Cerpen Cita-Citaku: Petualangan Imajinasi Seorang Anak Kelas 3 SD

Posted on

Kamu pernah nggak sih mikir tentang cita-cita yang nggak jelas? Kayak, kadang kita pengen jadi ini, tapi besok pengen jadi itu, dan rasanya tuh bingung banget! Tapi, siapa bilang cita-cita harus jelas banget dari awal?

Di cerpen ini, kamu bakal ikutin perjalanan Arka, anak kelas 3 SD yang lagi nyari tahu apa yang sebenarnya dia inginkan, sambil berimajinasi dan menikmati petualangan seru yang cuma bisa ada di dunia mimpi. Siapa tahu, mungkin kita juga bisa nemuin cita-cita kita lewat petualangan Arka!

 

Cerpen Cita-Citaku

Aku Masih Bingung Mau Jadi Apa

Pagi itu, Arka berjalan perlahan menuju sekolah sambil membawa tas ransel berwarna biru tua yang sudah agak kusam. Di sepanjang jalan, pikirannya melayang-layang, tidak fokus. Hari ini guru Santi memberikan tugas baru yang bikin Arka gelisah. Tugas itu bukan tentang matematika atau bahasa Indonesia, tapi tentang cita-cita. Setiap anak diminta untuk menulis apa yang ingin mereka jadi di masa depan. Arka memikirkan tugas itu sejak malam kemarin, dan sampai sekarang, ia masih belum punya jawaban yang jelas.

Setelah sampai di sekolah, Arka bertemu dengan teman-temannya yang sudah ramai di depan kelas. Tiara, yang selalu memakai pita merah di rambutnya, sedang berbicara dengan Dika tentang cita-cita mereka. Dika ingin menjadi astronot, sedangkan Tiara ingin menjadi desainer pakaian terkenal. Mereka berdua tampak begitu percaya diri saat membicarakan impian mereka.

“Arka! Kamu mau jadi apa?” Tiara bertanya saat melihat Arka mendekat.

Arka berhenti sejenak. Ia merasa seperti ada batu besar yang mengganjal di dadanya. Jawaban itu tak kunjung datang. Ia memikirkan banyak hal yang ingin ia lakukan, tapi tak ada satu pun yang bisa ia sebut dengan pasti.

“Eh… aku… aku belum tahu, Tiara,” jawab Arka, menyeka keringat di dahi meski cuaca pagi itu tidak terlalu panas.

Tiara dan Dika saling berpandangan, lalu tertawa kecil. “Kamu masih bingung, ya?” Dika berkata sambil menepuk pundak Arka. “Aku aja udah tahu mau jadi apa. Astronot! Bisa terbang ke luar angkasa, lihat bintang-bintang dari dekat!”

Arka tersenyum kecil. “Wah, keren banget, Dika! Tapi aku… nggak tahu mau jadi apa.”

Tiara menatap Arka dengan tatapan penasaran. “Kenapa nggak jadi dokter aja? Banyak orang butuh dokter.”

Arka menggelengkan kepala. “Kayaknya aku nggak cocok, Tiara. Aku nggak suka darah. Kalau lihat orang sakit, aku jadi takut.”

“Aduh, Arka! Kamu harus tahu dong! Cita-cita itu penting,” Tiara berkata sambil memainkan pita di rambutnya. “Biar kamu bisa punya tujuan hidup.”

Arka diam, tidak menjawab. Memang benar apa yang dikatakan Tiara, cita-cita itu penting. Tapi, kenapa ya, meskipun ia sudah berusaha memikirkannya, Arka tetap merasa bingung. Tidak ada satu pun pilihan yang terasa tepat. Terbang ke luar angkasa seperti Dika? Jadi dokter? Atau malah jadi pemain bola hebat seperti teman-temannya yang lain?

Saat bel berbunyi, mereka pun bergegas masuk ke kelas. Di dalam kelas, guru Santi sudah menunggu dengan senyum ramah. “Anak-anak, hari ini kita akan berbicara tentang cita-cita. Siapkan tugasnya, ya. Tulis apa yang kalian ingin jadi saat besar nanti.”

Arka duduk di bangkunya dengan perasaan cemas. Ia mengeluarkan buku tulis dan mulai menatap kosong ke halaman kosong di depannya. Semua teman-temannya mulai menulis dengan cepat, seperti sudah tahu apa yang harus ditulis. Arka memegang pensilnya dengan erat, mencoba untuk memikirkan sesuatu. Tapi setiap kali ia menulis, pikirannya selalu kosong. Apa yang harus ia tulis? Apakah cita-cita itu harus sebesar impian teman-temannya?

Arka menarik napas panjang dan memandang keluar jendela. Di luar sana, ada burung-burung yang terbang bebas di langit biru. Kadang, Arka membayangkan betapa asyiknya bisa terbang seperti burung. Melihat dunia dari atas, terbang tinggi, dan bebas kemana pun. Tapi, apakah itu cita-cita? Rasanya seperti mimpi saja.

Ketika guru Santi mendekat dan melihat tulisan Arka yang hanya berisi dua kalimat, ia tersenyum lembut. “Arka, kamu nggak perlu terburu-buru menentukan cita-citamu. Tulis saja apa yang kamu rasakan saat ini. Cita-cita bisa berubah, kok, seiring waktu.”

Arka menatap guru Santi dengan sedikit lega. Mungkin benar apa yang dikatakan guru Santi. Cita-cita memang bisa berubah. Arka tidak perlu tahu jawabannya sekarang juga.

Dengan sedikit semangat, Arka mulai menulis di buku tulisnya.

“Aku belum tahu apa yang ingin aku jadi. Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang dunia ini. Aku ingin melihat tempat-tempat baru dan bertemu orang-orang baru. Mungkin aku belum tahu apa yang pasti, tapi aku ingin belajar banyak hal.”

Arka berhenti sejenak, membaca ulang tulisan itu. Meski belum yakin dengan apa yang ia tulis, rasanya sedikit lebih baik. Mungkin itu bukan cita-cita yang pasti, tapi setidaknya ia sudah mulai tahu bahwa dunia ini penuh dengan kemungkinan. Mungkin suatu hari nanti, cita-citanya akan terlihat lebih jelas.

Saat pulang sekolah, Arka berjalan sendirian menuju rumah. Ia memandangi langit yang semakin cerah. Entah kenapa, hati Arka terasa sedikit lebih ringan. Mungkin ia belum tahu pasti, tapi setidaknya ia tidak perlu terburu-buru. Cita-cita bisa datang kapan saja, seperti burung yang terbang bebas, mengikuti arah angin yang membawa mereka ke tempat yang tak terduga.

Dengan perasaan yang lebih tenang, Arka terus melangkah, membiarkan pikirannya melayang jauh, membayangkan petualangan-petualangan yang akan datang.

 

Layang-Layang di Taman

Sore itu, Arka merasa sedikit lebih ringan. Tugas tentang cita-cita memang masih membuatnya bingung, tapi setidaknya ia sudah menuliskan apa yang ada dalam pikirannya. Seharian di sekolah, ia sempat merasa lebih tenang, walaupun di dalam hatinya, pertanyaan tentang masa depan terus menggelayuti.

Setelah pulang, Arka memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman. Mungkin udara segar dan pemandangan yang hijau bisa membuatnya merasa lebih baik. Di taman, banyak anak-anak yang sedang bermain. Ada yang bermain bola, ada juga yang teriak-teriak sambil berlari mengejar layang-layang.

Arka duduk di bangku taman yang terletak di bawah pohon besar, memandang ke sekeliling. Taman itu penuh dengan warna. Di kejauhan, ia melihat sekelompok anak yang sedang asyik menerbangkan layang-layang. Layang-layang mereka melayang tinggi di langit biru, berwarna-warni, seolah-olah ikut menari bersama angin.

“Arka! Ayo, ikut main!” teriak Dika, yang tiba-tiba muncul di hadapannya sambil membawa sebuah layang-layang besar berwarna merah.

Arka mengangkat kepala, sedikit terkejut. Dika tersenyum lebar, menggerakkan layang-layangnya ke arah Arka.

“Ayo, Arka! Jangan cuma duduk! Rasain sensasi terbangin layang-layang, itu asyik banget!” serunya dengan semangat.

Arka merasa ragu. Sejak kecil, ia memang senang melihat layang-layang terbang tinggi, tapi ia belum pernah mencobanya sendiri. Takut gagal, atau bahkan tidak bisa mengendalikannya. Namun, melihat Dika yang begitu bersemangat, Arka merasa sedikit tertarik.

“Ya udah deh, coba sekali aja,” jawab Arka, agak canggung.

Mereka berdua berjalan ke tengah taman, di mana ada ruang yang lebih luas untuk menerbangkan layang-layang. Dika mengajari Arka cara mengendalikan tali layang-layang. Awalnya, Arka agak kaku, dan layang-layang itu hampir jatuh beberapa kali. Namun, Dika sabar mengajarinya, memberi petunjuk agar Arka bisa melepaskan layang-layang dengan lebih lancar.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya layang-layang itu terbang tinggi juga. Arka terkejut. Ia merasa seperti ada sesuatu yang baru dalam dirinya. Ternyata, mengendalikan layang-layang itu seru sekali. Layang-layang itu terbang tinggi di atas mereka, mengikuti arah angin yang seakan-akan memberi mereka petunjuk.

“Wow, Arka, lihat! Layang-layang kamu terbang tinggi banget!” Dika berteriak senang.

Arka tersenyum lebar. Untuk pertama kalinya, ia merasa bisa mengendalikan sesuatu yang tinggi dan bebas. Layang-layang itu terbang di langit biru, seperti mimpi yang tiba-tiba menjadi kenyataan. Arka merasa ada sesuatu yang membebaskan dirinya—seperti layang-layang itu, yang bisa terbang ke mana saja mengikuti angin.

“Arka, coba kamu bawa layang-layang itu lebih tinggi lagi!” Dika memberi semangat.

Arka menarik tali layang-layang, berusaha membuatnya terbang lebih tinggi. Dengan satu tarikan, layang-layang itu meluncur ke atas, semakin jauh dari tanah. Arka merasakan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin, inilah rasanya jika kita bisa mengejar sesuatu yang tinggi, sesuatu yang sepertinya mustahil, namun akhirnya bisa tercapai.

Beberapa saat kemudian, mereka berdua duduk di rumput, kelelahan setelah bermain layang-layang. Angin sore yang sejuk membuat suasana semakin nyaman. Arka menatap langit yang sudah mulai berubah warna, menuju senja.

“Dika, ini seru banget,” kata Arka dengan senyum lebar. “Aku nggak nyangka kalau layang-layang bisa bikin aku ngerasa… bebas gini.”

Dika tertawa, memandang Arka dengan bangga. “Iya kan? Rasanya kayak kita bisa terbang. Terkadang, impian itu juga kayak layang-layang. Kalau kita nggak coba, ya nggak akan bisa terbang tinggi.”

Arka terdiam, memikirkan kata-kata Dika. Layang-layang itu memang seperti impian. Awalnya mungkin terasa berat atau sulit, tapi kalau kita mau mencoba, kalau kita mau terus berusaha, kita bisa membuatnya terbang tinggi.

“Tapi, Dika, aku masih nggak tahu pasti mau jadi apa,” Arka berkata pelan, matanya menatap ke arah layang-layang yang masih melayang di langit.

Dika menepuk pundak Arka. “Nggak masalah, Arka. Cita-cita itu kayak layang-layang. Kadang, kita harus terus coba dan belajar dari angin yang membawa kita ke arah yang tak terduga.”

Arka menatap langit yang semakin gelap, merasa sedikit lebih tenang. Mungkin, seperti layang-layang itu, cita-citanya pun akan terbang ke tempat yang tepat, suatu saat nanti. Tidak perlu terburu-buru. Mungkin saatnya tiba ketika Arka sudah siap, dan angin yang membawa impian itu datang dengan sendirinya.

Dengan perasaan yang lebih ringan, Arka dan Dika duduk di taman, menikmati sore yang damai. Arka tahu, perjalanan menuju cita-cita tidak selalu mudah, tetapi ada banyak hal yang bisa ia pelajari di sepanjang jalan.

 

Menemukan Arah

Minggu pagi itu, Arka bangun lebih pagi dari biasanya. Matahari baru saja muncul di balik bukit, dan udara terasa segar sekali. Arka berjalan menuju meja belajar, mengambil buku tulis yang masih terbuka di halaman tentang cita-cita. Tugas itu sudah selesai, tapi pikirannya tetap belum merasa tenang. Masih ada banyak pertanyaan yang mengambang di dalam kepalanya.

Minggu kemarin, Arka bermain layang-layang di taman bersama Dika. Itu adalah hari yang menyenangkan, dan rasanya seperti ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Tetapi, meski sudah mulai merasa lebih baik, Arka tetap merasa kebingungan tentang satu hal. Apa yang sebenarnya ingin ia capai? Cita-citanya memang belum jelas, seperti layang-layang yang terbang tanpa arah pasti, mengikuti angin ke mana saja.

Arka membuka lemari dan mengambil kaos biru kesayangannya. Ia berencana untuk pergi ke perpustakaan. Sore itu, ada acara cerita anak yang diadakan oleh pustakawan sekolah. Dika dan Tiara sudah menyarankan agar Arka datang, dan menurut Arka, kadang mendengarkan cerita bisa membuka pemikiran baru.

Di perpustakaan, suasana sangat tenang. Banyak anak-anak yang duduk di lantai, mendengarkan cerita dari pustakawan yang sedang bercerita di depan. Arka memilih duduk di pojok ruangan, jauh dari keramaian, dan memandangi tumpukan buku yang tersusun rapi. Di rak paling atas, ada buku tentang petualangan dan penjelajahan dunia. Arka meraih salah satu buku dan membukanya perlahan.

Cerita di dalam buku itu tentang seorang anak laki-laki yang bepergian ke tempat-tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya, bertemu dengan orang-orang baru, dan mengatasi tantangan yang sulit. Arka merasa tertarik, dan hatinya mulai berbicara sendiri, seolah buku itu memberi jawaban atas pertanyaan yang sudah lama mengganggunya.

“Arka, kamu pilih yang mana?” Tiba-tiba, suara Tiara terdengar di sampingnya, mengejutkan Arka.

Arka menoleh dan melihat Tiara duduk di sampingnya, memegang sebuah buku cerita yang penuh gambar. Dika duduk di sebelah Tiara, tampak asyik dengan bukunya juga.

“Buku petualangan ini seru banget, Tiara,” Arka berkata sambil menunjukkan halaman yang sedang ia baca. “Tapi aku masih bingung, sih, apa yang ingin aku lakukan kelak.”

Tiara menatap buku itu dan tersenyum. “Aku sih pengen jadi desainer, tapi yang jelas, kita harus berusaha dan coba berbagai hal dulu. Kamu suka baca buku petualangan kayak gini, kan? Mungkin kamu bisa jadi penulis cerita petualangan!”

Arka terdiam, sedikit terkejut dengan ide Tiara. “Penulis cerita petualangan? Hmm… itu sih belum pernah kepikiran.”

Dika, yang mendengarkan obrolan itu, menambahkan, “Ya, siapa tahu? Banyak kok penulis yang mulai dari hobi menulis cerita pendek waktu kecil. Kalau kamu suka berimajinasi dan cerita tentang tempat-tempat baru, kenapa nggak jadi penulis aja?”

Arka merasa semangatnya mulai terbakar. Membaca cerita-cerita petualangan itu membuat Arka merasa seperti dirinya bisa pergi ke mana pun tanpa harus meninggalkan tempat. Arka membayangkan menulis tentang tempat-tempat yang tidak pernah dilihat orang lain, seperti hutan rimba atau pulau misterius yang penuh dengan rahasia. Semua itu terasa begitu seru.

“Ya, siapa tahu…” Arka berpikir keras, membuka buku itu dan mulai membaca lebih dalam. Pikirannya pun mulai melayang ke berbagai kemungkinan yang bisa ia jelajahi, tentang dunia yang penuh warna dan cerita-cerita tak terduga.

Setelah acara selesai, Arka berjalan keluar bersama Tiara dan Dika. Mereka duduk di bangku taman sekolah yang masih sepi. Arka merasa lebih tenang, seolah ada petunjuk yang lebih jelas kini. Ia tidak perlu tahu jawaban pasti sekarang juga, tetapi setidaknya, ada gambaran tentang apa yang ingin ia kejar—petualangan melalui kata-kata, menjelajahi dunia melalui cerita yang bisa ia buat sendiri.

Dika menggoda, “Arka, jangan-jangan kamu mau jadi penulis cerita petualangan, ya? Bisa jadi keren tuh.”

Arka tersenyum malu, tetapi merasa sedikit lebih yakin. “Mungkin, sih. Tapi aku juga nggak tahu… Cuma aku merasa, mungkin itu bisa jadi salah satu cara aku mengejar dunia yang lebih luas.”

Tiara menepuk pundaknya dengan semangat. “Ayo, kita dukung, Arka! Kamu pasti bisa!”

Arka mengangguk pelan, merasakan hangatnya dukungan dari teman-temannya. Mereka berjalan bersama-sama, dan Arka merasa, meskipun langkahnya masih belum jelas, ia sudah mulai menemukan sedikit arah. Mungkin, perjalanan menuju cita-cita itu tidak langsung jelas, tetapi setiap langkah kecil yang ia ambil memberikan petunjuk tentang apa yang bisa ia capai.

Malam itu, saat Arka berbaring di tempat tidur, ia membuka buku petualangan lagi. Namun kali ini, bukan hanya untuk membaca cerita orang lain. Ia mulai menulis sedikit tentang petualangannya sendiri, tentang perjalanan yang ingin ia lalui, dan tempat-tempat yang ingin ia jelajahi melalui imajinasinya.

Mungkin, cita-citanya memang tidak harus selalu besar atau jelas, tetapi ada keindahan dalam mengikuti mimpi yang belum terdefinisi. Dengan pena di tangannya, Arka merasa seperti sudah mulai terbang, mengarungi dunia yang tak terbatas, menuju tempat-tempat yang hanya bisa dijangkau oleh imajinasi.

 

Mimpi yang Tak Terbatas

Pagi itu, Arka bangun dengan perasaan yang berbeda. Matahari sudah menyinari kamar dengan cahaya hangat, dan suara burung terdengar di luar jendela. Ia merasa lebih siap untuk menghadapi hari ini, karena malam kemarin ia menulis cerita yang membuatnya merasa lebih dekat dengan mimpi yang sedang ia cari. Sesuatu dalam dirinya merasa lebih jelas, meskipun masih ada banyak hal yang belum ia pahami sepenuhnya.

Setelah mandi dan sarapan, Arka segera meraih tas sekolahnya. Hari ini, di sekolah, ada pelajaran menulis cerita. Tugas itu terlihat menyenangkan, tapi Arka tidak merasa terbebani lagi. Kali ini, ia sudah tahu apa yang ingin ditulis. Ia sudah siap untuk mengungkapkan petualangan imajinasinya di atas kertas.

Di kelas, guru bahasa Indonesia, Bu Mira, tersenyum lebar saat melihat anak-anak mulai menulis cerita mereka. “Hari ini kita akan menulis cerita petualangan! Jadi, siapkan ide terbaikmu dan biarkan imajinasimu terbang bebas,” katanya dengan suara ceria.

Arka membuka buku tulisnya. Tidak seperti biasanya, kali ini ia langsung menulis dengan penuh semangat. Ia tidak hanya menulis tentang tempat-tempat yang ada di dunia nyata, tetapi juga tempat yang hanya ada dalam imajinasinya: hutan dengan pohon-pohon tinggi yang berbicara, sungai yang bisa mengalirkan waktu, dan langit yang berwarna ungu dengan bintang-bintang yang bisa berbicara.

Tiara duduk di samping Arka dan melihat tulisan Arka yang semakin berkembang. “Wah, Arka, ceritamu seru banget! Kamu serius mau jadi penulis, kan?” Tiara memuji, sambil melirik tulisan Arka yang semakin panjang.

Arka tersenyum malu, “Aku sih nggak tahu, Tiara. Tapi sekarang aku merasa senang banget nulis begini. Rasanya seperti aku bisa pergi ke tempat-tempat yang belum pernah aku lihat.”

Dika yang duduk di depan mereka menoleh dan menyengir, “Tuh kan, aku bilang juga, kamu pasti punya bakat nulis. Ceritamu kayaknya bisa jadi buku!”

Arka menatap mereka dengan mata berbinar. Mungkin ia memang belum tahu apa yang akan terjadi dengan mimpinya, tapi satu hal yang ia tahu: ia suka menulis dan berimajinasi. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya merasa bahwa ia sedang berada di jalan yang benar.

Saat pelajaran selesai, Arka merasa hatinya penuh. Ia tahu bahwa cita-cita bisa jadi sebuah perjalanan panjang yang tidak selalu jelas di awal, tapi jika terus mengikuti langkah kecil, satu hari nanti, ia mungkin bisa sampai ke tujuan yang lebih besar. Arka tidak perlu terburu-buru menemukan jawaban pasti, karena dalam setiap cerita yang ia tulis, ia sudah menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Setelah pulang sekolah, Arka duduk di meja belajarnya lagi dan melanjutkan cerita petualangannya. Ia menulis tentang seorang anak yang berkelana ke tempat-tempat yang hanya ada dalam mimpi. Anak itu bertemu dengan makhluk ajaib, menjelajahi dunia bawah tanah, dan melawan monster besar. Semua itu Arka tulis dengan penuh semangat, karena ia tahu, setiap kalimat yang ia tulis adalah langkah kecil menuju impian yang lebih besar.

Buku itu, yang dulu hanya terasa seperti tumpukan kertas kosong, kini terasa seperti dunia yang penuh dengan kemungkinan. Arka tersenyum sendiri. Mungkin ia belum tahu pasti apa yang akan ia jadi ketika besar nanti, tetapi satu hal yang ia tahu dengan pasti—ia ingin terus menulis, terus bermimpi, dan terus menjelajahi dunia dengan imajinasinya.

Malam itu, saat Arka berbaring di tempat tidur, ia menatap langit yang tampak gelap di luar jendela. Ia merasa seolah-olah langit itu juga penuh dengan cerita-cerita yang belum ditemukan. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menulis cerita tentang bintang-bintang yang terbang ke tempat yang jauh, atau tentang petualangan seorang anak yang menjelajah ke dunia yang belum pernah ada.

Arka tahu, cita-citanya mungkin tidak harus jelas sejak awal. Cita-cita itu bisa berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Tetapi impian, seperti cerita yang sedang ia tulis, adalah sesuatu yang tidak pernah berakhir.

Dengan pena di tangan, Arka menulis kalimat terakhir di cerita petualangannya: “Di dunia ini, setiap impian punya tempatnya sendiri, dan aku akan menemukannya dengan langkah kecil yang penuh semangat.”

Lalu, dengan senyum yang tenang, Arka menutup bukunya. Ia tahu, ini baru permulaan. Dan di luar sana, ada banyak petualangan menunggu untuk ditemukan.

 

Jadi, gimana menurut kamu? Cita-cita itu ternyata nggak perlu buru-buru ketemu, kan? Seperti Arka, kadang kita harus terus bermimpi dan berimajinasi, karena dari situ banyak banget petualangan seru yang bisa kita temuin.

Siapa tahu, cita-cita kita nggak harus jelas langsung dari awal, tapi justru jadi lebih keren dan menyenangkan kalau kita jalanin dengan penuh semangat dan kreativitas! Jadi, ayo terus impikan hal-hal besar, dan siapa tahu suatu hari nanti kita bisa capai semuanya. Selamat bermimpi!

Leave a Reply