Cerpen Dosa Terbesar di Malam Hari: Kehidupan Gelap yang Menyiksa Jiwa

Posted on

Pernah nggak sih kamu ngerasain, kalau kadang dunia malam itu lebih jujur daripada dunia siang? Gimana kalau kamu terjebak di dalamnya, nggak ada jalan keluar, cuma bisa ngikutin arus yang nggak ada habisnya?

Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke sisi gelap yang mungkin kamu nggak pernah bayangin sebelumnya. Di sini, nggak ada yang baik-baik, nggak ada yang bertobat, cuma dosa yang terus ngikutin. Gak ada yang tahu gimana akhirnya, karena kita semua cuma pemain di dunia yang udah nggak ada harapan lagi.

 

Kehidupan Gelap yang Menyiksa Jiwa

Malam yang Tak Pernah Tidur

Malam di kota ini tak pernah benar-benar tidur. Lampu jalan yang berkedip-kedip, udara yang terasa berat dengan aroma tembakau dan bau bensin, semua menyatu dalam kesunyian yang aneh. Di jalan-jalan yang sepi, aku tahu ada sesuatu yang terus bergerak, sesuatu yang gelap. Di setiap sudutnya, kota ini memiliki cerita. Cerita yang tak bisa dipahami oleh mereka yang terjebak dalam dunia siang, dunia yang menganggap segala yang buruk adalah pelarian. Tapi di sini, malam adalah kehidupan.

Aku berdiri di depan Cicada, bar yang selalu ramai dengan mereka yang tak ingin dikenal. Pintu besi yang berkarat terbuka, dan suara musik yang berdentum keluar, mengalir seperti darah yang mengalir di tubuh kota. Aku melangkah masuk. Gelap di dalam, hanya cahaya neon yang menyinari setiap wajah yang ada di sana—wajah-wajah yang kehilangan arah, yang lebih memilih bersembunyi di balik bayang-bayang malam daripada berhadapan dengan dunia luar yang menuntut kepura-puraan.

Bar itu penuh, seperti biasa. Beberapa orang duduk di meja, tertawa seolah hidup mereka tidak pernah terganggu. Mereka tidak peduli siapa mereka atau apa yang mereka lakukan, yang penting adalah malam ini, malam yang dipenuhi dengan dosa, kesenangan sementara, dan lupakan apa pun yang datang setelahnya.

Di bar, seorang pria berkulit cokelat keemasan, Riko, bartender yang sudah lama mengenalku, mengangkat alis saat melihatku. Dia tahu apa yang aku inginkan. Kami tak pernah perlu banyak bicara.

“Apa kabar?” tanyanya, sedikit lebih santai dari biasanya.

Aku menyandarkan punggungku ke meja, mengamati sekeliling dengan penuh perhitungan. “Seperti biasa,” jawabku, tidak terlalu tertarik pada pertanyaan itu. Aku hanya ingin satu hal malam ini—pelarian. “Kuatkan sedikit.”

Dia mengangguk tanpa ragu, langsung menuangkan alkohol ke dalam gelas tanpa bertanya lagi. Tak ada pertanyaan tentang ke mana aku akan pergi setelah ini, atau siapa yang akan ikut denganku. Semua orang di sini sudah terbiasa dengan cara kami berurusan dengan malam. Mereka tahu tak ada yang akan kembali dengan jiwa yang sama setelah berkunjung ke Cicada.

Aku menerima gelas itu dan meneguknya dalam sekali hap. Kepalaku mulai terasa lebih ringan. Dunia menjadi lebih kabur, seperti gambar yang tidak jelas. Itu selalu begini. Begitu kita masuk ke dalam dunia ini, segalanya menjadi lebih mudah. Tanpa beban, tanpa kesadaran akan dosa yang tak bisa lagi dihindari.

Tatapan mata Riko tidak berubah, tapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang terperangkap dalam dunia ini. Dia tahu aku sedang mencari sesuatu. Seperti yang selalu aku cari setiap kali aku datang ke tempat ini—rasa kosong yang bisa aku penuhi dengan sesuatu yang lebih gelap.

Tanpa berkata apa-apa lagi, aku bergerak ke belakang bar, melewati kerumunan orang yang sibuk dengan percakapan mereka sendiri, sebagian dari mereka hanya berbicara tentang hal-hal sepele, sebagian lainnya berbisik seperti menciptakan dunia kecil mereka sendiri. Di meja paling belakang, seorang wanita duduk sendirian. Ira, wajahnya yang pucat diterangi oleh cahaya temaram dari meja kecil di depannya. Gaunnya yang hitam menambah kesan misterius, dan matanya—matanya seperti mengingatkan bahwa dia lebih daripada sekadar wajah yang tampak cantik.

Aku sudah mengenalnya lama, terlalu lama. Kami berbagi banyak malam bersama, namun tak pernah ada yang benar-benar tahu tentang kami. Mungkin, jika ada satu hal yang kami miliki, itu adalah kesepakatan tak terucapkan: Kami tidak mencari kedamaian di sini. Kami hanya mencari pelarian.

Mata Ira bertemu mataku, dan ada semacam koneksi yang tercipta tanpa kata-kata. Aku tahu apa yang dia rasakan. Sama seperti aku. Kami datang ke tempat ini karena di luar sana tak ada lagi tempat untuk kami bersembunyi.

Dia mengangguk pelan, seolah memberi izin. Aku melangkah mendekat. Tanpa berkata apa-apa, aku duduk di sampingnya. Tak ada sapaan, tak ada basa-basi. Kami berdua tahu kenapa kami ada di sini. Semuanya tak lebih dari sekadar permainan. Permainan yang kami pilih untuk bermain, dan tak ada satu pun yang bisa keluar begitu saja.

“Rindu?” tanyanya, suaranya rendah, hampir seperti berbisik, meskipun tak ada yang menghalangi percakapan kami.

Aku tersenyum tipis. “Tanya saja pada dirimu sendiri,” jawabku, masih menatap ke depan, menembus kegelapan yang mengelilingi kami.

Ira tertawa pelan. “Kita berdua tahu jawabannya.”

Aku memesan lagi minuman, menikmati keheningan yang menyelimuti kami berdua. Seperti biasa, tak ada yang ingin bicara banyak. Malam seperti ini lebih cocok untuk berpikir sendiri, untuk meresapi setiap detik yang berlalu tanpa perlu takut. Tak ada yang peduli apakah esok hari masih ada, karena malam ini adalah semuanya.

Aku melihat wajah Ira sekali lagi. Kali ini ada yang berbeda. Ada tatapan kosong, yang lebih tajam daripada sebelumnya. Sebuah perasaan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang sudah terlalu lama hidup dalam dunia ini—dunia yang menghancurkan jiwa-jiwa yang lelah. Dosa itu bukan hanya tentang apa yang dilakukan, tetapi tentang siapa yang kita jadi di dalamnya.

“Di sini, tak ada yang bisa kembali,” katanya dengan suara yang sedikit serak, seolah berbicara lebih pada dirinya sendiri.

Aku tak menjawab. Aku tahu persis apa yang dia maksud. Tak ada yang pernah benar-benar kembali. Dan malam ini, aku tahu kami akan melangkah lebih jauh lagi.

Namun aku juga tahu, ada satu hal yang pasti: Di dunia ini, tak ada yang bisa menghindari dosa terbesar.

 

Di Balik Pintu Cicada

Gelap sudah begitu pekat saat aku melangkah keluar dari Cicada, langkahku mantap meski kepala sedikit berputar. Ira masih ada di sana, tenggelam dalam dunianya sendiri, menikmati setiap detik yang membawanya lebih dalam ke dalam gelap, sama seperti aku. Kami tak perlu kata-kata, hanya keheningan yang semakin menebal. Keheningan yang seperti racun, yang mulai meresap ke dalam tubuh, membuat segala hal yang pernah terasa benar menjadi kabur.

Pintu bar tertutup pelan di belakangku, dan aku bisa mendengar suara musik samar yang perlahan menghilang. Malam terasa lebih sepi saat aku berjalan menelusuri jalan yang sudah terlalu sering aku lewati. Langkahku terhenti sejenak ketika melihat sebuah mobil hitam terparkir di pinggir jalan. Pintunya terbuka perlahan, dan sosok yang muncul dari dalamnya adalah Darren.

Darren, pria dengan wajah yang selalu tampak santai, meskipun di balik matanya ada api yang tak pernah padam. Aku mengenalnya sejak lama, lebih lama dari yang mungkin aku ingat. Kami berbagi lebih dari sekadar ruang di dunia malam. Kami berbagi sebuah pemahaman, yang mungkin lebih gelap daripada apa pun yang bisa dijelaskan.

“Kenapa kamu masih di sini?” tanyanya, suaranya serak, seolah keluar dari ruang yang dalam dan gelap.

Aku hanya mengangkat bahu. “Tak ada tempat lain.” Lalu aku melangkah lebih dekat, cukup untuk merasakan udara berat yang datang bersamanya. “Kau tahu aku tidak bisa pergi.”

Dia tersenyum tipis, senyum yang lebih mengarah ke sarkasme daripada kehangatan. “Kita semua terjebak di sini, Ira. Kau pikir ada yang bisa keluar dari tempat ini?”

Aku diam sejenak, menatapnya dengan intens. “Ada cara untuk keluar,” kataku, meskipun aku tahu itu adalah kebohongan yang sudah lama aku cerna. Aku juga tahu, tak ada jalan keluar dari permainan ini.

Darren menatapku dengan tatapan yang lebih tajam, dan aku bisa merasakan beratnya suasana malam ini. Ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya, dalam cara dia melihatku. Kami sudah lama saling mengenal, tapi malam ini sepertinya ada sesuatu yang berubah di antara kami.

“Terlalu lama kau hidup dalam kebohongan, Ira,” katanya pelan, hampir seperti bisikan yang hanya ditujukan untukku. “Dan kau tahu itu.”

Kata-katanya membuat dadaku sesak, tapi aku menahan diri. “Aku tahu,” jawabku, suaraku dingin. “Tapi tak ada yang bisa kita lakukan. Kita semua hanya pelaku dalam cerita yang sudah ditentukan.”

Dia terdiam sejenak, seolah mencerna setiap kata yang keluar dari mulutku. Aku bisa melihat kegelapan di matanya, kegelapan yang bahkan lebih dalam dari apa yang aku rasa. “Aku tak pernah mengerti kenapa kau bertahan,” katanya akhirnya. “Apa yang kau cari di dunia ini? Apa yang kau pikir akan kau temukan?”

Aku menatapnya tajam, senyum tipis muncul di bibirku. “Aku mencari sesuatu yang bisa memuaskan rasa kosong ini,” jawabku, jujur meskipun aku tahu itu tidak akan pernah cukup. “Apa pun yang membuatku merasa sedikit lebih hidup.”

Darren terkekeh pelan, suaranya serak dan kasar. “Kau hanya mencari kenikmatan sementara, Ira. Dan itu tak akan pernah mengisi ruang kosong di dalam dirimu.” Dia mendekat, jarak di antara kami hanya tinggal beberapa inci. “Kau tahu itu, kan? Semua yang kita lakukan di sini adalah untuk menghindari kenyataan. Tapi kenyataan itu akan selalu menunggu kita.”

Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan perasaan yang mulai membuncah. “Tak ada yang perlu ditunggu lagi,” jawabku, suaraku tetap tenang meskipun ada sesuatu yang terasa menyesakkan. “Kenyataan kita sudah ada di sini. Di setiap langkah yang kita ambil. Dan kita sudah terlalu dalam untuk kembali.”

Darren hanya mengangguk pelan, lalu menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti. Sepertinya dia tahu apa yang aku rasakan, tapi dia tak bisa memberi jawaban. Karena tak ada jawaban untuk kami yang sudah terjebak di sini.

“Ayo,” katanya tiba-tiba, memecah keheningan yang terbangun antara kami. “Mari kita pergi. Ada tempat yang lebih gelap, lebih tenang. Tempat di mana kita bisa mengabaikan semuanya, termasuk diri kita sendiri.”

Aku menatapnya sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Kami berdua tahu ke mana kami akan pergi. Ke tempat yang lebih dalam lagi, tempat di mana tak ada lagi harapan, hanya kenyataan yang lebih kejam.

Kami berjalan menuju mobil hitam itu, menembus malam yang semakin kelam. Di dalam mobil, hanya ada keheningan, kecuali suara mesin yang menderu pelan. Darren mengendarainya dengan tenang, seolah sudah lama mengenal jalan-jalan ini, jalan-jalan yang tak pernah membawa siapa pun kembali dengan utuh.

Kota ini seolah punya cara untuk memanggil kami lagi. Memanggil kami untuk tenggelam lebih dalam, untuk menjadi bagian dari kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Di dalam mobil, aku memejamkan mata sejenak, berusaha merasakan segala sesuatu yang terjadi di luar sana. Namun, yang kurasakan hanya kesunyian yang semakin mengelilingi kami. Kami semua adalah bagian dari malam ini. Dan malam ini tidak pernah berhenti.

Ketika mobil berhenti, aku tahu kami sudah sampai. Sebuah tempat tersembunyi, jauh dari keramaian. Tak ada yang tahu di sini, dan tak ada yang akan mencari kami. Kami adalah bagian dari dunia yang terlupakan.

Darren menatapku satu kali lagi sebelum keluar dari mobil. “Kau siap?” tanyanya.

Aku mengangguk pelan. Kami sudah siap, meskipun kami tak pernah benar-benar siap untuk apa yang akan datang selanjutnya. Karena dunia ini, dunia malam yang penuh dengan dosa, tak akan pernah memberi kesempatan untuk bertobat.

 

Menyusuri Bayangan

Langkah kaki kami bergema di lorong sempit yang hampir tak terlihat di bawah lampu jalan yang redup. Setiap dindingnya penuh dengan grafiti yang lebih banyak berbicara tentang dosa daripada tentang seni. Suasana di sekitar semakin terasa dingin, meskipun udara malam cukup hangat. Aku tahu tempat ini, meski tak banyak yang bisa aku ingat lagi. Ada bagian dalam diriku yang mulai lupa dengan waktu, dengan tempat, bahkan dengan siapa aku.

Darren berjalan di depan, gerakannya santai, seolah dia sudah sangat mengenal setiap sudut tempat ini. Aku menatapnya dari belakang, menikmati ketenangan dalam langkah-langkahnya yang perlahan. Sesekali, tanganku menyentuh dinding kasar yang terbuat dari batu bata tua, mencoba merasakan sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa mengingatkanku pada dunia yang lebih terang. Tapi tidak ada. Semuanya terasa kosong.

“Kau masih bisa mundur, Ira,” kata Darren tanpa menoleh, suaranya datar, tapi ada penekanan dalam kata-katanya. “Tak ada yang mengikatmu di sini. Tidak ada yang akan melarangmu.”

Aku melangkah lebih cepat, mendekatinya. “Aku tak pernah mundur,” jawabku, suara lebih keras dari yang aku inginkan. Aku bahkan merasa terkejut dengan betapa teguhnya suara itu keluar dari bibirku. Seperti ada bagian dari diriku yang menanggalkan keraguannya, meski aku tahu itu hanya ilusi.

Darren berhenti di depan sebuah pintu kayu tua yang hampir rapuh. Dia mengetuknya tiga kali, dengan ritme yang hampir seperti kode. Tak lama, pintu itu terbuka dengan suara berderit, memperlihatkan seorang pria bertubuh besar yang berdiri di ambang pintu, matanya menilai kami dengan tajam.

“Selamat datang di rumah kita,” kata pria itu dengan suara berat, seolah dia sudah terlalu lama hidup dalam ketegangan. Kami masuk tanpa banyak bicara, hanya langkah kaki yang terasa berat.

Di dalam, suasananya lebih gelap lagi. Hanya ada cahaya samar dari beberapa lilin yang diletakkan di sudut ruangan. Udara terasa panas dan sesak, penuh dengan bau asap rokok dan sesuatu yang lebih berat—seperti kesedihan yang lama dipendam. Ruangan ini seperti sebuah ruang tunggu bagi mereka yang sudah melupakan apa itu kebahagiaan.

“Apa yang kita cari di sini?” tanyaku, suara serak, seolah ingin memecah kesunyian yang makin mencekam.

Darren hanya tersenyum miring, lalu melangkah lebih jauh ke dalam. “Kau tahu jawabannya. Kita mencari sesuatu yang lebih dari apa yang bisa diberikan dunia luar. Sesuatu yang lebih… menghancurkan.”

Aku hanya mengangguk. Apa yang bisa kukatakan? Kami sudah terlalu dalam, terlalu lelah untuk kembali. Tak ada lagi yang bisa menghalangi kami.

Pria besar tadi membawa kami ke sebuah ruang belakang yang lebih sunyi. Di sana, ada beberapa orang—semua dengan wajah yang sudah terlalu lama terjerumus dalam kehidupan ini. Mereka semua mengenakan masker, simbol dari kebohongan yang mereka pakai setiap hari. Di meja panjang, tumpukan uang, obat-obatan, dan barang-barang terlarang lainnya terhampar. Di sudut, ada beberapa botol alkohol yang mengilap, seakan-akan menunggu untuk dihancurkan lebih jauh.

“Ada yang baru,” kata pria besar itu, menunjuk ke meja di depan kami. “Ini bukan hanya tentang uang, Ira. Ini tentang kekuasaan. Dan malam ini, kalian akan punya kesempatan untuk merasakannya.”

Darren menatapku dengan mata yang tidak bisa kutebak. “Ini lebih besar dari yang kau bayangkan,” katanya. “Kita sedang berada di tempat yang lebih tinggi dari sekedar Cicada. Dunia ini lebih gelap, lebih berbahaya.”

Aku melangkah maju, mendekati meja yang penuh dengan kebohongan itu. Tanpa ragu, aku mengambil sebuah botol dan menuangkannya ke dalam gelas. Rasanya asin, seperti segalanya yang ada di dunia ini. Tak ada kebahagiaan yang nyata. Tak ada yang benar-benar murni.

“Tapi, apakah ini yang kau cari?” tanya Darren lagi. “Satu langkah lebih dalam ke dalam lubang?”

Aku menatapnya tajam, lalu meneguk minuman itu. Dingin, tajam, seperti racun yang masuk ke dalam tubuh, menghilangkan segala kesadaran. “Kau tak paham,” jawabku pelan. “Ini bukan tentang mencari, ini tentang kehilangan. Tentang menghilangkan setiap bagian yang masih membuat kita merasa hidup.”

Di sekitar kami, mereka yang ada di ruangan itu hanya menunggu—menunggu kami untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai, menunggu kami untuk berkomitmen pada dunia ini, dunia yang tak mengenal rasa bersalah. Tak ada pertanyaan tentang benar atau salah. Tak ada penyesalan yang diperbolehkan.

“Satu langkah lebih dalam, Ira,” kata Darren pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Dan kita akan melihat dunia ini untuk apa adanya. Tak ada lagi ilusi.”

Aku menatapnya, melihat lebih jauh ke dalam matanya yang tampak kosong. “Apa yang kau cari, Darren?” tanyaku, suara sedikit gemetar meskipun aku tak ingin menunjukkan kelemahan.

Dia hanya mengangkat bahu. “Aku mencari akhir dari perjalanan ini, Ira. Sesuatu yang mungkin kita semua coba lupakan—kebenaran tentang siapa kita sebenarnya.”

Aku terdiam, membiarkan kata-katanya menggantung di udara, lebih berat dari apapun yang pernah ku dengar sebelumnya. Kami berdua tahu bahwa kami sedang berjalan di tepi jurang yang dalam. Tidak ada lagi jalan kembali. Kami hanya bisa melangkah lebih dalam ke dalam dunia yang tidak bisa dipahami oleh mereka yang tak mengalaminya.

Dan dengan itu, kami mulai memutuskan nasib kami. Nasib yang sudah lama kami pilih sejak pertama kali melangkah ke dalam dunia ini. Dunia yang tak pernah memberi kesempatan untuk penyesalan.

 

Mencari Kehilangan

Malam semakin larut, dan kami tetap berada di ruangan itu, tak peduli dengan waktu yang terus berjalan. Semua orang yang ada di sana seolah sudah terhanyut dalam dunia mereka masing-masing, masing-masing terjebak dalam ilusi yang kami ciptakan sendiri. Mereka semua hanya bayang-bayang, tak lebih dari sekadar jiwa-jiwa yang putus harapan. Aku menatap mereka, mencoba menemukan secercah cahaya di antara gelapnya ruang itu. Tapi yang ada hanya bayangan yang semakin membesar.

Darren berdiri di sisi meja, matanya tak lepas dari tumpukan uang yang semakin menumpuk, mengilap di bawah cahaya redup lilin. Hidungnya menghirup dalam, seolah menikmati setiap detik yang semakin mendekatkan kami pada sesuatu yang tak terhindarkan. Dia tahu betul apa yang sedang terjadi. Aku bisa melihatnya di dalam matanya, yang sudah tidak lagi memantulkan rasa takut, hanya kelelahan yang tak terucapkan.

“Ini semua hanya permainan,” kata Darren, suara rendah, penuh penekanan. “Kita hanya ada di sini untuk merasakan apa yang orang lain tidak bisa rasakan. Untuk menggenggam sesuatu yang lebih besar dari kehidupan yang kita tinggalkan.”

Aku tidak menjawab. Ada saat-saat ketika kata-kata tak lagi penting, ketika apa yang kita lakukan lebih berbicara daripada apa yang kita katakan. Kami sudah berada jauh di luar batas, dan tak ada lagi kata yang bisa mengubah jalan yang sudah kami pilih. Keputusan sudah diambil. Kami sudah berada di sini.

Salah satu pria di ruangan itu mendekat, matanya penuh ketertarikan, seolah-olah menunggu konfirmasi dari kami tentang langkah selanjutnya. “Kalian siap?” tanyanya, suaranya datar, seperti pertanyaan yang sudah diulang ribuan kali di tempat ini.

Aku menatap Darren. “Kita siap,” jawabku, dan suaraku bahkan terdengar lebih pasti dari yang aku rasakan. Tak ada keraguan. Tak ada kebimbangan.

Darren hanya tersenyum tipis, mengangguk perlahan. “Kita semua siap. Hanya saja… tak ada yang tahu apa yang akan kita temui di ujung jalan ini.”

Mereka mengatur semuanya—semua yang dibutuhkan untuk melanjutkan permainan ini. Semua yang diperlukan untuk membenamkan diri kami lebih dalam. Semuanya begitu mudah, begitu cepat, seolah kami sudah hidup dalam dunia yang tidak pernah berhenti berputar. Tak ada lagi waktu untuk mundur. Tak ada lagi waktu untuk bertanya tentang apa yang benar atau salah. Semua sudah terlambat.

Dan saat malam semakin larut, kami akhirnya melangkah keluar dari ruangan itu. Di luar, dunia terasa sunyi. Seperti sedang menunggu kami untuk melakukan langkah terakhir. Tak ada suara kendaraan, tak ada lampu yang terang. Semua hanya diliputi kegelapan, mencerminkan apa yang ada dalam hati kami.

Aku menatap jalan yang terbentang di depan. Jalan yang sudah terlalu sering aku lewati, namun malam ini, semuanya tampak berbeda. Mungkin karena malam ini, aku sudah tak lagi sama. Darren berjalan di sampingku, langkahnya terukur, tapi aku tahu ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak bisa jelaskan.

Kami berjalan diam-diam, hanya ada suara langkah kaki kami yang mengisi kehampaan malam. Tak ada percakapan lagi, hanya rasa kosong yang semakin menggerogoti kami. Kami sudah melangkah terlalu jauh, dan dunia ini sudah terlalu rusak untuk bisa kembali ke tempat yang aman. Tidak ada yang benar di sini. Tidak ada yang bisa menyelamatkan kami.

Darren menghentikan langkahnya. “Kadang aku bertanya,” katanya dengan suara pelan, “apa yang kita cari sebenarnya? Apa kita sudah melangkah terlalu jauh hingga kita tak tahu apa yang kita inginkan lagi?”

Aku menoleh padanya. “Mungkin kita tidak pernah tahu, Darren,” jawabku. “Mungkin kita hanya terus berjalan untuk menghindari pertanyaan itu.”

Darren hanya mengangguk, senyum kecil tersungging di bibirnya. Namun, senyum itu terasa kosong, sama seperti perasaan kami saat itu. Kami tidak mencari apa pun lagi. Kami hanya menghindari kenyataan. Dan di setiap langkah yang kami ambil, kami semakin tenggelam dalam dunia yang tidak pernah memberi kesempatan untuk bertobat.

Ketika kami sampai di ujung jalan, di depan sebuah pintu besar yang tak pernah kami lihat sebelumnya, kami hanya berhenti sejenak. Pintu itu tidak terbuka, tetapi kami tahu, di baliknya ada dunia yang lebih gelap, lebih menyakitkan dari apa pun yang sudah kami alami. Di baliknya, ada pilihan terakhir.

Kami menatap pintu itu, tak ada yang perlu dikatakan lagi. Apa yang sudah terjadi, sudah terjadi. Tak ada penyesalan, tak ada harapan. Kami hanya berdiri di sana, menunggu sesuatu yang tak bisa kami kontrol, hanya menunggu dunia ini menelan kami.

Karena, dalam dunia yang penuh dosa ini, tak ada yang bisa keluar utuh.

 

Mungkin kamu bakal mikir, apa yang udah kita lakuin tuh bener atau salah. Tapi jujur aja, kadang nggak ada bedanya lagi antara keduanya. Kita udah jauh banget ke dalamnya, sampai lupa gimana rasanya punya pilihan.

Dunia ini udah nggak nyediain jalan keluar, cuma lingkaran dosa yang terus berputar. Dan di akhir semuanya, kamu cuma nunggu waktu buat tahu, kapan semua ini bakal selesai… atau mungkin nggak akan pernah selesai sama sekali.

Leave a Reply