Cerpen Cinta Rumit: Perpisahan yang Membawa Kedamaian

Posted on

Jadi, kadang kita semua merasa cinta itu kayak jalan berliku yang nggak ada ujungnya. Ada yang bilang, cinta itu indah, tapi buat Nadia dan Fadly, cinta malah jadi rumit dan bikin kepala pusing.

Perpisahan, ego, dan perasaan yang saling tabrakan, semuanya ada di sini. Kalau kamu lagi butuh cerita yang bikin mikir tentang apa arti melepaskan dan mencari kedamaian, cerpen ini bakal ngasih kamu sesuatu yang mungkin nggak kamu duga. Siapin hati, ya!

 

Cerpen Cinta Rumit

Di Bawah Kabut Kota Kecil

Di sebuah kafe yang terletak di sudut kota, suara mesin espresso dan percakapan pengunjung saling bersahutan. Kafe kecil ini selalu dipenuhi oleh aroma kopi yang baru diseduh dan sentuhan musik jazzy yang lembut. Hujan di luar menambah kesan hangat, membuat setiap orang yang berada di dalam merasa nyaman, meskipun hanya untuk sejenak.

Nadia duduk di sudut ruangan, menggenggam cangkir cappuccino yang sudah mulai dingin. Ia menatap ke luar jendela, memperhatikan tetesan hujan yang mengalir turun membasahi trotoar. Kota ini selalu begitu sepi, bahkan di tengah keramaian. Tak ada yang benar-benar bisa mengerti bagaimana rasanya terjebak dalam suasana seperti ini, hanya dirinya yang tahu betapa menyesakkan semua perasaan yang bergejolak dalam dadanya.

Ketika pintu kafe terbuka, ia mendongak. Fadly masuk, terlihat agak tergesa-gesa, dengan jaket hitamnya yang basah terkena hujan. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat sedikit lelah. Sepertinya ia baru saja terburu-buru meninggalkan pekerjaan atau entah apa yang membuatnya seperti itu.

Fadly menuju meja yang telah dipesan, langsung duduk di hadapannya tanpa berkata apa-apa. Nadia menatapnya, masih ada sedikit kesal di matanya. Seperti biasa, Fadly selalu datang terlambat, meskipun mereka sudah sepakat untuk bertemu di sini.

“Kenapa selalu terlambat?” Nadia mulai membuka percakapan, suaranya sedikit terkesan dingin, lebih karena kebiasaan daripada niat yang buruk. “Kamu tahu kan, aku gak suka menunggu.”

Fadly menarik napas dalam-dalam dan menatapnya, tampak tidak terkejut dengan nada berbisa yang keluar dari mulut Nadia. “Aku tahu. Maaf,” jawabnya, tapi tidak ada penyesalan nyata dalam suaranya. “Tadi ada sedikit urusan yang gak bisa dihindari.”

“Urusan? Lagi-lagi urusan?” Nadia tertawa kecil, seolah tidak percaya dengan jawabannya. “Kamu selalu punya alasan, kan? Kenapa aku merasa setiap kali ada aku, kamu selalu punya alasan untuk pergi?”

Fadly diam, matanya menyiratkan kebingungannya. “Nadia, kita sudah bicara tentang ini sebelumnya. Aku nggak ingin masalah kecil jadi besar. Aku cuma butuh waktu untuk sendiri, kamu tahu itu.”

“Aku gak ngerti kenapa kamu selalu butuh ‘waktu untuk sendiri’. Aku cuma butuh perhatian, Fadly,” jawab Nadia, matanya sedikit memerah, menahan rasa sakit yang mulai muncul. “Kenapa itu selalu terlalu sulit buat kamu?”

Fadly memandangi Nadia, kali ini lebih serius. “Kamu tahu aku bukan orang yang suka terbuka dengan perasaan. Cinta buatku bukan hal yang harus selalu ditunjukkan. Kadang aku butuh waktu untuk memikirkan segala hal yang terjadi.”

Nadia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Fadly dengan tatapan yang sulit diartikan. “Mungkin itu masalahnya. Kamu terlalu banyak berpikir, Fadly. Semua yang kamu lakukan itu cuma alasan untuk menghindar. Kamu nggak pernah benar-benar ada untuk aku.”

Ada jeda panjang di antara mereka. Hanya suara hujan dan deru mesin kopi yang bisa terdengar. Fadly menghindari tatapan Nadia, meremas gelas air putih yang ada di depannya. Nadia menunggu, seakan menantikan sebuah penjelasan yang tidak pernah datang.

“Jadi, apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?” Fadly akhirnya bertanya, suaranya mulai terdengar lebih lelah. “Kenapa kita selalu seperti ini? Seperti saling menyalahkan, tapi tidak ada yang benar-benar mengerti.”

Nadia tidak langsung menjawab. Matanya teralihkan ke luar jendela, ke jalanan yang masih basah oleh hujan. Ia merasa bingung, bahkan dengan dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari Fadly? Kadang ia merasa cemas, seakan dirinya tak akan pernah cukup, meski ia telah memberi semuanya.

“Aku cuma ingin merasa dicintai,” jawab Nadia, suaranya pelan namun penuh beban. “Aku nggak bisa terus berharap tanpa tahu apakah aku berarti buat kamu.”

Fadly menatapnya, dan dalam diam mereka hanya saling menatap satu sama lain. Keheningan itu terasa begitu berat, seolah waktu berhenti. Fadly ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata seakan macet di tenggorokannya. Mungkin dia merasa tak pernah cukup untuk menjelaskan segala sesuatunya kepada Nadia. Namun di sisi lain, Nadia juga merasa begitu terjepit dalam hubungan yang penuh dengan perdebatan ini. Dia ingin sekali melepaskan, tetapi hatinya justru makin terikat.

“Kamu tahu, setiap kali kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang hilang,” Nadia akhirnya berkata, lebih kepada dirinya sendiri daripada Fadly. “Tapi aku nggak tahu harus bagaimana. Seolah ada dinding yang dibangun di antara kita, dan aku nggak bisa menghancurkannya.”

Fadly menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang tak bisa ia katakan. “Aku juga merasa seperti itu, Nadia. Tapi aku nggak tahu caranya.”

Mereka saling terdiam dalam keheningan yang semakin lama semakin menekan. Hujan di luar semakin deras, seakan ikut merasakan perasaan yang bergejolak di dalam hati mereka. Terkadang, meskipun berada di ruangan yang sama, perasaan kesepian bisa begitu mencekam.

Nadia menarik napas panjang dan meletakkan cangkir cappuccino yang sudah hampir habis. “Aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan lagi, Fadly. Tapi rasanya, kita cuma melukai satu sama lain.”

Fadly hanya bisa mengangguk pelan, tak ada kata-kata yang bisa keluar. Mereka kembali terdiam, menikmati suasana yang dingin dan penuh dengan ketegangan. Mungkin, perasaan mereka memang sudah terlalu rumit untuk diselesaikan hanya dengan kata-kata.

Namun, ada satu hal yang mereka berdua tahu: meskipun perdebatan tak pernah selesai, meskipun setiap kali mereka bertemu selalu berakhir dengan luka, mereka tak bisa saling melepaskan. Ada sesuatu yang mengikat mereka, meskipun itu adalah sesuatu yang menyakitkan.

Dan malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, mereka tetap duduk bersebelahan di kafe yang penuh dengan suara hujan, saling membisu.

 

Perang Kata, Hati Terluka

Malam itu berlanjut tanpa banyak kata. Nadia dan Fadly tetap berada di kafe yang sama, duduk dalam diam yang semakin menekan. Hujan masih mengguyur kota kecil itu, menambah kesan murung di sekeliling mereka. Saat suasana terasa semakin hampa, Nadia akhirnya bangkit dari kursinya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang harus dilakukan, meskipun dirinya pun tak tahu apa itu.

“Fadly,” Nadia memulai, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, namun tetap ada sedikit ketegangan. “Aku… Aku butuh waktu sendiri. Aku nggak bisa terus-terusan seperti ini.”

Fadly menoleh cepat, seolah kata-kata itu lebih keras dari yang dia duga. Ia menyipitkan mata, mencoba menangkap maksud Nadia. “Kamu… apa maksudnya ‘waktu sendiri’? Kenapa kamu tiba-tiba bilang itu sekarang?”

Nadia menggigit bibir bawahnya, menghindari tatapan Fadly yang tajam. “Aku butuh ruang. Ruang untuk berpikir. Aku nggak bisa terus berlarut-larut dalam hubungan yang tidak jelas. Kamu tahu itu kan?” Suaranya sedikit pecah, tapi ia berusaha untuk tetap tegar. “Aku nggak bisa terus memaksakan diri, Fadly. Aku lelah.”

Fadly terdiam sejenak, matanya mulai menunjukkan sedikit kebingungan yang lebih dalam. Sepertinya, semua percakapan ini bukanlah yang ia harapkan. “Nadia, kamu selalu begitu. Kenapa kita harus terus menyelesaikan masalah dengan pergi dan menjauh? Kenapa tidak bisa bicara dengan jujur?”

“Jujur?” Nadia menyeringai, sedikit tertawa pahit. “Kamu mau aku jujur? Aku sudah jujur sejak lama, Fadly. Tapi kamu tidak pernah benar-benar mendengarkan.”

Suasana semakin panas, meski hujan di luar semakin deras. Keduanya berada dalam perang kata-kata yang tak terhindarkan, dan Nadia merasa kesal karena semua kata-katanya seakan mengalir begitu saja tanpa bisa dihentikan. Fadly pun, meski tak terlalu menunjukkan perasaan, seakan merasakan beban yang sama.

“Tapi aku nggak mengerti,” Fadly akhirnya berkata dengan suara yang lebih rendah, berusaha menenangkan dirinya. “Kenapa sekarang? Kenapa setelah kita melewati semuanya, kamu justru memilih mundur? Apa karena aku nggak bisa memberi apa yang kamu mau?”

“Ini bukan tentang itu,” Nadia menjawab cepat. “Aku bukan hanya butuh perhatian atau kasih sayang. Aku butuh kepastian, Fadly. Kita berdua selalu hidup dalam ketidakpastian, seolah tidak ada ujungnya. Aku takut, jika terus bertahan, kita malah makin tersesat.”

Fadly menarik napas panjang, memegang kepalanya sejenak. Ia merasa terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berujung. “Aku… aku nggak tahu harus gimana. Setiap kali kita bicara, aku merasa makin jauh. Kamu bilang kamu butuh ruang, tapi aku cuma nggak tahu ruang itu untuk apa. Apa itu cuma alasan buat pergi?”

Nadia menatapnya dengan tajam, tak bisa menahan kekesalannya. “Aku nggak pergi, Fadly. Aku cuma butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku merasa seperti selalu menjadi yang salah dalam hubungan ini, dan aku nggak tahu bagaimana lagi menghadapinya.”

Sekali lagi, ada keheningan di antara mereka. Fadly merasa kesal, cemas, dan sekaligus bingung. Nadia hanya menatapnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Semua yang ia ucapkan barusan, ia rasakan begitu dalam, seakan sudah terlalu lama terpendam dan akhirnya pecah begitu saja.

“Jika kamu merasa seperti itu, berarti kita sudah benar-benar salah, kan?” Fadly berkata pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Aku nggak bisa terus menahan kamu di sini kalau kamu nggak bahagia.”

Nadia merasa sebuah perasaan yang sangat berat menimpanya. Ia tahu kata-kata Fadly itu adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapi, meski ia tak siap. “Aku… aku nggak tahu. Mungkin ini salahku, Fadly. Aku terlalu egois. Aku selalu ingin lebih dari apa yang bisa kamu beri, dan aku nggak bisa berhenti menuntut.”

Fadly menatapnya lama, matanya penuh dengan keletihan. “Aku nggak tahu apakah aku bisa memberikan apa yang kamu butuhkan, Nadia. Aku cuma tahu, kalau aku bisa, aku akan mencoba.”

Namun, kata-kata itu malah menambah luka di hati Nadia. Ia ingin sekali percaya pada Fadly, ingin sekali merasakan bahwa semuanya bisa diperbaiki. Tapi kenyataannya, ada banyak hal yang sudah rusak dan tak bisa diperbaiki hanya dengan janji-janji kosong.

“Kadang aku merasa kita terlalu keras kepala,” Nadia akhirnya berkata, nada suaranya lebih lembut, namun tetap penuh perasaan yang terpendam. “Aku merasa kita saling mencintai, tapi kita justru menyakiti satu sama lain.”

Fadly tak bisa berkata apa-apa. Ia tahu persis bahwa apa yang Nadia katakan itu benar. Mereka berdua terjebak dalam perasaan yang begitu kuat, tapi entah kenapa, cinta mereka justru menyakiti lebih daripada yang bisa mereka beri.

“Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?” Fadly bertanya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Apakah kita benar-benar berakhir di sini?”

Nadia memejamkan mata sejenak, mencoba mencari ketenangan dalam pikirannya yang kacau. Ia tahu jawabannya, meskipun hatinya berat untuk mengatakannya. “Aku nggak tahu. Aku cuma butuh waktu.”

Mereka saling menatap satu sama lain, namun tak ada kata-kata yang bisa menghapus jarak yang semakin terasa di antara mereka. Semua yang pernah ada, semua yang pernah terasa begitu hidup, kini terasa seperti kabut yang perlahan menghilang.

Di bawah cahaya temaram kafe itu, mereka tetap duduk berseberangan, seolah membiarkan hujan di luar menjadi saksi bisu dari semua perasaan yang tak terucapkan.

Dan malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, mereka kembali terluka, tanpa ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa cinta mereka tak pernah berjalan mulus.

 

Jalan yang Terpisah

Pagi datang dengan kabut yang masih menyelimuti kota, dan keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya. Nadia terbangun dengan perasaan kosong, seakan seluruh malam yang berat itu hanya membekas di dalam benaknya tanpa bisa dihapus. Meskipun begitu, ada sesuatu yang terasa berbeda hari ini. Mungkin, ini adalah titik balik yang ia tunggu-tunggu—atau yang lebih tepat, yang harus ia hadapi.

Di ruang tamu apartemennya, Nadia duduk dengan secangkir kopi di tangan. Pagi yang seharusnya memberi kelegaan malah terasa penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Ponselnya tergeletak di meja, dan ia merasa sedikit takut untuk memeriksa pesan-pesan yang mungkin sudah datang. Namun, akhirnya ia meraih ponselnya dan membuka layar. Ada satu pesan dari Fadly, sudah beberapa jam yang lalu.

Fadly: Aku ingin kita bicara lagi. Aku tahu ini berat, tapi aku nggak bisa terus seperti ini.

Nadia menatap pesan itu lama. Hatinya bergejolak, seolah ia ingin segera membalas, namun kata-kata itu sulit sekali keluar. Ada perasaan yang mengganjal, seperti ada luka yang belum sembuh dan ia tak tahu harus bagaimana untuk menutupnya.

Tepat saat itu, ponselnya berdering, dan Nadia hampir terlonjak kaget. Itu panggilan dari Fadly. Ia menatap layar dengan ragu sebelum akhirnya mengangkatnya.

“Halo?” Nadia mengucapkan kata pertama dengan suara sedikit serak, mencoba menenangkan dirinya.

“Halo, Nadia,” suara Fadly terdengar serak, seolah ia juga merasa tidak nyaman dengan percakapan ini. “Aku… aku cuma mau bilang kalau aku nggak ingin kita berakhir seperti ini. Aku nggak mau kita cuma saling diam dan membiarkan semuanya terpendam.”

Nadia menarik napas dalam-dalam, menatap langit di luar jendela yang mendung. “Fadly… kita sudah terlalu sering berbicara tentang hal yang sama. Aku nggak tahu lagi apa yang bisa kita bicarakan.”

“Apa kamu benar-benar ingin berakhir? Setelah semuanya yang kita lewati?” suara Fadly terdengar penuh keputusasaan, membuat hati Nadia serasa tercekat.

“Ini bukan tentang ingin atau tidak, Fadly,” jawab Nadia dengan pelan. “Tapi aku merasa, kita berdua nggak pernah benar-benar bisa saling memahami. Kita selalu berdebat, selalu merasa nggak dihargai. Bahkan ketika kita mencoba membuat sesuatu berjalan, kita malah semakin jauh.”

Fadly terdiam sejenak, seolah kata-kata Nadia menamparnya begitu keras. “Aku nggak pernah menganggap kamu nggak dihargai, Nadia. Aku cuma nggak tahu bagaimana cara untuk membuat semuanya jadi lebih baik. Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”

“Kadang-kadang, Fadly,” Nadia melanjutkan, suaranya hampir tak terdengar, “kadang aku merasa kita lebih baik tanpa satu sama lain. Kita sudah terlalu banyak sakit hati, terlalu banyak ego yang saling berbenturan. Mungkin ini waktunya untuk kita berhenti.”

Terdengar napas panjang dari Fadly di ujung telepon. “Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan kalau kita berakhir. Aku nggak tahu caranya hidup tanpa ada kamu di sisi aku.”

Nadia menutup matanya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. “Aku nggak bisa terus hidup dalam ketidakpastian, Fadly. Aku butuh sesuatu yang lebih dari sekedar janji.”

“Aku janji akan berusaha, Nadia. Aku janji akan berubah, akan melakukan apa pun agar kita bisa jadi lebih baik. Tapi aku nggak tahu lagi apa yang kamu butuhkan.”

Puncak dari semua ketegangan itu seperti meledak begitu saja. Nadia merasakan hatinya retak, tapi ia tahu, itu bukan hanya karena Fadly. Itu juga karena dirinya sendiri. Ia tak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan, dan ia juga tak tahu apakah ia bisa percaya lagi pada perasaan yang pernah mereka bangun.

“Sebenarnya, aku juga nggak tahu lagi, Fadly,” kata Nadia, suara itu kini terasa lebih berat. “Aku sudah terlalu lama bertahan. Dan sekarang, aku merasa aku butuh untuk berjalan sendiri.”

Di ujung telepon, Fadly terdiam. Hening yang mematikan mengisi ruang di antara mereka berdua. Tak ada yang bisa ia katakan lagi. Semua kata-kata yang sebelumnya ingin diucapkan terasa begitu sia-sia.

“Aku… aku paham,” akhirnya Fadly berkata pelan, suara itu semakin terasa kosong. “Aku akan menghormati keputusan kamu. Aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap bertahan. Tapi ingat, Nadia… aku nggak akan pernah lupa semua yang kita lewati.”

“Terima kasih,” Nadia hanya bisa berkata itu, meski hatinya merasa jauh lebih kosong dari yang ia bayangkan.

Setelah telepon itu berakhir, Nadia meletakkan ponselnya di meja dan menatap ke luar jendela. Hujan masih mengguyur dengan derasnya, seperti mencerminkan perasaannya yang tak bisa berhenti menangis. Tapi ada rasa lega yang muncul perlahan. Entah ini keputusan yang tepat atau salah, tapi setidaknya ia tahu, ia harus melangkah maju.

Nadia meraih tasnya, berjalan menuju pintu. Ia tahu, keputusannya untuk melepaskan Fadly tidak datang dengan mudah. Namun, kadang-kadang, melepaskan adalah satu-satunya cara untuk menemukan kedamaian.

Dengan langkah pelan, ia keluar dari apartemennya, membiarkan hujan membasahi rambut dan wajahnya. Kali ini, hujan bukan lagi musuh. Hujan seperti sahabat yang menemaninya dalam perjalanan panjang yang baru saja dimulai.

Jalan mereka memang telah terpisah, dan tak ada yang bisa mengubahnya. Namun, Nadia tahu, meskipun perasaan sakit itu mungkin akan terus ada, ia harus belajar untuk menerima kenyataan dan melanjutkan hidupnya, meski tanpa Fadly di sampingnya.

 

Mencari Kembali Diri

Pagi itu, matahari bersinar cerah, menyinari jalan-jalan kota yang sudah sibuk dengan aktivitas. Namun, di dalam hati Nadia, ada rasa hampa yang masih sulit untuk diungkapkan. Hari-hari berlalu tanpa Fadly di sisinya, dan meskipun awalnya terasa seperti sebuah kehampaan, lambat laun, ia mulai merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Nadia menghirup udara pagi yang segar, berjalan di trotoar menuju kafe kecil yang biasa ia kunjungi. Di sana, aroma kopi hangat dan suara musik akustik yang lembut memberi rasa nyaman yang hampir seperti pelukan. Ia duduk di meja dekat jendela, memandang keluar dengan pandangan kosong. Begitu banyak hal yang telah terjadi dalam hidupnya, tetapi kini, semuanya terasa berbeda.

Sambil menunggu pesanan, pikirannya melayang ke Fadly. Ada masa lalu yang sulit dihapus, kenangan yang manis namun penuh dengan luka. Nadia tahu, perpisahan itu adalah keputusan yang berat, tetapi ia juga tahu bahwa kadang-kadang, berpisah adalah satu-satunya jalan untuk menemukan diri sendiri kembali.

Di tengah kesendirian ini, Nadia mulai melihat hal-hal yang sebelumnya luput dari perhatiannya. Dia mulai kembali mengejar impian-impiannya yang lama terkubur, mencari kebahagiaan tanpa harus bergantung pada orang lain. Ia mulai pergi ke galeri seni, menghadiri pameran, dan menulis di kafe-kafe yang nyaman. Dulu, semua itu terasa seperti hal yang tak mungkin dilakukan karena selalu ada Fadly di sekitarnya, menuntut perhatian, membawa ketegangan. Tapi kini, ia bebas.

Beberapa minggu setelah perpisahan itu, Nadia bertemu dengan beberapa teman lamanya. Mereka mengajak untuk bertemu, berbincang-bincang, dan mengenang masa lalu yang penuh tawa. Nadia merasakan perbedaan dalam dirinya. Ia merasa lebih ringan, lebih terbuka. Meskipun hatinya masih menyimpan sebersit rasa sakit, ia tahu bahwa waktunya untuk sembuh telah tiba.

Pada suatu malam yang tenang, saat ia sedang duduk di balkon apartemennya, melihat bintang-bintang yang bersinar di langit, Nadia merenung. Perpisahan dengan Fadly bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan panjang untuk menemukan dirinya kembali. Ia merasa seperti seorang wanita yang baru saja dilahirkan kembali—lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih sadar akan apa yang ia inginkan dalam hidupnya.

Malam itu, ponselnya berdering. Nadia melihat nama yang muncul di layar: Fadly. Tiba-tiba, hatinya berdebar. Mungkin ini saatnya untuk berbicara, untuk mengakhiri semuanya dengan cara yang lebih baik, dengan lebih banyak kedamaian.

Ia mengangkat telepon dan mendengar suara Fadly di ujung sana, terdengar lebih tenang dan lebih dewasa. “Nadia,” suaranya pelan namun penuh dengan kesungguhan, “aku cuma mau bilang, aku ngerti kenapa kamu melakukan ini. Aku nggak akan minta kamu kembali, karena aku tahu kita berdua perlu waktu untuk menyembuhkan diri.”

Nadia menutup matanya, merasa kelegaan datang menyapu hatinya. “Aku juga nggak ingin kita saling menyakiti lagi, Fadly. Mungkin ini yang terbaik untuk kita berdua.”

“Aku berharap, di masa depan, kita bisa berteman. Bukan untuk kembali bersama, tapi untuk menghargai apa yang pernah kita miliki,” kata Fadly dengan penuh pengertian.

“Iya,” Nadia menjawab dengan lembut, “semoga kita bisa begitu.”

Setelah beberapa saat hening, Nadia merasakan perasaan yang selama ini terpendam mulai mengalir pergi. Ia tidak lagi merasa terbelenggu oleh kenangan itu. Ia bisa tersenyum lagi, menghadap masa depan yang penuh kemungkinan. Ia telah belajar untuk melepaskan, untuk memberikan ruang bagi diri sendiri agar tumbuh dan berkembang.

Fadly adalah bagian dari cerita yang indah, namun sekarang saatnya untuk menulis bab baru. Nadia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi, tapi itu bukan berarti ia akan terjebak di masa lalu. Ia memiliki banyak impian, banyak hal yang ingin ia capai, dan kali ini, ia akan melakukannya untuk dirinya sendiri.

Dengan perlahan, Nadia menutup mata, merasakan ketenangan yang datang setelah semua kerumitan dan pertentangan. Ia tahu, mungkin suatu saat nanti mereka akan bertemu lagi, dalam kondisi yang berbeda, lebih dewasa, lebih baik. Namun, untuk sekarang, ia memutuskan untuk berjalan sendiri, menggapai segala yang selama ini ia impikan.

Sambil menatap langit malam yang penuh bintang, Nadia akhirnya berkata pada dirinya sendiri, “Aku siap untuk memulai hidup yang baru.”

Dan dengan itu, ia melangkah maju, meninggalkan segala yang rumit dan saling menyakiti. Karena terkadang, untuk menemukan kedamaian, kita harus berani melepaskan segala yang mengikat.

 

Mungkin, pada akhirnya, kita semua butuh waktu untuk menemukan diri sendiri setelah melewati segala perasaan rumit yang kita simpan. Perpisahan bukan berarti akhir, tapi justru awal dari perjalanan baru yang lebih baik.

Seperti Nadia dan Fadly, siapa tahu, mungkin kedamaian itu ada di luar sana, menunggu kita untuk menemukannya. Jadi, kalau kamu pernah merasa kehilangan atau bingung, ingatlah, ada jalan menuju kedamaian, meskipun perjalanan itu nggak selalu mudah.

Leave a Reply