiki semuanya, dan mereka semua tahu bahwa jalan mereka telah berakhir.

Satu persatu, mereka mulai beranjak dari tempat mereka duduk. Tanpa ada kata perpisahan, tanpa ada kata penghiburan. Mereka hanya melangkah pergi, menuju jalan yang berbeda, tidak ada yang mencoba untuk menengahi atau mencari jalan kembali. Dan di luar, hujan kembali turun, seakan dunia sendiri pun mengerti bahwa ini adalah akhir yang tak bisa dihindari.

 

Batasan yang Tak Terlihat

Keheningan itu, yang selalu menyertai mereka, kini seolah menguasai seluruh dunia. Hujan di luar hanya menambah kesan suram yang menghantui ruangan itu. Mereka yang pernah begitu dekat, yang pernah berbagi tawa dan tangis, kini terpisah oleh garis tak kasat mata yang semakin menebal. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah beban masa lalu mengikat mereka pada sesuatu yang tak bisa dilepaskan.

Magnus berjalan sendirian di lorong yang gelap, matanya kosong, seperti tidak ada lagi yang bisa dikejar dalam hidupnya. Semuanya sudah berakhir, dan meski dia tahu itu, ada rasa sesak yang tetap menggerogoti dadanya. Dia berhenti sejenak di depan sebuah jendela, memandangi hujan yang turun deras. Pikirannya berkecamuk.

“Apakah ini yang aku inginkan?” gumamnya pada dirinya sendiri. Tetapi pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab. Tidak ada yang tahu bagaimana cara menjawabnya—tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan lagi.

Sementara itu, di tempat yang jauh lebih sunyi, Darien duduk di ujung tempat tidurnya, tangan terlipat di belakang kepala, merenung dengan perasaan hampa. Setiap detik berlalu, dia merasa semakin terperangkap dalam ingatan yang tak bisa lepas. Wajah Elara, suara Ysolde, senyum Arvid yang dulu cerah kini hanyalah bayangan yang semakin memudar.

“Tapi aku masih merasa sakit,” bisiknya, suara penuh dengan kesendirian. “Kenapa kita tidak bisa membiarkan semuanya berakhir damai? Kenapa kita harus saling melukai?”

Di sisi lain, Elara, yang meski terlihat tenang di luar, merasakan kegelisahan yang begitu kuat di dalam dirinya. Rasa bersalah yang telah lama dipendam kini mulai merayap kembali. Setiap pertemuan, setiap percakapan yang terputus, seolah menambah luka di hatinya. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Semua yang pernah dia harapkan, semuanya kini hancur.

“Apakah aku sudah menghancurkan semuanya?” tanyanya, memandangi bayangannya sendiri di cermin. “Apakah ada jalan kembali? Atau apakah ini sudah saatnya untuk benar-benar melupakan?”

Namun, meskipun Elara mencoba untuk mencari jawaban dalam dirinya, tidak ada yang benar-benar bisa memberi ketenangan. Tidak ada jawaban pasti yang akan membuat semuanya baik-baik saja lagi. Semua yang ada kini hanya luka, dan setiap usaha untuk mencari penebusan hanya terasa sia-sia.

Di sebuah kafe yang sunyi, Ysolde duduk sendirian, menatap secangkir kopi yang sudah lama dingin. Hatinya penuh dengan kebingungannya sendiri. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki keadaan, dan mungkin, itu memang yang terbaik. Mereka semua sudah terlalu jauh, dan dia tidak tahu apakah masih ada tempat bagi mereka untuk berdamai.

“Kenapa aku masih di sini?” pikirnya, menatap ke luar jendela yang buram oleh hujan. “Aku tahu kita tidak akan pernah kembali seperti dulu. Mungkin aku hanya harus menerima ini.”

Namun, meskipun dia mencoba untuk meyakinkan dirinya, rasa rindu untuk masa lalu, untuk kebersamaan yang dulu ada, tetap menghantui setiap langkahnya. Mungkin, semua yang mereka miliki dulu hanyalah kebohongan, namun kenangan itu terlalu kuat untuk dilupakan.

Sementara itu, Arvid berjalan menyusuri jalanan kota yang hampir sepi. Hujan telah mereda, tetapi udara malam terasa dingin dan menekan. Pikirannya masih terperangkap dalam pertanyaan yang tidak terjawab—tentang masa lalu, tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, dan tentang apakah mereka benar-benar pantas untuk merasa kesepian.

“Tapi, apakah aku benar-benar ingin kembali?” tanyanya dalam hati, merasakan angin malam yang menampar wajahnya. “Apakah aku hanya ingin melarikan diri dari kenyataan?”

Setiap langkah terasa seperti pilihan yang lebih berat daripada yang terakhir. Arvid tidak tahu apakah dia memilih untuk pergi atau tetap tinggal, apakah dia harus terus berjuang melawan perasaan yang mendalam atau menerima kenyataan bahwa mereka tidak bisa kembali seperti dulu.

Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan terakhir mereka. Namun, meskipun waktu terus bergerak maju, mereka tetap terjebak dalam masa lalu mereka yang gelap. Keinginan untuk melupakan, untuk memulai hidup yang lebih baik, sering kali dibenturkan oleh kenyataan yang tak terhindarkan.

Dan pada suatu malam yang dingin, mereka semua kembali bertemu, tanpa rencana, tanpa tujuan yang jelas. Mereka hanya tahu bahwa ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang harus diselesaikan, meskipun itu berarti membuka kembali luka-luka lama.

Di sebuah ruang yang sepi, Magnus berdiri, menunggu mereka yang satu per satu tiba. Darien datang lebih dulu, diikuti oleh Elara, Ysolde, dan Arvid yang tidak berkata sepatah kata pun. Mereka hanya saling bertatapan, masing-masing terjebak dalam dunia mereka sendiri.

Akhirnya, Magnus membuka mulut. “Ini tidak akan pernah selesai, kan?” katanya, suaranya datar, tanpa emosi. “Tidak ada yang bisa memperbaiki semuanya. Kita semua sudah berubah. Kita sudah terlambat.”

Ysolde mengangguk pelan. “Mungkin kita memang tidak akan pernah kembali,” jawabnya. “Tapi kita juga tidak bisa terus saling membenci. Apa yang kita lakukan ini hanya menyakiti kita semua.”

Darien menatapnya dengan pandangan kosong. “Tapi apakah kita punya pilihan lain?”

Keheningan kembali mengisi ruangan itu. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan, dan mereka tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah jalan yang sudah dipilih. Tidak ada lagi harapan, tidak ada lagi kesempatan kedua. Apa yang tersisa hanya batasan yang tak terlihat, yang membatasi mereka satu sama lain.

Elara memandang mereka semua, dengan mata yang penuh penyesalan. “Aku tidak tahu lagi, teman-teman. Aku hanya tahu aku tidak bisa kembali lagi ke masa itu. Semua sudah hancur. Tidak ada yang bisa mengubahnya.”

Akhirnya, Arvid menatap mereka semua dengan tatapan penuh keputusasaan. “Jadi, kita hanya akan terus hidup dengan luka-luka ini, ya?”

Magnus menghela napas panjang, hampir tidak terdengar. “Mungkin ini memang yang terbaik. Kita sudah terlambat untuk memperbaikinya.”

Dan begitu, di tengah hujan yang kembali turun dengan deras, mereka semua berbalik dan pergi, meninggalkan satu sama lain di kegelapan, membawa luka-luka mereka masing-masing, dan tahu bahwa mereka tidak akan pernah kembali ke masa lalu. Karena kadang, ketika semua sudah hancur, yang bisa mereka lakukan hanyalah berjalan pergi, membawa kenangan yang tak pernah bisa sembuh.

 

Kebenaran yang Tak Terucap

Kota sudah larut, dan angin malam menggerakkan daun-daun yang berguguran. Di luar, dunia terlihat diam, seakan semua yang pernah ada dan semua yang pernah terjadi terhenti dalam ruang yang sangat sempit. Hanya ada mereka—lima orang yang pernah begitu dekat, yang kini terasing di dunia mereka masing-masing.

Magnus berdiri di jendela apartemennya, mata terfokus pada hujan yang kini mulai mereda. Suasana malam terasa begitu berat. Sesuatu yang telah lama dipendamnya kini kembali menguar, menuntut untuk diselesaikan, meskipun dia tahu, tidak ada lagi yang bisa diselesaikan. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa mengubah apa yang telah terjadi.

“Kenapa kita tidak bisa selesai?” tanya Magnus, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun. Seiring dengan suara rintikan hujan yang semakin lemah, dia menyadari bahwa semua ini mungkin memang tidak bisa diperbaiki. Bukan karena mereka tidak mencoba, tapi karena ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar kebencian atau perasaan yang belum terselesaikan.

Di kafe tempat Ysolde biasa menghabiskan waktu, ia duduk sendirian, menatap kosong ke luar jendela. Hujan masih turun, tetapi tidak ada lagi rasa yang bisa ia tanggung. Tidak ada lagi rasa ingin bertemu atau menyelesaikan apa yang seharusnya. Ia tahu, untuk pertama kalinya, bahwa berjuang untuk sesuatu yang sudah lama hilang hanya akan membuatnya semakin terperangkap dalam kenangan pahit.

“Biar saja semuanya hilang,” Ysolde berkata pelan, suaranya hampir tertelan angin. “Aku tidak bisa memaksakan kita kembali. Kita sudah memilih jalan kita masing-masing.”

Darien tidak jauh dari tempat Ysolde. Dia berdiri di pinggir jalan, matanya menatap lampu jalan yang temaram. Rasanya, hidupnya tidak lebih baik dari malam yang mendung ini—tak ada arah, hanya terombang-ambing di antara sisa-sisa harapan yang semakin pudar. Pikirannya berputar, mencoba mengingat bagaimana semuanya dimulai, namun yang bisa ia ingat hanyalah perasaan hampa yang membelit setiap langkahnya.

“Tak ada gunanya,” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Kami tidak akan pernah kembali. Tidak ada yang bisa mengubah semua yang sudah terjadi.”

Di rumah yang terasa begitu sunyi, Arvid duduk di sofa, matanya tertuju pada layar ponselnya yang gelap. Beberapa pesan dari teman-temannya terabaikan, tidak ada yang bisa menghiburnya. Tidak ada yang bisa menghapus ingatan itu. Apa pun yang ia lakukan, perasaan sakit dan kehilangan itu tetap ada, menggerogoti hatinya. Keheningan terasa seperti sebuah penghukuman.

“Tapi ini memang yang terbaik,” bisiknya pada dirinya sendiri, meskipun dia tahu itu tidak lebih dari kebohongan yang dia coba terima. “Kita sudah saling menyakiti. Mungkin ini jalan terbaik, meskipun aku tidak tahu lagi apa yang harus aku percaya.”

Elara berdiri di balkon rumahnya, menatap ke luar dengan tatapan kosong. Hujan sudah berhenti, namun dingin malam tetap menyentuh kulitnya. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang seharusnya bisa mengembalikan segalanya menjadi seperti dulu. Namun, ia tahu, itu sudah tidak mungkin. Mereka semua sudah terjebak dalam kebenaran yang tak bisa mereka hindari lagi.

“Semua sudah selesai,” katanya, berbicara pada bayangannya sendiri yang tercermin di kaca balkon. “Aku sudah mencoba. Aku sudah berusaha. Tapi kadang, memang ada hal-hal yang tidak bisa diputar kembali.”

Keempatnya kini terjebak dalam kesendirian masing-masing. Mereka mungkin telah lama meninggalkan pertengkaran-pertengkaran mereka di masa lalu, namun luka-luka itu tetap ada—terbuka, tidak bisa sembuh, dan tidak bisa dilupakan. Seperti musim yang berganti, mereka semua berusaha untuk berdamai dengan kenyataan, tetapi kenyataan itu terlalu keras untuk diterima.

Malam semakin larut, dan akhirnya mereka kembali bertemu, namun kali ini tidak ada lagi kata-kata yang diucapkan. Tidak ada lagi harapan untuk memperbaiki semuanya, karena mereka tahu bahwa pertemuan mereka kali ini bukan untuk menyelesaikan apa pun, tetapi hanya untuk mengakui bahwa tidak ada yang akan berubah.

Magnus menatap mereka semua dengan pandangan kosong. “Kita sudah sampai di titik ini,” katanya datar. “Semua yang kita coba, semua yang kita bicarakan, hanya sia-sia.”

Ysolde hanya mengangguk pelan, tidak ada lagi api di matanya. “Kita sudah berusaha, tapi tidak ada yang bisa mengembalikan semuanya,” ujarnya. “Mungkin memang tak ada yang salah dengan ini. Mungkin ini yang seharusnya terjadi.”

Elara menatap mereka semua, kemudian berkata pelan, “Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan. Mungkin kita memang sudah bukan siapa-siapa lagi untuk satu sama lain.”

Arvid yang diam sepanjang waktu akhirnya membuka mulut, “Kita terlalu banyak saling menyakiti untuk bisa kembali. Ini bukan tentang siapa yang benar atau salah lagi. Ini tentang kita yang tidak bisa lagi menemukan jalan yang sama.”

Darien menatap mereka satu per satu, kemudian berjalan menuju pintu keluar, matanya kosong dan wajahnya tidak menunjukkan ekspresi. “Kita tidak akan pernah menemukan kedamaian dalam kebersamaan. Ini harus berakhir.”

Mereka saling berhadapan dalam diam. Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi kebersamaan. Hanya ada jarak yang semakin lebar antara mereka. Waktu yang mereka miliki bersama kini terasa seperti bayangan yang semakin memudar. Dan ketika mereka berbalik, berjalan pergi, ada rasa hampa yang menyelimuti mereka, karena mereka tahu—selamanya mereka akan tetap terperangkap dalam pertengkaran yang tidak pernah ada ujungnya.

 

Ya, kadang hidup memang nggak seperti yang kita harapkan. Mereka mungkin pernah jadi teman, tapi sekarang mereka cuma orang asing yang saling benci. Nggak ada happy ending, nggak ada yang saling memaafkan—hanya kenangan yang tersisa. Jadi, ya… mungkin begitulah jalan yang harus mereka pilih. Semoga kamu nggak pernah ada di posisi mereka, ya!

Leave a Reply