Daftar Isi
Kadang, hidup itu bikin bingung banget. Gak selalu bisa milih antara dua orang yang punya tempat khusus di hati. Dan ketika kamu terjebak di antara dua pilihan, rasanya kayak mau lari ke hutan aja biar gak perlu mikir.
Tapi kenyataannya, kamu gak bisa kabur. Cerita ini tentang cinta segitiga yang gak hanya bikin pusing, tapi juga bikin hati kamu berantakan. Jadi, siap-siap deh, baca sampai habis, karena ini bakal bikin kamu mikir—seberapa besar sih, keputusan itu bisa merubah hidup?
Pilihan Rumit antara Dua Hati
Persimpangan Tak Terlihat
Hari itu aku terbangun dengan perasaan seperti biasa, seolah dunia masih berjalan seperti biasanya. Namun, begitu kaki menjejak lantai dan aku menatap bayangan diriku di cermin, aku tahu, sesuatu telah berubah. Ketenangan yang kuanggap biasa selama ini ternyata hanyalah ilusi. Hati ini mulai terasa lebih berat, penuh keraguan dan kegelisahan yang sulit dijelaskan. Aku tidak pernah merasa begini sebelumnya.
Pagi itu, setelah berjam-jam di perpustakaan, aku memutuskan untuk pergi ke taman kampus, tempat aku bisa menyendiri sejenak, menghapus sedikit kecemasan yang terus menggerogoti. Taman itu tak pernah berubah—sepi, dengan bangku-bangku panjang yang menghadap ke kolam kecil. Aku duduk di sana, menggenggam buku yang sama sekali tak ku baca, hanya untuk mengalihkan perhatian.
Tak lama kemudian, Elian datang. Tentu saja, dia selalu tahu ke mana harus mencariku. Sejak dulu, dia selalu ada di saat-saat aku merasa hilang. Mungkin karena dia mengenal setiap sisi diriku lebih dari siapa pun. Tanpa kata, Elian duduk di sebelahku, memberi ruang yang cukup untuk berbicara tanpa ada tekanan.
“Kenapa diam aja?” tanyanya, sambil memandangku dengan tatapan yang sudah terlalu familiar. Dia tahu aku sedang dilanda kebingungan, meskipun aku berusaha sekuat tenaga menutupi semuanya.
“Aku nggak tahu lagi, El,” jawabku pelan, menatap kolam yang tenang. “Aku merasa seperti berada di persimpangan jalan yang nggak bisa aku lewati. Semua ini terlalu rumit, terlalu berat.”
Elian menghela napas, lalu memiringkan kepala, mencoba menangkap raut wajahku yang tersembunyi. “Maksud kamu apa, Ra? Semua baik-baik aja, kan?”
Aku ingin menjawab, ingin menjelaskan apa yang sedang berputar-putar di pikiranku, tapi mulutku terasa terkunci. Kata-kata itu sulit sekali keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semuanya jika bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hatiku?
“Elian… aku—aku nggak tahu harus bagaimana,” akhirnya aku berbicara, suara serak. “Aku merasa terjebak. Aku cinta… aku mencintai Aidan, tapi di sisi lain, aku juga nggak bisa jauh dari kamu. Kamu selalu ada buat aku, El. Aku… aku nggak tahu harus milih yang mana.”
Elian menundukkan kepala, matanya yang biasa cerah tiba-tiba saja tampak lebih suram. Dia menarik napas panjang, seolah menyaring kata-kataku dalam benaknya. Aku tahu itu menyakitkan baginya, meskipun dia berusaha tidak menunjukkan rasa sakit itu.
“Kamu tahu, Ra,” katanya perlahan, “aku sudah lama tahu tentang perasaanmu ke Aidan. Aku nggak pernah merasa cemburu, kalau itu yang kamu pikirkan. Aku tahu betapa kamu mencintainya, dan aku nggak akan menghalangi itu.” Dia berhenti sejenak, lalu menatapku, matanya serius. “Tapi aku juga tahu perasaanmu ke aku, Ra. Aku nggak bodoh. Kita sudah kenal sejak kecil, kita sudah banyak berbagi, dan aku bisa merasakan kalau ada yang lebih dari sekadar persahabatan di antara kita.”
Aku merasa gelisah. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada menyadari bahwa perasaan yang kita coba sembunyikan sudah terbaca jelas oleh orang yang kita coba lindungi. Aku tidak ingin mengakui bahwa Elian benar. Aku tidak ingin mengatakan bahwa aku juga merasa ada sesuatu yang lebih, tapi entah kenapa, semakin aku mencoba mengabaikannya, perasaan itu justru semakin kuat.
“Aku nggak tahu harus gimana, El,” jawabku, suaraku hampir putus. “Aku takut kalau aku memilih salah, semuanya akan hancur. Aku nggak ingin kehilangan kamu sebagai sahabat, tapi di sisi lain, aku nggak bisa mengabaikan perasaan ke Aidan.”
Elian tidak langsung merespon. Dia memandangi tangan kita yang saling terletak di bangku, seakan mencari sesuatu yang lebih dalam. “Ra,” katanya akhirnya, “aku bukan orang yang bisa memaksamu untuk memilih. Aku cuma… aku cuma ingin kamu tahu satu hal. Kalau kamu bahagia dengan Aidan, aku akan dukung. Tapi kalau ternyata kamu merasa lebih tenang dengan aku, aku juga nggak akan lari.”
“Kenapa kamu bisa ngomong gitu?” tanyaku, terkejut. “Aku… aku nggak bisa memilih, El. Aku nggak bisa memilih antara kalian berdua.”
Elian tersenyum, meskipun senyuman itu tampak sangat berbeda. Tidak ada kebahagiaan di dalamnya, hanya ketulusan yang penuh pengertian. “Karena aku tahu, Ra. Aku tahu kamu sedang bingung. Tapi yang lebih penting adalah, aku nggak ingin kamu menahan dirimu demi aku. Kalau kamu memutuskan untuk memilih Aidan, aku akan ikhlas. Aku nggak akan pernah menyalahkanmu.”
Aku menunduk, perasaan ini semakin menyesakkan dada. Semua yang selama ini kupertahankan, semua yang selama ini kuanggap jelas, kini terasa kabur dan penuh keraguan. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun, tapi dengan keadaan seperti ini, bagaimana aku bisa menghindari rasa sakit itu?
“Elian,” aku mulai, suara serak, “aku takut kehilangan kalian berdua.”
Elian hanya diam, sejenak lalu dia berkata, “Kamu nggak perlu takut. Aku nggak akan pergi, Ra. Apapun yang terjadi, aku akan tetap ada.”
Aku ingin percaya, tapi aku juga tahu bahwa kadang-kadang, kita harus melepaskan sesuatu untuk bisa menerima hal lain. Dan di situlah aku berdiri sekarang—di persimpangan yang tak terlihat, di antara dua perasaan yang tak bisa aku singkirkan.
Aidan, dengan senyum dan perhatian yang begitu tulus, selalu membuatku merasa aman. Namun, Elian… sahabat yang sudah menjadi bagian dari hidupku begitu lama, yang selalu ada di saat-saat sulit. Mana yang harus aku pilih? Mana yang benar-benar layak untuk aku pilih?
Namun, aku sadar, keputusan ini bukan hanya tentang aku. Ini tentang mereka juga, dan aku tidak bisa terus berlarut-larut dalam kebingunganku. Aku harus membuat pilihan. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti waktu itu tidak akan pernah cukup untuk memutuskan.
Langit mulai gelap, dan aku merasa seperti terjebak dalam kegelapan itu, tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kata yang Terpendam
Beberapa hari setelah perbincangan di taman itu, aku mulai merasakan beban di setiap langkahku. Kelas, tugas, bahkan pertemuan santai dengan teman-teman terasa jauh lebih berat dari biasanya. Elian dan Aidan seakan menjadi dua dunia yang sama-sama aku cintai, namun keduanya juga saling menekan, membuatku terhimpit di tengah-tengahnya.
Pagi itu, aku memutuskan untuk bertemu dengan Aidan, berharap bisa melepaskan sedikit kegelisahan yang selama ini mengganggu. Dia selalu memiliki cara untuk membuatku merasa tenang, meskipun aku tahu, rasa itu tak sepenuhnya bisa mengisi kehampaan hatiku.
Kami bertemu di kedai kopi favorit kami. Aidan sudah duduk menungguku di meja yang biasa, dengan secangkir kopi hitam di depannya. Senyumannya yang lebar dan tulus selalu berhasil membuat hati ini sedikit lebih ringan. Dia melihatku datang, lalu melambaikan tangan dengan kegembiraan yang tak pernah berubah.
“Ra! Akhirnya kamu datang juga,” katanya ceria, tanpa menyadari betapa kacau perasaan yang sebenarnya sedang melanda diriku.
Aku hanya membalas dengan senyuman tipis, berjalan menuju meja dan duduk di seberangnya. Kopi yang terhidang di hadapanku tampak seperti sekadar hiasan, karena pikiranku jauh melayang, terombang-ambing antara dua pilihan yang semakin membuatku terjerat.
Aidan memandangku dengan seksama. “Ada apa? Kamu kelihatan agak berbeda,” katanya dengan nada penuh perhatian. “Ada masalah?”
Aku menghela napas. Bagaimana aku bisa menjelaskan perasaan ini padanya tanpa merusak semuanya? Tanpa menghancurkan hubungan yang sudah kami bangun dengan penuh kepercayaan?
“Semuanya baik-baik saja,” jawabku dengan ragu, mencoba menutupi kegelisahan yang menghimpit. “Hanya… banyak pikiran. Tugas, deadline, dan hal lainnya.” Aku berusaha mengalihkan perhatian, berharap bisa menutup rapat-rapat semua perasaan yang tak seharusnya ada.
Tapi Aidan tahu aku lebih dari sekadar teman. Dia mengenal setiap sudut diriku, lebih dalam daripada yang aku ingin akui. Tatapannya yang tajam, meski lembut, menuntut kebenaran.
“Ra,” katanya pelan, “aku tahu kamu bukan tipe orang yang suka menyimpan masalah sendirian. Kalau ada yang mengganggu, kamu bisa cerita, kan? Aku ada di sini buat kamu.”
Kalimat itu membuat hatiku semakin teriris. Perasaan itu—perasaan yang selama ini aku coba hindari—kembali muncul, lebih kuat dari sebelumnya. Aku ingin mengungkapkan semuanya, mengakui apa yang aku rasakan, tapi di sisi lain, aku takut kehilangan Aidan. Takut semuanya hancur hanya karena kebingunganku.
“Aidan, aku…” Aku menggigit bibir, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi semuanya terasa begitu berat. “Aku merasa bingung. Aku nggak tahu harus gimana.”
Aidan menatapku dengan penuh perhatian. “Bingung soal apa?”
Aku menunduk, menatap cangkir kopi yang sudah dingin. “Aku… Aku merasa seperti ada dua dunia yang aku jalani. Aku mencintaimu, Aidan, tapi ada juga sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Sesuatu yang lain, yang aku nggak bisa jelaskan.”
Ada keheningan beberapa detik sebelum Aidan meraih tanganku, menggenggamnya erat. “Ra, apa yang kamu maksud?” tanyanya, suaranya berubah serius, penuh kekhawatiran.
Aku tahu saat itu, aku harus berkata jujur, meskipun aku tahu itu akan merusak banyak hal. “Ada Elian,” aku akhirnya mengatakannya, suara hampir tak terdengar. “Aku juga merasa ada sesuatu antara aku dan Elian. Aku tahu ini salah, tapi aku nggak bisa menghindar dari perasaan itu.”
Tangan Aidan yang memegang tanganku sedikit menggigil. “Jadi… kamu juga punya perasaan ke Elian?” Suaranya terdengar tenang, namun aku tahu dia sedang berjuang menahan amarah atau kekecewaan. “Kamu nggak bisa membandingkan kami berdua, Ra. Aku… aku nggak bisa seperti Elian. Aku tahu aku berbeda.”
Aku merasakan dadaku semakin sesak. “Aku nggak ingin membandingkan kalian, Aidan. Aku… aku hanya bingung. Aku nggak tahu harus pilih siapa. Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi aku juga nggak mau menyakiti Elian. Dia sahabatku, dan aku… aku nggak tahu bagaimana perasaan ini bisa terjadi.”
Aidan melepaskan genggaman tanganku dan menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap langit-langit kedai kopi. “Ra,” katanya dengan nada lebih dalam, “kamu harus memilih. Aku tahu ini nggak mudah, tapi kalau kamu terus seperti ini, kita semua cuma akan terluka. Aku nggak bisa jadi pilihan yang terpaksa.”
Aku terdiam. Kata-kata Aidan menggema dalam pikiranku. Aku tahu dia benar. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mengetahui bahwa orang yang kita cintai merasa terabaikan atau dipilih dengan setengah hati. Aku tidak ingin itu terjadi, tapi perasaanku pun semakin ruwet, semakin sulit dipahami.
“Saya nggak mau kehilangan kamu, Ra,” kata Aidan akhirnya, suaranya pelan, hampir berbisik. “Tapi aku juga nggak ingin kamu terjebak dalam kebingungan ini lebih lama lagi. Jika kamu nggak bisa memilih, mungkin kita harus berhenti sebentar.”
Itu adalah kata-kata yang paling berat yang pernah aku dengar. Aku tahu maksudnya. Jika aku tidak bisa memberi jawaban yang jelas, dia mungkin akan pergi, dan aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kehadirannya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Tapi, Aidan…” aku mulai, suaraku bergetar. “Aku nggak ingin kamu pergi. Aku… aku nggak tahu harus bagaimana.”
Aidan menatapku lama, lalu tersenyum, meskipun senyumnya tampak sangat berbeda. “Kalau begitu, Ra, kamu harus memilih, sebelum semuanya terlambat.”
Aku merasa seperti terseret ke dalam pusaran yang tak berujung. Aku mencintai Aidan, tapi aku juga tahu perasaan aku terhadap Elian bukanlah sekadar persahabatan. Apa yang harus aku lakukan? Dan apakah aku bisa benar-benar memilih tanpa menghancurkan diri sendiri dan orang-orang yang aku cintai?
Jantung yang Terbelah
Hari-hari setelah pertemuan di kedai kopi itu terasa semakin mencekam. Aku merasa seakan hidupku berjalan tanpa arah, seperti sebuah kapal yang terombang-ambing di tengah samudra tanpa kompas. Setiap kali bertemu dengan Aidan, hatiku terasa sesak, namun begitu bertemu dengan Elian, ada perasaan yang tak bisa aku jelaskan, yang membuatku semakin bingung. Dua dunia yang saling bertolak belakang, dan aku terjebak di tengah-tengahnya.
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di taman kampus untuk menenangkan pikiran. Udara segar dan hiruk-pikuk mahasiswa yang berlalu-lalang memberi sedikit ketenangan, meskipun perasaan di dalam dada tetap saja tidak bisa aku hindari. Sesekali, aku melihat sekelompok orang tertawa, berbincang, dan menikmati waktu mereka, tapi aku hanya merasa seperti penonton yang terasingkan dari dunianya sendiri.
Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Saat aku menoleh, aku melihat Elian berjalan ke arahku, wajahnya serius namun tidak tampak marah. Aku menghela napas pelan, merasa seolah tak bisa bersembunyi lagi.
“Ra,” panggilnya dengan suara tenang, meskipun ada nada cemas di baliknya. “Aku butuh bicara denganmu.”
Aku mengangguk pelan, mengingatkan diriku untuk tetap tenang meskipun hati ini ingin berlari sejauh mungkin dari percakapan yang akan terjadi. Elian membawa kami menuju bangku kosong di bawah pohon besar yang sudah mulai meranggas, cuaca mulai terasa lebih dingin dari biasanya.
“Elian, ada apa?” tanyaku dengan suara seragu, berusaha menjaga jarak meskipun hatiku bergetar.
Elian duduk di sampingku, menarik napas dalam-dalam, dan meletakkan kedua tangan di atas pahanya. Aku bisa merasakan ketegangan dalam sikapnya, namun dia berusaha untuk tetap terlihat tenang. “Ra,” katanya, “aku tahu kamu sedang bingung. Aku juga tahu kamu tidak pernah berbohong, tapi aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku.”
Aku menunduk, mengunci pandanganku pada tanah. Aku tidak bisa lagi menahan perasaan ini, tapi bagaimana caranya menjelaskan semuanya? Bagaimana caranya memberi tahu Elian bahwa perasaanku tidak hanya untuknya, tetapi juga untuk Aidan?
“Ra, kamu harus jujur,” lanjut Elian dengan lembut. “Aku sudah tahu bahwa ada sesuatu yang berubah antara kita. Aku bisa merasakannya, meskipun kamu coba untuk tutupi.”
Perasaanku semakin kacau. Aku ingin mengungkapkan semua yang ada di hati ini, tapi kata-kata itu terasa begitu sulit untuk diucapkan. Apa yang harus aku katakan? Aku mencintai kalian berdua, atau lebih tepatnya, aku mencintai bagian dari kalian yang saling bertentangan dalam diriku.
“Elian,” akhirnya aku memulai, suara aku bergetar. “Aku… Aku merasa terjebak. Aku nggak bisa memilih. Aku mencintaimu, tapi aku juga…”
“Aidan,” jawab Elian dengan nada datar. “Aku tahu, Ra. Aku sudah tahu sejak lama.”
Aku menatapnya dengan mata terbuka lebar. “Kamu tahu?”
Elian hanya mengangguk pelan, senyum pahit terukir di wajahnya. “Aku bukan orang bodoh, Ra. Aku lihat cara kamu melihatnya. Aku lihat bagaimana kamu selalu meliriknya saat kami ada bersama. Aku tahu.”
Aku terdiam, hatiku terasa seperti diremas-remas. Perasaan bersalah dan rasa takut akan kehilangan membuatku ingin menangis, tapi aku menahannya. Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan lebih lama lagi.
“Aku nggak pernah ingin menyakiti kamu, Elian,” aku akhirnya berkata, suara hampir tak terdengar. “Aku nggak tahu kenapa aku bisa merasa seperti ini. Aku merasa bingung dengan perasaanku sendiri.”
Elian menatapku dengan mata yang dalam, seakan mencoba membaca setiap gerak-gerikku. “Ra,” katanya dengan lembut, “aku tahu ini bukan salahmu. Aku tahu kamu nggak sengaja menciptakan perasaan itu. Tapi aku juga nggak bisa melihatmu terjebak dalam kebingungan ini terus-menerus. Itu bukan sesuatu yang mudah.”
Aku terdiam, tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi. Jauh di dalam hatiku, aku tahu bahwa Elian benar. Tapi apakah aku bisa memilih? Apakah aku bisa melepaskan salah satu dari mereka dan melanjutkan hidupku? Aku tidak tahu jawabannya.
“Ra, aku nggak bisa menunggu terus,” lanjut Elian. “Aku nggak akan memaksamu untuk memilih sekarang, tapi aku juga nggak ingin melihatmu menderita karena kebingungan ini. Kamu harus memutuskan.”
Aku merasa seakan dunia berhenti berputar. Aku ingin berteriak, ingin melepaskan segala kebingunganku, tetapi kata-kata itu terpendam begitu dalam. Aku tahu apa yang harus aku lakukan, tetapi kenapa rasanya begitu berat? Kenapa pilihan ini terasa seperti mengorbankan bagian dari diriku?
“Aku nggak ingin kehilangan kamu, Elian,” aku berkata dengan suara bergetar, “tapi aku juga nggak mau menghancurkan hubungan kita hanya karena kebingunganku. Aku… aku butuh waktu.”
Elian menatapku lama, seperti mencoba membaca apa yang tersirat dalam diriku. Lalu dia menarik napas, perlahan mengangguk. “Aku mengerti, Ra. Aku akan memberimu waktu. Tapi aku ingin kamu ingat satu hal: aku akan selalu ada untuk kamu, apa pun yang kamu pilih.”
Aku merasa hati ini teriris. Tapi aku juga tahu, mungkin inilah yang terbaik. Mungkin aku butuh waktu untuk bisa memutuskan dengan benar. Namun, aku tidak tahu apakah waktu itu akan pernah datang, atau jika aku hanya akan terjebak dalam keraguan yang tak pernah berujung.
Di saat itu, aku hanya bisa duduk diam di samping Elian, merasakan betapa beratnya keputusan yang harus kutanggung.
Kadang, kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai, bukan karena kita tidak peduli, tapi karena itu adalah satu-satunya cara agar semua bisa menemukan jalannya masing-masing. Cinta itu memang rumit, kadang bahkan menyakitkan.
Tapi setelah semua selesai, yang tersisa adalah kenangan—kenangan yang mungkin gak bisa diubah, tapi bisa diajarkan kita untuk lebih kuat menghadapi pilihan hidup. Jadi, meski perpisahan itu pahit, siapa tahu, di ujung sana ada kebahagiaan yang menunggu.