Daftar Isi
Diamnya Cinta yang Tak Pernah Padam
Hujan yang Merintih
Hujan turun dengan gemuruh yang mengisi seluruh sudut kota. Goyangan tiap tetes air yang jatuh ke bumi seakan memainkan sebuah simfoni kesedihan yang dalam. Di sebuah apartemen kecil di jantung kota, seorang pria bernama Sahlan duduk di atas sofa yang sudah terlalu lama tak terisi kebahagiaan. Wajahnya yang pucat mencerminkan kesunyian yang menghantuinya.
Sahlan adalah seorang penulis yang hidup dalam dunianya sendiri. Rumahnya dipenuhi oleh buku-buku tua dan alat tulis yang tersebar tak beraturan di sekitarnya. Ia lebih sering menjalin hubungan dengan kata-kata yang ia ciptakan daripada dengan manusia yang ada di sekitarnya. Hidupnya adalah dunia kata-kata yang ia susun dengan hati yang sendu.
Pada pagi itu, Sahlan duduk di depan meja kerjanya yang kusam. Kertas kosong menanti pena yang akan menciptakan cerita-cerita baru. Namun, meskipun selembar kertas putih tampak begitu sederhana, ia merasa seperti beban yang terlalu berat untuk dipikul. Kata-kata yang biasanya begitu mudah untuk mengalir dari pikirannya, kini terasa terkekang oleh sesuatu yang ia tak bisa mengidentifikasinya.
Sahlan membuka jendela kamarnya. Hujan masih turun dengan lebatnya, seakan mencerminkan perasaannya yang kusut dan kelam. Suara gemuruh dan tetesan air di atap menciptakan irama yang melankolis. Tapi, justru dalam hujan itulah, ia merasa ada sesuatu yang bisa ia hubungkan dengan perasaannya yang terjebak dalam diam.
Selama beberapa bulan terakhir, Sahlan telah terjebak dalam perasaan cintanya yang tak terbalas. Seorang wanita bernama Sitiara telah merasuk dalam hatinya seperti hujan lebat yang tak pernah berhenti. Mereka adalah sahabat baik sejak masa sekolah, namun Sahlan tak pernah berani mengungkapkan perasaannya yang dalam kepada Sitiara.
Sitiara adalah sumber inspirasinya dalam menulis, tetapi juga penyebab kesedihannya yang mendalam. Dia mencintai Sitiara lebih dari sekadar seorang sahabat, dan perasaannya semakin dalam setiap kali melihat senyuman manisnya. Tetapi ia hanya bisa diam, karena takut akan kehilangan sahabat terbaiknya.
Hari demi hari, Sahlan menyimpan cinta dan rindunya dalam diam. Dia mencoba untuk mengekspresikannya melalui kata-kata yang ia tulis di dalam cerita-ceritanya, tetapi perasaannya terus menggelayuti hatinya. Sitiara tetap tak tahu tentang perasaannya, dan dunia luar terus berputar tanpa menyadari betapa dalamnya kesedihan yang ia rasakan.
Hujan terus turun, mencuci kebingungannya dan mengingatkannya pada kesedihan yang tak pernah hilang. Sahlan menutup jendela dan kembali ke meja kerjanya yang kusam. Kertas kosong masih menanti, tetapi kali ini, ia merasa lebih siap untuk menghadapinya.
Mungkin saatnya untuk mencurahkan perasaannya ke dalam kata-kata, bahkan jika hanya ada selembar kertas putih yang mendengarkan. Meskipun cintanya masih tak terbalas, ia tahu bahwa menulis adalah cara untuk meredakan perasaannya yang terjebak dalam diam. Dan dengan pena di tangan, ia mulai menulis kisahnya sendiri, menceritakan cinta yang tak pernah terucapkan dan kesunyian yang selalu mengiringinya.
Kebersamaan yang Penuh Penyesalan
Sahlan terus hidup dalam kesunyian yang mendalam, dan setiap hari, rasa sedihnya semakin dalam. Ia mencoba untuk menjalani hidupnya sebagaimana mestinya, tetapi ada satu hal yang selalu membuatnya terluka: melihat Sitiara bahagia bersama orang lain.
Sitiara akhirnya menemukan cinta dalam pelukan orang lain. Sahlan melihatnya dari kejauhan, bagaimana senyumnya yang dulu pernah menyinari harinya, kini terpancar kepada pria yang beruntung itu. Mereka tertawa bersama, berjalan berdua di taman, dan berbagi momen-momen yang penuh kebahagiaan. Momen-momen yang dulu Sahlan harapkan bisa dia lalui bersama Sitiara.
Ketika ia melihat Sitiara bahagia dengan orang lain, rasa sedihnya semakin dalam. Ia merasa seperti cinta yang ia simpan dalam diam selama ini sia-sia belaka. Semua kenangan indah yang pernah mereka miliki sekarang terasa pahit dalam hatinya. Dan ia merasa penyesalan yang mendalam, menyesal tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya kepada Sitiara.
Suatu hari, Sahlan mendengar bahwa Sitiara dan pasangannya berencana untuk menikah. Berita itu membuatnya terdampar dalam ombak keputusasaan. Ia merenungkan semua momen-momen indah yang pernah ia bagikan dengan Sitiara, dan semua momen itu terasa seperti mimpi yang tak bisa dia nikmati sepenuhnya.
Dalam satu malam yang gelap, Sahlan duduk sendiri di balkon apartemennya, melihat bintang-bintang yang berkilau di langit. Angin malam bertiup sejuk, tetapi hatinya terasa begitu dingin dan hampa. Ia merasa seperti pecahan-potongan kenangan yang tak bisa dipulihkan.
Dalam kesedihannya yang mendalam, Sahlan mengingat kembali semua kata-kata yang ingin ia katakan pada Sitiara, semua perasaan yang ingin ia ungkapkan. Tetapi sekarang, semuanya terlambat. Sitiara telah menemukan cinta sejatinya, dan Sahlan hanya bisa merenungkan momen-momen yang telah berlalu dengan penyesalan yang tak berujung.
Sahlan tahu bahwa ia harus melanjutkan hidupnya, meskipun cintanya terluka. Tetapi ia juga tahu bahwa kenangan tentang Sitiara akan selalu tinggal dalam hatinya, sebagai luka yang tak pernah sembuh. Ia menghormati kebahagiaan Sitiara, tetapi dalam hatinya, ia selalu akan merindukannya dengan cinta yang tak pernah terucapkan. Dan dalam kegelapan malam yang sunyi, ia hanya bisa merenungkan momen-momen yang telah berlalu dengan penuh penyesalan.
Surat Cinta yang Terlambat
Hari-hari terus berlalu, dan Sahlan mencoba untuk menerima kenyataan bahwa Sitiara telah menemukan cinta sejatinya di pelukan orang lain. Namun, perasaannya yang mendalam untuk Sitiara tak pernah pudar. Setiap kali ia melihat wajahnya, setiap kali ia mendengar namanya, rasa cintanya semakin dalam, meskipun ia tahu bahwa cinta itu takkan pernah terwujud.
Suatu pagi, ketika ia sedang membersihkan apartemennya, Sahlan menemukan selembar surat tua yang tersembunyi di antara tumpukan buku-buku lama. Surat itu adalah salah satu kenangan yang ia simpan sejak masa sekolah. Ini adalah surat cinta yang pernah ia tulis untuk Sitiara, tetapi tidak pernah ia kirimkan.
Sahlan membaca surat itu dengan mata berkaca-kaca. Di dalamnya, ia mengungkapkan semua perasaannya yang terpendam, semua kerinduannya, dan semua penyesalannya. Ia menulis tentang bagaimana ia selalu mencintai Sitiara dalam diam, tentang bagaimana setiap senyumannya adalah sinar matahari di tengah badai dalam hatinya. Ia juga menulis tentang penyesalannya yang mendalam karena tak pernah berani mengungkapkan perasaannya.
Surat itu adalah ungkapan perasaannya yang paling jujur, yang tak pernah ia katakan kepada siapa pun. Ketika ia menutup surat itu, ia merasa seperti ia telah melepaskan beban yang selama ini menghantuinya. Ia tahu bahwa surat itu takkan pernah ia kirimkan kepada Sitiara, karena kini sudah terlambat.
Namun, semangat yang ia temukan dari surat itu membuatnya berpikir bahwa ia harus mengungkapkan perasaannya, meskipun terlambat. Ia ingin memberikan Sitiara surat itu, sebagai tanda penghormatan terakhirnya kepada perasaan yang selalu ia simpan dalam diam.
Malam itu, di bawah langit yang berkilauan dengan bintang-bintang, Sahlan pergi ke rumah Sitiara. Ia menatap rumah itu dengan hati yang berdebar-debar, memikirkan apa yang akan ia katakan nanti. Ia tahu bahwa Sitiara bahagia dengan orang lain, tetapi ia merasa bahwa ini adalah langkah yang harus ia ambil untuk menutup babak cintanya yang tidak pernah terucapkan.
Sitiara membuka pintu, dan matanya memancarkan kejutan dan senyuman. “Sahlan, apa yang sedang kamu lakukan di sini?”
Sahlan menjawab dengan suara lembut, “Sitiara, aku punya sesuatu untukmu.” Ia menyerahkan surat cinta itu kepada Sitiara.
Sitiara membaca surat itu dengan perasaan campur aduk. Air mata mulai mengalir di pipinya ketika ia membaca kata-kata yang begitu jujur dan tulus. Surat itu membuatnya teringat akan semua momen-momen indah yang mereka bagikan bersama. Ia tahu bahwa Sahlan adalah sahabat sejatinya, dan sekarang ia merasa bersyukur bahwa ia pernah ada dalam hidupnya.
Ketika ia selesai membaca surat itu, Sitiara menatap mata Sahlan dengan kehangatan. “Terima kasih, Sahlan. Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini adalah hadiah yang sangat istimewa.”
Sahlan tersenyum, meskipun hatinya masih terasa berat. “Aku hanya ingin kamu tahu betapa besar cintaku padamu, meskipun terlambat.”
Sitiara meraih tangan Sahlan dengan lembut. “Sahlan, kamu akan selalu menjadi sahabat terbaikku. Aku tahu bahwa cintamu adalah hadiah yang berharga, dan aku akan selalu menghargainya.”
Mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita-cerita tentang masa lalu, tertawa bersama, dan merasakan kedekatan yang mereka miliki. Walaupun cinta mereka tak pernah terwujud, mereka tahu bahwa mereka akan selalu memiliki tempat istimewa dalam hati satu sama lain.
Di bawah cahaya bulan dan bintang, Sahlan dan Sitiara berbagi momen yang penuh emosi, sedih, dan romantis. Meskipun cinta mereka tak pernah memiliki masa depan bersama, mereka menemukan kedamaian dalam mengungkapkan perasaan mereka yang selama ini terpendam. Dan dalam keheningan malam yang indah, mereka tahu bahwa kenangan ini akan selalu menjadi bagian dari kisah mereka yang takkan terlupakan.