Daftar Isi
Eh, siapa bilang kisah cinta SMA itu cuma soal pacaran dan gombalan? Nih, ada cerita yang bakal bikin kamu ngerasa banget, kayak ngeliat hidup lewat lensa kamera—yang penuh momen tak terduga.
Ada Revan, si cowok yang lebih suka diem dan pegang kamera, terus ada Nayara, si cewek yang nggak pernah nyangka kalau hidupnya bakal berubah gara-gara satu momen yang nggak terulang. Jadi, siap-siap baper, karena perjalanan mereka bukan cuma soal cinta, tapi juga tentang melihat dunia dengan cara yang beda. Yuk, baca terus cerita ini!
Cerpen Cinta SMA
Jejak Pertama di Koridor Sekolah
Sore itu, suara bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan jam pelajaran pertama sudah berakhir. Koridor SMA Arunika mendadak riuh, seperti biasa. Para siswa berlarian ke sana kemari, ada yang menuju kantin, ada yang ke kelas lain, dan ada juga yang sekadar nongkrong di tangga. Aku berdiri di ujung koridor, menunduk memandang buku fisika yang baru saja aku ambil dari rak. Kalau dipikir-pikir, ini benar-benar hari yang panjang. Begitu banyak yang harus dilakukan, tapi satu hal yang pasti, ada yang berbeda kali ini.
Pasti karena aku bakal bekerja bareng dia. Revan.
Aku belum pernah benar-benar berbicara dengannya lebih dari sekadar sapaan biasa. Revan adalah sosok yang cukup dikenal di sekolah. Semua orang tahu dia itu tipe yang pendiam dan jarang sekali terlibat obrolan atau bahkan sekadar bercanda dengan orang lain. Dia lebih sering duduk sendirian, fokus pada buku atau laptop. Tapi ada sesuatu yang menarik dari dirinya, meskipun tak banyak yang tahu—bahkan aku sendiri, setelah hampir setahun sekelas dengannya, baru menyadari hal itu.
“Eh, Nayara!”
Aku mendongak. Kevin, teman sekelas yang sepertinya tak pernah kehabisan energi untuk berinteraksi, menghampiriku. Wajahnya tersenyum lebar, dengan senyum khas yang terkadang bisa membuat orang merasa tidak nyaman.
“Ayo, ikut ke kantin. Mau makan bareng?”
Aku tersenyum sambil menggeleng. “Makasih, Kevin. Aku ada tugas, harus nyiapin materi buat proyek fisika.”
Dia mengangkat alis. “Proyek fisika? Sama siapa?”
Aku hampir saja menjawab kalau aku bakal berpasangan dengan Revan, tapi tiba-tiba aku merasa risih. Keputusan itu agak aneh, mengingat banyak orang yang bahkan tak tahu apa yang aku lihat dalam dirinya. Jadi aku hanya menjawab sambil tersenyum sedikit canggung, “Oh, nanti deh, aku pergi ke perpustakaan dulu.”
Kevin memiringkan kepala, agak bingung, tapi hanya mengangguk. “Oke deh, hati-hati ya.”
Aku melangkah menjauh dan menuju perpustakaan, hati mulai deg-degan. Bukannya aku takut bertemu Revan—tapi entahlah, aku belum benar-benar tahu apa yang harus aku katakan saat berada di sana bersamanya.
Di perpustakaan, suasananya lebih sepi dibandingkan dengan kelas. Ada beberapa siswa yang duduk di meja masing-masing, tenggelam dalam buku atau komputer mereka. Aku menemukan tempat duduk di pojok, memandang sekitar, dan akhirnya melihat Revan duduk di meja di dekat rak buku, menghadap ke komputer dengan headphone di telinga.
Ada sesuatu yang selalu tenang dalam cara dia bekerja. Revan adalah tipe orang yang fokus, tidak terganggu oleh apa pun. Aku pernah melihatnya mengerjakan tugas dengan serius—dan hasilnya selalu memukau.
Aku duduk di meja seberangnya dan menatapnya sebentar. Tangan Revan tetap sibuk mengetik sesuatu di keyboard, sementara wajahnya terlihat sangat serius. Aku mendengus pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan.
“Nggak nyangka, ya, kita sekelompok buat proyek fisika ini,” ujarku akhirnya.
Revan mengangkat salah satu alisnya, lalu melepaskan headphone dari telinganya. “Mm… iya, memang agak aneh.”
“Kenapa aneh?” tanyaku, mencoba membaca ekspresinya.
“Karena kita nggak banyak ngobrol, kan?” jawabnya, masih terdengar datar.
Aku tertawa kecil. “Benar juga sih. Tapi, kalau kamu mau kerja bareng, ya… kita bisa kok coba ngobrol lebih banyak.”
Dia hanya mengangguk. Mungkin karena dia nggak terlalu suka bicara panjang lebar, atau mungkin juga dia memang tak tahu harus bilang apa. Aku bisa merasakannya. Kadang, keheningan itu bisa terasa lebih nyaman daripada kata-kata yang meluncur begitu saja.
Kami mulai membuka buku fisika dan menelaah soal-soal yang harus diselesaikan. Aku duduk lebih dekat ke meja Revan, mencari informasi yang tepat, sementara dia memeriksa kertas tugas yang baru saja dibagikan oleh guru.
“Tugas ini agak ribet, ya,” kataku sambil memegang buku, mencoba mencari cara terbaik untuk menjelaskannya.
“Bisa dikerjain. Cuma butuh waktu aja.” Revan menjawab singkat, sambil menulis beberapa catatan di atas kertasnya.
Aku mengangguk, dan kami melanjutkan kerjaan dengan cukup tenang. Tak banyak bicara, hanya suara pena yang menari-nari di atas kertas dan gesekan kertas di meja yang terdengar di antara kami. Saat-saat seperti ini terasa agak aneh—aku merasa lebih nyaman bersama seseorang yang begitu pendiam, yang jarang sekali membuat kebisingan.
Tapi di sisi lain, ada ketertarikan yang perlahan tumbuh, meskipun aku belum tahu harus mengatakannya bagaimana.
“Tugas ini selesai dalam dua hari, kan?” tanyaku setelah beberapa lama.
“Iya, kalau kita kerja sama dengan baik,” jawabnya tanpa menoleh.
Aku memandangi Revan sebentar. Di balik sikapnya yang dingin, aku mulai melihat seberkas ketulusan. Dan aku tahu, meski kami tak banyak bicara, ada sesuatu yang berharga dalam setiap momen yang kami jalani bersama.
Kami bekerja hingga sore. Ketika matahari mulai terbenam, dan cahaya kuningnya masuk melalui jendela perpustakaan, aku merasa sedikit lebih dekat dengan Revan daripada sebelumnya. Entah kenapa, perasaan itu datang begitu saja—begitu tenang, begitu penuh arti.
“Aku mau ngambil foto di luar sebentar,” kata Revan, bangkit dari kursinya.
“Apa?” tanyaku bingung. “Foto? Maksudnya foto apaan?”
“Foto langit,” jawabnya singkat. “Aku suka foto langit senja. Kamu nggak mau ikut?”
Aku terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Oke, ayo.”
Di luar perpustakaan, udara sore terasa hangat. Revan mengeluarkan kameranya, mengatur beberapa pengaturan, dan mulai memotret langit yang semakin merah. Aku berdiri di sampingnya, terpesona dengan ketenangannya.
Tak ada kata-kata yang terucap. Cukup aku dan dia, berdiri di bawah langit yang memudar. Dan aku tahu, saat itu, di antara kami ada satu ikatan yang lebih dari sekadar tugas fisika.
Revan akhirnya menyudahi pemotretannya dan menyerahkan sebuah foto kepada aku. “Ini buat kamu,” katanya dengan nada yang lebih lembut.
Aku memandang foto itu. Sebuah potret langit senja yang indah, penuh warna merah muda dan oranye. Itu foto pertama yang dia beri kepadaku. Aku memeluk foto itu erat-erat, merasa sedikit lebih dekat dengannya daripada sebelumnya.
“Aku… makasih, Revan,” kataku dengan lembut.
Dia hanya mengangguk. “Sama-sama.”
Kepulangan hari itu terasa berbeda. Langkahku ringan, meski aku tahu ini baru permulaan dari banyak hari yang akan datang. Dan entah mengapa, aku merasa tak sabar menunggu apa yang akan terjadi antara kami selanjutnya.
Langit Senja di Atap Gedung
Pagi datang dengan cerah, dan aku tahu hari itu bakal penuh dengan aktivitas. Tugas fisika dengan Revan masih harus diselesaikan, dan aku merasa ada sedikit rasa antusias yang muncul di dalam diri. Mungkin karena hari sebelumnya, saat aku memandangi foto yang dia berikan, aku merasa ada yang berubah—sesuatu yang tak bisa aku jelaskan dengan kata-kata.
Aku masuk ke kelas dan langsung menuju mejaku. Ada sedikit kegembiraan dalam langkahku, meskipun aku berusaha untuk tetap tenang. Setelah semua murid duduk, Bu Lina datang dan segera memulai pelajaran.
Namun, seiring berjalannya waktu, pikiranku lebih sering melayang, mengingat pertemuan di perpustakaan kemarin. Revan, dengan sikapnya yang biasa—pendiam, terkesan cuek—tapi tiba-tiba saja aku merasa lebih dekat dengannya. Aku bahkan mulai bertanya-tanya, apakah mungkin dia juga merasakan hal yang sama, atau apakah aku hanya mengada-ada dalam pikiranku.
Hari itu, setelah jam pelajaran terakhir selesai, aku langsung menuju perpustakaan lagi. Entah kenapa, aku merasa perlu bertemu Revan di sana. Tugas fisika kami sudah hampir selesai, dan aku ingin memastikan segalanya beres sebelum besok dipresentasikan.
Sesampainya di perpustakaan, aku langsung melihat Revan duduk di meja yang sama. Kali ini dia tidak memotret atau sibuk dengan komputernya. Dia hanya duduk dengan buku terbuka di depannya, memandang kosong ke arah halaman yang tak tampak begitu menarik. Aku mendekat dan duduk di kursi sebelahnya.
“Ada apa, Revan? Lagi mikirin apa?” tanyaku, mencoba memulai percakapan dengan cara yang lebih santai.
Dia menoleh ke arahku, tampak sedikit terkejut. “Oh, nggak ada apa-apa. Cuma nggak terlalu fokus aja.”
Aku tersenyum kecil. “Jadi, kita selesaiin tugasnya?”
Dia mengangguk dan membuka catatan kecil di atas meja. Kami mulai bekerja, namun kali ini, rasanya berbeda. Tidak hanya tentang tugas fisika, tapi ada sesuatu yang mengalir begitu natural di antara kami. Waktu seperti berhenti sejenak saat aku melihat matanya yang tajam, dan senyuman kecil yang dia berikan ketika aku berhasil menyelesaikan soal yang sulit.
Kami menyelesaikan tugas dalam waktu singkat, lebih cepat dari yang aku duga. Tapi saat itu, entah kenapa, aku merasa tidak ingin segera beranjak. Ada perasaan yang mengganjal—rasanya seperti ingin tahu lebih banyak tentang Revan, lebih jauh lagi.
“Revan,” aku membuka percakapan dengan suara yang lebih pelan. “Kamu nggak pernah cerita tentang dirimu, ya. Apa yang biasanya kamu lakukan di luar sekolah?”
Revan berhenti sejenak, menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aku… suka fotografi. Itu aja sih.”
Aku tertarik. “Fotografi? Serius? Aku nggak pernah tahu.”
Dia mengangguk. “Iya, aku sering pergi ke tempat-tempat yang tenang buat motret langit atau apa aja yang menurutku menarik.”
Kali ini, aku benar-benar ingin tahu lebih banyak. “Jadi, kamu suka banget sama langit, ya? Kenapa?”
Revan tersenyum tipis. “Karena langit nggak pernah menghakimi. Langit cuma ada di sana, setiap hari, dengan cara yang sama. Tapi setiap kali kita lihat, dia selalu berbeda.”
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Ada sesuatu dalam cara Revan berbicara yang membuatku merasa seolah aku baru mengenalnya, meskipun kami sudah sekelas hampir setahun.
“Aku penasaran… Kalau aku ikut kamu suatu waktu, boleh nggak?” tanyaku, setengah malu.
Revan melirikku, lalu mengangguk perlahan. “Boleh. Mungkin minggu depan, kalau kamu nggak sibuk.”
Aku tersenyum lebar. “Aku nggak sabar.”
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Revan dan aku mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, tidak hanya untuk tugas fisika. Ada saat-saat di mana kami hanya duduk di koridor, berbicara tentang hal-hal sepele, atau bahkan diam bersama tanpa perlu berkata apa-apa. Dan itu terasa menyenangkan—lebih menyenangkan daripada yang aku kira.
Suatu sore, saat aku sedang duduk di tangga luar sekolah, menunggu waktu pulang, Revan datang menghampiriku dengan kameranya di tangan. “Mau ikut?” tanyanya, sambil melambaikan kamera ke arahku.
Aku berdiri dan mengangguk. “Ke mana?”
“Ke atap gedung. Ada pemandangan langit senja yang bagus.”
Aku tidak ragu lagi. Aku mengikuti langkahnya ke atap sekolah, meskipun rasanya agak canggung—pertama kali pergi bersama Revan tanpa tujuan jelas selain menikmati keheningan langit senja.
Kami duduk di pinggir atap, memandang langit yang mulai berubah warna. Matahari yang hampir terbenam menciptakan gradasi warna oranye, merah, dan ungu di langit. Aku tak pernah benar-benar memperhatikan langit sebegitu seriusnya sebelumnya.
“Aku selalu suka kalau bisa melihat langit seperti ini,” kata Revan, menatap ke kejauhan. “Ada sesuatu yang… menenangkan.”
Aku mengikuti arah pandangannya, merasakan ketenangan yang sama. “Aku juga… jadi ngerti kenapa kamu suka banget fotografi.”
Revan mengalihkan pandangannya ke arahku, dan aku melihat senyum tipis di wajahnya. “Karena kadang, hal yang sederhana bisa jadi sangat berharga kalau kita lihat dengan cara yang berbeda.”
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. Sepertinya Revan memang lebih dari sekadar anak pendiam yang suka menyendiri. Ada kedalaman dalam setiap perkataannya, dan aku mulai merasakannya.
Beberapa lama kemudian, Revan menatapku dan berkata, “Kamu orang yang menarik, Nayara.”
Aku tersenyum, merasa agak tersipu. “Kamu juga.”
Kami hanya duduk di sana, berbicara sedikit tentang hal-hal kecil, dan menikmati keheningan yang tak pernah terasa seindah itu sebelumnya. Ada kedekatan yang terjalin, tanpa harus ada kata-kata yang lebih banyak. Dan aku tahu, hari itu akan menjadi salah satu momen yang tak akan aku lupakan—selamanya.
Lensa yang Menangkap Rasa
Sejak saat itu, kebersamaanku dengan Revan semakin sering. Tidak hanya di sekolah, tapi juga di luar sekolah. Terkadang kami berjalan berdua setelah pelajaran selesai, atau duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah, hanya berbicara ringan tentang segala hal. Dan meski tidak banyak kata yang terucap, ada kenyamanan yang terus tumbuh di antara kami.
Satu hal yang membuatku penasaran, Revan selalu tampak lebih terbuka saat dia memegang kameranya. Seakan-akan, kamera itu bukan hanya alat untuk memotret, tetapi juga cara bagi Revan untuk mengekspresikan dirinya. Di setiap lensa yang dia gunakan, aku merasa dia mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar gambar.
Suatu sore, setelah pulang sekolah, Revan mengajakku untuk ikut dengannya ke sebuah taman kecil di pinggir kota. Tempat itu baru saja dia temukan beberapa hari sebelumnya dan katanya, di sana ada banyak pemandangan indah yang bisa dia abadikan.
“Pemandangan yang aku cari selalu ada di tempat-tempat yang jarang dilihat orang,” kata Revan saat aku mengangguk setuju. Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rindang. Udara sore itu segar, dengan angin sepoi-sepoi yang menggerakkan daun-daun pohon.
“Aku suka tempat seperti ini,” ujarku sambil memandang sekitar. “Tenang, nggak banyak orang.”
Revan hanya tersenyum tipis. “Itulah yang aku suka. Kadang, tempat yang tidak ramai justru punya banyak cerita.”
Kami sampai di taman yang dimaksud, dan Revan langsung mengeluarkan kameranya. Aku duduk di bangku kayu di bawah pohon, sementara dia mulai berjalan mencari sudut pandang yang tepat. Setiap kali dia menemukan sesuatu yang menarik, dia akan berhenti, memotret, dan kemudian bergerak lagi. Aku bisa melihat bagaimana matanya berbinar saat dia menemukan sesuatu yang spesial untuk difoto.
Aku memandangi Revan yang sibuk dengan kameranya, merasa semakin penasaran. Dia memang berbeda. Tidak seperti anak laki-laki lain di sekolah yang mudah terlihat ceria dan penuh energi, Revan lebih seperti… seniman yang mencari kedalaman dalam segala hal. Dan entah kenapa, aku merasa ingin tahu lebih banyak tentang dirinya.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita tentang dirimu, Revan?” Tanyaku, mencoba membuka percakapan. “Tentang apa yang kamu sukai selain fotografi.”
Revan berhenti sejenak, menoleh ke arahku. Ada keraguan di matanya, seperti dia berpikir keras tentang apa yang harus dijawab. “Aku… cuma biasa aja sih. Hobi-hobi biasa, kayak nonton film atau baca buku.”
“Film apa yang biasanya kamu tonton?” tanyaku lagi, menginginkan jawaban yang lebih.
Dia memandangku untuk beberapa detik, seolah menilai apakah aku benar-benar tertarik. “Aku suka film dokumenter. Tentang kehidupan. Atau… yang bisa ngasih aku perspektif baru tentang dunia.”
Aku terdiam mendengar jawabannya. Film dokumenter? Aku merasa semakin tertarik. Tidak banyak orang yang suka film jenis itu. Dan Revan, dengan segala ketenangannya, tampaknya memiliki cara pandang yang berbeda tentang dunia ini.
“Berarti kamu suka mencari makna dalam hal-hal yang sederhana, ya?” aku berkata pelan, lebih pada diriku sendiri.
Revan menoleh, memberi tanda bahwa dia mendengarkan. “Iya, kadang, hal yang terlihat biasa aja justru punya banyak makna kalau kita mau cari.”
Aku merasa kalimat itu benar-benar menggugah. Di antara kami yang tidak pernah terlalu banyak bicara, ada banyak kata-kata yang tidak terucapkan namun terasa begitu dalam.
Malam itu, setelah pulang dari taman, aku mendapat pesan dari Revan. Itu bukan hal yang biasa—dia jarang menghubungiku lewat pesan singkat, kecuali jika ada urusan penting.
“Aku kirim foto yang aku ambil tadi. Coba lihat, mungkin kamu suka.”
Aku membuka pesan itu dan melihat foto yang dia kirimkan. Itu adalah foto langit senja yang begitu indah—warna oranye dan merah yang menghangatkan hati. Tapi bukan hanya itu. Aku juga melihat refleksi aku yang samar di permukaan air yang ada di bawah pohon besar. Revan berhasil menangkap momen itu, momen di mana aku merasa seperti bagian dari alam sekitar.
Aku tersenyum, merasa tersentuh. Aku membalas pesan itu dengan cepat.
“Kamu bisa menangkap momen yang indah banget, Revan. Ini keren.”
Beberapa menit kemudian, Revan membalas.
“Terima kasih. Aku senang kalau kamu suka.”
Pesan itu sederhana, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih di balik kata-katanya. Dan entah kenapa, malam itu aku merasa lebih dekat dengannya daripada sebelumnya.
Keesokan harinya, setelah jam pelajaran selesai, aku duduk di bangku favoritku di kantin, menunggu Revan. Kami berencana untuk bekerja sama lagi menyelesaikan tugas sekolah, namun aku tahu, kali ini mungkin akan berbeda. Kami sudah semakin akrab, dan aku bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Saat Revan muncul, dia membawa kamera, seperti biasa. Dia duduk di sebelahku, meletakkan kamera di atas meja. “Kamu masih inget nggak, waktu kita di taman kemarin?” tanyanya, memulai percakapan.
“Tentu aja,” jawabku. “Foto yang kamu kirim ke aku… keren banget, Revan.”
Dia tersenyum, lalu meraih kameranya dan mulai memutar-mutar beberapa foto yang dia ambil. “Aku pikir, kamu bisa lihat dunia dengan cara yang berbeda, kalau kamu benar-benar berhenti sejenak untuk memperhatikannya.”
Aku mengangguk pelan. “Iya, aku ngerti. Mungkin aku harus belajar untuk melihat segala sesuatunya dengan cara yang lebih tenang seperti kamu.”
Dia mengalihkan pandangan ke luar jendela kantin, memandang langit yang tampak biru cerah. “Mungkin kita semua butuh lebih banyak waktu untuk berhenti dan menikmati momen-momen yang lewat.”
Aku meliriknya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa betul-betul mengenal Revan—bukan hanya sebagai teman sekelasku yang pendiam, tapi sebagai seseorang yang memiliki cara pandang hidup yang sangat berbeda.
“Revan,” aku berkata pelan, “Terima kasih, ya, karena sudah… memperkenalkan aku ke dunia yang lebih tenang. Dunia yang selama ini nggak aku lihat.”
Dia menoleh dan memberiku senyum yang sangat tulus. “Sama-sama, Nayara.”
Ada sesuatu yang hangat yang tumbuh di antara kami. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi bisa dirasakan dalam setiap momen yang kami bagi bersama.
Langit senja itu, yang menjadi latar belakang foto pertama yang dia berikan padaku, mulai berubah. Aku tahu, perjalanan kami masih panjang. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa siap menjalani setiap langkahnya bersama Revan.
Mengabadikan Waktu yang Tak Terulang
Hari-hari berlalu begitu cepat, dan tanpa terasa kami sudah berada di minggu terakhir semester ini. Tugas-tugas dan ujian yang mengumpulkan kami di ruang kelas seakan menghapus sedikit rasa malas yang seringkali muncul. Namun, di balik segala rutinitas itu, satu hal yang tetap menarik perhatianku adalah Revan. Semakin hari, kami semakin dekat, lebih dari sekadar teman sekelas yang duduk berdampingan. Rasanya, ada ikatan yang terbentuk dengan cara yang tak biasa, melalui lensa kamera dan percakapan yang tak pernah selesai.
Seperti biasa, Revan mengajakku untuk pergi ke tempat-tempat baru. Kali ini, dia memilih sebuah kafe kecil di ujung kota. Katanya, di sana ada sudut yang bagus untuk foto dan suasananya tenang. Kami berdua berjalan melewati jalan-jalan sempit yang dihiasi dengan lampu-lampu jalanan, menikmati udara malam yang segar.
Aku tertawa pelan saat Revan membahas foto-foto yang dia ambil beberapa hari terakhir. “Kamu benar-benar bisa menangkap momen, Revan. Aku nggak bisa bayangin seberapa banyak waktu yang kamu habiskan buat cari sudut yang sempurna,” kataku dengan rasa kagum.
Dia tersenyum tanpa menjawab, hanya mengangguk sambil melihat-lihat kamera yang ada di tangannya. “Momen itu nggak akan datang dua kali. Jadi, kadang kita harus siap menunggu lebih lama.”
Aku mengerti. Revan selalu punya cara untuk membuat setiap detik terasa berharga. Tidak terburu-buru. Setiap langkah yang dia ambil, setiap keputusan yang dia buat, selalu penuh perhitungan. Mungkin itu sebabnya, dia bisa melihat hal-hal yang tak bisa dilihat orang lain.
Kami sampai di kafe yang dimaksud, sebuah tempat kecil dengan desain yang nyaman dan hangat. Kami duduk di meja pojok dekat jendela besar, menghadap ke jalan yang mulai sepi. Sambil menunggu pesanan, kami berbicara tentang banyak hal—tentang masa depan, tentang impian, dan tentang segala hal yang kadang membuat dunia terasa begitu rumit. Tapi dengan Revan, semuanya terasa lebih sederhana, lebih mudah dicerna.
“Revan,” aku memulai, ragu-ragu, “kamu nggak pernah bilang, sih, apa yang paling kamu impikan. Selain fotografi.”
Dia menatapku sebentar, kemudian menghela napas pelan. “Aku… ingin punya galeri foto sendiri. Tempat di mana orang bisa melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Tapi, itu cuma impian kecil.” Dia terkekeh pelan, namun ada keseriusan yang tersirat dalam suaranya.
Aku terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja dia katakan. “Kamu nggak boleh bilang itu impian kecil, Revan. Itu besar banget. Dan aku yakin, kamu bisa capai itu. Kamu punya cara yang unik untuk melihat dunia.”
Dia mengangkat bahunya, tampaknya tak ingin membicarakan hal itu lebih jauh. “Mungkin. Tapi, buat aku, setiap momen itu lebih penting daripada hasil akhirnya.”
Aku tersenyum kecil, menyadari bahwa kalimat itu adalah cara Revan untuk menjelaskan segala sesuatu yang selama ini dia lakukan. Foto-fotonya bukan hanya sekadar gambar; itu adalah cara dia untuk menangkap momen yang tak bisa diulang, yang hanya bisa dilihat sekali seumur hidup.
Kami menghabiskan waktu lebih lama di sana, menikmati percakapan yang tak pernah berujung. Saat akhirnya kami berdiri untuk pergi, langit malam sudah mulai gelap, dengan bintang-bintang yang mulai bermunculan. Kami berjalan menyusuri trotoar, dalam keheningan yang nyaman.
Aku memandang ke langit, dan tiba-tiba teringat akan satu hal yang selama ini aku rasakan. Revan, dengan segala caranya yang tenang dan penuh pertimbangan, telah mengubah cara aku melihat dunia. Bukan hanya dunia luar, tetapi juga diriku sendiri. Mungkin aku tak akan pernah sepenuhnya memahami alasan di balik setiap keputusan yang aku buat, atau bagaimana perasaan ini bisa tumbuh begitu dalam tanpa aku sadari. Tapi satu hal yang aku tahu pasti—aku merasa hidup, lebih hidup dari sebelumnya.
“Apa kamu pernah merasa, Revan,” aku berkata, pelan namun penuh arti, “bahwa ada satu momen yang kita tak akan pernah bisa lupakan? Momen yang, meski kita tahu tak akan bisa terulang, tetap ingin kita simpan selamanya?”
Dia berhenti sejenak, menoleh padaku. Matanya yang tajam menatapku dalam, seolah mengukur setiap kata yang aku ucapkan. “Aku rasa, semua momen itu penting, Nayara. Semua hal yang kita alami, meski kadang kita tidak menyadarinya, tetap terukir di dalam hati kita.”
Aku mengangguk pelan, meresapi kata-katanya. Tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan besar itu. Tapi mungkin, seperti yang dikatakan Revan, setiap momen memang penting. Tak peduli seberapa kecil atau besar, setiap momen itu bagian dari kita. Dan mungkin, saat ini adalah momen yang paling berarti bagi kami berdua—momen yang tidak akan terulang, tapi akan tetap ada dalam kenangan kami.
Kami berdua berjalan dalam keheningan, menikmati malam yang semakin larut, sementara dunia terus berputar. Tetapi, untuk saat itu, aku merasa seperti waktu berhenti sejenak, memberi ruang bagi kami untuk benar-benar merasakan kebersamaan ini. Sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi bisa dirasakan di setiap detik yang kami habiskan bersama.
Revan berhenti di depan rumahku, dan tanpa berkata apa-apa, dia menoleh ke arahku. Aku tersenyum, merasa hatiku penuh dengan rasa yang sulit diungkapkan.
“Terima kasih, ya,” aku berkata dengan tulus. “Sudah menjadi bagian dari momen-momen yang berarti.”
Dia mengangguk pelan, dan senyum kecil itu kembali muncul di wajahnya. “Kamu juga, Nayara. Sampai ketemu lagi.”
Dan saat aku melangkah masuk ke dalam rumah, aku tahu, bahwa dalam setiap foto yang Revan ambil, ada cerita kami—cerita yang tak akan pernah hilang, meskipun waktu terus berjalan. Karena momen-momen yang kita abadikan dengan hati, tak pernah benar-benar hilang.
Jadi, kadang momen yang paling berharga itu nggak bisa direncanain, kan? Sama kayak Revan dan Nayara, mereka nggak tahu kalau satu momen bakal mengubah semuanya. Hidup itu tentang bagaimana kita mengabadikan setiap detiknya, meski nggak selalu lewat kamera.
Dan siapa tahu, kamu juga punya momen tak terlupakan yang bakal terus teringat, meskipun waktu terus berjalan. Jadi, jangan pernah takut untuk menikmati setiap momen, karena itu yang bikin cerita hidup kita jadi spesial. Sampai ketemu di cerita selanjutnya, ya!