Cerpen Cinta Remaja Islami Romantis: Kisah Zahra dan Qays dalam Menjaga Hati

Posted on

Hai, ini bukan cerita cinta biasa, tapi kisah dua hati yang saling tarik ulur dalam diam dan doa. Zahra dan Qays—dua anak muda yang sama-sama pengen menjaga hati tapi diam-diam saling jatuh cinta.

Gak ada drama berlebihan atau janji-janji manis yang kosong, cuma ada usaha tulus untuk merangkai cinta di jalan yang Allah ridhoi. Buat kamu yang pengen tahu gimana rasanya cinta yang nggak cuma sekadar rasa, tapi juga ibadah, selamat menikmati kisah ini. Siap-siap baper sama romantisnya cinta yang terjaga ini!

 

Cerpen Cinta Remaja Islami Romantis

Hening dalam Sepotong Doa

Matahari sore yang redup memantulkan sinarnya di lantai marmer masjid, memberi kesan hangat yang tak terasa membakar. Di pojok belakang, di sisi rak kitab, Zahra duduk dengan tenang. Ia mengangkat kepalanya sejenak, menatap hamparan halaman masjid yang kini mulai dipenuhi jamaah. Al-Qur’an yang dibacanya ia tutup perlahan, lalu ia lipat sajadahnya dan memeluknya, duduk sejenak sambil menatap ke arah luar jendela masjid. Sepintas, ia menangkap sosok Qays yang duduk di ujung lapangan masjid, seorang pemuda yang sering ia lihat di majelis ilmu masjid. Namun, Zahra segera menunduk, meluruskan niat, dan dalam hatinya berdoa agar tak tergelincir ke dalam perasaan yang tak perlu.

Qays adalah seorang pemuda yang baru saja memasuki usia dua puluhan, dengan sikap tenang dan sedikit pemalu. Setiap Jumat sore, tanpa satu pertemuan yang sengaja diatur, Zahra selalu melihatnya hadir lebih awal dari kebanyakan jamaah lainnya. Namun, Qays tak pernah menarik perhatian Zahra sebelumnya—hingga hari ini. Mungkin bukan wajah Qays yang menarik perhatian Zahra, melainkan sikapnya yang tidak berlebihan dan selalu tekun dalam ibadah. Dia selalu duduk di dekat pilar besar, terpisah dari keramaian, melantunkan doa-doa pelan yang kadang terdengar dalam hening sore masjid.

Setelah kajian sore itu selesai, jamaah mulai beranjak meninggalkan masjid satu per satu. Zahra menyempatkan diri melipat sajadahnya kembali dengan hati-hati, berusaha menunda beberapa saat lagi hingga masjid benar-benar sepi. Namun, tiba-tiba langkah kakinya terhenti, saat melihat Qays yang perlahan berjalan ke arahnya, menyapanya dengan senyuman yang sangat pelan.

“Assalamu’alaikum, Zahra.” Suaranya tak terlalu keras, cukup untuk memecah kesunyian antara mereka.

Zahra terkejut. Ia menatap Qays sejenak, lalu membalas dengan suara lembut. “Wa’alaikumsalam, Qays. Ada yang bisa aku bantu?”

Qays menggaruk tengkuknya, agak kikuk, lalu tersenyum kecil. “Sebenarnya… mungkin agak aneh kalau aku tiba-tiba bilang begini, tapi… aku sering lihat kamu di sini, tiap Jumat sore. Kamu rajin sekali ke masjid, ya?”

Zahra mengangguk pelan. “Alhamdulillah. Iya, memang aku suka suasana masjid menjelang sore. Rasanya damai dan nyaman. Kalau kamu sendiri, kenapa selalu datang lebih awal?”

Qays menghela napas, seakan menyusun kata-katanya dalam hati. “Entahlah… mungkin karena ada perasaan ingin menemukan ketenangan di sini. Di tengah segala kesibukan, masjid selalu jadi tempat yang… mengingatkanku untuk kembali ke arah yang benar.”

Keduanya diam sejenak, menatap lantai masjid yang kini hampir kosong. Hanya ada beberapa jamaah yang tersisa, sebagian sedang merapikan kitab-kitab di rak.

“Aku setuju,” Zahra mengangguk, memeluk sajadahnya erat-erat. “Kadang-kadang… aku juga butuh tempat seperti ini untuk menenangkan diri. Masjid selalu terasa istimewa, ya. Seolah di sini, semua beban terasa lebih ringan.”

Qays mendengar kata-kata Zahra dengan seksama, matanya menatap lurus ke lantai. “Begitu juga perasaanku,” jawabnya pelan. “Rasanya, di sini kita bisa meletakkan semua rasa gelisah dan berharap pada Allah.”

Keduanya kembali terdiam. Ada kenyamanan yang pelan-pelan muncul di antara mereka, namun tanpa satu pun kata yang perlu diucapkan. Qays menarik napas dalam-dalam, lalu memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut.

“Zahra…” panggilnya pelan. Zahra menatapnya, menunggu kelanjutan dari kalimat yang tampak berat di ujung lidah Qays. “Pernahkah kamu berpikir tentang… menjaga hati?”

Zahra mengerutkan kening, mencoba memahami maksud Qays. “Menjaga hati? Maksudmu… menjaga dari perasaan yang mungkin bisa menjerumuskan kita?”

Qays mengangguk. “Iya. Aku mulai sadar, perasaan itu datang begitu saja, tapi yang sulit adalah menundukkannya dalam ketulusan, dalam niat yang benar. Kamu sendiri, apa kamu pernah merasa seperti itu?”

Zahra terdiam sesaat, memikirkan jawabannya. “Setiap orang mungkin merasakan hal itu, Qays. Tapi… aku selalu berusaha mengingatkan diri sendiri bahwa cinta yang paling tulus adalah cinta yang tak butuh pengakuan. Selama ini, aku hanya berusaha mendekatkan diri pada Allah, berdoa agar setiap perasaan yang tumbuh di hati ini adalah yang diberkahi oleh-Nya.”

Qays tersenyum kecil mendengar jawaban Zahra. Jawaban yang sederhana, namun begitu kuat. Dalam hening masjid sore itu, ia mulai merasakan bahwa Zahra bukanlah sekadar sosok yang ia kagumi, melainkan seseorang yang mungkin bisa ia harapkan untuk menemani perjalanan hidupnya. Namun, ia sadar, perasaan ini tak bisa ia ungkapkan begitu saja.

Sebelum beranjak pergi, Qays mengambil nafas dalam, lalu berkata, “Zahra, terima kasih sudah mau berbicara denganku. Sungguh, aku merasa senang bisa memahami pandanganmu soal… menjaga hati.”

Zahra tersenyum lembut, lalu mengangguk. “Sama-sama, Qays. Semoga Allah selalu menjaga hati kita agar tetap di jalan-Nya, ya.”

Qays menunduk, tersenyum, dan mengucapkan salam sebelum pergi meninggalkan Zahra yang masih berdiri di sana. Meski tak ada ikatan yang diucapkan, ada perasaan yang terjaga dalam hening, dan doa-doa yang tersimpan dalam hati mereka masing-masing.

Zahra pun memejamkan matanya sejenak, berbisik dalam hatinya sebuah doa, berharap perasaan ini akan terus terjaga dengan baik, seperti sepotong doa yang tersimpan dalam sujud panjang.

 

Rasa yang Terjaga dalam Keikhlasan

Sejak perbincangan itu, suasana masjid setiap Jumat sore menjadi berbeda bagi Qays dan Zahra. Meskipun mereka jarang saling menatap atau mendekat, kehadiran satu sama lain menciptakan kehangatan tersendiri. Qays tetap setia pada tempatnya di dekat pilar besar, sementara Zahra duduk di pojok ruangan, namun ada nuansa kedekatan yang tak terlihat. Mereka saling menjaga jarak, berusaha keras agar perasaan di hati tak menguasai diri mereka. Meski begitu, setiap kali bertemu, ada doa yang diam-diam terlantun, seolah hati mereka saling menyapa tanpa perlu kata.

Suatu sore, setelah kajian selesai, Qays menyempatkan diri untuk duduk sejenak di halaman masjid. Matahari sore memancarkan sinar yang lembut, menyinari pepohonan dan lantai masjid dengan rona jingga yang menenangkan. Ia menatap jalan di depan masjid, tersenyum sendiri saat ingat pembicaraannya dengan Zahra minggu lalu.

Tanpa disadarinya, Zahra keluar dari masjid dan melihat Qays yang duduk sendiri di bawah pohon besar. Ia ragu sejenak, namun perlahan memberanikan diri untuk mendekat. Bagaimanapun, rasa ingin tahu muncul di hatinya—apa yang sedang Qays pikirkan saat itu?

“Qays?” Zahra menyapa dengan suara yang lembut, sedikit menahan malu karena takut suaranya terdengar bergetar.

Qays menoleh dan tersenyum ramah, memberi isyarat agar Zahra duduk di sampingnya. “Zahra. Apa kabar? Senang sekali kamu menyapaku sore ini,” jawabnya tenang.

Zahra tersenyum kecil, lalu duduk di dekatnya, menjaga jarak secukupnya. “Aku baik, alhamdulillah. Aku tadi lihat kamu duduk di sini sendirian, jadi… ya, aku ingin tahu, mungkin kamu sedang menunggu seseorang.”

Qays tertawa pelan, seolah-olah pertanyaan Zahra adalah hal yang paling menyenangkan yang didengarnya hari itu. “Tidak ada yang aku tunggu, Zahra. Aku hanya duduk sebentar, menikmati suasana masjid sebelum pulang.”

“Jadi… kamu suka duduk sendiri di sini, ya?” Zahra melirik Qays, mencoba memahami sisi lain dari pemuda itu.

Qays mengangguk. “Iya, entah kenapa aku suka suasana masjid di sore hari. Rasanya damai. Kadang, aku pikir, duduk di sini sendiri… seolah bisa mendengar lebih jelas suara hati kita sendiri.”

Zahra mengangguk pelan. Ia tahu betul apa yang dimaksud oleh Qays. Betapa sering dirinya juga merasa hening masjid membuatnya merasa lebih dekat dengan Allah, lebih jujur pada dirinya sendiri.

“Qays, kamu pernah merasa… ada perasaan yang harus kamu jaga, tapi juga harus kamu redam dalam-dalam?” Zahra bertanya tanpa melihat langsung ke arah Qays. Dia takut, pertanyaannya akan memberi tanda pada perasaannya sendiri.

Qays menatap Zahra sesaat, terdiam sejenak sebelum menjawab. “Ya, Zahra. Ada banyak hal yang ingin aku jaga. Dan perasaan adalah salah satunya. Kadang… aku merasa lebih baik menundukkan hati daripada harus mempertaruhkan perasaan yang bisa jadi bukan kehendak Allah.”

Zahra menghela napas panjang. “Aku setuju. Bagaimana pun, kita harus yakin bahwa Allah akan menjaga perasaan itu jika memang ia adalah sesuatu yang baik. Aku hanya ingin berusaha menjadi hamba yang lebih baik, dan jika ada rasa yang tumbuh di hati ini, aku ingin memastikan bahwa itu tidak membuatku lalai dari-Nya.”

Qays menundukkan kepala, terpukau oleh ketulusan Zahra. “Kamu benar, Zahra. Hanya dengan menjaga niat, kita bisa menemukan makna yang lebih dalam dari rasa itu sendiri.”

Mereka kembali diam, membiarkan angin sore membelai wajah mereka dengan lembut. Qays memejamkan mata sejenak, melantunkan doa dalam hati, memohon agar perasaan di hatinya tetap terjaga dalam keikhlasan. Ia ingin, seandainya perasaannya pada Zahra adalah jalan yang diridhai Allah, semoga Allah menguatkan hatinya untuk menjaga perasaan itu dengan baik, tanpa mengotorinya dengan hasrat yang berlebihan.

Zahra, di sisi lain, juga berdoa dalam diam. Ia meminta agar Allah senantiasa memberinya kekuatan untuk menjaga hati dan kehormatan diri. Perasaannya pada Qays memang semakin dalam, namun ia yakin, jika perasaan ini memang bukan bagian dari takdirnya, Allah pasti akan menghapusnya dari hatinya.

Setelah beberapa saat, Qays membuka mata dan tersenyum pada Zahra. “Zahra, terima kasih karena sudah mau berbagi pandanganmu. Rasanya, setiap kali bicara denganmu, aku seperti menemukan kedamaian baru.”

Zahra menatap Qays dengan sorot mata yang lembut. “Aku juga merasakan hal yang sama, Qays. Tapi… aku tahu, untuk saat ini, mungkin cukup kita simpan semuanya dalam doa.”

Qays mengangguk setuju. “Iya. Doa adalah cara terbaik untuk menyampaikan perasaan, kan?”

Zahra tersenyum, merasakan hangatnya kata-kata itu di hatinya. Mereka berdua tahu bahwa di balik doa-doa itu, ada harapan yang terjaga dalam keikhlasan. Harapan yang hanya mereka sampaikan pada Sang Pencipta, tanpa harus diutarakan dalam bentuk janji atau kata-kata manis. Bagi mereka, cinta adalah bagian dari perjalanan, yang mereka titipkan pada doa dan kesabaran.

Tanpa ada ucapan lebih lanjut, mereka beranjak pulang dari masjid dengan hati yang lebih tenang. Mereka berjalan berlawanan arah, namun di balik langkah mereka yang perlahan menjauh, ada benang perasaan yang terjalin kuat—yang tak mereka lihat, namun mereka rasakan.

Dalam setiap sujud, mereka berdua saling menyebut nama masing-masing dalam doa. Zahra mendoakan Qays, meminta agar Allah menjaga hati pemuda itu agar tetap kuat dalam iman. Qays, di sisi lain, memohon agar Zahra diberi kebahagiaan dalam ketaatan. Meski tanpa kata, mereka menyimpan rasa yang lebih indah dari sekadar cinta biasa—rasa yang ikhlas, tulus, dan dipenuhi kesabaran.

 

Saat Ujian Mengetuk Hati

Hari-hari bergulir, dan perlahan perasaan mereka semakin kuat, terjaga di antara batasan syariat yang mereka pegang teguh. Qays dan Zahra tetap bertemu di masjid setiap Jumat sore, mengisi hati dengan kehangatan tanpa kata-kata. Namun, di suatu siang yang tak terduga, Zahra menerima kabar dari ibunya yang membuat pikirannya berguncang.

“Zahra, Nak… Ibu ingin kamu bertemu dengan seseorang. Ia adalah putra dari rekan ayahmu. Mereka orang baik, dan kita berpikir mungkin kamu bisa mengenalinya lebih jauh,” kata ibunya dengan lembut, namun penuh makna yang sulit Zahra abaikan.

Zahra terdiam, hatinya mendadak dilanda gelombang tak menentu. “Ibu, kenapa harus secepat ini? Aku belum memikirkan hal semacam itu,” jawab Zahra dengan suara nyaris berbisik.

Ibunya menatapnya dengan penuh kasih. “Ibu tidak memaksakan, Nak. Kamu tahu Ibu hanya ingin yang terbaik. Kamu bisa mengenalnya dulu. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan.”

Zahra mengangguk pelan, menahan perasaannya agar tidak nampak oleh ibunya. Sejak saat itu, bayang-bayang tentang lelaki yang diinginkan keluarganya terus membayang dalam benaknya. Meski ia tahu orang tuanya pasti punya alasan yang baik, ada keresahan yang tak mampu ia hilangkan begitu saja. Perasaannya pada Qays, meski belum pernah terucap, begitu kuat berakar di hatinya.

Di sisi lain, Qays merasa ada perubahan pada Zahra. Di setiap kajian Jumat, ia melihat senyum Zahra mulai berkurang. Meski tak pernah membicarakan tentang masalah pribadinya, Qays menangkap kesedihan yang tersimpan dalam sikap Zahra yang makin tertutup. Hingga suatu sore, ketika mereka berdua sedang mengobrol ringan di halaman masjid, Qays memberanikan diri untuk bertanya.

“Zahra, akhir-akhir ini… aku merasa kamu agak berbeda,” ujar Qays, berusaha menjaga agar nadanya tetap tenang. “Ada sesuatu yang mengganggumu?”

Zahra menunduk, jemarinya memainkan ujung hijabnya, seolah mencari kekuatan untuk mengungkapkan apa yang berkecamuk di hatinya. “Aku… mungkin sedang dalam masa yang sulit, Qays. Terkadang, aku merasa tidak semua hal bisa kujelaskan, tapi percayalah, aku baik-baik saja.”

Qays menatap Zahra penuh perhatian. Meski hanya kata-kata singkat yang keluar dari mulut Zahra, ia dapat merasakan ada beban yang tersimpan. “Zahra, kamu tahu, bukan? Bahwa setiap ujian yang Allah berikan, pasti ada hikmahnya.”

Zahra mengangguk sambil tersenyum tipis. “Aku tahu, Qays. Dan aku yakin Allah takkan memberikan ujian di luar batas kemampuanku.” Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Qays, mungkin… suatu hari nanti, kita tidak bisa lagi bertemu di masjid ini setiap Jumat.”

Perkataan Zahra menghujam hati Qays seperti angin dingin di tengah malam. Ia menatap Zahra penuh tanya, namun ia menahan diri untuk tak langsung bertanya lebih jauh.

“Jika memang ada keputusan yang harus kamu buat, Zahra, aku hanya berharap yang terbaik untukmu,” kata Qays, suaranya penuh ketulusan yang mendalam.

Di akhir pekan itu, Zahra memutuskan untuk menerima ajakan keluarganya untuk bertemu dengan pemuda yang direkomendasikan oleh orang tuanya. Saat ia duduk berhadapan dengan pemuda bernama Farhan itu, ia merasakan betapa berbeda perasaannya dari ketika ia bertemu dengan Qays. Meski Farhan orang yang sopan dan santun, Zahra tak mampu menyingkirkan bayangan Qays dari hatinya.

Pertemuan tersebut membuat Zahra semakin sadar bahwa hatinya begitu terpaut pada Qays. Namun, ia juga menyadari bahwa menjaga keinginan kedua orang tuanya adalah bagian dari baktinya pada mereka. Ia berada di antara cinta yang tak terucap dan kewajiban yang mengikat.

Hari Jumat berikutnya, Zahra kembali ke masjid dengan hati yang bimbang. Di sanalah, di antara suasana damai masjid yang telah menjadi tempat penuh kenangan baginya, ia merasakan beratnya menjaga perasaan yang ada di hatinya. Ia melihat Qays dari kejauhan, duduk di dekat pilar seperti biasanya. Ia ingin sekali bicara, namun lidahnya kelu.

Qays yang melihat kedatangan Zahra merasa bahwa inilah saatnya ia memberikan penghiburan pada Zahra. Ia berjalan mendekat, menatapnya dengan senyum lembut yang telah menjadi ciri khasnya.

“Zahra, ingatlah, dalam hidup ini, setiap keputusan yang kita ambil, harus kita iringi dengan tawakkal pada Allah. Jika memang harus berpisah, mungkin itu bagian dari ujian yang Allah berikan pada kita,” kata Qays dengan suara penuh keteguhan hati.

Mendengar kata-kata Qays, hati Zahra bergetar. Ia berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah. “Qays… kadang aku takut menghadapi masa depan yang tak pasti ini. Tapi aku ingin percaya bahwa Allah akan memberi jalan terbaik bagi kita.”

Qays tersenyum dan mengangguk. “Kita serahkan semua pada Allah, Zahra. Jika memang kita ditakdirkan bersama, Allah pasti akan menunjukkan jalannya. Tapi jika tidak, biarlah kita tetap menjaga perasaan ini sebagai amanah yang Allah titipkan.”

Zahra menatap Qays dengan penuh rasa syukur. Meskipun perasaan di hatinya begitu mendalam, ia mulai merasakan ketenangan. Ia tahu, mungkin tak semua cinta harus berujung pada kebersamaan. Namun, jika cinta itu bisa menjadi bagian dari ibadah dan ketaatan pada Allah, maka itulah cinta yang sejati—cinta yang tidak menuntut, tetapi menjaga.

Di akhir pertemuan itu, mereka berdua saling berpamitan dengan hati yang lebih ringan. Tanpa perlu kata-kata yang penuh janji, mereka telah mengikat diri pada takdir yang mereka serahkan sepenuhnya pada Sang Pemilik Hati.

 

Jalan Takdir dan Cinta yang Terjaga

Beberapa pekan berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di masjid. Zahra merasakan kekosongan yang tak terbantahkan setiap kali hari Jumat tiba. Meski langkahnya masih ringan menuju masjid, tak ada lagi percakapan penuh makna dan doa-doa yang tak terucap bersama Qays. Ia mulai berusaha menerima bahwa mungkin inilah jalannya, bahwa ada cinta yang hadir untuk sekadar melatih ketulusan hati dan membawanya pada kedekatan yang lebih dalam kepada Allah.

Sementara itu, Qays tetap menjalani rutinitasnya, meski hatinya tak sepenuhnya mampu melupakan kehadiran Zahra. Ia memilih mendekatkan diri kepada Allah, meminta agar hatinya diluruskan dan segala keinginannya diserahkan pada kehendak Sang Khalik. Dalam kesunyian yang penuh doa, ia menerima bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang tidak memaksa dan tetap tumbuh dalam batas-batas kebaikan.

Suatu malam, ketika Zahra sedang duduk di beranda rumah, ayahnya mendekatinya dengan sebuah kabar yang membuatnya terkejut. “Nak, ada keputusan yang Ibu dan Ayah bicarakan. Tentang pernikahan dengan Farhan, kami mempertimbangkan untuk menunda,” ucap ayahnya, suaranya tenang namun tegas.

Zahra menatap ayahnya penuh harap. “Ayah, aku selalu ingin memenuhi harapan Ibu dan Ayah. Tapi, aku… tidak bisa membohongi perasaanku sendiri,” bisiknya sambil menundukkan wajah.

Ayah Zahra menghela napas panjang. “Kami tidak ingin memaksamu, Nak. Kami tahu kau adalah anak yang taat. Namun ingatlah, bahwa apa yang Allah takdirkan, tak akan pernah luput darimu.”

Mendengar nasihat itu, hati Zahra terasa lebih lega. Ia mulai menyadari bahwa mengikuti kata hatinya bukan berarti mengingkari harapan keluarganya. Ia hanya perlu bersabar dan menyerahkan segalanya pada Allah.

Beberapa bulan berlalu, dan Zahra sibuk menyelesaikan kuliah. Suatu sore, Zahra dikejutkan oleh sebuah pesan singkat dari Qays. Pesan yang sederhana namun penuh makna.

“Assalamualaikum, Zahra. InsyaAllah ada hal yang ingin saya bicarakan dengan Ayah dan Ibumu. Apakah saya boleh bertamu?”

Wajah Zahra memerah membaca pesan tersebut. Setelah sekian lama tak ada kabar, ia tak menduga Qays akan memberanikan diri melangkah ke arah yang lebih pasti. Perasaannya meluap-luap, namun ia tetap menenangkan diri sebelum membalas pesan itu dengan persetujuan.

Pada hari yang telah ditentukan, Qays datang ke rumah Zahra ditemani orang tuanya. Zahra mengintip dari balik tirai kamarnya, menyaksikan Qays duduk di ruang tamu, tampak tenang dan percaya diri. Hatinya berdebar-debar. Pertemuan itu terjadi begitu cepat, lebih cepat dari yang pernah ia bayangkan.

Ketika Qays berbicara dengan Ayah Zahra, Zahra duduk di ruang lain, mendengarkan setiap kata dengan hati yang penuh harap. Qays dengan sopan menjelaskan bahwa ia ingin melamar Zahra dengan niat yang tulus, berharap dapat menggenapkan separuh agama bersama, menjaga satu sama lain dalam kebaikan.

Ayah Zahra terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk perlahan. “Qays, kamu pemuda yang baik. Ayah percaya kamu akan menjaga Zahra dengan baik. Jika ini kehendak Allah, kami sekeluarga merestui.”

Kata-kata restu itu seakan menjadi angin segar yang menyelimuti ruangan. Zahra mengucap syukur dalam hati, merasa segala ketulusan yang ia dan Qays pertahankan akhirnya berbuah kebaikan.

Beberapa bulan setelah lamaran itu, pernikahan mereka berlangsung sederhana namun penuh kebahagiaan. Di hari pernikahannya, Zahra dan Qays merasakan ketenangan yang luar biasa. Mereka tak perlu mengungkapkan banyak kata, karena cinta mereka telah terjalin dalam ikatan yang diiringi keberkahan dan keikhlasan pada setiap doanya.

Di sela-sela acara, Qays memegang tangan Zahra dan berbisik lembut, “Zahra, mungkin perjalanan kita tidak mudah, tapi aku percaya, inilah jalan yang Allah pilihkan untuk kita.”

Zahra tersenyum, matanya penuh haru. “Iya, Qays. Aku selalu percaya bahwa cinta yang baik adalah cinta yang mendekatkan kita pada Allah, bukan sekadar menuruti rasa. Terima kasih sudah bersabar menantiku.”

Dengan pandangan yang penuh rasa syukur, mereka memandang masa depan bersama, sebuah kisah yang ditulis dengan cinta dan dipenuhi harapan. Mereka sadar, bukan perjalanan cinta yang bebas dari ujian, tapi setiap langkah bersama akan menjadi bagian dari ibadah mereka, melangkah dalam ketaatan dan membangun keluarga yang berlandaskan keimanan.

 

Jadi, begitulah kisah Zahra dan Qays, dua jiwa yang berani memilih cinta dalam koridor iman. Mereka membuktikan bahwa cinta sejati bukan hanya soal perasaan, tapi juga tentang saling menjaga, saling menghormati, dan yang paling penting, saling mendekatkan diri kepada Allah.

Semoga kisah ini bisa jadi inspirasi buat kita semua, bahwa cinta yang dibangun di atas landasan iman akan selalu indah, penuh berkah, dan tentunya, takkan lekang oleh waktu. Sampai jumpa di kisah cinta lainnya yang penuh makna!

Leave a Reply