Cerpen Cinta Tak Sampai yang Bikin Nangis dengan Akhir Mengharukan

Posted on

Pernah nggak sih, cinta mati sama sahabat sendiri, tapi cuma bisa nyimpan semuanya dalam diam? Kisah Adin dan Senna ini bakal bikin kamu baper habis. Dari awalnya penuh harapan, sampai harus ngerelain orang yang paling dia sayang, semuanya jadi pelajaran soal cinta yang nggak selalu harus berakhir ‘bahagia’. Siap-siap deh, cerita ini bakal bikin hatimu remuk, tapi tetap bikin kamu nggak bisa berhenti baca!

 

Cinta Tak Sampai

Jejak yang Tertinggal di Hujan Pertama

Langit memancarkan warna kelabu ketika Adin menyusuri lorong menuju perpustakaan kampus. Hujan turun perlahan sejak pagi, memercik lembut di sepanjang jalan, membuat suasana terasa lebih sendu dan menenangkan. Adin selalu menyukai hujan—entah karena caranya membasahi setiap sudut kota atau karena suaranya yang menenangkan. Baginya, hujan seakan-akan melukiskan kesedihan dengan cara yang begitu indah.

Adin tak pernah menyangka pertemuannya dengan Senna di perpustakaan hari itu akan menjadi awal dari semua kekacauan ini. Ia datang dengan niat sederhana—menyelesaikan tugas akhir yang menumpuk. Namun, hari itu, perpustakaan penuh sesak oleh mahasiswa yang datang mencari tempat berlindung dari hujan.

Saat itulah dia melihat Senna. Duduk di sudut ruangan, dikelilingi oleh buku-buku berserakan di meja, pria tinggi dengan kemeja flanel abu-abu itu sedang sibuk mencatat sesuatu di buku catatannya. Pandangan mata Senna yang serius, alis yang sedikit berkerut, dan jemarinya yang cepat mencoret-coret kertas tanpa jeda—semuanya membuat Adin tak bisa mengalihkan pandangannya. Di situlah perasaan itu, yang selama ini hanya angan-angan, mulai tumbuh.

Senna mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan Adin sejenak sebelum akhirnya dia tersenyum tipis. Adin merasa seperti seorang pencuri yang ketahuan, tapi Senna, tanpa banyak bicara, memberi isyarat untuk mendekat.

“Hei, sini duduk aja kalau nggak nemu tempat lain,” ucap Senna sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya.

Adin merasa kikuk. “Oh, iya… terima kasih.”

Obrolan mereka dimulai dengan topik ringan—tentang tugas yang tak kunjung selesai, dosen yang suka memberi soal sulit, dan hal-hal sepele lainnya. Namun, percakapan itu perlahan menjadi sesuatu yang lebih dalam. Tanpa sadar, Adin mulai terbiasa dengan kehadiran Senna, dengan caranya berbicara dan tersenyum saat mendengar lelucon konyol yang kadang ia lontarkan. Meski sosok Senna terkadang terlihat seperti pria yang sedikit tertutup, ada sisi dirinya yang membuat Adin merasa nyaman.

Suatu kali, ketika mereka sedang membicarakan buku favorit masing-masing, Senna tersenyum penuh arti dan berkata, “Kamu tahu, Din… rasanya aneh, ya, kadang orang yang kita rasa cocok malah muncul di waktu yang nggak kita duga.”

Adin merasa ada sesuatu di balik kata-kata Senna itu. Seakan ada rahasia yang sengaja disimpan, sesuatu yang mungkin Senna tak ingin bagikan terlalu cepat. Tapi Adin tak ingin mendesak. Biarlah, pikirnya. Mungkin suatu hari nanti, Senna akan membiarkannya tahu.

Semenjak hari itu, Adin dan Senna semakin sering bertemu. Mereka menjadi teman yang dekat, meski Adin tahu ada perasaan yang berbeda dalam dirinya. Setiap kali mereka bertemu di tempat yang sama, hati Adin berdebar tanpa alasan yang jelas. Senna tak pernah mengutarakan perasaannya secara langsung, tapi dari caranya memandang, dari cara dia menjaga Adin saat mereka menyeberangi jalan atau menawarkan jaketnya ketika Adin menggigil, semuanya membuat perasaan Adin bertambah dalam. Tersimpan dalam-dalam, namun jelas berpendar di sudut hatinya.

Suatu sore, hujan turun cukup deras ketika Adin dan Senna berlari-lari kecil menuju tempat berteduh. Senna dengan cepat meraih pergelangan tangan Adin, menariknya ke bawah atap kecil di pinggir jalan. Mereka tertawa, basah kuyup dan kelelahan, menahan napas sejenak setelah berlari di tengah hujan.

“Nggak sangka hujan bisa seru juga, ya?” ucap Senna sambil terengah-engah.

Adin mengangguk, menyembunyikan wajahnya yang memerah. “Iya, padahal biasanya aku suka males kehujanan.”

“Berarti ini spesial, dong,” ujar Senna sambil tersenyum. Senyumnya itu, yang sederhana tapi membuat jantung Adin berdebar.

Adin tak pernah tahu seberapa dalam perasaannya pada Senna, hingga suatu hari Senna memperhatikan raut wajah Adin yang tampak sedih tanpa sebab. Saat itu, mereka sedang duduk di bangku taman, hanya berdua, menikmati sore yang sejuk. Langit mendung, tanda-tanda hujan akan turun sebentar lagi.

Senna menatap Adin sejenak, lalu bertanya pelan, “Kamu kenapa?”

Adin tersentak dari lamunannya. “Nggak apa-apa, cuma… aku lagi banyak pikiran aja.”

Senna tertawa kecil, tapi ada nada perhatian di sana. “Kamu ini kayaknya sering banget mikir, ya. Padahal hidup nggak selalu harus dipikirin berat-berat, Din. Kadang… kita cuma perlu ngelepasin apa yang kita rasa.”

Kata-kata itu menusuk Adin. Ia ingin sekali mengatakan apa yang ada di hatinya, tentang betapa ia sudah jatuh cinta pada Senna sejak lama. Tapi ia takut, takut kalau Senna akan menjauh, takut kehilangan satu-satunya tempat di mana ia merasa aman.

“Kadang ada perasaan yang nggak bisa kita lepasin begitu aja, Sen,” jawab Adin dengan suara lirih. “Bukan cuma karena takut… tapi karena mungkin nggak akan ada yang bisa ngerti apa yang kita rasa.”

Senna terdiam, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Aku nggak tahu siapa yang kamu maksud, Din, tapi aku harap kamu bisa jujur sama dia suatu hari nanti. Siapa tahu, perasaanmu itu bisa jadi awal dari sesuatu yang baik.”

Adin hanya tersenyum pahit. Dia tahu, kalimat itu seharusnya menjadi dorongan untuk berbicara. Tapi entah mengapa, setiap kali ia ingin jujur, ada sesuatu yang menahannya. Mungkin karena Senna terlihat begitu bahagia tanpa tahu perasaan Adin yang sesungguhnya. Mungkin juga karena ia terlalu takut untuk kehilangan.

Hujan mulai turun lagi, kali ini lebih deras. Mereka berdua terdiam, hanya mendengarkan suara rintik hujan yang membasahi jalanan. Tanpa sadar, Adin merapatkan diri pada Senna, mencari kehangatan di bawah langit yang semakin dingin.

“Kamu… pernah jatuh cinta, Sen?” tanya Adin tiba-tiba, suaranya hampir tak terdengar.

Senna tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. “Pernah. Dan anehnya, sampai sekarang aku masih nggak tahu gimana caranya buat nggak cinta lagi sama orang itu.”

Jawaban itu membuat hati Adin terasa hangat, tapi juga menyesakkan. Senna memiliki seseorang dalam hatinya—seseorang yang mungkin bukan dirinya. Tapi entah kenapa, Adin tetap tersenyum, merasa lega bisa mendengar jawabannya, meski pahit.

Mereka menghabiskan sisa waktu di bawah hujan yang semakin deras, tanpa banyak bicara. Momen itu, yang sederhana namun mendalam, menjadi kenangan yang tak akan pernah hilang dari hati Adin. Sebuah kenangan yang tertinggal di antara gerimis dan harapan-harapan yang tak pernah terucapkan.

Di benak Adin, jejak itu semakin mendalam, seiring rasa yang semakin kuat. Namun, seiring perasaan itu tumbuh, ia tahu bahwa hujan ini, yang menjadi saksi bisu semua perasaan yang ia pendam, akan selalu membawanya kembali ke Senna.

 

Di Bawah Langit yang Redup

Seminggu berlalu sejak pertemuan mereka di taman. Adin belum sepenuhnya bisa menghilangkan momen itu dari benaknya. Setiap detailnya masih membayang di pikirannya: suara tawa Senna, caranya memandang, bahkan senyum tipis yang menguap pelan di bawah langit mendung. Ada rasa hangat yang seolah-olah tersangkut di hatinya, tapi di sisi lain, ada juga kehampaan yang tak bisa ia abaikan.

Mereka masih bertemu seperti biasa, belajar bersama di perpustakaan atau sekadar mengobrol di kantin kampus, namun Adin mulai merasakan jarak yang samar di antara mereka. Senna tetap bersikap seperti biasanya, perhatian tanpa pamrih, selalu memastikan Adin baik-baik saja. Tetapi, Adin tak bisa menepis kegelisahan yang perlahan tumbuh di hatinya—terutama ketika mendengar rumor yang mulai beredar di kampus.

Di salah satu pertemuan mereka, Senna tampak sedikit berbeda. Senyumannya tetap sama, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terasa… tak tenang. Adin mencoba mengabaikannya, menganggapnya hanya perasaan sesaat. Namun, semakin lama, bayangan tentang seseorang yang Senna cintai dulu terus mengusiknya, menimbulkan rasa penasaran yang tak bisa ditepis.

Hingga suatu hari, mereka sedang duduk di taman kampus, menikmati sore yang teduh. Angin sepoi-sepoi bertiup pelan, membawa aroma rerumputan yang baru saja basah oleh hujan pagi. Adin, yang merasa sudah cukup mengenal Senna, akhirnya mencoba bertanya dengan hati-hati.

“Sen… boleh aku nanya sesuatu yang… agak pribadi?” tanya Adin perlahan.

Senna mengangguk, mengangkat wajahnya dari buku yang sedang ia baca. “Tentu. Tanya aja, Din.”

Adin menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati. “Soal… orang yang kamu bilang pernah kamu cintai itu. Apa dia masih… di hati kamu sampai sekarang?”

Pertanyaan itu menggelantung di udara, membuat suasana di antara mereka terasa lebih sunyi. Senna menatap Adin sejenak, tampak ragu. Namun, setelah beberapa saat, dia tersenyum tipis, meski sorot matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan.

“Iya,” jawab Senna akhirnya. “Dia masih ada… meski aku sendiri nggak tahu sampai kapan.”

Adin merasa dadanya sesak. Tapi dia berusaha menyembunyikannya dengan senyum tipis. “Aku ngerti, kok. Mungkin kadang perasaan kayak gitu… nggak bisa hilang begitu aja, ya?”

“Iya.” Senna mengangguk pelan, pandangannya menerawang jauh. “Tapi, Din, kadang aku merasa bahwa beberapa perasaan… mungkin memang nggak ditakdirkan untuk terjawab.”

Kalimat itu menusuk Adin dalam-dalam. Seolah-olah Senna sedang berbicara tentang dirinya juga—tentang perasaan yang ia tahu mungkin takkan pernah bisa terungkap. Namun, ia hanya bisa tersenyum dan mengangguk, menutupi gejolak dalam dirinya.

Tak lama setelah percakapan itu, Adin mulai mendengar nama Vanya di sekitarnya. Beberapa teman sekelasnya sesekali menyebut nama itu, biasanya dengan nada iri atau kagum, menyebut-nyebut betapa Vanya adalah seseorang yang memiliki segalanya. Adin tidak begitu kenal dengan gadis itu, tapi nama Vanya mulai menjadi sesuatu yang sulit dihindari.

Pada suatu malam, Adin akhirnya tak tahan lagi. Ia memutuskan untuk bertanya langsung pada Senna. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat kampus, tempat favorit mereka untuk sekadar mengobrol atau berbagi cerita. Suasana kafe yang tenang dengan pencahayaan temaram selalu membuat perasaan Adin lebih nyaman.

“Sen,” ucapnya sambil mengaduk minuman di depannya. “Aku… aku dengar tentang seseorang bernama Vanya. Siapa dia sebenarnya?”

Senna menghela napas pelan, seolah pertanyaan itu sudah ia duga akan datang suatu hari nanti. Ia menatap Adin dengan pandangan serius, lalu mulai bercerita.

“Vanya… dia orang yang dulu pernah aku sayangi,” ujar Senna dengan nada lembut namun terasa berat. “Dia berbeda dari orang lain, Din. Vanya itu… seperti bintang yang nggak bisa aku raih.”

Adin terdiam, mendengarkan dengan seksama meski hatinya bergejolak. Senna melanjutkan, “Dia orang yang baik, cantik, pintar, dan semua orang… ya, mereka mengaguminya. Aku dulu sempat berpikir kalau mungkin aku punya kesempatan. Tapi… pada akhirnya, aku sadar bahwa aku nggak pernah benar-benar jadi orang yang dia inginkan.”

Kata-kata itu membuat hati Adin terluka, seakan ia ikut merasakan penderitaan yang Senna alami. Ia ingin sekali menenangkan Senna, memberi tahu bahwa dia ada di sana, bahwa ia selalu peduli. Tapi Adin tahu, ucapannya mungkin hanya akan menjadi angin lalu.

Malam itu, saat mereka berjalan pulang bersama, Adin mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang lebih ringan. Mereka membahas hal-hal sederhana seperti film yang baru saja tayang atau buku yang baru selesai mereka baca. Namun, Senna tetap terlihat muram, seakan terjebak dalam kenangan tentang Vanya.

Sampai di depan gerbang kost, Senna tiba-tiba berhenti, menatap Adin dengan pandangan penuh rasa terima kasih. “Din, makasih, ya, buat malam ini. Aku tahu mungkin cerita tentang Vanya ini agak berat buat kamu dengar.”

Adin tersenyum, meski hatinya perih. “Aku nggak apa-apa, Sen. Aku… aku cuma pengen kamu bahagia. Kalau cerita ini bisa bikin kamu lega, aku senang bisa dengerin.”

Senna menatapnya dalam-dalam, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan. Namun, akhirnya dia hanya mengangguk pelan dan mengucapkan selamat malam. Adin melihatnya berjalan menjauh, punggungnya yang terlihat lebih berat dari sebelumnya, seperti ada beban yang tak bisa dia lepaskan.

Saat Adin kembali ke kamarnya malam itu, pikirannya dipenuhi oleh bayangan tentang Vanya—sosok yang tak pernah ia kenal namun telah menempati tempat yang begitu dalam di hati Senna. Adin tahu bahwa perasaan ini semakin tak terkendali, tetapi ia juga sadar bahwa mungkin ia harus belajar melepaskan sebelum luka ini semakin dalam.

Namun, di sisi lain, perasaan sayang itu juga semakin tumbuh. Adin tak bisa menghentikan dirinya untuk peduli pada Senna, meski ia tahu bahwa dirinya mungkin takkan pernah menjadi seseorang yang ada di hati Senna. Tapi, di tengah ketidakpastian itu, ia tetap berusaha menjadi seseorang yang bisa Senna andalkan, walau hanya sebagai seorang teman.

Hari-hari berikutnya terasa lebih sulit bagi Adin. Setiap kali ia melihat Senna, hatinya terasa semakin berat. Tetapi, ia tetap tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya di balik tawa dan kata-kata yang ia pilih dengan hati-hati. Ia tahu bahwa perasaannya ini mungkin tak pernah terbalas, namun untuk saat ini, ia merasa cukup bahagia hanya dengan bisa berada di dekat Senna.

Namun, tanpa Adin sadari, langit yang terus mendung di hatinya semakin mendalam. Perasaan yang dulu hanya sekadar kekaguman kini tumbuh menjadi cinta yang ia sendiri tak bisa kendalikan. Di bawah langit yang selalu redup, Adin menyimpan perasaannya dalam diam, berharap suatu hari nanti ia akan bisa melepaskan semua itu dengan senyuman, meski ia tahu bahwa kenyataan tak selalu seperti yang ia harapkan.

 

Jejak yang Tak Bisa Hilang

Waktu terus berlalu, dan perasaan Adin semakin terkikis oleh kenyataan yang ia coba telan setiap hari. Senna tetap menjadi seseorang yang sulit ia lepaskan, meski bayang-bayang Vanya tak pernah benar-benar hilang dari cerita mereka. Meski semakin lama semakin sulit, Adin tetap memilih untuk bertahan. Ia ingin menjaga persahabatan mereka, meski hatinya terus terluka.

Pada suatu malam, Senna mengirim pesan, meminta Adin menemuinya di sebuah taman kecil di pinggir kota. Suara Senna di telepon terdengar lirih dan letih, berbeda dari biasanya. Tanpa banyak tanya, Adin segera berangkat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah Senna baik-baik saja? Apa yang membuatnya begitu tertekan?

Setibanya di taman, Adin menemukan Senna duduk di bawah pohon besar, menatap kosong ke arah langit yang cerah bertabur bintang. Ia tampak begitu rapuh di bawah cahaya lampu taman yang redup, seperti seseorang yang sedang menahan banyak beban. Adin mendekatinya perlahan, tak ingin mengganggu pikirannya.

“Kamu kelihatan… nggak seperti biasanya,” ucap Adin sambil duduk di sampingnya.

Senna tersenyum tipis, tetapi matanya tak menunjukkan kebahagiaan. “Aku lelah, Din.”

Adin menatapnya prihatin. “Lelah kenapa? Apa ada yang bisa aku bantu?”

Senna terdiam beberapa saat, seolah menimbang-nimbang apakah ia bisa menceritakan semuanya kepada Adin. Namun akhirnya ia menghela napas panjang, seakan baru saja mengambil keputusan yang sulit.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” katanya pelan. “Tapi… aku rasa aku harus berhenti. Berhenti mengejar perasaan yang nggak akan pernah terjawab.”

Adin terkejut mendengar kata-kata itu. “Maksud kamu… Vanya?”

Senna mengangguk, mengalihkan pandangannya ke arah pohon-pohon yang bergoyang dihembus angin malam. “Aku selalu berharap suatu hari dia akan melihat aku, akan menyadari perasaan ini. Tapi semakin lama aku menunggu, semakin aku sadar… mungkin aku hanya mengejar bayangan yang nggak akan pernah ada.”

Adin merasakan sesuatu yang aneh di dadanya—campuran lega dan sedih. Ia lega karena mungkin, akhirnya, Senna bisa melepaskan Vanya. Tapi di sisi lain, ia juga merasa kasihan pada Senna, karena ia tahu betapa dalam perasaan itu tertanam di hatinya.

“Kamu sudah mencoba yang terbaik, Sen,” ucap Adin pelan, “Nggak semua orang bisa kuat buat menunggu sepertimu.”

Senna menatap Adin, seakan mencari kekuatan di balik mata sahabatnya. “Kamu tahu, Din? Kadang aku iri sama kamu. Kamu selalu bisa terlihat kuat, selalu bisa ada buat aku, bahkan di saat-saat sulit seperti ini.”

Adin hanya tersenyum tipis, menahan semua perasaan yang ingin ia luapkan. Ia ingin berkata bahwa kehadirannya untuk Senna bukan karena ia kuat, melainkan karena ia tak punya pilihan lain. Adin tak pernah bisa pergi, meski setiap hari ia harus menelan pil pahit kenyataan bahwa cintanya mungkin takkan pernah terbalas.

Mereka berdua duduk dalam diam, menikmati kebersamaan yang hening namun sarat makna. Di dalam sunyi itu, Adin berharap waktu bisa berhenti sejenak, memberi mereka momen yang mungkin takkan bisa mereka dapatkan lagi. Namun, dalam lubuk hatinya, ia tahu bahwa malam ini hanya sebuah jeda kecil dalam kehidupan mereka yang terus berjalan.

Beberapa hari kemudian, Adin memutuskan untuk bertemu lagi dengan Senna di perpustakaan kampus. Saat ia tiba, Senna sudah menunggunya di meja biasa, dengan setumpuk buku di depannya. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan seperti biasa, menghindari topik yang menyentuh perasaan mereka.

Namun di tengah pembicaraan, Senna tiba-tiba mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya, lalu menyerahkannya pada Adin dengan tatapan serius.

“Ini buat kamu,” ucapnya pelan.

Adin memandang amplop itu dengan bingung, sebelum akhirnya membuka dan membaca isi surat di dalamnya. Begitu matanya membaca kalimat pertama, jantungnya berdetak kencang. Surat itu adalah permohonan maaf dari Senna—permohonan maaf karena ia merasa telah membuat Adin menunggu dan terjebak dalam rasa yang tak mungkin terbalas.

“Sen… kamu nggak perlu minta maaf seperti ini,” kata Adin setelah selesai membaca. “Kamu nggak pernah salah, kok. Semua yang terjadi… ini bukan salah kamu.”

Senna menunduk, seakan merasa bersalah. “Tapi aku nggak mau kamu jadi terluka karena aku, Din. Aku… aku tahu selama ini kamu lebih dari sekadar sahabat buat aku. Tapi aku nggak bisa berpura-pura memberikan sesuatu yang nggak aku miliki.”

Adin menggenggam amplop itu erat-erat, berusaha menahan perasaan yang meluap-luap di dalam hatinya. Di satu sisi, ia ingin meyakinkan Senna bahwa ia bisa menerima semuanya, meski tanpa cinta yang terbalas. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa mungkin melepaskan adalah pilihan yang terbaik bagi mereka berdua.

“Kalau begitu… mungkin ini saatnya buat kita… memberi jarak, ya?” ucap Adin dengan suara yang bergetar.

Senna mengangguk pelan, meski air mata sudah menggenang di sudut matanya. “Mungkin. Mungkin ini yang terbaik buat kita, Din.”

Malam itu, mereka berpisah dalam diam. Adin berjalan menjauh dari perpustakaan, dengan amplop itu masih tergenggam erat di tangannya. Hatinya terasa kosong, seolah kehilangan sesuatu yang sangat berarti. Namun di balik semua itu, ia merasa lega—lega karena mungkin, untuk pertama kalinya, ia bisa mulai belajar merelakan perasaan yang selama ini menghimpit hatinya.

Namun, di balik langkahnya yang semakin jauh dari perpustakaan, ada rasa yang tak sepenuhnya pergi. Jejak perasaan itu masih tertinggal di hatinya, seperti bayangan samar yang terus mengiringi setiap langkahnya. Adin tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya, tetapi sebuah awal baru—awal untuk merangkai kembali hidupnya tanpa Senna di sisinya.

Hingga malam itu, di bawah langit yang berbintang, Adin berjalan tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan kisah yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya.

 

Menghapus Bayangan

Hari-hari berlalu setelah malam di perpustakaan itu, dan Adin berusaha menyesuaikan diri dengan keputusannya. Tentu saja, hidup tanpa Senna di sisinya bukanlah hal yang mudah. Setiap sudut kampus mengingatkannya pada Senna—dari bangku taman tempat mereka biasa berbincang hingga perpustakaan yang kini terasa begitu sepi. Namun, Adin berusaha keras untuk tidak tenggelam dalam kenangan. Ia tahu, untuk maju, ia harus melangkah keluar dari bayangan masa lalu.

Suatu sore, Adin duduk di sebuah kafe kecil dekat kampus. Ia membawa buku catatan dan pena, berusaha menyalurkan semua perasaan yang masih bersarang di hatinya ke dalam tulisan. Menulis menjadi pelariannya, cara untuk menyusun kembali serpihan-serpihan hatinya yang telah hancur.

Saat sedang tenggelam dalam tulisan, tiba-tiba pintu kafe terbuka, dan seseorang melangkah masuk. Adin menoleh dan melihat sosok yang tak pernah ia duga akan ia temui lagi—Senna. Wanita itu tampak sedikit berbeda, ada kehangatan dan kelegaan di wajahnya yang tak pernah Adin lihat sebelumnya. Senna tersenyum ketika melihat Adin, lalu melangkah mendekat.

“Boleh duduk?” tanyanya pelan.

Adin mengangguk, meski di hatinya ia merasa canggung. Senna duduk di seberangnya, menatapnya dengan pandangan lembut.

“Gimana kabarmu?” Senna bertanya.

Adin tersenyum kecil, mencoba untuk tidak menunjukkan perasaan yang sebenarnya. “Baik, kok. Sibuk, tapi baik.”

Senna mengangguk, mengusap cangkir kopinya yang belum ia minum. “Aku dengar kamu udah mulai sibuk di kampus… ikut kegiatan yang dulu kamu bilang nggak bakal kamu ikutin.”

Adin tersenyum getir. “Ya, mungkin sekarang saatnya aku cari kesibukan baru.”

Senna menghela napas. “Aku senang lihat kamu udah bisa pelan-pelan melepaskan, Din. Aku… juga udah coba berdamai dengan semuanya.”

Adin hanya mengangguk. Ada perasaan lega sekaligus perih di hatinya. Meski mereka berdua berusaha melupakan, ada sesuatu yang tak pernah bisa sepenuhnya hilang. Mungkin, mereka akan selamanya saling mengingat—meski hanya sebagai bagian dari cerita masa lalu.

Saat mereka berbicara, Adin menyadari sesuatu: meski ia masih mencintai Senna, perasaan itu kini berbeda. Rasa sakitnya tak lagi menguasainya seperti dulu. Mungkin ini adalah kedewasaan yang perlahan tumbuh dalam dirinya—kemampuan untuk mencintai tanpa harus memiliki.

Setelah beberapa waktu, Senna tersenyum dan meraih tangannya. “Aku ingin berterima kasih, Din. Karena kamu, aku belajar banyak hal… terutama soal ketulusan. Aku tahu nggak mudah buat kamu, dan mungkin aku nggak bisa menghapus luka yang pernah aku kasih. Tapi aku harap kamu tahu, aku selalu hargai semua yang kamu lakukan buat aku.”

Adin menatap Senna dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Aku juga belajar banyak dari kamu, Sen. Kamu bikin aku sadar kalau mencintai kadang bukan tentang bersama. Mungkin perasaan ini akan terus ada, tapi aku rasa itu nggak apa-apa. Selama aku bisa menghargainya tanpa harus mengubah apapun.”

Senna tersenyum, kali ini dengan air mata yang mulai membasahi sudut matanya. “Aku harap kamu akan menemukan seseorang yang bisa mencintaimu sama tulusnya, Din.”

Mereka berdua berpisah malam itu dengan hati yang lebih ringan, meski perasaan mereka tak sepenuhnya hilang. Adin melangkah pulang dengan perasaan lega yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu, kenangan tentang Senna akan selalu ada di hatinya—tetapi kini ia siap membuka lembaran baru.

Di tengah perjalanan pulang, Adin menatap ke langit malam yang gelap, tetapi penuh bintang. Dalam heningnya, ia berbisik dalam hati, sebuah janji yang hanya ia sendiri yang tahu:

Bahwa meski cintanya untuk Senna tak pernah terjawab, ia akan tetap mengingatnya sebagai bagian dari dirinya, namun tidak lagi menjadi bayangan yang menahan langkahnya.

Akhirnya, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Adin merasa bebas.

 

Nah, begitulah kisah Adin dan Senna, dua hati yang saling mengisi, namun terpaksa berpisah demi mencari kebahagiaan masing-masing. Meski cerita mereka tak berakhir seperti di film-film romantis, kadang cinta itu memang tentang melepaskan, bukan memiliki.

Semoga kamu bisa mengambil hikmah dari perjalanan mereka dan ingat, cinta sejati bukan hanya soal kebersamaan, tapi juga tentang saling menghargai dan merelakan. Jadi, jangan takut untuk mencintai lagi, karena setiap akhir adalah awal yang baru.

Leave a Reply