Cerpen Cinta yang Dipaksa: Perjodohan, Paksaan, dan Perasaan yang Tak Pernah Tumbuh

Posted on

Cinta itu kadang nggak selalu indah, kadang juga nggak datang dengan cara yang kita harapkan. Kamu pernah nggak sih merasa dipaksa mencintai seseorang, tapi hatimu nggak pernah benar-benar merasa apa-apa?

Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu ngerasain gimana rasanya hidup dalam cinta yang terpaksa, di mana perasaan itu cuma jadi rutinitas tanpa ada gairah. Jadi, siap-siap deh buat ngerasain perasaan yang nggak jauh beda dari kosong. Yuk, simak cerita lengkapnya!

 

Cerpen Cinta yang Dipaksa

Pertemuan yang Dipaksakan

Pagi itu, udara masih terasa dingin meski matahari sudah mulai tampak memancarkan sinarnya. Arya memeriksa jam tangannya sekali lagi, memastikan bahwa dia tidak terlambat. Dalam sekejap, dia sudah keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah yang sederhana namun terkesan elegan. Dia menekan bel, mengangkat kerah jasnya sedikit, merasa canggung meskipun dia sudah terbiasa dengan pertemuan formal semacam ini.

Pintu dibuka oleh seorang pria tua yang tersenyum ramah. “Ah, Arya! Senang kamu bisa datang tepat waktu. Aira sudah menunggumu di dalam.”

Arya hanya tersenyum tipis dan mengangguk, mengikutinya memasuki rumah. Di dalam, ruang makan yang luas sudah dipenuhi dengan berbagai hidangan yang tampaknya disiapkan khusus untuk pertemuan ini. Di meja, seorang gadis duduk di ujung, matanya tertunduk sedikit, mengamati piring di depannya tanpa niat untuk menyentuhnya.

Aira. Nama yang selama ini hanya terdengar di telinganya sebagai bagian dari pembicaraan orang tuanya. Nama yang dipaksa untuk masuk ke dalam kehidupannya meski tak ada tempat untuknya. Arya mengambil langkah lebih dekat, menatap Aira sejenak, lalu duduk di kursi yang sudah disiapkan di seberangnya.

“Selamat pagi, Aira,” kata Arya dengan suara datar, berusaha agar tidak terdengar canggung meskipun sebenarnya ada sedikit kegugupan yang menyesakkan dadanya.

Aira mengangkat wajahnya pelan, memberikan senyum yang sepertinya sudah dipersiapkan, tapi tetap terasa kaku. “Selamat pagi,” jawabnya, suaranya tenang namun tidak ada kehangatan yang mengalir. Matanya tak pernah benar-benar menatap Arya, melainkan terfokus pada sendok di tangannya.

Suasana hening sejenak, hanya terdengar denting peralatan makan yang kadang-kadang memecah kesunyian. Mereka berdua duduk dalam kebisuan, mencoba berbicara tentang cuaca atau berita terkini, tapi semua terasa seperti permainan kata-kata yang tidak pernah menyentuh inti. Tidak ada pertanyaan tentang hari-hari mereka, tidak ada ketertarikan untuk saling mengenal lebih dalam. Semua yang ada hanya perasaan kosong yang saling berbenturan.

“Apakah kamu sering ke sini?” tanya Aira akhirnya, lebih karena merasa terpaksa daripada benar-benar ingin tahu.

Arya mengangguk pelan. “Iya, cukup sering. Keluarga kita sudah lama saling kenal. Jadi, kadang memang ada acara keluarga seperti ini.”

Aira mengangguk, tanpa menambah kata. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi, meski sebenarnya ingin sekali bertanya tentang hidup Arya, tetapi ada tembok yang dibangun di antara mereka—tembok yang dibangun oleh perjodohan ini, yang membuat segala sesuatu tampak seperti rutinitas yang harus diikuti.

Beberapa menit berlalu, dan Arya merasakan betapa canggungnya suasana ini. Seakan-akan mereka berdua terjebak dalam ruang yang tidak mereka inginkan. “Kamu suka masakan ini?” tanya Arya, mencoba membuka percakapan.

Aira menunduk, menyentuh sedikit nasi di piringnya dengan ujung sendok. “Aku… tidak terlalu,” jawabnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Aku lebih suka yang lebih sederhana.”

Arya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata itu, walaupun sederhana, terasa seperti sebuah penghalang. Mereka tidak benar-benar mengenal satu sama lain, dan mungkin memang tidak akan pernah benar-benar mengenal, karena mereka hanya dipaksa untuk duduk di sini, menjalani apa yang telah ditentukan.

Aira mengangkat wajahnya, tapi matanya kembali terfokus pada piring. Tidak ada keinginan untuk berinteraksi lebih jauh. Semua ini terasa tidak nyata. Seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir. Sesekali, dia mencuri pandang ke arah Arya, tetapi dengan cepat ia alihkan lagi tatapannya ke meja.

“Kita tidak perlu melakukan ini, kan?” Aira akhirnya bertanya, meskipun suaranya penuh dengan keraguan.

Arya menatapnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Dia menghela napas, memandang piring makanannya yang sudah semakin berkurang. “Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi,” jawabnya pelan, mencoba tidak terlalu mengungkapkan perasaan frustrasi yang mulai muncul di dadanya. “Ini sudah diatur. Orang tua kita… mereka menginginkan ini.”

Aira tidak menjawab. Keheningan kembali menyelimuti mereka, dan waktu seakan berhenti begitu saja di ruang makan yang luas ini. Setiap detik terasa seperti beban yang tak bisa dihindari. Arya tahu, begitu juga Aira. Mereka hanya terjebak dalam roda yang terus berputar, mencoba bertahan dalam peran yang tidak mereka pilih.

“Jadi… apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Aira, melirik Arya dengan sedikit kebingungan.

Arya hanya bisa mengangkat bahu, memberi senyum yang terasa sangat dipaksakan. “Mungkin kita hanya perlu… menjalani saja. Menunggu waktu yang akan menjawab semua ini.”

Aira mengangguk pelan, meski hatinya merasakan kesedihan yang tak terucapkan. Mereka berdua tahu, meskipun mereka duduk berdampingan, ada jarak yang sangat jauh di antara mereka—jarak yang tidak bisa diukur dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan.

Makan malam itu berakhir seperti yang diperkirakan: hening, tanpa ada rasa saling mengerti. Mereka saling tersenyum ringan, sekadar formalitas, lalu berpisah dengan perasaan kosong yang tak pernah terisi.

Namun, meskipun hari itu berakhir, mereka tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Mungkin, beberapa hari lagi, mereka akan kembali bertemu—untuk sekadar menjalani rutinitas yang dipaksakan.

 

Kebiasaan dalam Kesendirian

Hari-hari setelah makan malam itu terasa sama. Setiap pertemuan yang mereka jalani hanya berlangsung di antara dinding yang tak tampak, tapi tetap terasa, menghalangi segala usaha untuk saling mengenal lebih dalam. Arya dan Aira bertemu lagi di acara keluarga, di restoran mewah yang dipenuhi dengan orang-orang yang berbicara dengan penuh senyum, seolah semuanya berjalan normal. Namun bagi mereka berdua, semuanya tampak berbeda.

Mereka duduk bersebelahan, meski tidak ada interaksi yang berarti. Aira menatap piring makanannya, Arya memandangnya sekilas, lalu kembali ke ponselnya, menunggu waktu berlalu. Semua terasa seperti kebiasaan, rutinitas yang dipaksakan, seakan mereka berdua hanya hadir untuk memenuhi kewajiban.

“Aku dengar kamu baru saja pindah ke kantor pusat,” kata Aira akhirnya, memecah keheningan yang telah berlangsung beberapa menit. “Bagaimana rasanya?”

Arya sedikit terkejut, tapi dia tak ingin terlalu terlihat antusias. “Iya, baru saja. Sama saja, seperti kantor yang lain. Cuma lebih banyak proyek besar.” Suaranya datar, seakan-akan kalimat itu sudah sering dia ucapkan.

Aira mengangguk pelan. “Maksudku… apakah kamu suka dengan pekerjaan itu?” tanyanya, matanya tertuju pada Arya, meski tanpa ada tanda ketertarikan yang nyata. Mungkin itu hanya refleks, pertanyaan untuk mengisi kekosongan.

“Cukup,” jawab Arya sambil menatap sekilas ke luar jendela, menghindari tatapan Aira yang cukup tajam. “Bisa dibilang, aku lebih suka kalau semuanya berjalan lancar, tanpa terlalu banyak drama.”

“Drama, ya?” Aira tertawa pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Aku rasa aku juga sering merasa begitu. Kehidupan ini lebih baik kalau tidak ada yang terlalu rumit.”

“Ya, tepatnya,” jawab Arya, sedikit terkesan oleh pernyataan Aira. Namun, dia tidak merasa perlu untuk melanjutkan percakapan itu lebih jauh. Mereka berdua hanya sekadar berbagi kata-kata kosong yang tidak mengandung apa-apa.

Makan malam pun berlanjut dalam hening yang canggung. Mereka makan dengan kecepatan yang hampir bersamaan, berusaha untuk menutup ruang di antara mereka dengan kegiatan yang sama—berbicara tentang hal-hal sepele, tentang pekerjaan, tentang keluarga, namun tidak pernah tentang mereka.

“Ngomong-ngomong, aku dengar kamu suka traveling, ya?” tanya Aira, mencoba untuk memulai topik baru. Tapi kali ini, ada nada berbeda dalam suaranya. Mungkin dia mulai merasa sedikit terbuka, meski hanya sedikit.

Arya mengangkat alis, merasa agak tertarik. “Iya, aku suka. Traveling itu seperti cara untuk melepaskan diri dari rutinitas.”

Aira menatapnya sejenak, lalu menunduk, menatap piringnya yang hampir kosong. “Pernah ke luar negeri?” tanyanya lagi, suara sedikit lebih lembut.

“Pernah. Tahun lalu aku ke Jepang,” jawab Arya. “Itu salah satu tempat yang bikin aku merasa hidup.”

Aira tersenyum kecil, meskipun senyum itu tampak seolah hanya untuk sekadar menanggapi. “Aku juga ingin sekali ke sana. Ada banyak hal yang ingin kulihat, tapi rasanya…,” dia terhenti sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat. “Aku lebih sering tinggal di sini. Semua terasa lebih mudah.”

Arya mengangguk pelan, tidak tahu harus menjawab apa. “Mungkin suatu saat nanti kamu akan ke sana. Dunia ini besar.”

Aira hanya mengangguk, dan kembali ke kebiasaannya—menatap piring dengan sedikit ketertarikan. Sesekali, matanya melirik Arya, tapi hanya sekadar isyarat untuk memastikan bahwa semuanya berjalan seperti yang diinginkan.

Mereka berdua tahu, bahwa mereka hanya berperan dalam sebuah cerita yang bukan milik mereka. Mereka berusaha menemukan sedikit kenyamanan dalam kebisuan yang ada, meskipun di dalam hati mereka, ada kekosongan yang tak bisa diisi.

Di luar jendela restoran, lampu-lampu kota mulai menyala. Malam sudah semakin larut, dan suara musik pelan mengalun di latar belakang. Arya menatap keluar, mencoba merenung sejenak, tapi pandangannya cepat beralih ke Aira, yang sepertinya juga sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Aira tersenyum padanya, senyuman yang tak sepenuhnya tulus, tapi cukup untuk menghindari ketegangan yang bisa saja muncul. “Aku rasa kita mulai terbiasa dengan ini, ya?” katanya pelan, meski ada nada keletihan dalam suaranya.

Arya memandangnya, lalu menarik napas panjang. “Mungkin. Tapi, entahlah…”

Di saat itu, mereka berdua tahu, bahwa mereka hanya menjalani hari-hari ini seperti sebuah rutinitas yang tak akan pernah berubah. Tidak ada keinginan untuk menggali lebih dalam, tidak ada usaha untuk memperbaiki apa yang sudah rusak sejak awal.

Hidup mereka akan terus berjalan, mungkin tanpa perasaan yang mengikat, hanya kebiasaan yang sudah menjadi bagian dari mereka berdua. Sebuah perjalanan yang terpaksa dijalani, tanpa harapan bahwa akan ada cinta yang datang mengubah segalanya.

 

Bayang-Bayang yang Meninggalkan Jejak

Pagi hari datang dengan kebiasaan yang sama. Arya keluar dari mobil, menyandang tas kerja dengan langkah yang tak terburu-buru, seperti biasa. Hari ini, ia tak ada perasaan untuk bertemu siapa pun, termasuk Aira. Namun, seperti yang sudah ditentukan, mereka tetap harus bertemu. Hari ini, mereka berada di acara makan siang keluarga, lagi—tempat yang sama, orang-orang yang sama, dan topik percakapan yang sama. Begitu banyak hal yang sudah direncanakan, dan mereka hanya harus menjalankannya.

Aira sudah duduk di meja, berpakaian dengan pakaian formal berwarna biru tua yang elegan, riasan wajahnya sempurna seperti biasanya. Namun, tak ada kegembiraan di matanya. Seperti biasa, ia hanya menghadap piringnya, sesekali melirik ponsel, dan kadang-kadang melirik ke arah Arya yang datang tanpa ekspresi.

“Selamat siang,” ujar Arya pelan setelah duduk di sebelahnya, suaranya seperti rutinitas.

Aira tersenyum tipis, lebih kepada formalitas daripada keinginan sebenarnya untuk tersenyum. “Selamat siang.” Ia kembali memandangi ponselnya, seolah menunggu seseorang menghubunginya. Tapi tidak ada yang menghubunginya. Mereka kembali terperangkap dalam kesunyian yang sudah menjadi bagian dari mereka.

Makan siang itu hanya berlalu begitu saja, tanpa ada percakapan berarti. Semua kata-kata yang diucapkan hanya tentang cuaca, acara keluarga, atau sekadar topik ringan lainnya. Namun di dalam benak mereka berdua, segala sesuatu terasa lebih berat dari biasanya.

Arya merasakan kejanggalan yang kian bertambah setiap kali dia berdekatan dengan Aira. Setiap percakapan menjadi semakin dipaksakan, seakan-akan ada dinding tak kasatmata yang semakin menebal di antara mereka. Tidak ada cinta. Tidak ada ikatan. Hanya ada kedekatan yang terpaksa dijalani. Dan itu lebih menyakitkan daripada kebisuan.

Aira, di sisi lain, merasa semakin terperangkap. Ia tak pernah memilih untuk berada di sini, di dalam pertemuan yang semakin hari semakin membuatnya merasa hampa. Semua yang ada hanya wajah-wajah yang tersenyum, percakapan yang tak pernah menyentuh esensi, dan harapan yang semakin lama semakin memudar. Ia hanya berusaha melanjutkan hari-harinya dengan cara yang sama—terpaksa.

“Lama-lama, kita akan terbiasa dengan ini, kan?” Aira mencoba membuka percakapan, meskipun suaranya terdengar lebih seperti sebuah pertanyaan yang sudah ada jawabannya.

Arya menatapnya, merasakan kelelahan yang juga hadir dalam kata-kata Aira. “Mungkin,” jawabnya pelan, menghindari tatapan matanya yang terlalu dalam. “Tapi aku merasa kita cuma menjalani hari-hari kosong ini tanpa pernah benar-benar hidup.”

Aira menunduk, seakan-akan tidak tahu bagaimana harus merespons. Kata-kata Arya terlalu dekat dengan kenyataan yang selama ini mereka hindari. Mereka berdua tahu bahwa mereka hanya bertahan dalam rutinitas ini, tidak ada kemajuan, tidak ada perubahan.

“Kenapa kita tidak bisa… hanya berhenti?” tanya Aira, suara yang hampir tak terdengar. “Kenapa kita harus terus menjalani ini?” matanya terfokus pada gelas di depannya, seolah berharap air dalam gelas itu bisa menjawab pertanyaannya.

Arya terdiam, menatap Aira dalam-dalam. Ada keletihan di matanya yang tak bisa disembunyikan. “Kita sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang,” jawabnya, suaranya terdengar lelah. “Kita sudah dibawa ke sini, dan kita harus menyelesaikannya. Mau tak mau.”

“Tidak ada yang menginginkan ini, kan?” Aira melanjutkan, matanya tak lepas dari piring yang tak pernah disentuhnya. “Kita cuma… hidup dengan bayang-bayang, tanpa tahu harus ke mana.”

Arya menatap Aira dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Sebuah rasa kesepian yang tidak hanya datang dari dirinya, tapi juga dari Aira. Mereka berdua, terjebak dalam perjodohan yang bukan pilihan mereka. Mereka hanya mencoba bertahan hidup, namun rasa itu semakin jauh.

Pemandangan di luar jendela sudah mulai gelap, langit yang tadinya cerah kini mulai dihiasi oleh warna senja yang memudar. Semua terasa lebih tenang, namun keheningan itu justru mengingatkan mereka pada kekosongan yang ada di hati masing-masing.

Aira memutuskan untuk memecah kesunyian. “Kamu… pernah berpikir untuk mencari jalan keluar dari semua ini?” tanyanya, namun dengan nada suara yang lebih lembut. Ada sedikit keraguan di dalamnya, seolah ia ingin tahu apakah Arya merasakan hal yang sama.

Arya menghela napas panjang, merasa begitu lelah untuk menjawab pertanyaan itu. “Aku tidak tahu. Terkadang aku merasa kalau kita… tidak bisa keluar dari situasi ini. Kita sudah terlalu terperangkap.”

Aira terdiam, matanya kosong, seolah berpikir tentang apa yang baru saja dikatakan Arya. “Tapi… bagaimana dengan kita? Kalau kita terus bertahan seperti ini, apa yang akan terjadi pada kita?” tanyanya, seolah berharap ada jawaban yang bisa memberi kepastian.

Arya menatap Aira lama, mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Mungkin kita tidak akan pernah tahu. Mungkin kita akan terus seperti ini. Hanya menjalani rutinitas yang ada.”

Malam itu berakhir seperti biasanya—penuh dengan kebisuan dan kebiasaan. Namun ada sesuatu yang berubah di antara mereka, meskipun hanya sedikit. Bayang-bayang pertanyaan yang semakin jelas di benak mereka tentang apa yang harus dilakukan dengan kehidupan yang tak pernah mereka pilih, dan bagaimana harus menghadapi perasaan kosong yang tak bisa dijelaskan.

Namun, hari-hari akan terus berlanjut. Dan mereka, terperangkap dalam situasi yang sama, hanya bisa bertahan menunggu perubahan yang tidak pernah datang.

 

Sebuah Titik Akhir yang Tak Pernah Terbayangkan

Waktu terus berjalan, dan setiap hari yang dilalui semakin terasa seperti sebuah pengulangan yang tak ada habisnya. Arya dan Aira sudah tidak lagi berbicara banyak. Makan malam keluarga, acara pertemuan bisnis, atau sekadar sekumpulan teman lama, semuanya terisi dengan kesunyian yang mengiris. Ada saat-saat di mana mereka berdua akan saling melirik, namun tak ada lagi kata yang keluar. Semua sudah tercatat dalam ingatan mereka, tak ada yang bisa mengubahnya. Mereka berjalan berseberangan dalam jarak yang semakin lebar, namun tetap terhubung oleh tali yang dipaksakan oleh orang lain.

Aira duduk di ruang tamu, menatap ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan dari teman-temannya tidak memberi semangat apapun. Mereka semua tahu, dan Aira juga tahu, bahwa mereka hanya peduli tentang penampilan luar. Tak ada yang benar-benar peduli tentang apa yang terjadi di balik semua itu. Arya masih belum pulang dari kantor, dan Aira semakin merasa kehilangan.

Malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Arya kembali ke rumah, melangkah masuk tanpa sepatah kata. Ia hanya meletakkan jas kerjanya di kursi, kemudian duduk di sofa dengan tatapan kosong. Aira yang melihatnya, tidak tahu harus berkata apa. Mereka sudah melewati begitu banyak malam-malam seperti ini, namun tak pernah ada yang berubah.

“Aira…” suara Arya memecah keheningan. Cukup lama bagi Aira untuk menatapnya, tetapi ia tidak dapat membaca apa yang ada di dalam mata Arya. “Aku… aku nggak tahu lagi. Apa yang kita lakukan ini?” suaranya terdengar serak, seperti seseorang yang sudah kehabisan kata-kata.

Aira menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Aku juga nggak tahu, Arya,” jawabnya, meskipun hatinya merasa semakin berat. “Aku sudah lelah dengan ini. Dengan kita… dengan semuanya.”

Tiba-tiba, ada sesuatu dalam suara Aira yang membuat Arya terdiam. Ada rasa lelah yang lebih mendalam dari yang ia duga. Mungkin mereka berdua sudah sampai pada titik di mana kata-kata tak lagi bisa menolong. Apa yang mereka jalani ini bukan cinta—bukan juga sebuah hubungan yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ini hanya tentang rutinitas yang tak pernah berhenti.

“Aku…” Arya berhenti sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak tahu kalau kamu merasa seperti itu. Tapi aku juga nggak bisa terus seperti ini, Aira. Aku merasa kita… kehilangan apapun yang bisa membuat kita tetap bertahan.”

Aira menunduk, tidak mampu menatapnya lebih lama. “Kita cuma hidup di atas kertas, Arya. Apa yang terlihat di luar, itu hanya bagian dari gambaran yang kita ciptakan. Tapi di dalamnya, kita cuma terjebak dalam dunia yang nggak pernah kita pilih.”

Arya bangkit dan berjalan mendekat ke jendela, menatap malam yang semakin kelam. “Kalau kita bisa berhenti sekarang, apakah itu akan jadi keputusan yang benar?” tanyanya pelan, namun jelas terdengar lelah.

Aira hanya bisa menatapnya, sebuah rasa hampa memenuhi dadanya. “Aku nggak tahu,” jawabnya, suara itu begitu rendah, seolah ada sesuatu yang hilang dari dirinya. “Aku hanya ingin semuanya berhenti. Semua ini.”

Mereka berdua berdiri dalam diam, hanya ada suara detak jam yang melayang di udara. Waktu terus berjalan, dan mereka berdua semakin merasa seperti bagian dari cerita yang sudah usang. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa mereka tak pernah benar-benar memiliki pilihan.

Dan akhirnya, malam itu datang sebagai titik akhir yang terpaksa. Aira meraih tasnya, perlahan mengangkatnya dengan tangan yang berat. “Aku rasa… kita butuh waktu untuk berpikir. Untuk memutuskan apa yang kita inginkan,” katanya, suaranya sedikit bergetar.

Arya menatapnya satu kali lagi. Kali ini, tidak ada kata-kata, tidak ada harapan. Hanya ada dua jiwa yang tersesat dalam jalan yang tidak mereka pilih, dan saat itu, mereka memilih untuk berhenti mencari.

Aira melangkah keluar dari rumah itu dengan langkah yang tak pasti. Setiap langkahnya terasa seperti beban, namun hatinya tahu ini adalah jalan yang harus diambil. Mereka berdua sudah mencapai titik di mana cinta yang terpaksa itu tidak lagi bisa dipertahankan. Mereka adalah dua orang yang tidak pernah memilih untuk jatuh ke dalamnya, dan mungkin saatnya untuk memulai hidup mereka masing-masing.

Arya tetap berdiri di ruang tamu, menatap keluar jendela dengan pikiran yang kosong. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa yang bisa mereka lakukan setelah ini? Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban.

Namun, seperti halnya malam yang pasti akan berakhir dengan pagi, hubungan yang terpaksa ini pun akhirnya tiba di titik yang harus dilepaskan.

 

Jadi, gimana menurut kamu? Cinta yang dipaksa emang nggak pernah enak, kan? Terkadang kita cuma bisa berjalan di jalur yang udah ditentukan, tanpa bisa memilih. Tapi, yang penting, kadang melepaskan itu lebih baik daripada bertahan di situasi yang bikin hati nggak tenang.

Gimana kalau kamu juga pernah ngerasain hal yang sama? Pasti tahu banget kan, gimana rasanya? Semoga cerita ini bisa sedikit membuka mata, kalau cinta itu bukan hanya soal pilihan, tapi juga soal perasaan yang harus tumbuh dengan tulus.

Leave a Reply