Daftar Isi
Terkadang hidup memang terasa sangat berat, ya. Semua rasa sakit dan kekecewaan seolah datang tanpa henti, dan kita mulai merasa seperti nggak ada jalan keluar. Tapi, siapa bilang kita nggak bisa berubah? Kadang, kita cuma butuh waktu untuk berhenti sejenak dan menyadari kalau masih ada harapan meskipun rasanya semuanya sudah terlambat.
Cerpen ini adalah tentang perjalanan seorang wanita yang berjuang menghadapi kesedihan, meragukan takdir, dan akhirnya mulai menemukan cahaya, sedikit demi sedikit. Kalau kamu merasa pernah terjebak dalam kegelapan, cerpen ini mungkin bisa sedikit membantu kamu untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda.
Cerpen Curahan Hati untuk Tuhan
Hujan di Ujung Jalan
Kamar itu terasa semakin sempit setiap detiknya. Dinding-dindingnya menekan, seolah-olah mereka tahu betapa beratnya rasaku. Di luar, hujan turun dengan lebat, membasahi segala sesuatu yang ada di bawahnya. Suara tetesan air yang jatuh ke jendela seolah menjadi irama kesedihanku. Zarqa duduk di pinggir jendela, menatap langit yang gelap, berusaha menenangkan pikiran yang seakan berputar-putar tanpa henti.
“Kenapa, sih?” bisiknya pelan, suara itu hampir tenggelam oleh suara hujan. “Kenapa semua harus begini?”
Dia sudah terbiasa dengan rasa sakit ini—rasa sakit yang datang bukan hanya dari tubuh, tetapi juga dari dalam hatinya yang kosong. Tiap pagi, dia berusaha bangun dan menjalani hari seperti orang biasa, tapi takdir seolah menyuruhnya untuk terus menunduk, untuk selalu merasa tidak cukup. Orang-orang di luar sana berteriak, “Kamu bisa, Zarqa!” Tapi siapa yang tahu, di balik senyum itu, hatinya selalu terjerat dalam kebingungannya sendiri.
Ponsel di meja kecil di samping tempat tidurnya bergetar. Ada pesan masuk. Dia mengangkatnya dengan enggan, matanya tetap kosong. Itu dari teman lama, Aulia, yang sudah lama tak menghubunginya. Pesan itu singkat, hanya sekadar menyapa, “Kamu baik-baik aja, kan?”
Zarqa membalasnya, meski tidak ada niat untuk membuka percakapan lebih lanjut. “Iya, cuma capek,” tulisnya.
Dia tahu Aulia hanya mencoba peduli, tetapi tidak ada yang benar-benar bisa mengerti. Tak ada yang tahu betapa beratnya jalan yang harus dilaluinya. Bahkan saat dia tampak tersenyum di luar, hatinya meronta, mencoba untuk melawan perasaan kosong yang terus menggerogoti.
Ketika pesan itu terjawab, Zarqa menatap ponselnya dengan kosong. “Capek… capek banget,” gumamnya pelan, melemparkan ponsel kembali ke meja dan memejamkan matanya. “Kenapa hidupku kayak gini, ya?”
Dia merasa dunia ini begitu sempit. Setiap usaha yang dia lakukan terasa sia-sia. Sejak kecil, dia selalu merasa harus berjuang lebih keras daripada yang lain. Tetapi, semakin dia berusaha, semakin dia merasa tak ada yang berubah. Setiap kali dia berhasil mencapai satu tujuan, ada yang lebih besar, lebih cemerlang, lebih pantas. Seolah-olah tak ada ruang untuk dia.
Di luar, suara hujan semakin deras, seolah menggambarkan betapa kosongnya perasaan Zarqa. Hatinya terasa sesak, seperti ada yang menekannya tanpa ampun. Dia ingin berteriak, ingin meluapkan segala kekecewaan yang sudah menumpuk selama bertahun-tahun. Tapi dia tahu, itu tak akan membuat segalanya jadi lebih baik.
Di tengah ketenangan yang terasa mencekam itu, pikirannya melayang ke masa lalu. Masa-masa ketika dia masih bisa tertawa lepas, sebelum dunia ini membuatnya merasa seperti terperangkap dalam labirin tak berujung. Dulu, ia percaya pada impian, pada harapan, pada kesempatan kedua. Tapi sekarang? Semua itu hanya ilusi yang semakin mengabur, seolah tak pernah ada.
Zarqa berdiri, berjalan menuju cermin besar di sudut kamar. Dia menatap pantulan dirinya sendiri, mencoba mencari sesuatu yang hilang—sesuatu yang bisa membuatnya merasa lengkap, merasa utuh. Tapi yang dia lihat hanya seorang gadis yang lelah. Wajahnya pucat, matanya lelah, seolah-olah beban dunia ditanggungnya sendirian.
“Apa salahku?” dia bertanya pada bayangannya sendiri. Suaranya serak, seolah air mata sudah terlalu lama terkunci. “Apa yang kurang dari aku?”
Sekali lagi, dia menatap hujan di luar. Mungkin jika dia bisa melarikan diri, mungkin jika dia bisa pergi jauh dari semua ini, mungkin hidupnya akan lebih baik. Tetapi dia tahu itu hanya sebuah angan-angan. Hujan pun tidak pernah berhenti. Dan dia, seperti hujan itu, terus jatuh tanpa henti, berusaha untuk bangkit, tapi selalu terhenti sebelum mencapai tanah yang aman.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan suara langkah kaki menggema di lantai kayu. Zarqa berbalik, dan melihat ibunya berdiri di ambang pintu, wajahnya cemas.
“Kamu di sini saja?” tanya ibunya dengan nada lembut, mencoba meredakan ketegangan yang ada. “Kenapa nggak turun makan? Sudah malam, lho.”
Zarqa hanya mengangkat bahu, kemudian menunduk. “Nggak lapar, Bu.”
Ibunya diam, memandangi anak perempuannya dengan tatapan penuh pengertian. “Zarqa, kamu nggak perlu merasa sendiri, kamu tahu kan? Kami selalu ada untuk kamu.”
Zarqa menahan napas. Kata-kata ibunya terdengar begitu kosong di telinganya. Semua yang pernah dia dengar sebelumnya terasa seperti penghiburan semata, bukan solusi untuk apa yang dia rasakan. “Aku capek, Bu. Capek banget.”
Ibunya terdiam, mungkin menyadari bahwa kali ini dia tidak bisa lagi memberikan jawaban yang bisa mengobati hati anaknya. Ia hanya mengangguk pelan, kemudian menutup pintu dengan lembut.
Zarqa kembali duduk di pinggir jendela, memandangi hujan yang masih belum berhenti. Dalam kepalanya, berbagai pertanyaan muncul dan berputar tanpa arah. Kenapa dia merasa tak ada yang bisa membantu? Kenapa tak ada yang benar-benar mengerti betapa gelapnya dunia yang dia hadapi?
“Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya pelan. “Aku nggak tahu lagi.”
Dia merasa seolah dunia ini begitu berat. Langkahnya terasa berat, hidupnya terasa berat, bahkan untuk bernapas. Semua harapan yang dia miliki seolah tertutup oleh kabut yang tebal, yang semakin lama semakin gelap. Dan di sana, di dalam keheningan itu, Zarqa merasa tak ada lagi jalan keluar, tak ada lagi yang bisa menyelamatkannya.
Hujan terus turun, tetapi Zarqa tahu, hujan ini tidak akan pernah cukup untuk menghapus rasa sakit yang ada dalam dirinya.
Langit yang Tak Pernah Cerah
Malam semakin larut. Hujan di luar semakin deras, namun entah kenapa malam ini Zarqa merasa ada sesuatu yang lebih menekan selain suara gemericik air yang jatuh di jendela. Seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang berteriak, menuntut perhatian, tapi ia tak tahu bagaimana cara menenangkan suara itu. Semua yang ada di luar sana, termasuk dunia yang tampak normal bagi orang lain, terasa jauh sekali dari jangkauannya.
Zarqa menatap kosong ke luar jendela, matanya memandang kabut tebal yang menggantung di udara. “Kenapa aku merasa seperti ini?” ia bergumam, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri. Ia mengusap wajahnya, mencoba mengusir perasaan berat yang semakin menyesakkan dada. Beberapa kali ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, tapi setiap napas yang diambil terasa sia-sia. Seolah udara di sekitarnya terlalu padat untuk ia hirup.
Ponsel di meja samping tempat tidur kembali bergetar. Zarqa melirik, lalu meraih ponselnya dengan enggan. Tentu saja, itu dari Aulia lagi. Zarqa membukanya dengan malas. “Zarqa, kamu harus keluar, jangan terus-terusan di kamar. Aku tahu kamu butuh waktu untuk diri sendiri, tapi jangan biarkan dirimu terperangkap di sana. Aku khawatir.”
Zarqa terkekeh pelan. Ya, Aulia selalu berusaha menjadi penyemangat, dengan kata-kata yang terdengar bijak. Tapi seperti yang sudah Zarqa rasakan, kadang-kadang kata-kata itu hanya membuatnya merasa lebih jauh dari kenyataan. Ia menghapus pesan itu tanpa membalas.
Sebenarnya, dia tahu bahwa Aulia hanya ingin membantu, hanya ingin agar ia merasa lebih baik. Tapi bagaimana bisa seseorang yang tidak pernah merasakan beban yang sama bisa mengerti? Bagaimana bisa seseorang yang melihat dunia dengan begitu mudah dan terang bisa tahu bagaimana rasanya terjebak dalam kegelapan yang tak kunjung hilang?
Zarqa menyandarkan punggungnya pada kasur, menutup mata sejenak. Seperti ada dua suara yang bersaing di dalam kepalanya. Satu suara mencoba memberitahunya untuk bertahan, untuk mencari harapan meskipun ia merasa sudah tak punya apa-apa lagi. Namun, suara lainnya hanya berkata, “Mengapa? Apa yang akan berubah?”
Dia mulai berpikir tentang kehidupan yang sudah dilaluinya, tentang segala hal yang dia coba raih, dan segala yang jatuh begitu saja dari genggamannya. Dulu, dia adalah gadis yang penuh dengan cita-cita. Gadis yang dulu bermimpi bisa menjadi sesuatu yang lebih. Tapi itu semua terasa semakin jauh. Dia tak tahu lagi siapa dirinya yang sebenarnya.
“Kenapa hidup terasa seperti terus-terusan berlari di tempat?” Zarqa berbisik pada diri sendiri, mata kembali terpejam. “Kenapa semua yang aku coba, tak pernah cukup?”
Di luar, suara hujan tak pernah berhenti. Zarqa tahu, hujan ini akan selalu ada, namun itu tidak akan membuatnya merasa lebih baik. Kadang-kadang, hujan hanya memperburuk perasaan, membiarkan kesendirian semakin terasa dalam setiap tetes yang jatuh.
Sekitar tengah malam, Zarqa tak bisa lagi bertahan. Ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan jaket tebal, dan pergi keluar rumah, menembus hujan yang semakin deras. Ia tidak tahu harus kemana, tidak tahu apa yang ia cari. Mungkin hanya mencari ruang untuk bernafas, untuk menjauhkan dirinya dari dunia yang tak pernah bisa ia pahami.
Malam yang basah dan gelap menyambutnya. Jalanan hampir sepi, hanya ada cahaya lampu yang buram memantul di permukaan jalan yang basah. Tak ada yang memperhatikan dirinya yang berjalan di tengah hujan, membiarkan air dingin membasahi wajahnya. Semua orang sudah terlelap dalam dunia mereka, tidak ada yang tahu apa yang ia rasakan. Tidak ada yang peduli, atau setidaknya itu yang dia yakini.
Dia berhenti di sebuah taman kecil yang terletak tak jauh dari rumah. Kursi-kursi taman kosong. Seperti dirinya. Zarqa duduk di salah satu kursi, menatap kosong ke depan, memandang langit yang gelap tanpa bintang. Tidak ada yang bisa dia lihat. Tidak ada yang bisa dia rasakan selain kehampaan.
“Apa aku salah?” Zarqa berbicara pada dirinya sendiri. “Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Aku sudah lelah…”
Hatinya terpuruk semakin dalam. Keinginan untuk berteriak, untuk melepaskan semua rasa sakit itu, hampir tak terbendung. Tapi yang bisa ia lakukan hanya menangis dalam diam. Tangisan yang seolah tak pernah ada ujungnya. Tangisan yang seolah tak ada tempat untuk pergi.
Di tengah keheningan itu, suara langkah kaki mendekat. Zarqa mengangkat wajahnya, dan melihat seorang lelaki yang tak dikenalnya berdiri di depannya. Dia mengenakan jas hujan dan tampak kelelahan, namun matanya memancarkan kehangatan yang seolah berbeda dari apa yang dirasakan Zarqa. Dia berdiri diam, tidak tahu harus berbuat apa.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut, seperti suara angin yang berbisik.
Zarqa terdiam beberapa detik, mencoba menyusun kata-kata, namun rasanya semuanya terasa begitu berat. “Tidak,” jawabnya akhirnya, suara itu begitu pelan, hampir tidak terdengar.
Lelaki itu mengangguk, dan tanpa berkata lebih banyak, duduk di samping Zarqa. Mereka duduk dalam hening, hanya suara hujan yang menemani. Entah kenapa, Zarqa merasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena ada seseorang yang ada di sana, bahkan hanya untuk duduk bersamanya tanpa bertanya lebih banyak.
“Kadang, hidup memang terasa tidak adil,” kata lelaki itu, suara berat namun penuh pengertian. “Tapi bukan berarti kita harus berhenti berusaha.”
Zarqa menoleh ke arahnya, sedikit terkejut. Dia tidak mengharapkan jawaban seperti itu. “Tapi aku sudah mencoba segalanya,” kata Zarqa, suara mulai pecah. “Kenapa tidak ada yang berubah?”
Lelaki itu menatapnya, kemudian tersenyum, meskipun senyuman itu tampak sedikit sedih. “Mungkin karena kita terlalu sering berusaha melihat segalanya dengan cara yang sama. Kadang, kita perlu berhenti sejenak dan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.”
Zarqa terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang terasa seperti pintu yang terbuka, meski hanya sedikit.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Zarqa, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku sudah tidak tahu harus mulai dari mana lagi.”
Lelaki itu menepuk bahunya dengan lembut, lalu berdiri. “Hanya kamu yang tahu jawabannya,” katanya, sebelum akhirnya berjalan menjauh. Zarqa menatapnya pergi, dengan langkah yang begitu pasti, sementara dirinya tetap terjebak dalam kebingungannya.
Di Antara Duka dan Harapan
Pagi datang begitu perlahan. Zarqa terbangun dengan rasa bingung yang menyelimuti. Jam di meja menunjukkan pukul sembilan, namun tubuhnya masih tergeletak lemah di kasur. Hujan semalam telah berhenti, tetapi hatinya masih terasa begitu gelap, seakan tak ada matahari yang bisa menembusnya. Rasanya setiap detik yang berlalu hanya menambah beban, membuatnya semakin terperangkap dalam jurang yang tak pernah terlihat dasarnya.
Zarqa duduk di tepi tempat tidur, menatap lantai dengan tatapan kosong. Tidak ada keinginan untuk bangun dan melanjutkan hari. Semua terasa sia-sia. Semua yang ia lakukan tidak membawa perubahan apa-apa. Rasanya setiap usaha yang ia buat hanyalah langkah-langkah kecil yang terseret dalam lumpur kehidupan yang semakin dalam.
Ia menoleh ke arah jendela yang masih tertutup rapat. Setiap kali hujan datang, itu seperti tanda bagi dirinya bahwa dunia sedang menangis bersama dengan kesedihannya. Dunia tidak peduli, tetapi hujan seolah memahami. Mengusapnya dengan air yang dingin dan basah, mencoba menenangkan meskipun Zarqa tahu itu hanya sementara.
Perasaan ingin menyerah itu datang lagi. Ia tahu, suara-suara di kepalanya mulai kembali—suara yang mengatakan bahwa semua ini tidak akan pernah berubah, bahwa ia tidak akan pernah merasa cukup atau dihargai. Suara yang mengatakan bahwa kadang lebih baik mengakhiri segalanya, untuk berhenti merasakan sakit itu.
Namun, sebelum ia benar-benar tenggelam dalam pikiran-pikiran itu, ponsel di atas meja bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Zarqa memandang layar dengan ragu-ragu. Itu Aulia lagi. Sebuah pesan pendek, penuh dengan semangat yang tidak pernah bisa Zarqa rasakan.
“Aku tahu kamu pasti merasa lelah, Zarqa, tapi ingat, kamu tidak sendirian. Aku selalu ada di sini untuk kamu. Jangan biarkan dirimu hancur karena rasa sakit itu. Kita bisa melewatinya, sama-sama.”
Zarqa menggigit bibirnya. Setiap kata dalam pesan itu terasa hangat, namun juga semakin membuat hatinya merasa semakin kosong. Aulia tidak mengerti. Semua yang dikatakannya mungkin hanya untuk memberi semangat, tapi tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa Zarqa merasa terjebak di dalam dirinya sendiri.
Dengan tangan yang gemetar, Zarqa membalas pesan itu dengan cepat, “Aku butuh waktu sendiri, Aul. Aku… aku nggak tahu harus bagaimana lagi.”
Zarqa menatap layar ponselnya, menunggu balasan. Namun, kali ini ia memutuskan untuk menutup ponsel dan melemparnya ke sisi tempat tidur. Ia menarik napas panjang, merasa sedikit lebih baik meskipun tidak ada perubahan yang nyata.
Hari itu berjalan begitu lambat. Zarqa hanya menghabiskan waktu di kamar, sesekali berjalan ke dapur untuk membuat secangkir kopi yang hampir tak pernah ia habiskan. Pikirannya terus melayang ke kejadian malam sebelumnya, saat ia duduk bersama lelaki yang tak dikenalnya di taman. Kalimat-kalimatnya yang sederhana, tetapi penuh makna, masih terngiang di telinganya.
“Kadang kita perlu berhenti sejenak dan melihat segalanya dari sudut pandang yang berbeda.”
Zarqa tidak tahu apa yang dimaksudnya, tetapi entah kenapa kalimat itu tetap ada dalam pikirannya. Apakah mungkin ada cara lain untuk melihat hidupnya? Apakah benar ia sudah terlalu lama terjebak dalam cara pandangnya sendiri, tanpa memberi ruang bagi kemungkinan lain? Ia tidak tahu jawabannya, tapi yang ia tahu, malam itu ia merasakan sesuatu yang tidak ia rasakan sejak lama—sebuah harapan kecil yang entah dari mana datangnya.
Tapi harapan itu terasa rapuh, seperti benang halus yang bisa terputus kapan saja. Zarqa merasa takut jika ia terlalu berharap, karena harapan itu seringkali hanya membawa kekecewaan. Ia takut jatuh lagi, terperosok jauh lebih dalam.
Di tengah kebingungannya, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Zarqa mengerutkan kening, tidak berharap ada orang yang datang. Tapi setelah beberapa detik, pintu terbuka pelan, dan Aulia muncul dengan senyuman lebar di wajahnya.
“Ayo keluar, Zarqa! Udara pagi ini segar banget, kamu nggak boleh terus-terusan di dalam kamar, nanti kamu tambah beban pikiran kamu!” Aulia berbicara dengan penuh semangat, seperti biasa, mencoba membangkitkan Zarqa.
Zarqa hanya menatapnya dengan tatapan kosong, tak tahu harus berkata apa. Ia merasa begitu lelah, bahkan untuk sekadar berbicara. Namun, Aulia tidak menyerah begitu saja. Ia melangkah lebih dekat dan duduk di tepi tempat tidur Zarqa.
“Aku nggak akan paksa kamu untuk melakukan apa yang kamu nggak mau,” Aulia melanjutkan, nadanya berubah lebih lembut. “Tapi aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku di sini. Kamu nggak perlu berjuang sendirian.”
Zarqa menatap sahabatnya itu, merasakan hangatnya perhatian yang tulus. Tanpa disadari, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia tak bisa lagi menahan rasa sakit yang terus menggerogoti dirinya. Ia merasa begitu lelah—terlalu lelah untuk terus berjuang, tapi juga tak ingin menyerah begitu saja.
“Aulia,” suara Zarqa pecah, “aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku nggak tahu apa yang harus aku cari. Aku merasa terjebak, semuanya terasa sia-sia.”
Aulia merangkulnya dengan lembut, memeluknya erat, seperti ingin menghapus semua rasa sakit yang ada di hati Zarqa. “Kadang kita memang merasa terjebak, tapi itu bukan akhir dari segalanya. Ada lebih banyak yang bisa kita lihat jika kita mau membuka mata.”
Zarqa merasakan kehangatan itu, namun di balik pelukan itu, perasaan hampa tetap ada. Ia tidak bisa menipu dirinya sendiri. Harapan yang dia coba pegang terasa semakin rapuh. Tetapi ada sesuatu yang berbeda. Di dalam dirinya, meskipun sangat kecil, ada rasa yang belum pernah ia rasakan selama ini—sebuah dorongan untuk bertahan, sebuah dorongan untuk tidak menyerah begitu saja.
“Aulia, apa kamu yakin… bahwa aku bisa keluar dari semua ini?” tanya Zarqa dengan suara yang hampir tak terdengar.
“Aku yakin,” jawab Aulia tegas, tanpa ragu. “Kamu bisa, Zarqa. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Zarqa menatap sahabatnya itu, mencoba mempercayai kata-katanya. Mungkin ini bukan akhir. Mungkin ada sesuatu yang lebih baik di depan, meskipun itu masih sangat jauh. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Zarqa merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan kecil yang mulai tumbuh dalam hatinya.
Harapan yang Kembali Terang
Hari-hari berlalu dengan lebih lambat daripada yang Zarqa inginkan, namun setiap detik itu terasa lebih berarti. Aulia terus menemaninya, berusaha mengajaknya keluar, meskipun Zarqa masih merasa berat untuk melangkah. Setiap kali mereka berbicara, Aulia tidak pernah mengurangi semangatnya. Walaupun Zarqa merasa hatinya berat, ada satu hal yang terus diingatnya—kalimat dari lelaki yang ia temui malam itu di taman.
“Kadang kita perlu berhenti sejenak dan melihat segalanya dari sudut pandang yang berbeda.”
Zarqa terus memikirkannya, mencoba untuk benar-benar mengerti apa maksudnya. Entah kenapa, kalimat itu membuatnya sadar bahwa ia mungkin terlalu lama terjebak dalam pikirannya sendiri. Ia terlalu fokus pada apa yang tidak ia miliki, pada semua kekurangan yang ada dalam hidupnya. Selama ini, ia tidak pernah benar-benar melihat sekelilingnya, atau bahkan dirinya sendiri, dari sudut pandang yang berbeda.
Pagi itu, ia keluar dari kamar lebih awal. Aulia, seperti biasa, menyapanya dengan senyuman lebar. Namun kali ini, Zarqa merasakan sesuatu yang berbeda. Ia merasa sedikit lebih ringan, sedikit lebih siap menghadapi hari. Meskipun bayang-bayang kesedihannya masih ada, ia merasa ada secercah cahaya yang mulai merembes masuk.
“Mau ke mana?” tanya Aulia sambil menatapnya dengan penasaran.
Zarqa tersenyum kecil. “Aku ingin berjalan-jalan sebentar. Mungkin… ke taman?”
Aulia terkejut sejenak, tetapi senyumnya semakin lebar. “Kamu serius? Wah, itu keputusan yang bagus! Aku ikut, ya!”
Zarqa mengangguk, namun dalam hatinya ia tahu, ini bukan tentang Aulia atau siapa pun. Ini tentang dirinya. Ini tentang menemukan kembali potongan-potongan dirinya yang hilang, dan memulai langkah baru meskipun tidak ada jaminan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Mereka berjalan bersama menuju taman. Udara pagi terasa segar, dan Zarqa tidak tahu kenapa, tetapi langkah kakinya terasa lebih ringan. Tidak ada yang berubah secara drastis dalam hidupnya, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang sedikit demi sedikit mulai berubah.
Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di taman. Zarqa duduk di bangku yang biasa mereka duduki, di bawah pohon besar yang sudah begitu tua. Ia menatap ke langit biru yang tak terhalang awan, rasanya seperti dunia memberikan ruang untuknya bernafas.
“Aulia,” kata Zarqa pelan, “aku mulai merasa ada sedikit ruang untuk bernapas. Mungkin… mungkin aku sudah terlalu lama mengurung diri di dalam dunia yang aku ciptakan sendiri.”
Aulia duduk di sebelahnya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku tahu, Zarqa. Terkadang kita perlu waktu untuk menerima semuanya. Tidak ada yang langsung berubah begitu saja, tapi yang terpenting adalah kita mau berusaha untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda.”
Zarqa mengangguk perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa masih banyak jalan yang harus ditempuh. Masih ada hari-hari yang penuh dengan perjuangan, tetapi ia tidak lagi merasa terperangkap dalam pikirannya sendiri. Ia mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang menghindari rasa sakit atau kekecewaan. Hidup juga tentang bagaimana kita menghadapi semuanya, bagaimana kita tetap berjalan meski langkah kita terasa berat.
“Aulia,” Zarqa berkata lagi, “terima kasih. Terima kasih karena kamu tidak pernah menyerah padaku, karena kamu selalu ada saat aku merasa tak ada harapan.”
Aulia tersenyum hangat. “Kamu tahu kan, aku nggak pernah akan meninggalkan kamu? Kita kan teman.”
Zarqa tersenyum tipis, matanya sedikit berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia merasakan adanya kebersamaan yang nyata. Bukan hanya dalam kata-kata, tapi dalam setiap langkah yang mereka ambil bersama. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ada harapan, meskipun masih kecil, yang mulai tumbuh di tempat yang dulu penuh dengan kekosongan.
Setelah beberapa waktu, mereka berjalan kembali menuju rumah. Zarqa merasa lebih ringan, lebih hidup. Tidak ada keajaiban yang terjadi, tidak ada perubahan besar yang langsung terlihat, tetapi Zarqa tahu bahwa ia sudah mulai belajar untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Ia belajar untuk menerima dirinya, dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Ia belajar untuk tidak lagi merasa terperangkap dalam gelap, karena ia tahu bahwa cahaya masih ada, bahkan jika itu hanya secercah kecil.
Malam tiba, dan Zarqa duduk di balkon kamar. Hujan yang semula terasa seperti musuh kini menjadi teman. Ia menatap ke luar jendela, merasakan setiap tetes hujan yang jatuh dari langit. Hujan membawa rasa tenang, seolah-olah dunia sedang memberinya kesempatan untuk memulai dari awal.
Zarqa menutup mata dan menghela napas panjang. Ia tahu, perjalanan hidupnya belum selesai. Masih ada banyak hal yang harus ia hadapi, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk melangkah ke depan. Dengan atau tanpa cahaya yang terang, ia yakin bahwa selama ia terus berjalan, ia akan menemukan jalannya sendiri.
Dan untuk pertama kalinya, Zarqa merasa bahwa hidupnya layak dijalani.
Kadang, kita harus melewati jalan yang berliku dan penuh air mata untuk bisa menemukan arti dari setiap langkah yang kita ambil. Tapi percayalah, meski rasanya tak ada harapan, cahaya itu pasti akan datang, meski kecil dan perlahan.
Jangan takut untuk berhenti sejenak, melihat ke dalam diri, dan memberi ruang untuk dirimu sendiri. Karena hidup ini, meski penuh ujian, selalu memberi kesempatan bagi kita untuk bangkit lagi. Jangan pernah menyerah, karena setiap langkah, sekecil apapun, adalah bagian dari perjalanan menuju kebahagiaan yang layak kamu dapatkan.