Daftar Isi
Jadi, kamu pernah ngerasain nggak sih, suka sama seseorang yang nggak mungkin jadi milik kamu? Itu kayak ngerasa ada sesuatu yang nggak bisa kamu sentuh, cuma bisa diam-diam ngelihatnya dari jauh. Rian ngerasain itu, dan kali ini ceritanya tentang Rian yang terjebak dalam cinta terpendam sama kakak kelas.
Nggak bisa bilang, nggak bisa juga ngapa-ngapain. Cuma bisa ngeliat dia dari jauh, sambil senyum-senyum sendiri—yang kadang bikin hati bahagia, tapi lebih sering bikin galau parah. Kamu pasti ngerti kan, perasaan itu?
Cerpen Cinta Terpendam
Di Balik Meja Belakang
Pagi itu, seperti biasa, aku duduk di bangku belakang kelas, tepat di dekat jendela yang selalu memberikan angin segar dan sedikit pemandangan taman sekolah yang tenang. Langit masih biru cerah, dan di luar sana, sepertinya ada beberapa siswa yang sedang berlari mengejar waktu ke kelas, sementara aku… hanya duduk, menatap kosong ke luar. Aku tak terlalu peduli dengan keramaian itu, sebab pikiranku lebih sering teralihkan pada sesuatu yang tak pernah bisa kuungkapkan.
Mataku melirik ke depan, pada papan tulis yang penuh dengan rumus matematika. Tapi, aku merasa seperti itu hanya sekadar hiasan, karena pikiranku tak pernah benar-benar terfokus pada apa yang diajarkan di sana. Aku hanya bisa memandangi sosok yang duduk di meja depan kelas, yang selalu jadi pusat perhatian di setiap kesempatan. Vira. Kakak kelas 12 IPA yang selalu terlihat sempurna dalam setiap langkahnya.
Aku tahu betul bahwa ini adalah perasaan yang konyol. Aku hanya seorang siswi kelas 11 yang sering merasa canggung ketika berbicara dengan siapa pun, apalagi dengan orang sepopuler Vira. Dia selalu menjadi pusat perhatian di setiap ruangan, dan senyumnya… oh, senyum itu, yang seolah bisa menenangkan dunia. Siapa aku di matanya? Seorang gadis biasa, yang bahkan tak cukup berani untuk sekadar menyapa.
Pernah suatu kali, saat dia melewati mejaku, aku hampir tersedak karena degup jantungku yang begitu kencang. Aku hanya bisa menunduk, berusaha menghindari pandangannya. Tapi, entah kenapa, di balik rasa malu itu, aku merasakan semacam kebahagiaan kecil—hanya dengan melihatnya, aku merasa dunia ini jadi lebih terang. Meski aku tahu, aku takkan pernah menjadi bagian dari dunia itu.
Hari ini, seperti biasa, aku terdiam di mejaku, sibuk dengan buku catatan yang sepertinya lebih banyak berisi coretan dan gambar alih-alih pelajaran. Sesekali, pandanganku beralih ke arah Vira, yang sedang asyik berbicara dengan teman-temannya. Tertawa, mengeluarkan jokes ringan, dan membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Rasanya seperti ada sebuah aura yang mengelilinginya, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Tiba-tiba, tanpa diduga, aku mendengar suara lembut itu. “Hei, Rian!”
Aku menoleh, hampir kaget karena tidak menyangka dia akan menyapaku. Di depanku, Vira berdiri dengan senyum khasnya, rambut panjangnya yang sedikit bergelombang itu tergerai rapi, dan seragamnya yang selalu terlihat pas di tubuhnya yang ramping. Matanya yang besar menatapku dengan penuh harapan. Aku hanya bisa membekukan diri sejenak, merasa seolah-olah waktu berhenti, dan aku lupa bagaimana cara berbicara.
“A-Ada apa, Vira?” jawabku, suaraku terdengar lebih pelan dari yang aku inginkan. Aku berusaha untuk tidak terdengar canggung.
Dia tersenyum lebih lebar. “Bisa bantuin aku? Ada soal matematika yang nggak aku ngerti. Aku kira kamu bisa jelasin, deh.”
Tiba-tiba, seolah dunia kembali bergerak normal. Aku mengangguk, meskipun dalam hati aku merasa seperti ingin melompat karena terkejut sekaligus senang. “O… Oke, aku bisa bantuin,” kataku, berusaha menjaga ketenangan meskipun jantungku serasa hampir keluar dari dada.
Vira lalu duduk di sebelah meja, menoleh ke papan tulis dan menunjuk soal yang sedang dikerjakannya. “Ini soal yang bikin aku bingung banget, deh.”
Aku melihat angka-angka itu, mencoba untuk fokus. “Ini sih gampang. Kita mulai dari rumus dasar dulu ya,” ujarku pelan, mencoba tetap tenang meskipun aku tahu dia sedang mengamatiku. Perlahan, aku menjelaskan langkah demi langkah soal itu, dan dia mengangguk-angguk, memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutku.
Aku merasa sedikit canggung, namun ada kebahagiaan kecil di hatiku. Rasanya seperti ada semacam kedekatan yang terjalin, meski aku tahu ini hanya percakapan biasa tentang pelajaran. Aku memfokuskan diri pada soal-soal itu, berusaha memberikan penjelasan yang mudah dimengerti. Tangan Vira, dengan jari-jarinya yang ramping, menulis catatan dengan cepat, dan aku tak bisa mengabaikan bagaimana cara dia bergerak, bagaimana dia menyimak setiap kata dengan perhatian penuh.
“Aku ngerti sekarang,” kata Vira setelah beberapa menit, suara itu keluar dengan nada lega. “Thanks banget, Rian.”
Aku tersenyum malu. “Sama-sama, Vira. Kalau ada yang nggak ngerti lagi, bilang aja ya.”
Dia mengangguk sambil tersenyum, dan aku merasa seperti langit terhampar lebih cerah setelah senyum itu. “Iya, pasti! Kamu keren banget, Rian. Bisa bantuin aku kayak gini.”
Hatiku berdebar mendengar pujian itu, namun aku hanya bisa membalas dengan senyum sederhana. “Nggak kok, biasa aja.”
Vira berdiri dan melangkah kembali ke tempat duduknya, namun sebelum dia pergi, dia sempat menoleh lagi ke arahku. “Kalau ada tugas kelompok nanti, bisa banget aku ajak kamu, ya. Aku pikir kamu bisa jadi partner yang oke.”
Aku mengangguk dengan cepat, tak tahu harus berkata apa lagi selain, “Iya, pasti.”
Dengan senyuman yang seakan memberi cahaya pada hari itu, Vira kembali ke tempat duduknya. Aku tetap duduk terpaku, perasaan hangat mengalir dari dadaku. Rasanya, seperti baru saja diberi kesempatan untuk berada di dekatnya—walau hanya sebentar, walau hanya dengan hal kecil seperti itu.
Tetapi, aku tahu satu hal dengan pasti. Ini adalah saat-saat yang berharga bagi aku, meskipun aku tidak bisa berharap lebih dari sekadar ini. Cinta terpendamku tetap menjadi sesuatu yang hanya bisa aku simpan dalam hati, mengaguminya diam-diam, sambil berharap suatu hari nanti, dia akan melihatku lebih dari sekadar sosok yang ada di belakang kelas.
Senja yang Tersenyum
Hari itu, setelah bel kelas berbunyi, aku berjalan perlahan menuju ruang perpustakaan. Sebuah kebiasaan yang sudah mulai kujalani belakangan ini—menyendiri di antara tumpukan buku yang sepertinya bisa membawa aku jauh dari kenyataan. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang bisa melihat. Aku hanya ingin menikmati dunia yang sepi, tempat di mana aku bisa bersembunyi sejenak dari perasaan yang kadang terasa begitu mengganggu. Cinta terpendam ini terlalu berat untuk dipikul, dan aku lebih memilih menutupnya rapat-rapat.
Namun, ketika aku masuk ke perpustakaan, aku melihat seseorang yang tak asing di sana. Vira. Dia sedang berdiri di depan rak buku, tampak memilih buku-buku dengan penuh perhatian. Di sampingnya, ada teman-temannya yang sedang sibuk dengan obrolan mereka, tapi dia tampak tidak terlalu terlibat. Matanya berkeliling, mencari sesuatu.
Aku terdiam sejenak, berdiri di dekat pintu dengan ragu. Apakah aku harus mendekat? Atau justru pergi tanpa mengganggu? Aku menatapnya dalam diam, merasakan perasaan yang hampir selalu muncul ketika aku melihatnya. Rindu, bingung, dan keinginan yang tak terwujud. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk mendekat. Sekali saja, mungkin aku bisa melakukan sesuatu yang berbeda.
Aku mengangkat langkah, berjalan ke arah rak yang dekat dengannya. Tanpa aku duga, Vira menoleh dan melihatku. Senyumnya yang lembut langsung menyapa, seperti biasa.
“Rian, kamu juga ke sini?” tanyanya sambil melirik buku yang ada di tanganku. Aku yang kebingungan, hanya mengangguk. Aku memang sudah berniat mencari buku referensi untuk pelajaran sejarah, tapi sejujurnya, pertemuan ini terasa lebih dari sekadar itu.
“Iya, aku lagi cari buku,” jawabku pelan, sedikit terkejut dengan kenyataan bahwa dia bisa menyapaku di tempat seperti ini. Aku tak pernah menyangka pertemuan ini akan terjadi di perpustakaan yang sepi dan sunyi.
Vira tertawa pelan, nadanya ringan, penuh keceriaan. “Kamu suka baca buku sejarah juga ya? Aku baru baca tentang sejarah kerajaan Majapahit. Ternyata seru banget, loh!”
Mataku melirik sekilas ke rak buku yang ada di depan kami. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya aku harus memberi respon. “Aku juga pernah baca yang itu. Sejarah kerajaan Indonesia memang menarik, sih. Banyak banget pelajaran yang bisa dipetik.”
“Kamu benar, ya,” kata Vira, seolah menemukan teman bicara yang tepat. “Kadang aku suka ngerasa sejarah itu nggak cuma tentang masa lalu, tapi juga pelajaran buat masa depan.”
Aku tersenyum kecil, merasa seolah ada kecocokan di antara kami—meskipun hanya tentang sejarah yang tidak terlalu penting. Tapi, entah kenapa, setiap kali aku berbicara dengannya, aku merasa sedikit lebih tenang. Ada semacam ikatan yang terasa begitu nyata meskipun hanya dalam percakapan singkat.
“Kalau kamu ada waktu, kita belajar bareng deh,” katanya lagi dengan penuh semangat. “Aku butuh teman belajar. Aku tuh, kadang, gampang lupa sama detail-detail kecil.”
Aku terkejut dengan ajakan itu. “Kamu serius?”
Vira mengangguk cepat, senyum manis di wajahnya semakin lebar. “Iya, serius banget. Kamu nggak usah takut, kok. Aku yakin kamu pasti bisa bantuin.”
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Vira, si kakak kelas yang selalu terlihat sempurna dan cerdas, meminta bantuan dariku, yang bahkan masih merasa canggung jika harus bicara di depan kelas. Namun, entah kenapa, aku merasa perasaan itu justru menjadi momen yang tak terduga, yang harus kuterima dengan senang hati.
“Baiklah, kalau gitu, kita atur waktunya ya,” jawabku pelan, berusaha agar suaraku tetap terdengar tenang. Meski jantungku berdebar kencang, aku mencoba menjaga perasaan itu dalam diam.
“Yey! Aku nggak sabar,” kata Vira, dan matanya bersinar. “Kamu orang yang asyik, Rian.”
Aku tersenyum, sedikit malu. Aku merasa seperti ini adalah hadiah besar yang datang begitu tiba-tiba. Mungkin, hanya pertemuan sederhana yang tak lebih dari sekadar belajar, namun bagiku, ini adalah hal yang luar biasa. Aku bisa menghabiskan waktu bersamanya, meski hanya untuk hal kecil. Itulah yang aku inginkan—berada dekat dengannya, menikmati setiap momen, bahkan jika itu hanya tentang buku dan pelajaran.
Setelah itu, Vira kembali menghabiskan waktunya dengan teman-temannya, sementara aku berdiri di sana, berpikir tentang apa yang baru saja terjadi. Apakah ini sebuah kebetulan? Atau mungkin, aku terlalu banyak berharap? Namun, untuk saat ini, aku memilih untuk menikmati setiap detiknya, meskipun aku tahu betul bahwa antara kami ada jarak yang tidak mudah untuk dihilangkan.
Saat aku berjalan keluar dari perpustakaan, mataku masih tertuju pada sosoknya yang sedang berbicara dengan teman-temannya, dan aku merasa sesuatu bergetar dalam dadaku. Keinginan yang semakin kuat untuk berada dekat dengannya, meskipun aku tahu bahwa jalan yang kami tempuh mungkin tidak akan pernah sejajar. Namun, setidaknya untuk saat ini, aku memiliki harapan kecil yang tumbuh di dalam hati.
Langkah yang Tersandung
Beberapa hari setelah itu, waktu terasa berlalu dengan cepat. Kami bertemu beberapa kali di perpustakaan—belajar bersama, meskipun lebih banyak ngobrol santai daripada benar-benar fokus pada pelajaran. Namun, itu tidak masalah. Setiap percakapan dengannya selalu terasa istimewa, dan aku mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman belajar yang biasa.
Hari itu, aku dan Vira duduk di meja yang sama. Aku sedang menatap buku, mencoba untuk memahami materi yang harus kuhadapi minggu depan, tapi pikiran aku malah melayang ke tempat lain—ke sosoknya yang ada di hadapanku. Dia sedang sibuk menulis sesuatu di bukunya, dan sesekali menatapku dengan tatapan yang tampaknya penuh pertanyaan, seperti sedang menunggu aku untuk berkata sesuatu.
“Rian, kamu lagi mikirin apa?” tanyanya sambil tersenyum kecil, wajahnya sedikit miring karena kebingungannya.
Aku terkejut, langsung mengangkat pandangan dari bukuku. “Ah, nggak apa-apa. Cuma… sedikit ngelamun.”
Vira tertawa pelan, suaranya lembut, namun penuh kehangatan. “Kamu tuh sering banget kelihatan bingung, padahal wajah kamu tuh keren. Harusnya lebih sering senyum.”
Aku hanya bisa tersenyum kecut, tak tahu bagaimana menjawabnya. Aku merasa terjebak antara perasaan yang tidak bisa kutunjukkan dan kenyataan yang mengikatku di tempat ini. Senyum itu, kata-kata itu, semuanya terasa sangat menyenangkan—tapi, pada saat yang sama, terasa menyesakkan.
“Serius, kamu harus lebih sering senyum. Terlalu banyak mikir itu nggak baik, loh,” lanjut Vira dengan nada serius, tapi matanya masih penuh tawa.
Aku mengangguk pelan, berusaha tersenyum, meski sedikit canggung. “Aku coba, deh. Tapi, senyuman itu… kayaknya lebih bagus kalau ada alasan, gitu.”
Vira menatapku lama, seperti sedang mencoba memahami kata-kataku. “Alasan? Hmm… jadi senyum kamu itu kalau ada alasan? Kalau gitu, aku harus cari cara biar kamu sering senyum, dong.”
Mataku langsung terfokus pada kalimat itu. Sebuah harapan kecil yang datang begitu saja. Tapi, aku cepat-cepat mengusirnya. Jangan berlebihan, Rian. Ini hanya percakapan biasa. Apa yang terjadi setelah ini tetaplah terjaga dalam batas yang seharusnya.
“Yah, mungkin aku akan senyum lebih sering kalau ada alasan yang kuat, gitu…” jawabku dengan nada bercanda, berusaha menyembunyikan betapa berdebar-debarnya aku.
Vira tampaknya tidak terlalu memperhatikan kecanggungan yang ada, malah dia tertawa ringan lagi. “Tapi kalau gitu, aku nggak bisa terus terang kalau aku cuma pengen lihat senyum kamu. Soalnya… itu bakal jadi alasan pribadi banget.”
Aku menelan ludah, tersadar dari kata-katanya. Tiba-tiba, suasana jadi agak tegang. Apa maksudnya dengan kalimat itu? Aku berusaha menenangkan diri, mencoba untuk tidak terlalu berharap.
“Apa maksudnya, Vir?” tanyaku, suara ku sedikit tertahan.
Vira hanya tersenyum, tetapi senyumnya kali ini sedikit lebih misterius. Dia tidak menjawab dengan cepat, malah menatap ke luar jendela perpustakaan yang menghadap ke lapangan. Angin sore itu berhembus lembut, menggoyangkan daun-daun pohon yang ada di luar.
Aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan yang tak terungkapkan, entah oleh dia atau oleh aku. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu ada, tapi muncul begitu saja di tengah kebersamaan yang sederhana ini.
Tanpa sadar, aku mendesah pelan. “Aku nggak tahu, Vira. Aku cuma… kadang merasa semua ini terlalu rumit.”
Vira menoleh padaku, wajahnya serius, namun mata penuh pengertian. “Rian, jangan pernah bilang kalau kamu merasa rumit. Semua hal di dunia ini tuh nggak selalu harus rumit. Terkadang, kita hanya perlu mengambil langkah kecil untuk membuat semuanya terasa lebih mudah.”
Aku menatapnya, merasakan getaran lembut dari kata-katanya. Mungkin dia benar. Mungkin aku terlalu takut untuk mengambil langkah itu—langkah yang bisa mengubah segalanya. Aku menginginkannya, tentu saja. Tapi, apakah itu benar-benar yang aku inginkan?
Kami duduk diam sejenak, hanya ada suara jarum jam yang berputar perlahan dan suara pernapasan kami yang saling bertautan. Aku menatap Vira, dan di matanya, aku bisa melihat sebuah harapan yang sama kuatnya. Ataukah itu hanya halusinasi? Sesuatu yang aku ciptakan dalam pikiranku?
“Apa kamu pernah merasa… ingin memiliki sesuatu yang nggak bisa kamu miliki?” tanyaku akhirnya, tanpa tahu arah percakapan ini.
Vira terdiam, lalu mengangguk perlahan. “Pernah. Semua orang pasti punya keinginan yang nggak bisa terwujud. Tapi itu nggak berarti kita nggak bisa bahagia dengan apa yang ada. Terkadang, kebahagiaan itu datang dari cara kita melihat sesuatu.”
Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku merasa seperti itu sekarang—terus menginginkan sesuatu yang tidak bisa kugapai. Tetapi aku hanya tersenyum dan mengangguk. “Iya, kamu benar. Kadang kita harus bahagia dengan apa yang kita punya.”
Perpustakaan semakin sepi, hanya kami berdua yang masih duduk di sana. Tiba-tiba, Vira meletakkan buku sejarah yang tadi dia pegang di meja. “Kamu tahu, Rian, kadang yang kita perlukan hanya keberanian untuk menerima kenyataan. Tak perlu terlalu khawatir tentang apa yang belum terjadi.”
Aku tidak tahu apakah itu sebuah isyarat atau hanya kata-kata biasa. Tapi satu hal yang pasti, saat aku duduk di sana bersamanya, aku merasa ada ketenangan yang sulit dijelaskan. Keinginan untuk lebih dekat, namun juga rasa takut akan perasaan yang semakin dalam. Apakah ini langkah pertama menuju kebahagiaan? Atau justru langkah menuju penyesalan yang tak terhindarkan? Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, aku ingin terus berada di dekatnya, setidaknya untuk beberapa saat lagi.
Menatap Langit yang Sama
Hari-hari setelah percakapan itu berlalu, semuanya terasa seperti melaju begitu cepat. Setiap detik yang aku habiskan bersama Vira terasa berharga, meskipun aku tahu bahwa ada batas yang harus dijaga, ada perasaan yang tak bisa diungkapkan. Perasaan yang aku simpan dalam hati, jauh di sudut yang paling dalam. Aku tahu bahwa apa yang aku rasakan—perasaan yang semakin kuat—tak akan pernah bisa terbalas. Setidaknya, tidak dengan cara yang aku inginkan.
Minggu itu, seperti minggu-minggu lainnya, aku menemukan diriku di meja perpustakaan, memandang buku-buku yang terbuka di hadapanku tanpa benar-benar membacanya. Vira duduk di seberangku, tenggelam dalam catatan yang dia tulis dengan tekun. Kadang-kadang, dia melirikku dengan senyum kecil, seperti dia tahu aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri. Dia tahu. Dan itu membuat semuanya semakin rumit.
“Aku rasa kita harus mulai bekerja lebih keras lagi,” ujar Vira sambil mengerutkan kening, matanya beralih dari bukunya ke mataku. “Nggak bisa terus-terusan belajar tanpa arah, kan?”
Aku tersenyum tipis, mencoba meredakan kegelisahan yang masih menggelayuti dadaku. “Iya, kamu benar. Kita memang harus lebih serius.”
Vira menyandarkan punggungnya di kursi, lalu menatap langit-langit perpustakaan dengan pandangan kosong. “Kadang, aku merasa kita semua sedang berlari mengejar sesuatu yang nggak pasti,” katanya pelan, hampir seperti gumaman.
Aku menatapnya, merasa ada sesuatu yang tersirat di balik kata-katanya. “Apa maksud kamu?”
Vira menghela napas dan akhirnya menoleh padaku. “Kamu tahu, Rian, aku nggak ingin ini berlarut-larut. Kita bisa jadi teman, nggak perlu ada yang lebih dari itu. Aku nggak ingin kita saling terluka karena hal yang nggak jelas.”
Aku merasa dadaku sesak mendengar itu. Itu bukan hal yang ingin aku dengar. Aku ingin ada lebih dari sekadar teman. Aku ingin lebih, meskipun aku tahu itu hanya mimpi.
“Tapi, kadang aku merasa kita sudah cukup dekat, kan?” kataku pelan, mencoba mempertahankan suara yang tidak goyah. “Maksud aku… kita bisa saling mengandalkan, kan?”
Vira terdiam beberapa saat, matanya menatapku dengan intens. “Kita memang dekat. Tapi kadang… kedekatan itu bisa bikin kita lupa kalau ada hal-hal yang nggak bisa kita lewati,” jawabnya, suaranya mengandung kejujuran yang sulit diungkapkan.
Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan lagi. Perasaan yang ada semakin membingungkan, semakin sulit dimengerti. Aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan itu—perasaan yang semakin besar seiring berjalannya waktu—tapi sekarang, aku merasa seolah aku berada di ujung jurang yang tidak bisa kuturuni atau kutanjaki.
“Apa kamu nggak merasa… mungkin kita bisa mencoba melihat ini dari sisi lain?” tanyaku, hampir berbisik. “Kadang, kita nggak tahu kemana arah kita, tapi kita selalu berjalan bersama.”
Vira menatapku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan, lalu perlahan-lahan mengangguk. “Mungkin. Tapi, kita harus belajar menerima kenyataan bahwa kadang, ada hal-hal yang memang nggak bisa kita kontrol.”
Aku diam, mencoba mencerna kata-katanya. Semua yang kami bicarakan terasa seperti sebuah perpisahan yang tidak diucapkan. Seperti ada sesuatu yang harus diakhiri, meskipun kami tidak ingin mengatakannya.
Waktu terasa begitu lambat, seolah-olah setiap detik adalah kenangan yang terlewat begitu saja. Aku melihat Vira dengan pandangan yang penuh keraguan. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah aku akan merasa lebih baik jika aku melepaskannya, atau justru aku akan semakin tenggelam dalam perasaan yang tak pernah terungkap?
Ketika aku melihatnya sekali lagi, aku menyadari sesuatu yang penting—bahwa, meskipun aku tidak bisa memilikinya, aku selalu ingin melihatnya bahagia. Itu sudah cukup.
“Apa pun yang terjadi, Rian, aku akan tetap menghargai semua yang sudah kita lalui,” ujar Vira, suaranya lembut namun tegas.
Aku hanya bisa tersenyum, meski hati ini terasa begitu berat. “Aku juga, Vira. Aku juga.”
Kami duduk diam untuk beberapa lama, masing-masing tenggelam dalam pikiran kami sendiri. Di luar jendela, langit sore berwarna merah muda, menandakan bahwa hari akan segera berakhir. Begitu juga dengan perasaan ini—akan segera berakhir, meskipun aku tidak ingin mengakui kenyataan itu.
Aku melangkah pergi dari perpustakaan itu, dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya. Tapi aku tahu, ini adalah langkah yang benar. Aku akan terus mengingat Vira, dan meskipun aku tidak bisa memilikinya, aku tahu bahwa aku akan tetap bahagia karena pernah mengenalnya.
Kadang, cinta bukan tentang memiliki. Tapi tentang bisa menghargai, meskipun itu hanya dalam diam.
Jadi, meskipun Vira nggak bisa jadi punya Rian, Rian sadar kalau cinta itu nggak selalu soal memiliki. Kadang, cuma ngelihat orang yang kita suka bahagia aja udah cukup. Walau perasaan itu tetap ada, tapi Rian udah belajar untuk lebih menghargai momen yang kita punya.
Siapa tahu, di masa depan, Rian bakal ngerti kenapa semuanya berjalan seperti ini. Dan untuk sekarang, Rian cuma bisa senyum, karena meskipun nggak bisa punya, setidaknya Rian pernah merasakannya. Cinta yang terpendam, yang mungkin nggak pernah terungkap, tapi tetap ada, di hati.