Daftar Isi
Jadi, bayangin deh, kamu lagi terjebak dalam kebingungannya perasaan—antara senang, bingung, dan takut sekaligus. Tapi ada sesuatu yang bikin semua itu kayak lebih bermakna. Ya, bunga. Cuma bunga? Mungkin. Tapi buat Senja, bunga-bunga itu lebih dari sekadar hiasan.
Mereka mulai mengungkapkan cerita yang tak pernah dia dengar sebelumnya—tentang hati, tentang perasaan yang mulai tumbuh, dan tentang cinta yang, mungkin, sudah ada di dalam dirinya sejak lama. Penasaran? Yuk, ikuti perjalanan Senja di cerpen ini!
Cerpen Cinta yang Tumbuh
Bunga di Antara Jemari
Pagi itu, angin berhembus agak lebih kencang dari biasanya. Keringat tipis menetes di dahiku saat aku melangkah memasuki toko bunga kecil itu. Tempat yang selalu kuanggap sebagai tempat pelarian dari hiruk-pikuk dunia luar. Udara yang dipenuhi harum bunga, suara riang burung yang bertengger di pohon-pohon sekitar, dan kedamaian yang seakan menenangkan setiap detak jantungku.
Toko bunga ini milik seorang gadis bernama Aster. Aku sudah sering datang ke sini. Tidak untuk membeli bunga, lebih kepada hanya ingin berada di ruang yang terasa damai. Entah mengapa, setiap kali berada di sini, rasanya seperti dunia berhenti sejenak, dan aku bisa merasa lebih hidup.
Saat aku masuk, Aster sedang asyik merangkai bunga di meja kayu tua di sudut toko. Rambut hitamnya tergerai dengan bebas, menyisakan aroma lavender yang selalu membuatku terpesona. Tangannya yang lincah bergerak dengan cekatan, seolah tahu persis bagaimana memadukan warna dan bentuk untuk menciptakan sesuatu yang indah. Dia tidak pernah mengatakan apa-apa, tetapi aku tahu dia sedang berkonsentrasi penuh pada setiap bunga yang ia pilih.
“Aster,” panggilku perlahan, menghancurkan keheningan yang mengelilinginya.
Dia menoleh tanpa terkejut, seolah sudah tahu aku yang datang. “Senja,” jawabnya singkat, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
Aku mengangguk pelan, melangkah lebih dekat. “Boleh tanya sesuatu?”
“Apa?” jawabnya tanpa menatapku, masih sibuk dengan bunga-bunga yang tersusun rapi di meja.
Aku melihat bunga aster yang sedang ia pegang. “Bisa buatkan aku karangan bunga yang berbeda?” tanyaku, mencoba mengungkapkan keinginan yang tiba-tiba muncul dalam pikiranku.
Dia berhenti sejenak, meletakkan tangannya di atas meja. Aster menatapku dengan sedikit keheranan, kemudian mengangkat alisnya. “Berbeda bagaimana?”
Aku memikirkan jawabanku. “Bunga yang bisa bicara,” kataku, lalu tersenyum tipis, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Bunga yang bisa menggambarkan perasaan seseorang, bukan hanya untuk dilihat.”
Aster menghela napas pelan, dan untuk pertama kalinya, dia mengalihkan perhatian penuh padaku. “Bunga memang bicara, tapi hanya untuk mereka yang tahu cara mendengarnya,” jawabnya dengan nada yang lembut, tapi ada sedikit misteri di balik kata-katanya.
Aku terdiam sejenak, meresapi kata-katanya. Mungkin dia benar. Bunga punya cara mereka sendiri untuk menyampaikan pesan, hanya saja aku tidak pernah cukup peka untuk mendengarnya.
“Baiklah,” lanjut Aster sambil memungut beberapa tangkai bunga dari keranjang yang ada di sampingnya. “Bunga yang berbicara itu tidak akan mudah. Tapi jika kamu ingin sesuatu yang benar-benar berbeda, aku akan coba.”
Aku menatapnya, merasa sedikit lega. “Terima kasih, Aster.”
Tanpa banyak kata, Aster mulai merangkai bunga. Tangannya bergerak lincah, memilih setiap bunga dengan hati-hati. Aku hanya duduk di kursi sebelahnya, memperhatikan bagaimana dia bekerja. Setiap kali dia menyentuh kelopak bunga, seakan ada getaran kecil yang terasa di udara. Dia menyusun mawar merah dengan hati-hati, seolah tahu persis bagaimana warna itu bisa berbicara tentang cinta yang penuh gairah. Selanjutnya, aster putih diambilnya, melambangkan kejujuran yang tak terbantahkan. Lalu, dia menambahkan lavender, memberikan sentuhan harum yang menenangkan. Semuanya dipilih dengan sempurna, seolah bunga-bunga itu bukan hanya sebuah rangkaian, tetapi sebuah cerita yang baru dimulai.
Aku hanya diam, terpesona dengan cara dia bekerja. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku, hanya ada rasa kagum yang tumbuh perlahan. Sesekali mataku melirik ke arah Aster, yang tampak begitu fokus pada apa yang ia lakukan. Dia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri, tetapi ada semacam kedamaian dalam caranya bergerak, seolah semua yang ada di sekitarnya tidak terlalu penting dibandingkan dengan bunga-bunga yang ada di tangannya.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya Aster selesai merangkai bunga. Karangan itu terlihat sederhana, tetapi ada sesuatu yang dalam di setiap kelopak yang disusunnya. Seperti ada perasaan yang terpendam, sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Dia menatap karangan itu sejenak, lalu menoleh ke arahku. “Ini,” katanya singkat sambil menyerahkan karangan bunga itu padaku. “Semoga dia bisa mendengar.”
Aku menerima karangan itu dengan hati-hati, merasakannya seolah itu bukan sekadar bunga, tetapi sebuah pesan yang belum aku mengerti sepenuhnya. Aku menatapnya, kemudian melihat Aster yang sedang menunggu. “Terima kasih, Aster,” kataku pelan, tanpa tahu harus mengatakan apa lagi.
Aster hanya tersenyum tipis, senyum yang seolah sudah lama terpendam, tapi tetap indah. “Jangan khawatir, Senja. Bunga-bunga ini punya cara mereka sendiri untuk berbicara.”
Aku mengangguk dan berbalik, berjalan keluar dari toko itu dengan karangan bunga di tangan. Setiap langkahku terasa berat, seolah aku sedang membawa sesuatu yang sangat berharga—sesuatu yang lebih dari sekadar bunga. Ada harapan yang tertanam di dalamnya, sesuatu yang masih belum aku pahami sepenuhnya.
Mungkin, bunga-bunga ini benar-benar bisa berbicara.
Warna-Warna yang Bicara
Hari itu terasa lebih hangat dari biasanya. Udara musim semi yang semula dingin, kini mulai menyapa dengan lembut. Aku berjalan menyusuri jalan setapak di taman, dengan karangan bunga Aster masih terpegang erat di tanganku. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah beban yang kutanggung bukan sekadar rangkaian bunga, melainkan sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Aku tahu Aster membuat karangan bunga itu dengan penuh perhatian. Setiap tangkai bunga yang dia pilih memiliki makna, bahkan lebih dalam dari apa yang bisa kulihat. Tapi saat ini, aku hanya bisa merasakan beratnya perasaan yang tergambar di bunga-bunga itu. Karangan itu berbicara dalam diam—dalam senyap yang penuh arti.
Langkahku berhenti di depan sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan. Seperti sudah menjadi kebiasaanku, aku memilih meja di pojok, jauh dari keramaian. Karangan bunga itu kuletakkan di atas meja, di depan kursi kosong yang menantiku. Aku menarik napas dalam-dalam, menatap bunga-bunga itu, berharap ada jawaban yang muncul begitu saja.
“Apa yang ingin kamu katakan?” bisikku pelan pada bunga-bunga itu, setengah bercanda, setengah serius.
Karangan bunga yang kutatap hanya diam, tentu saja. Mawar merah di tengahnya tampak memudar sedikit, seakan ia ingin menyampaikan sebuah pesan yang belum sempat aku pahami. Aku mengelus kelopak itu dengan lembut, mencoba meresapi arti setiap gerakanku.
Sore itu, senja datang lebih cepat, membawa cahaya lembut yang menyelimuti ruang di sekitarku. Tak lama, seseorang menghampiriku. Aku mengenal wajah itu dengan mudah, walaupun baru beberapa kali melihatnya. Dia adalah Talia, teman dekat dari Aster. Wajahnya cerah, dengan senyum lebar yang hampir selalu ada di bibirnya.
“Senja,” sapa Talia sambil duduk di kursi sebelahku. “Bawa bunga dari Aster, ya?” Dia memandangi karangan bunga di meja dengan ekspresi yang seolah sudah mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku mengangguk tanpa menjawab. Talia memandang bunga itu lagi, lalu menatapku. “Aster memang bisa membuat bunga-bunga itu berbicara,” katanya, seolah melanjutkan pertanyaanku sebelumnya. “Tapi kamu harus paham, Senja. Setiap bunga punya bahasa mereka sendiri. Dan mungkin, kamu harus belajar untuk mendengarkan lebih dari sekadar kelopak dan tangkai.”
Aku tidak tahu apa yang dimaksud Talia, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa seolah aku sedang berdiri di ambang sebuah rahasia besar. “Maksudmu?” tanyaku, masih mencoba memahami.
Talia tersenyum, namun senyum itu sedikit berbeda. “Aster merangkai bunga bukan hanya berdasarkan warna atau bentuk. Dia mendengarkan cerita mereka. Setiap bunga punya kisah yang ingin mereka bagi. Tapi itu bukan untuk semua orang.” Talia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Kadang, bunga-bunga itu memilih siapa yang bisa mendengarkan mereka.”
Aku terdiam, mencerna kata-kata Talia. Mendengar bunga? Aku pernah mendengar bahwa bunga bisa melambangkan perasaan, tapi ini terasa lebih dalam. Ada semacam misteri yang terungkap di balik kata-katanya.
Talia menatapku dengan serius, seolah menunggu aku meresapi semua yang baru saja dia katakan. “Aster mungkin tidak pernah langsung bilang, tapi dia selalu tahu siapa yang datang dengan niat baik. Siapa yang datang untuk mencari lebih dari sekadar keindahan.”
Aku merasa sedikit bingung, namun ada rasa penasaran yang tumbuh semakin besar. “Apa yang harus aku lakukan?” tanyaku, tak tahu apakah aku bertanya tentang bunga atau tentang perasaan yang mulai tumbuh di dalam hatiku.
Talia tertawa kecil, seolah aku baru saja mengungkapkan sesuatu yang sudah lama dia ketahui. “Kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Cobalah untuk lebih peka. Setiap bunga yang Aster buat itu penuh dengan cerita. Dan mungkin, kamu adalah bagian dari cerita itu.”
Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Talia bangkit dari kursinya, memberi senyum yang manis, lalu melangkah pergi. Karangan bunga itu tetap tergeletak di meja, tampak lebih hidup daripada sebelumnya. Aku merasa seolah bunga-bunga itu bukan hanya benda mati. Mereka mulai berbicara, meski hanya dalam bisikan halus yang hanya bisa aku dengar.
Ketika aku kembali menatap bunga-bunga itu, aku merasakan sesuatu yang lain. Mawar merah di tengah karangan itu tampak lebih hidup. Aromanya lebih kuat, dan seakan ada sesuatu yang membuat dadaku berdebar. Aku mengangkat bunga itu, memperhatikan dengan lebih teliti. Tangkai yang satu tampak sedikit lebih pendek dari yang lain, seperti simbol ketidaksempurnaan yang justru menambah pesonanya.
Langit semakin gelap, dan aku tahu hari hampir berakhir. Tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh dalam diriku. Aster tidak hanya memberiku bunga. Dia memberiku sebuah pertanyaan, sebuah teka-teki yang kini harus aku pecahkan. Bunga-bunga itu bukan hanya sebuah karangan, mereka adalah bagian dari cerita yang lebih besar. Dan aku, entah mengapa, merasa seolah aku sudah menjadi bagian dari cerita itu.
Saat aku meninggalkan kafe itu, aku merasa seolah bunga-bunga itu berjalan bersamaku, berbisik dalam diam, menunggu aku untuk mendengarkan lebih jauh lagi.
Di Antara Hening dan Cinta
Hari-hari berlalu dengan cepat. Pagi yang cerah dan sore yang temaram datang dan pergi seperti biasa, tapi bagi aku, semuanya terasa berbeda. Setiap detik, setiap nafas, seakan dipenuhi dengan sebuah pertanyaan yang terus mengganggu. Bunga-bunga itu—yang kini telah aku bawa kemana-mana—tak hanya menghiasi meja kerjaku, tapi seakan mereka menyelinap dalam setiap pikiranku. Setiap kelopak, setiap warna, dan setiap wewangian membawa pesan yang tak kuerti sepenuhnya.
Aster masih sama. Diam, tenang, namun selalu ada kedalaman dalam setiap kata yang ia ucapkan. Tapi kali ini, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar bunga. Sesuatu yang mungkin hanya bisa aku pahami jika aku cukup berani untuk memahaminya.
Aku berjalan kembali ke toko bunga Aster, kali ini dengan harapan yang berbeda. Tak hanya sekadar untuk membeli bunga, tetapi untuk mendapatkan jawaban. Aku tak bisa lagi mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh—perasaan yang tak terdefinisikan, seperti bunga-bunga itu sendiri.
Saat aku membuka pintu toko, Aster sedang merangkai bunga di meja seperti biasanya. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Matanya, yang biasanya tajam namun tenang, kini tampak penuh dengan kebimbangan, seolah dia tahu bahwa sesuatu akan berubah.
Aster menoleh perlahan dan tersenyum, tapi senyum itu tidak seterang biasanya. “Kamu kembali,” katanya, suaranya terdengar agak jauh, seperti ada jarak antara kami yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Aku mengangguk, meletakkan karangan bunga yang masih ada di tanganku di atas meja. “Aku datang untuk bertanya,” kataku, merasa perasaan itu akhirnya harus diungkapkan. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan bunga-bunga ini, Aster? Kenapa aku merasa seperti ada sesuatu yang ingin mereka katakan padaku?”
Aster tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap bunga yang ada di atas meja dengan hati-hati, seolah mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya membuka mulut. “Bunga itu… adalah cerminan dari perasaanmu, Senja,” jawabnya, suara itu lembut namun penuh makna. “Setiap kelopak, setiap warna, itu adalah bagian dari perjalananmu—perjalanan yang mungkin belum kamu pahami sepenuhnya.”
Aku terdiam, mencoba memahami kata-katanya. “Perjalanan? Apa maksudmu?”
Dia mengangkat kepala dan menatapku langsung. “Perjalanan hati. Kadang, perasaan datang dengan cara yang tidak kita harapkan. Dan bunga, mereka punya cara untuk membantu kita melihatnya. Kamu tidak harus mencari jawabannya sekarang. Terkadang, yang perlu dilakukan hanya mendengarkan.”
Aku merasa terhenyak. Apa yang dia katakan masuk ke dalam hati dengan cara yang aneh. Aku mengerti, tapi juga tidak sepenuhnya. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku merasa bahwa ini lebih dari sekadar bunga atau sekadar rangkaian kata.
“Aster…” suaraku tersendat. “Apa kau tahu apa yang aku rasakan?”
Aster hanya menghela napas panjang, lalu berjalan ke arahku dengan langkah pelan. Matanya yang biasanya penuh dengan kedamaian kini tampak menyimpan banyak pertanyaan. “Aku tahu lebih dari yang kamu pikirkan, Senja,” katanya pelan. “Tapi mungkin, sekarang bukan waktunya untuk mengungkapkan semuanya.”
Kata-katanya seperti menciptakan sebuah ruang kosong antara kami. Ruang yang penuh dengan pertanyaan, tapi juga penuh dengan perasaan yang tak terucapkan. Aku ingin tahu lebih, aku ingin memahami lebih dalam, tetapi aku tidak tahu bagaimana cara untuk menggali lebih jauh.
Tiba-tiba, suara dering ponsel Aster memecah keheningan. Ia menoleh, lalu dengan cepat mengangkat telepon di tangannya. “Maaf, Senja. Ini penting,” katanya, memberikan sebuah senyum kecil yang tidak sepenuhnya mencapai matanya. Aku hanya mengangguk, menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari percakapan ini. Sesuatu yang aku tidak tahu, tapi pasti akan terungkap pada waktunya.
Aku berdiri di sana, memandang Aster yang sedang berbicara di telepon. Ada rasa kecewa, tapi juga rasa penasaran yang semakin besar. Tanpa bisa menahan diri, aku melangkah keluar toko, meninggalkan Aster dan bunga-bunga yang tak hanya berbicara dalam diam, tetapi juga menggugah sesuatu dalam diriku yang tak pernah aku kenali sebelumnya.
Setelah beberapa langkah, aku berhenti di depan toko. Karangan bunga itu masih terpegang erat di tanganku. Aku memandanginya, mencoba memahami apa yang membuatku merasa begitu terhubung dengan bunga-bunga itu. Setiap kelopak, setiap warna, memiliki cerita mereka sendiri. Dan aku merasa, ceritaku sedang tertulis di antara kelopak-kelopak itu.
Di kejauhan, matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan rona oranye yang menenangkan. Aku tahu, aku tidak akan mendapatkan jawaban langsung. Tapi mungkin, ini adalah perjalanan yang harus aku lalui—sebuah perjalanan untuk memahami perasaan yang mulai tumbuh dalam diriku. Sebuah perjalanan yang mungkin, akan mengarahkanku pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar bunga dan kata-kata.
Sambil melangkah pulang, aku menyadari satu hal. Bunga-bunga itu tidak hanya mengajarkanku untuk mendengarkan, tetapi juga untuk merasa.
Menemukan Jawaban di Antara Kelopak
Aku tidak bisa tidur malam itu. Rasanya, perasaan yang berlarian dalam benakku lebih liar dari angin yang berhembus di luar jendela. Aku sudah mencoba untuk menenangkan diri, untuk memahami bahwa mungkin aku tidak perlu segera tahu semua jawaban. Tapi setiap detik yang berlalu, aku merasa semakin gelisah. Semua itu—semua perasaan yang datang dengan bunga-bunga itu—membuatku terperangkap dalam kebingunganku sendiri.
Karangan bunga yang masih tergeletak di meja samping tempat tidurku, seperti teman setia yang tidak pernah lelah menemaniku. Setiap kali aku menatapnya, aku merasa ada sebuah ketenangan yang datang, meski hanya sementara. Aster selalu bilang bahwa bunga berbicara, dan mungkin itu memang benar. Tapi apa yang mereka katakan? Apa yang mereka ingin aku dengar?
Pagi berikutnya, aku memutuskan untuk kembali ke toko Aster, kali ini dengan perasaan yang lebih tenang. Aku tahu, ini bukan hanya tentang bunga atau sekadar mencari jawaban. Ini tentang aku dan perasaan yang perlahan berkembang di dalam diriku—perasaan yang mungkin akan membawa aku ke arah yang tidak aku sangka.
Ketika aku sampai di depan toko, Aster sudah ada di sana, seperti biasa, merangkai bunga. Tidak ada yang berubah, meski dalam hatiku, banyak hal yang terasa berbeda. Aku melangkah masuk dan menatapnya. Aster hanya mengangkat wajahnya dan memberikan senyum yang kali ini lebih lebar, lebih tulus.
“Aku tahu kamu akan kembali,” katanya sambil meletakkan bunga yang baru saja selesai ia rangkai ke samping. “Apa yang kamu rasakan?” tanya Aster, seolah sudah tahu apa yang ingin aku katakan.
Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. “Aku merasa… seperti ada bagian dari diriku yang belum aku kenal, Aster,” kataku perlahan. “Perasaan ini, yang datang dengan bunga-bunga itu, aku merasa seolah aku sedang mencari sesuatu yang lebih dari sekadar keindahan. Tapi aku tidak tahu apa.”
Aster tersenyum, senyum yang kali ini benar-benar mencapai matanya. “Perasaan itu adalah bagian dari dirimu yang selalu ada. Bunga-bunga itu hanya membantu kamu untuk menemukannya. Tapi jawabannya selalu ada di dalam hati kamu sendiri. Perasaan itu bukanlah sesuatu yang harus kamu takutkan atau hindari. Itu adalah bagian dari perjalanan hidupmu, Senja.”
Aku mengangguk pelan. Kata-katanya terasa seperti jawaban yang sudah lama kucari, meskipun rasanya sulit untuk memahaminya sepenuhnya. “Tapi… bagaimana jika aku takut?” tanyaku, dengan suara yang hampir tak terdengar. “Bagaimana jika aku takut untuk merasa lebih?”
Aster berjalan mendekat, meletakkan tangan di bahuku dengan lembut. “Takut itu wajar, Senja. Tapi jangan biarkan ketakutan itu menghalangimu untuk merasakan sesuatu yang indah. Cinta, perasaan, semuanya adalah bagian dari hidup yang tidak bisa kita hindari. Terkadang kita hanya perlu memberanikan diri untuk membuka hati.”
Perkataannya menggema dalam diriku. Aku merasa seperti ada beban yang perlahan terangkat, seperti sesuatu yang telah terpendam lama mulai keluar dari tempat yang tersembunyi. Aku menatap bunga-bunga di sekitar kami, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan kedamaian dalam hatiku.
Tiba-tiba, Aster menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Senja, bunga-bunga ini memang berbicara. Tapi mereka bukan hanya berbicara tentang perasaan yang kita miliki. Mereka juga berbicara tentang siapa kita sebenarnya. Tentang bagaimana kita melihat dunia dan diri kita sendiri. Cinta bukan hanya tentang menemukan seseorang, tapi juga tentang menemukan diri kita sendiri melalui orang lain.”
Aku terdiam, mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari mulutnya. Semua terasa begitu jelas, dan dalam saat itu, aku merasa seolah dunia ini mengalir begitu harmonis, seperti bunga yang mekar di dalam hatiku.
“Terima kasih, Aster,” kataku, suaraku hampir berbisik. “Aku rasa aku mulai mengerti.”
Aster hanya tersenyum lagi, kali ini lebih hangat dari sebelumnya. “Tidak perlu terima kasih, Senja. Ini perjalananmu. Aku hanya menunjukkan sedikit cahaya di jalanmu.”
Aku berdiri di sana, di antara bunga-bunga yang dulu terasa asing, kini seakan menjadi bagian dari diriku. Aku tahu, perjalanan ini tidak akan berakhir begitu saja. Ada banyak lagi yang harus kutemui, banyak lagi perasaan yang harus aku jalani. Tapi aku tidak lagi takut. Karena aku tahu, meskipun aku belum tahu semua jawabannya, aku akan menemukan jawabannya—di antara kelopak bunga yang berbicara dalam diam.
Saat aku melangkah keluar dari toko Aster, bunga-bunga itu seakan mengikutiku, membawa aku menuju jalan yang belum kujelajahi. Dan aku, dengan penuh keyakinan, siap untuk melangkah ke depan, menghadapinya dengan hati yang terbuka.
Begitulah, perjalanan ini dimulai. Dengan bunga di tanganku, dan cinta yang tumbuh di hatiku, aku tahu bahwa aku tidak akan pernah lagi merasa sendiri.
Dan mungkin, inilah yang namanya cinta—bukan sekadar rasa yang datang begitu saja, tapi perjalanan yang harus dijalani dengan hati yang terbuka. Seperti bunga yang perlahan mekar, cinta pun tumbuh dengan cara yang tak terduga.
Senja mungkin baru saja memulai perjalanannya, tapi satu hal yang pasti: dia tak lagi takut untuk merasakannya. Karena kadang, hal terindah datang ketika kita berani membuka hati dan mengikuti jejak bunga-bunga yang menunjukkan arah.