Daftar Isi
Terkadang, kita baru sadar betapa berharganya sesuatu ketika itu sudah pergi. Entah karena kita terlalu lama menunggu, atau malah terlalu takut untuk mengambil langkah. Hujan di bulan Juli seakan jadi saksi dari setiap penyesalan yang datang terlambat.
Kisah cinta yang nggak sempat dimulai, dan kata-kata yang terbungkam karena ketakutan. Kalau kamu pernah merasa seperti itu, mungkin cerpen ini bakal bikin kamu mikir dua kali tentang keputusan yang pernah kamu buat, dan mungkin juga, keputusan yang gagal kamu ambil.
Cerpen Cinta Terlambat
Rintik yang Mengingatkan
Hujan di bulan Juli selalu memiliki rasa yang berbeda. Entah kenapa, rintikan air yang jatuh dari langit selalu terasa lebih tajam, lebih mengiris. Mungkin karena di setiap tetesnya ada kenangan yang terperangkap, ada kisah yang tak pernah bisa hilang, meskipun aku berusaha untuk melupakan. Aku berdiri di balik jendela kamarku, menatap hujan yang semakin deras mengguyur kota, dan semuanya terasa sama saja. Sama seperti dulu, saat kita masih berbicara setiap hari, tanpa ada jarak di antara kita.
Dulu, aku sering memandangmu dari kejauhan. Setiap langkah yang kau ambil, setiap gerakan tubuhmu, selalu membuat hatiku berdegup lebih cepat. Tapi aku terlalu bodoh untuk mengakui apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku selalu berpura-pura biasa saja, seperti tidak ada yang istimewa. Padahal, perasaan itu sudah menguasai diriku sejak lama. Aku hanya takut menghadapinya.
Hari itu, aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang selalu membuatku merasa tenang—halaman rumahmu. Entah kenapa, aku merasa seperti harus ke sana, seperti ada sesuatu yang mendesakku untuk datang. Mungkin hujan yang turun ini adalah pertanda, aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku sudah tidak bisa menahan diri lagi.
Aku melihatmu di sana, berdiri di bawah pohon besar, tertawa bersama seseorang. Seorang laki-laki yang tidak aku kenal. Aku memicingkan mata, mencoba untuk melihat siapa dia. Entah kenapa, melihat kalian bersama seperti itu, aku merasa seperti dinding-dinding sekitarku runtuh perlahan. Apa yang salah dengan diriku? Kenapa aku tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya aku rasakan?
“Kau datang?” suaramu terdengar, dan aku sadar kau sudah melihatku berdiri di sana, mematung di balik pohon yang lebih kecil.
Aku mencoba tersenyum, meskipun rasanya tidak ada senyum yang bisa aku paksakan. “Iya,” jawabku pelan, berusaha terdengar santai, meskipun perasaanku sebaliknya. “Hujan lagi.”
Kau tertawa ringan. “Kau memang selalu datang kalau hujan, ya?”
Aku tidak bisa menjawab. Kau memang selalu tahu itu, bukan? Aku memang selalu datang setiap kali hujan turun. Aku datang ke tempat yang sama, menunggu sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa. Mungkin aku menunggu jawaban, mungkin aku menunggu keberanian yang tidak pernah datang.
“Ada apa, Nadir?” tanyamu, sedikit khawatir melihatku diam saja. Aku tahu kau tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya ada di dalam pikiranku. “Kamu kelihatan aneh.”
Aku menatapmu, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku… cuma ingin bicara,” jawabku akhirnya, suara itu terdengar lebih lemah dari yang aku inginkan.
“Biasanya kalau kamu ngomong, pasti ada yang aneh,” kau bercanda. Tapi aku tahu, di balik candaan itu, ada sesuatu yang kau lihat. Sesuatu yang berbeda dari biasanya. Kau selalu bisa melihat apa yang ada di dalam diriku, meskipun aku berusaha untuk menyembunyikannya.
Aku melangkah lebih dekat, mendekatimu yang kini berdiri sendiri di bawah pohon. Semua yang ada di sekelilingku seakan menghilang. Hujan, angin, suara mobil yang lewat—semuanya hilang. Yang ada hanya kau, Ayana. Hanya senyumanmu, yang membuat jantungku berdegup kencang. Tapi aku tetap diam. Aku tidak bisa berkata apa-apa.
“Kenapa sih, Nadir?” tanya kamu, kali ini lebih serius. “Kamu terlihat aneh banget. Ada yang salah?”
Aku ingin menjawab. Aku ingin sekali mengatakannya, mengungkapkan semua perasaanku yang selama ini terpendam. Tapi kata-kata itu tidak keluar. Aku merasa seperti ada sesuatu yang menahan bibirku. Aku merasa seperti orang bodoh yang tak punya keberanian. Takut, bahkan untuk mengatakan satu kalimat sederhana.
“Kau tidak apa-apa?” tanyamu lagi, lebih pelan, seolah mencoba membacaku. “Aku khawatir, Nadir.”
Aku menggeleng, berusaha menenangkanmu. “Aku… aku baik-baik saja,” jawabku, meskipun suara itu terdengar tidak meyakinkan. Aku tahu, Ayana, kau bisa melihat ketidakberesan dalam diriku. Aku tahu kau tahu ada yang salah. Tapi aku hanya bisa diam.
“Kamu nggak harus jadi kuat terus, Nadir. Kamu bisa ngomong kalau ada yang mengganggu,” katanya, memandangku dengan tatapan yang penuh perhatian.
Aku menunduk, mencoba menahan rasa sakit yang mulai menghimpit dadaku. “Aku cuma nggak tahu harus bilang apa,” jawabku akhirnya, suara itu bergetar. “Aku cuma… Aku cuma takut.”
“Takut?” Kau menatapku bingung, tetapi ada sedikit kekhawatiran yang muncul di matamu. “Takut sama apa, sih?”
Aku menatapmu lama, menahan diri agar tidak menangis di depanmu. Tapi kenapa aku merasa begitu rapuh? Kenapa rasa takut ini menggerogoti diriku setiap kali aku memandangmu?
“Ayana,” aku mulai, suaraku hampir tenggelam oleh gemuruh hujan yang semakin deras. “Aku takut kehilanganmu.”
Aku melihat ekspresimu berubah, seperti mendengar kata-kata itu bukan dari seseorang yang biasa kamu kenal. Matamu membelalak sedikit, terkejut, tapi aku tidak bisa berhenti. Aku harus mengatakannya, meskipun itu sudah terlambat.
“Aku takut kalau aku nggak bisa lagi ada di sini buat kamu. Aku takut… aku takut kita nggak akan pernah bisa jadi lebih dari sekadar teman.”
Kau terdiam sejenak, seperti mencerna apa yang baru saja aku katakan. Tetesan hujan yang jatuh dari atap terdengar lebih keras, lebih jelas. Seolah menekankan setiap kata yang terlontar dari bibirku.
“Aku nggak tahu harus jawab apa, Nadir,” akhirnya kamu berkata, suaramu lebih pelan dari sebelumnya. “Aku nggak tahu kalau kamu merasa seperti itu.”
Aku tahu. Aku tahu ini adalah kesalahan besar. Aku tahu aku terlambat. Aku tahu, mungkin, sudah tak ada lagi yang bisa dilakukan.
Dan saat itulah aku menyadari, hujan di bulan Juli itu bukan hanya hujan biasa. Ia membawa semua penyesalan yang selama ini aku sembunyikan dalam hati. Dan aku hanya bisa berdiri di sana, menunggu hujan yang tak akan pernah berhenti.
Di Bawah Pohon yang Sama
Keesokan harinya, hujan tidak juga berhenti. Aku berjalan menyusuri trotoar yang masih basah, mengenakan jaket lusuh yang rasanya tidak mampu menghalau dinginnya. Hati ini lebih dingin dari angin yang berhembus, dan lebih berat dari langit yang terus mengerang. Setiap langkahku terasa lambat, seolah-olah ada beban yang tidak bisa aku lepas, apalagi setelah perbincangan kemarin. Aku tidak tahu apa yang kuharapkan—apakah aku hanya ingin mendengar kata-kata penghiburan darimu atau justru aku mencari cara agar bisa menghapus perasaan ini dengan cepat. Aku tidak tahu lagi.
Di seberang jalan, sebuah kedai kopi kecil terlihat hangat dengan cahaya kuning di jendela. Aku melangkah masuk, tanpa tujuan, hanya berharap bisa mengalihkan pikiranku yang semakin kacau. Aku duduk di sudut, memesan kopi hitam yang terasa lebih pahit dari biasanya. Mungkin itu yang aku butuhkan, sedikit kepahitan untuk menenggelamkan segala rasa yang mengganggu.
Sekitar sepuluh menit setelah aku duduk, pintu kedai terbuka, dan kamu masuk. Ayana. Kamu yang selalu tahu kapan aku merasa tertekan, kapan aku butuh waktu untuk sendiri, tapi juga tahu kapan harus datang. Aku menunduk, berusaha menutupi kekhawatiranku, tapi aku tahu kamu sudah melihatku.
“Kenapa nggak bilang kalau lagi di sini?” suaramu memecah keheningan, penuh rasa penasaran.
Aku menatapmu sejenak, lalu tersenyum kecut. “Aku nggak tahu harus ngomong apa, Ayana,” jawabku jujur. “Aku cuma… butuh waktu buat sendiri.”
Kamu menarik kursi dan duduk di depanku tanpa ragu. Wajahmu tetap tenang, tapi aku bisa melihat ada keinginan yang kuat dalam matamu untuk memahami apa yang aku rasakan. Namun, aku tahu, semakin lama kita berbicara, semakin aku merasa terjebak dalam kebisuan yang tidak pernah bisa aku utarakan dengan kata-kata.
“Kau tahu,” kata-katamu terdengar pelan, seolah-olah menimbang setiap kata. “Kadang kita semua merasa kebingungan. Tidak tahu apa yang sebenarnya kita inginkan atau kita butuhkan. Tapi itu nggak bisa dihindari. Kita harus belajar terima.”
Aku menatapmu, merasa seperti ada yang berguncang dalam diriku. “Tapi aku nggak bisa terima, Ayana. Aku nggak tahu gimana caranya terima semuanya setelah… setelah semua yang terjadi.”
Kamu menatapku lama, seperti mencerna kata-kataku. “Apa yang terjadi, Nadir?”
Aku menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. Setiap kata yang aku ucapkan terasa seperti pedang yang menusuk perlahan. “Kemarin… waktu aku bilang aku takut kehilanganmu, aku rasa itu sudah terlambat. Aku tahu aku terlalu lama diam, terlalu takut untuk ngomong, dan sekarang aku jadi bodoh karena baru sekarang mau ngomong.”
Ayana menghela napas panjang, lalu mengangkat gelas kopi yang baru saja ia pesan. “Kamu nggak bodoh, Nadir,” katanya pelan. “Kita semua punya waktu kita masing-masing buat sadar akan sesuatu. Terkadang, kita baru bisa ngertiin hal itu setelah terlalu banyak waktu yang hilang.”
Aku meremas gelas kopi yang ada di tanganku, merasa semakin cemas. “Tapi, aku nggak bisa gini terus, Ayana. Aku nggak tahu kalau kamu… kalau kamu nggak pernah ngerasain hal yang sama.”
Kamu terdiam, dan aku bisa melihat ekspresi yang sulit diungkapkan di wajahmu. Ada keheningan yang membungkus kita berdua, dan dalam keheningan itu aku merasa semakin terjepit. Seharusnya aku tidak mengatakannya. Seharusnya aku menunggu lebih lama, menunggu sampai aku benar-benar tahu apa yang aku rasakan.
“Kenapa kamu nggak bilang dari dulu, Nadir?” kata-katamu akhirnya pecah, dan rasanya itu lebih berat dari apa pun yang aku dengar. “Kenapa nggak sekarang, setelah semuanya berubah? Kalau aku bisa merasain hal yang sama, mungkin aku sudah bisa memberi jawabannya. Tapi sekarang… aku nggak tahu.”
Aku terdiam. Kalimat itu lebih tajam dari yang aku bayangkan. Seharusnya aku tahu bahwa semuanya sudah terlambat. Kenapa aku tidak bisa sadar lebih cepat? Kenapa aku harus berlarut-larut dengan perasaan yang tidak pernah aku ungkapkan? Sekarang, aku hanya bisa merenung dalam kegelisahan.
“Ayana, aku… aku nggak tahu harus gimana. Aku merasa seperti orang bodoh,” aku berkata dengan suara bergetar. “Aku sudah lama membiarkan ini ada tanpa melakukan apa-apa.”
Kamu menghela napas lagi, kali ini lebih dalam, seperti mencoba memberi ruang bagi perasaan kita berdua. “Nadir,” katanya dengan lembut, “kita nggak bisa memaksakan sesuatu yang tidak bisa terjadi. Kita nggak bisa terus hidup dengan penyesalan. Ini bukan tentang siapa yang salah atau siapa yang benar. Ini tentang waktu yang kita punya.”
Aku tahu, pada saat itu, kita sudah berada di titik yang berbeda. Seperti hujan yang tak berhenti, kita terjebak dalam keadaan yang tidak bisa diubah. Aku ingin berteriak, ingin memohon agar segala sesuatunya bisa kembali seperti dulu, namun aku tahu itu mustahil. Aku terlalu takut, terlalu bodoh untuk menghadapinya lebih awal.
Ketika aku melihatmu untuk terakhir kalinya sebelum kamu pergi, aku merasakan jarak yang semakin lebar. Aku tahu, setelah ini, kita tidak akan pernah bisa kembali seperti sebelumnya. Mungkin, kita hanya akan menjadi kenangan dalam satu bagian kehidupan yang tak pernah terulang lagi.
Dan saat itu, hujan di bulan Juli tidak lagi terasa seperti penyejuk. Ia menjadi pengingat bahwa segala sesuatu yang terlambat, akhirnya hanya akan tinggal sebagai bayangan yang tak bisa digapai lagi.
Hujan yang Menghantui
Sudah seminggu sejak aku melihat Ayana terakhir kali di kedai kopi itu. Hari-hariku seperti berjalan tanpa arah, terombang-ambing dalam rutinitas yang semakin terasa kosong. Hujan di bulan Juli itu tak juga berhenti, seolah-olah cuaca pun mengerti betapa hancurnya aku. Aku tidak tahu apa yang lebih berat, rasa sakit hati atau kenyataan bahwa aku sudah terlambat untuk mengubah segalanya.
Pagi itu, aku berjalan menembus hujan, meskipun tubuhku sudah basah kuyup. Setiap langkah terasa begitu berat, seperti bebannya lebih dari sekadar tubuhku. Aku memaksakan diri menuju tempat yang sudah lama tidak aku kunjungi: taman dekat rumah kami. Tempat itu selalu menjadi pelarian, tempat di mana aku bisa merenung tanpa ada yang mengganggu.
Saat tiba di taman, aku duduk di bangku yang masih basah oleh hujan, berusaha menenangkan diri. Pikiranku terus berputar. Tentang Ayana, tentang kata-kata yang seharusnya aku ucapkan, tentang keberanian yang seharusnya aku miliki jauh sebelum semua ini terjadi. Namun, semuanya terasa sia-sia. Aku tidak bisa memutar waktu. Aku sudah menghilangkan kesempatan itu.
Aku meremas tangan, merasa cemas dan frustasi. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caranya agar semua ini tidak terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir?
Tidak lama kemudian, sebuah suara memecah keheningan. “Kamu datang ke sini buat apa, Nadir?”
Aku menoleh dengan cepat, dan di sana, berdiri Ayana, mengenakan jaket biru gelap yang tampak hangat, rambutnya yang sudah sedikit basah terguyur hujan meneteskan air. Matanya memandangku dengan tatapan yang berbeda, seperti ada keheningan dalam diri yang bahkan tidak bisa aku pahami.
“Ayana,” aku berkata dengan suara serak. “Kenapa kamu datang ke sini? Aku… aku nggak ingin bertemu kamu.” Suaraku bahkan terasa lebih rendah dari biasanya.
Ayana tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatapku sejenak, sebelum akhirnya duduk di sampingku dengan perlahan. “Kamu nggak bisa terus lari, Nadir,” katanya, suara yang pelan namun penuh makna.
Aku menggigit bibir, berusaha menahan perasaan yang begitu membebani. “Aku nggak tahu harus gimana, Ayana,” jawabku pelan, suara hampir tak terdengar. “Aku cuma merasa seperti orang bodoh yang baru nyadar setelah semuanya terlambat.”
Dia terdiam beberapa saat, lalu berkata lagi, “Aku tahu. Aku juga merasa itu. Tapi, ini bukan tentang siapa yang bodoh atau siapa yang benar. Ini tentang kita berdua yang saling kehilangan kesempatan, Nadir.”
Aku menundukkan kepala, memeluk lututku erat. Hujan semakin deras, dan aku hanya bisa mendengar suara air yang jatuh ke tanah. Seperti setiap tetes hujan itu adalah jeritan hatiku yang tak bisa lagi aku tahan. Aku ingin berteriak, tapi aku tahu itu tidak akan mengubah apa pun.
“Aku tahu kamu kecewa,” lanjut Ayana dengan lembut. “Aku juga kecewa. Tapi aku nggak bisa hidup dengan perasaan yang tidak pasti, dengan rasa sakit yang nggak pernah kita obrolin. Kita semua punya waktu kita masing-masing untuk sadar, dan aku nggak bisa terus hidup dengan penyesalan.”
Aku menatapnya dengan kesedihan yang mendalam. “Aku ingin memperbaiki semuanya, Ayana. Tapi aku takut… Aku takut kalau kita nggak bisa kembali seperti dulu. Aku takut kalau aku nggak bisa membuatmu merasa sama seperti aku merasa.”
Ayana menatapku dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada kesedihan di sana, tapi juga pemahaman yang sangat dalam. “Nadir, kita nggak bisa hidup dalam bayang-bayang seperti itu. Kita nggak bisa berharap waktu bisa kembali. Mungkin ini bukan tentang kita berdua lagi. Mungkin ini tentang bagaimana kita belajar melepaskan dan menerima kenyataan.”
Aku merasa dadaku sesak, dan rasanya seperti ada beban yang sangat berat di sana. Aku menunduk lagi, mencoba mencerna kata-katanya, mencoba menerima kenyataan yang seharusnya sudah aku terima lebih dulu. Aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Aku tidak bisa mengembalikan waktu.
“Ayana, apa… apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?” tanyaku dengan suara penuh keraguan. “Maksudku, aku tahu aku nggak cukup berani untuk mengungkapkan semuanya sebelumnya, tapi apakah ini berarti kita sudah benar-benar selesai?”
Dia menghela napas panjang, dan dalam matanya aku bisa melihat ada sesuatu yang hilang, seperti ada bagian dari dirinya yang ia tinggalkan bersama kenangan kita. “Kadang, kita harus melepaskan, Nadir. Bukan karena kita nggak lagi peduli, tapi karena kita tahu ada saatnya kita harus berhenti berharap hal yang nggak mungkin. Aku nggak bisa terus hidup dengan perasaan yang tidak pasti. Aku nggak bisa terus berharap sesuatu yang nggak akan pernah terjadi.”
Aku terdiam. Kata-kata itu seperti pisau yang menancap dalam-dalam, lebih dalam dari yang aku bayangkan. Mungkin, ini benar-benar sudah berakhir. Aku sudah kehilangan kesempatan itu, dan sekarang aku hanya bisa meratapi apa yang sudah hilang.
“Ayana,” bisikku pelan, “Aku benar-benar minta maaf.”
Dia tersenyum tipis, meskipun ada kesedihan yang sangat dalam di balik senyuman itu. “Kadang minta maaf nggak cukup, Nadir. Tapi aku ngerti… aku ngerti kamu nggak bisa mengubah apa yang sudah terjadi.”
Aku hanya bisa menunduk, tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Hujan semakin deras, dan sepertinya kita berdua tahu, bahwa tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Kita hanya bisa duduk di sini, membiarkan hujan mencuci semua penyesalan dan memisahkan kita selamanya.
Ketika Ayana berdiri untuk pergi, aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang juga ikut pergi bersamanya. Aku tahu ini adalah akhir, meskipun aku tidak ingin mengakuinya. Aku hanya bisa berharap, meskipun semuanya terlambat, hujan ini bisa menghapus semua rasa sakit yang tidak pernah bisa aku ungkapkan.
Dan begitu dia pergi, hujan yang terus mengguyur terasa semakin sunyi.
Hujan yang Mengakhiri
Aku masih duduk di bangku itu, memandangi tubuh Ayana yang semakin menjauh. Hujan semakin deras, tapi aku tidak merasa apa-apa lagi selain keheningan yang menyesakkan. Dunia di sekitarku seakan memudar, hanya suara tetesan air hujan yang terus mengisi ruang kosong yang tiba-tiba terasa sangat besar.
Ayana pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Tidak ada kata-kata perpisahan, tidak ada pelukan yang bisa menyembuhkan, hanya langkah-langkahnya yang semakin jauh. Aku mencoba menahan perasaan yang bergejolak, tapi rasanya tak ada gunanya. Penyesalan ini terlalu besar, terlalu dalam, dan aku sudah kehabisan kata-kata.
Aku hanya bisa menatap hujan, mencoba merasakan setiap tetes yang jatuh ke wajahku, berharap sedikit saja bisa menghapus rasa sakit ini. Tapi kenyataannya, hujan hanya membuatku semakin merasa kosong. Mungkin aku sudah terbiasa hidup dalam penyesalan, hidup dalam bayang-bayang pilihan yang salah. Dan sekarang, aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri: apakah aku akan terus seperti ini, hidup dengan ingatan yang menyakitkan?
Aku menarik napas panjang, menunduk, dan meremas dada seperti mencoba menahan rasa yang begitu berat. Tapi kenyataannya, aku tahu aku tak bisa menahan apapun lagi. Aku sudah kehabisan cara untuk mengubah apapun. Semua yang aku takutkan telah terjadi. Aku kehilangan Ayana, kehilangan kesempatan itu, dan tak ada yang bisa mengembalikannya. Aku terlalu lama ragu, terlalu lama tidak berani, dan kini, saat aku akhirnya sadar, semuanya sudah terlambat.
Saat itulah aku merasa seperti hampir gila, merasa seperti ada sesuatu yang terlepas begitu saja dari diriku, seperti ada bagian dari hidupku yang hancur dan tak akan pernah kembali. Aku tidak tahu apakah aku akan bisa memperbaiki diriku sendiri setelah ini. Aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku berdiri, tubuhku terasa berat, seolah setiap langkah adalah beban. Aku melangkah tanpa tujuan, tanpa arah, hanya mengikuti arus hujan yang semakin membasahi tubuhku. Tak ada yang peduli, tak ada yang menunggu, dan aku semakin merasa seperti tak berarti. Setiap tetes air yang jatuh dari langit seakan menggugurkan sebagian dari diriku.
Aku melangkah ke jalan, mengikuti langkah-langkah yang entah ke mana. Tidak ada yang bisa menyelamatkanku dari perasaan ini. Bahkan jika aku berlari sejauh mungkin, aku tahu bahwa apa yang telah terjadi tidak bisa diubah. Aku hanya bisa menyesali segala hal yang seharusnya aku lakukan, segala keputusan yang tidak aku ambil, dan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutku.
Aku berhenti di tengah jalan, di bawah hujan yang semakin deras, dan merasakan sakit yang dalam. Aku merasa bodoh, merasa seperti orang yang sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan, terjebak dalam ketidakpastian. Semua ini terasa seperti hukuman, seperti akibat dari ketidakberanian yang sudah mengakar begitu lama.
Dan aku tahu, meskipun aku ingin berteriak, meskipun aku ingin meronta, tak ada yang akan berubah. Ayana sudah pergi. Aku sudah kehilangan kesempatan itu, dan aku hanya bisa melihatnya pergi tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia sudah memilih untuk melangkah pergi, meninggalkan semua yang pernah ada di antara kami.
Aku berjalan kembali ke rumah, setiap langkah terasa seperti langkah yang tidak memiliki tujuan. Hujan yang masih turun deras hanya menambah beban di pundakku. Ketika aku tiba di rumah, aku membuka pintu dan masuk ke dalam, melepaskan jaket yang basah, dan merasakan betapa dinginnya udara di dalam rumah.
Di ruangan yang sepi itu, aku duduk di kursi yang terasa terlalu besar untukku. Hujan masih terdengar di luar, seolah mengingatkan betapa dalamnya rasa sakit ini. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, apakah aku harus terus mencoba untuk hidup atau menyerah begitu saja.
Aku hanya duduk di sana, memeluk diri sendiri, mencoba untuk mengerti mengapa semuanya harus berakhir seperti ini. Aku tidak bisa mengubah apapun, dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk melanjutkan hidup ini tanpa Ayana di dalamnya.
Semua terasa sia-sia. Semua yang pernah kami miliki, semua kenangan itu, kini hanya jadi bayangan yang semakin memudar. Aku merasa hancur, merasa sepi, dan yang lebih buruk lagi, aku merasa bodoh. Kalau saja aku lebih berani, kalau saja aku tidak menunggu terlalu lama, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Tapi kenyataannya, aku sudah terlambat.
Hujan di bulan Juli itu akhirnya berhenti, meninggalkan kesunyian yang menguasai malam. Tapi di dalam diriku, hujan itu tidak pernah berhenti. Ia tetap ada, mengisi setiap sudut hatiku yang kini kosong dan sunyi. Dan aku tahu, meskipun waktu terus berjalan, rasa sakit ini akan tetap ada, seperti hujan yang tak pernah berhenti turun di bulan Juli.
Dan di akhir semuanya, kita cuma bisa menerima kenyataan bahwa ada hal-hal yang memang sudah terlambat untuk diperbaiki. Seperti hujan yang datang di bulan Juli, penyesalan itu datang begitu saja, menggenang di hati yang tak bisa lagi mengubah apapun.
Mungkin ada yang bilang, Waktu akan menyembuhkan, tapi bagi mereka yang pernah kehilangan kesempatan, waktu hanya mengajarkan betapa pentingnya berani mengambil langkah, sebelum semuanya hilang tanpa jejak.