Cerpen Cinta pada Kakak Kelas: Kisah Romansa Lucu dan Mengharukan di Festival

Posted on

Siapa bilang cinta itu harus sempurna? Kadang, cinta datang dari yang paling tak terduga, seperti kakak kelas yang selalu bikin jantung berdebar. Nah, siap-siap ya, karena kita bakal ikutan petualangan seru Nara dan Dira, yang bukan cuma berusaha menaklukkan hati satu sama lain, tapi juga semua momen lucu dan konyol yang bikin mereka lebih dekat. Yuk, ikuti cerita manis mereka di festival, di mana harapan dan tawa bertemu dalam satu paket seru!

 

Cerpen Cinta pada Kakak Kelas

Pertemuan yang Tak Terduga

Di sebuah sekolah menengah yang penuh warna, suara riuh rendah siswa-siswa yang berdiskusi dan tertawa memenuhi setiap sudutnya. Di antara keramaian itu, Nara, seorang siswi kelas satu, berjalan menyusuri koridor dengan penuh harapan dan sedikit cemas. Hari pertama semester baru selalu membawa banyak harapan, tetapi juga sedikit ketegangan. Hari ini, dia sangat berharap bisa menjalani semuanya dengan lancar, tanpa drama yang berlebihan.

Nara menghampiri kelasnya yang terletak di ujung koridor. Ketika dia membuka pintu kelas, aroma kertas dan catatan yang baru saja dibuka menyambutnya. Dia melihat deretan bangku yang masih kosong, dan memilih tempat duduk di barisan belakang, jauh dari keramaian. Tempat itu memberinya rasa aman, dan sekaligus peluang untuk mengamati apa yang terjadi di depannya.

Begitu duduk, Nara mengeluarkan buku catatan dan pensilnya, mencoba fokus pada materi pelajaran. Namun, matanya tak kuasa tidak melirik ke depan. Di sana, duduk Dira, kakak kelas yang selalu menjadi sorotan. Dira memiliki aura yang membuatnya tampak begitu menawan. Setiap kali Dira tertawa, ada sesuatu yang membuat hati Nara bergetar. “Dia itu cantik, ya,” bisiknya dalam hati, sambil menatap Dira yang sedang berbincang dengan teman-temannya.

“Nara, kamu dengar nggak?” Kira, teman sebangku Nara, menggelitiknya dengan jari, mengembalikannya ke kenyataan. “Kamu melamun lagi? Ayo, kasih perhatian ke guru!”

Nara mengernyitkan dahi, tersadar dari lamunan. “Hah? Oh, ya… Maaf, aku hanya… memikirkan pelajaran ini.” Dia berusaha tersenyum, tapi tidak bisa menahan rasa malu yang menjalar ke pipinya. Kira hanya tertawa, sementara Nara berusaha mencari cara untuk menutupi kepanikan di dalam dirinya.

Ketika pelajaran berlanjut, Nara merasa tidak ada yang lebih membosankan dari pelajaran yang satu ini. Namun, ketika Dira berbalik dan menangkap pandangannya, segalanya berubah. “Eh, Nara! Kenapa kamu cemberut? Ada yang salah?” Dira bertanya dengan nada ceria, mengalihkan perhatian Nara seketika.

“Ah, tidak kok. Cuma… mengerjakan tugas,” jawab Nara cepat, merasakan wajahnya memanas. Dira tertawa lepas, dan gelombang kehangatan menyebar di hati Nara. “Biar aku bantu. Kita bisa kerjakan bareng di kantin nanti!”

Seketika, suasana di dalam kelas terasa lebih cerah. Nara tidak percaya bahwa Dira ingin menghabiskan waktu bersamanya. Apakah ini berarti dia diperhatikan? “Tentu saja! Itu ide yang bagus!” Nara menjawab dengan semangat, berusaha menunjukkan ketenangan meski hatinya berdebar kencang.

Pelajaran berakhir, dan suara bel menggema di seluruh sekolah. Semua siswa berhamburan keluar, termasuk Nara yang merasa seakan-akan ditarik oleh kekuatan tak terlihat ke arah Dira. “Ayo, kita pergi!” seru Kira, yang tampaknya sudah siap dengan rencananya untuk makan siang.

Di kantin, keramaian tidak kalah menggembirakan. Bau makanan yang lezat menyapa mereka, dan Nara berusaha memilih menu sambil melirik Dira yang sedang duduk tidak jauh darinya. “Hei, Nara! Apa kamu mau ikut ke meja kami?” Dira memanggil, mengisyaratkan agar dia mendekat.

Dengan sedikit ragu, Nara berjalan ke meja Dira. “Boleh, ya?” tanyanya, berharap dia tidak terlalu mengganggu.

“Pastinya! Ayo duduk di sini!” Dira menjawab dengan senyum yang membuat hati Nara bergetar.

Nara duduk dan langsung disambut tawa ceria teman-teman Dira. “Nara, kamu tahu? Dira itu jago basket!” Kira menjelaskan, mengisyaratkan kepada Dira. “Kalau main basket, dia kayak superwoman!”

Dira terkekeh, wajahnya memerah sedikit. “Oh, come on! Itu cuma kebetulan. Yang penting, aku bisa bikin kalian ketawa!”

Nara ikut tertawa, merasa lebih nyaman. “Eh, Dira, bagaimana bisa kamu melakukannya?” Nara bertanya sambil mengunyah makanan. “Maksudku, kamu terlihat sangat percaya diri. Apakah kamu tidak pernah merasa gugup?”

Dira menggeleng. “Tentu saja pernah! Tapi aku belajar untuk menikmati setiap momen. Lagipula, hidup ini terlalu singkat untuk tidak bersenang-senang, kan?”

Nara tersenyum, merasakan benang merah antara mereka semakin menguat. Di dalam hatinya, dia berharap bisa mengenal Dira lebih dekat, dan mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang lebih di antara mereka.

Setelah selesai makan, mereka kembali ke kelas, tetapi pandangan Nara tidak bisa lepas dari Dira. Ketika Dira mengalihkan perhatian ke temannya yang lain, Nara merasa ada harapan yang tumbuh di dalam dirinya. Cinta? Apakah itu bisa terjadi? Dira mengeluarkan senyum, dan seolah-olah dunia di sekitar mereka memudar.

Dengan segala keraguan dan harapan yang bercampur, Nara tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Dan dia berharap, di ujung perjalanan ini, ada sesuatu yang indah menunggu mereka.

 

Komedi Cinta di Tengah Keramaian

Hari-hari di sekolah berlalu dengan cepat, dan perasaan Nara terhadap Dira semakin menguat. Setiap kali mereka bertemu, rasanya seperti ada magnet yang menariknya lebih dekat. Kira, sahabatnya, semakin menyadari perubahan ini dan tak henti-hentinya menggoda Nara.

“Nara, kamu tahu kan, kalau Dira sering melihat ke arahmu?” Kira berbisik sambil menyenggol lengan Nara saat mereka berdua berjalan menuju kantin. “Aku yakin dia menyukaimu!”

“Ah, jangan berlebihan, Kira. Mungkin itu cuma kebetulan,” jawab Nara sambil mencoba menutupi wajahnya yang memerah. Namun, hatinya tidak bisa bohong. Setiap kali Dira tersenyum atau berbicara dengannya, dunia seolah terhenti.

Suatu siang, saat mereka sedang bersiap untuk berlatih basket di lapangan, Dira memanggil Nara. “Nara! Kamu mau nonton kita main basket nggak? Mungkin kamu bisa jadi juru masak untuk kita!” Dia menyeringai, dan teman-temannya tertawa.

“Juru masak? Tentu! Aku akan bawa makanan yang enak!” jawab Nara, merasa semakin bersemangat. Dia tidak hanya ingin menonton, tetapi juga ingin menunjukkan dukungannya untuk Dira.

Latihan basket berlangsung meriah. Nara duduk di pinggir lapangan, menyaksikan Dira bergerak dengan lincah. Suara bola yang memantul, teriakan pelatih, dan tawa teman-teman Dira membuatnya merasa terlibat dalam suasana. Tanpa sadar, dia tertawa setiap kali Dira melakukan gerakan lucu atau gagal mencetak poin.

“Coba lihat, Nara! Ayo, dukung aku!” teriak Dira setelah berhasil mencetak poin, dan dia melambai-lambaikan tangannya ke arah Nara.

“Kerja bagus, Dira! Teruskan!” Nara balas berteriak, sambil bertepuk tangan dengan semangat. Dia tidak bisa menyembunyikan senyum lebar di wajahnya. Dira terlihat semakin percaya diri, berlari ke sana ke mari, dengan rambutnya yang berkibar-kibar.

Setelah latihan, saat semua orang berkumpul untuk istirahat, Dira mendekati Nara. “Kamu lihat kan, aku jago juga, kan?” tanyanya, pura-pura angkuh.

“Jago? Aku pikir kamu lebih mirip badut di atas lapangan,” Nara membalas, membuat semua orang di sekitar mereka tertawa. Dira berpura-pura tersinggung, menjulurkan bibirnya dengan ekspresi berlebihan.

“Eh, tidak boleh gitu! Ayo kita bertaruh. Jika aku bisa mencetak lebih banyak poin di pertandingan besok, kamu harus jadi asistennya,” tantang Dira sambil melirik Nara dengan senyuman nakal.

“Deal! Tapi kalau kamu kalah, kamu harus membawakan aku es krim sehabis latihan,” jawab Nara, merasa bersemangat untuk tantangan ini.

“Jadi, kita sudah sepakat! Satu kata dari Dira,” dia menjawab dengan nada percaya diri yang konyol, diikuti dengan tepuk tangan dari teman-teman yang menyaksikan.

Hari pertandingan tiba, dan suasana di lapangan sangat meriah. Nara duduk di antara teman-temannya, berdebar-debar menunggu Dira bermain. Setiap kali Dira melirik ke arahnya, jantung Nara berdetak lebih kencang. Dengan semangat tinggi, dia bersorak untuk Dira dan timnya.

Permainan berlangsung sengit. Dira menunjukkan kemampuannya, meluncurkan bola dengan akurasi yang menakjubkan, tetapi di satu momen, dia tersandung dan jatuh. Semua orang terdiam, termasuk Nara. Namun, Dira segera bangkit, tertawa dan berbalik ke arah Nara. “Bersiaplah untuk es krimmu!” dia berteriak, dan semuanya tertawa.

Nara tidak bisa menahan senyum. “Kamu sudah membuatku hampir pingsan, Dira!”

Saat pertandingan berakhir, tim Dira memenangkan pertandingan, dan Nara melompat dengan penuh kegembiraan. Dira berlari ke arahnya, wajahnya berseri-seri. “Kita menang! Sekarang, kamu harus menjadi asistennya,” katanya dengan nada bangga.

“Mau jadi asistennya, tapi ingat, janjimu soal es krim!” Nara menggoda, menciptakan suasana ceria di antara mereka.

Dengan bersemangat, mereka pergi ke kedai es krim setelah latihan. Dira memilih rasa cokelat yang kental, sementara Nara memilih rasa stroberi yang segar. Ketika mereka duduk di kursi luar, Nara merasa seolah waktu berhenti.

“Makan es krim bareng memang enak, ya,” Dira berkata sambil menyuapkan es krim ke mulutnya. “Tapi lebih seru kalau ada kamu di sini.”

“Eh, kamu tidak perlu memujiku, Dira. Aku bukan artis,” balas Nara sambil tertawa, namun hatinya berbunga-bunga mendengar kata-kata Dira.

Mereka menghabiskan waktu berbincang-bincang, bercerita tentang hobi masing-masing, dan tertawa bersama. Nara merasakan hubungan yang semakin akrab, seolah-olah mereka sudah saling mengenal bertahun-tahun. Dalam hati, dia berharap ini adalah awal dari sesuatu yang lebih.

“Eh, Nara! Suatu saat kita harus jalan bareng, ya. Apa kamu mau?” Dira tiba-tiba bertanya, membuat Nara terkejut.

“Hah? Jalan bareng? Kamu serius?” Nara menatap Dira dengan penuh harapan, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Ya, seru kan? Kita bisa pergi nonton film atau hanya jalan-jalan,” jawab Dira sambil menyeringai.

Nara merasa hatinya melompat. “Tentu saja! Aku mau!”

Ketika mereka berdua selesai makan es krim, Dira menatap Nara dengan tatapan yang dalam. “Nara, terima kasih sudah mau mendukung aku. Kamu tahu, rasanya menyenangkan punya teman sepertimu.”

Nara hanya bisa tersenyum lebar, merasa harapannya semakin membara. Sebuah awal baru, mungkin, sedang menanti di depan.

 

Ujian Cinta dan Kejutan Tak Terduga

Hari-hari setelah pertandingan basket itu membuat Nara merasa seperti terbang di awan. Setiap kali melihat Dira, hatinya berdebar-debar dan senyumnya tak pernah pudar. Dia merasa Dira semakin dekat, dan harapan untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama semakin nyata.

Satu sore, saat mereka sedang menunggu bus pulang sekolah, Dira menghampiri Nara yang sedang membaca buku. “Nara, kamu lagi baca apa?” tanyanya dengan nada penasaran.

“Oh, ini novel tentang petualangan luar angkasa. Seru banget!” Nara menjawab, matanya bersinar penuh semangat. “Kamu suka baca?”

“Kadang-kadang. Tapi lebih suka nonton film. Apalagi film action. Yang ada banyak aksi dan kebisingan,” Dira menjawab sambil mengernyitkan dahi, berusaha memberi gambaran tentang apa yang disukainya.

Nara tertawa, “Berarti kamu bakal lebih suka acara yang ribut-ribut. Padahal, aku suka yang tenang dan menenangkan.”

Dira tersenyum lebar, “Makanya kita cocok. Kamu tenang, aku ribut. Seimbang!”

Mereka pun terlibat dalam perdebatan lucu tentang buku versus film. Namun, tak lama kemudian, Nara mendengar suara teriakan dari arah lapangan. “Kira! Kenapa?” Ternyata sahabatnya terjatuh saat bermain voli dengan teman-teman lain.

“Dira, kita harus membantu Kira!” Nara berlari menuju lapangan, diikuti Dira yang tampak serius. Mereka segera menghampiri Kira yang terlihat kesakitan.

“Kira, kamu baik-baik saja?” tanya Nara khawatir, sementara Dira membantu Kira berdiri.

“Kayaknya engkelnya keseleo. Aku butuh es batu!” Kira menjawab, masih dengan napas yang tersengal-sengal.

“Nara, ambilkan es batu, ya? Aku akan membawanya ke UKS,” kata Dira dengan tegas. Tanpa berpikir panjang, Nara mengangguk dan berlari menuju kantin untuk mendapatkan es batu.

Ketika Nara kembali dengan es batu di tangan, Dira sudah membawa Kira ke UKS. Dia merasa lega bisa membantu sahabatnya, meskipun perasaannya campur aduk karena cemas dengan kondisi Kira.

Dira mengerjakan tugasnya dengan cekatan, memposisikan es batu di sekitar pergelangan kaki Kira. “Kira, kamu harus istirahat, ya. Jangan terlalu keras!” Dira berkata, suaranya menenangkan. Nara merasa terharu melihat Dira bersikap lembut pada sahabatnya.

Setelah beberapa menit, Kira merasa lebih baik. “Nara, Dira, makasih banyak. Kalian emang teman terbaik!” Kira mengucapkan terima kasih sambil tersenyum lemah.

Tapi Kira tiba-tiba menatap Dira dengan ekspresi nakal. “Dira, kalau kamu udah dekat sama Nara, jangan lupa ajak dia jalan ya! Ayo, Dira, bilang kapan kalian mau janjian!”

Nara langsung merasa wajahnya panas. “Kira! Itu bukan urusan kamu!” Dia berusaha menyembunyikan rasa malunya, tetapi Kira sudah terlanjur memancing suasana.

Dira pun hanya tertawa, “Ya, ya. Nanti aku bicarakan sama Nara, kok.”

Momen canggung itu terhenti ketika salah satu teman mereka, Riko, masuk ke UKS dengan wajah cemas. “Eh, Dira! Besok ada ujian praktikum fisika, kan? Kita masih belum belajar!” Riko menggerutu.

“Ujian? Kenapa kamu ingatkan aku sekarang?!” Dira merengut. “Aku belum siap!”

Melihat keduanya panik, Nara langsung mengambil alih. “Oke, kita bisa belajar bersama. Ayo, kita buat kelompok belajar!”

“Serius? Tapi siapa yang mau belajar dengan kita?” Riko menatap Nara skeptis.

“Biar saja! Yang penting kita coba!” Nara menjawab penuh semangat. “Lagipula, kan kita butuh nilai bagus. Dira, kamu mau ikut kan?”

“Eh, aku… ya, oke deh,” Dira menjawab ragu. Meskipun dia lebih suka beraktivitas ketimbang belajar, ada keinginan untuk menghabiskan waktu lebih banyak dengan Nara.

Mereka sepakat untuk bertemu di rumah Nara keesokan harinya. Saat pulang, Nara merasa antusias dan juga gugup. Dia berusaha menenangkan diri, membayangkan momen-momen lucu yang bisa terjadi saat belajar nanti.

Keesokan harinya, Nara sudah menyiapkan berbagai alat tulis dan makanan ringan untuk belajar. Dira tiba tepat waktu dengan wajah bersemangat. “Nara, siap belajar?”

“Siap! Tapi kita harus membuatnya menyenangkan!” jawab Nara, berusaha menciptakan suasana yang ceria.

Selama belajar, Dira dan Nara berbagi banyak tawa. Dira mencoba menjelaskan konsep fisika dengan cara yang lucu, meskipun terkadang dia sedikit keliru. “Jadi, hukum Newton itu seperti cinta… semakin kita menarik, semakin kuat gravitasi kita!” katanya sambil berusaha menjelaskan.

“Eh, kamu benar juga! Berarti aku harus menarik perhatianmu dengan cara yang tepat!” Nara membalas sambil tertawa, membuat Dira terdiam sejenak, lalu ikut tertawa.

Belajar menjadi pengalaman yang menyenangkan. Setiap kali Dira menjelaskan sesuatu, Nara merasakan kedekatan yang semakin dalam. Hanya ada mereka berdua, tawa, dan pelajaran yang terasa lebih ringan.

Namun, saat Nara menyentuh kertas dan melihat catatan Dira yang penuh coretan, dia tidak bisa menahan tawanya. “Dira, ini catatan fisika atau seni abstrak?”

Dira menatapnya dengan ekspresi bingung. “Eh, jangan gitu! Itu cara aku belajar. Mudah diingat, kan?”

“Oh, mudah diingat untuk siapa? Artis atau pelajar?” Nara membalas, membuat Dira tersenyum lebar.

Sore itu, saat mereka selesai belajar, Dira tiba-tiba bertanya, “Nara, kamu mau ke festival di taman kota besok? Kita bisa main bianglala bareng.”

“Festival? Wah, itu ide bagus! Pasti seru!” Nara menjawab bersemangat, merasakan getaran di hatinya.

“Jadi, besok kita pergi, ya? Tentu saja kita harus membuatnya menyenangkan!” Dira mengingatkan, wajahnya berseri-seri.

“Ya, kita buat pengalaman tak terlupakan!” jawab Nara, seolah-olah menyepakati sesuatu yang lebih dari sekadar pergi ke festival.

Mereka berpisah dengan senyuman lebar, dan dalam hati Nara berharap, festival itu bisa menjadi momen spesial yang akan mereka kenang selamanya. Seakan-akan, dunia mereka berdua semakin cerah, dan harapan cinta itu terus menggelora dalam hati Nara.

 

Festival dan Harapan yang Tercipta

Keesokan harinya, Nara terbangun dengan perasaan berdebar. Festival di taman kota adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Dia berdandan lebih awal, memilih gaun warna pastel yang nyaman, dan mengikat rambutnya dengan pita. “Harus tampil menawan!” gumamnya sambil melirik cermin.

Setelah sarapan, Nara melangkah keluar rumah dengan semangat. Dira sudah menunggu di depan rumahnya, dengan senyum lebar dan kaos olahraga favoritnya. “Kamu siap untuk bersenang-senang?” tanyanya dengan antusias.

“Siap! Ayo kita pergi!” Nara menjawab, merasakan jantungnya berdegup kencang saat mereka berjalan berdampingan.

Ketika tiba di taman, suasana sudah ramai. Lampu-lampu warna-warni menghiasi pepohonan, sementara berbagai stan makanan dan permainan menarik berjejer rapi. Nara dan Dira melangkah dengan penuh semangat, melihat ke segala arah.

“Lihat! Ada wahana bianglala! Ayo, kita coba!” seru Dira, menunjuk ke arah kincir angin besar yang berputar dengan ceria.

“Jangan bilang kamu takut ketinggian!” Nara menggoda, menatap Dira dengan mata penuh tantangan.

“Siapa yang takut? Aku hanya ingin memastikan kamu nyaman,” jawab Dira sambil tertawa, dan Nara merasakan jantungnya bergetar lagi.

Mereka berdiri dalam antrean untuk naik bianglala. Saat duduk di dalam kereta, Dira menatap Nara dengan serius. “Kamu tahu, aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Ini salah satu hari terbaikku.”

Nara menatap Dira dengan mata berbinar. “Aku juga! Rasanya seperti mimpi. Terima kasih sudah mengajakku.”

Bianglala mulai berputar, membawa mereka lebih tinggi. Saat mereka berada di puncak, angin berhembus lembut dan Nara terpesona oleh pemandangan di sekeliling. “Lihat! Semuanya terlihat indah dari sini!” ujarnya, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

“Lebih indah karena ada kamu di sini,” Dira menjawab, dan kalimat itu membuat Nara merasa hangat di dalam hati.

Sambil menatap matahari terbenam di kejauhan, Nara merasa harapan dan mimpi yang telah lama terpendam mulai terwujud. Mereka melanjutkan petualangan dengan permainan dan makanan. Dari popcorn manis hingga es krim, tawa dan kegembiraan tak pernah berhenti mengalir.

Setelah beberapa waktu, mereka menemukan sebuah stan fortune teller. “Ayo, kita coba! Mungkin kita bisa tahu tentang masa depan kita!” Dira menggoda sambil menarik tangan Nara.

“Gila! Ini hanya ramalan! Tapi, ya sudah, ayo!” Nara mengikuti, meskipun rasa penasaran mulai menguasai dirinya.

Di dalam tenda kecil, fortune teller yang berpenampilan misterius memandang mereka dengan tatapan tajam. “Apa yang kalian inginkan dari masa depan?” tanyanya, membuat Nara dan Dira saling berpandangan.

“Umm… kami ingin tahu tentang cinta!” Nara menjawab dengan semangat, merasa lucu dan sedikit canggung.

“Cinta itu rumit. Tapi jika kalian ingin, aku bisa meramalkan sesuatu,” kata fortune teller sambil menggenggam kartu-kartu tarot.

Dengan ketegangan di udara, fortune teller mulai membalik kartu-kartu, dan Nara tidak bisa menahan napasnya. “Aku melihat… dua hati yang saling terhubung. Kalian akan menghadapi banyak rintangan, tetapi cinta kalian akan menjadi kuat,” jelasnya, matanya berkilau penuh misteri.

Dira menatap Nara dengan senyum lebar. “Dengar itu? Kita pasti bisa!” Dia berkata sambil menggenggam tangan Nara, menciptakan kehangatan yang luar biasa.

“Jadi, kita harus terus berjuang?” Nara bertanya, berharap.

“Ya! Kita akan menghadapi semuanya bersama-sama!” Dira menjawab dengan penuh semangat, dan Nara merasakan harapan yang baru lahir.

Ketika mereka keluar dari tenda, Dira berkata, “Nara, terlepas dari ramalan itu, aku ingin kita menjadi lebih dekat. Aku suka kamu.”

Nara tertegun. “Kamu… suka aku?” hatinya berdegup kencang. Dira mengangguk penuh keyakinan.

“Aku sudah lama merasakannya. Aku senang bisa bersamamu. Dan… aku berharap kita bisa lebih dari sekadar teman,” Dira menambahkan, wajahnya sedikit memerah.

“Begitu juga aku, Dira. Selama ini aku berpikir tentangmu. Aku berharap kita bisa menjadi lebih dekat,” Nara berkata, suaranya bergetar penuh harapan.

Malam itu, mereka melanjutkan petualangan, merayakan perasaan baru yang tumbuh di antara mereka. Dengan tawa dan bintang-bintang yang bersinar di langit, Nara merasa bahwa cinta pada kakak kelasnya bukanlah sekadar harapan, tetapi mungkin, hanya mungkin, adalah awal dari kisah yang indah.

Ketika festival berakhir dan mereka berjalan pulang, Dira menggenggam tangan Nara. “Kita akan melalui semuanya bersama, kan?” tanyanya.

“Ya, kita akan selalu bersama,” Nara menjawab penuh keyakinan. Dia tahu, hari ini adalah langkah awal menuju sesuatu yang lebih indah. Saat mereka melangkah, bintang-bintang di langit seolah-olah bersinar lebih terang, menyaksikan perjalanan cinta mereka yang baru dimulai.

 

Dan begitulah, di antara tawa dan harapan, Nara dan Dira menemukan bahwa cinta itu bukan hanya tentang kata-kata manis, tetapi juga tentang perjalanan yang penuh warna. Dari festival yang meriah hingga momen-momen lucu yang tak terlupakan, mereka belajar bahwa setiap detik bersama adalah langkah menuju sebuah cerita yang lebih indah.

Siapa sangka, cinta pada kakak kelas bisa jadi awal dari segalanya? Jadi, jika kamu juga merasakan getaran yang sama, jangan ragu untuk mengikutinya. Siapa tahu, kamu juga akan menemukan cinta di tempat yang tak terduga!

Leave a Reply