Cerpen Cinta Lingkungan: Langkah Kecil untuk Menyelamatkan Bumi

Posted on

Pernah gak sih kamu mikir, dunia ini bisa lebih baik kalau kita semua saling peduli sama lingkungan? Ya, mungkin kedengerannya idealis banget, tapi Senja rasa kalau kita mulai dari hal kecil, semuanya bisa berubah. Ini cerpen tentang perjalanan kecil Senja dan Awanira, yang mulai ngerasa kalau bumi ini bukan tempat sampah.

Kita mulai dengan hal sederhana, tapi ternyata dampaknya bisa gede banget. Jadi, kalau kamu merasa udah cukup capek sama polusi dan kerusakan alam, mungkin cerpen ini bisa jadi awal yang pas buat kamu ngelihat dunia dengan cara yang beda. Yuk, simak ceritanya!

 

Cerpen Cinta Lingkungan

Bumi yang Terlupakan

Desa kecil di kaki pegunungan itu selalu memiliki pesona yang sulit dilupakan. Udara pagi yang sejuk dan segar, angin yang berhembus perlahan lewat pepohonan, serta suara gemericik sungai yang mengalir jernih—semuanya seolah menyatu dalam harmoni yang sempurna. Di sana, di desa yang terasa seperti dunia yang terlupakan, Awanira tumbuh besar. Dan aku? Aku datang ke desa ini hanya karena pekerjaan. Menjadi bagian dari tim pembangunan proyek jalan raya, yang di sini disebut-sebut bakal membawa kemajuan besar.

Pekerjaan yang aku jalani ini sepertinya cukup sederhana. Mengawasi, memastikan segala sesuatunya berjalan sesuai rencana. Tapi entah mengapa, saat melihat lingkungan sekitar yang begitu asri, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Jalan raya yang rencananya akan dibangun, tentu saja akan memotong beberapa bagian hutan dan bukit, yang pastinya akan berdampak besar pada alam ini. Belum lagi dengan sungai yang berada tepat di bawah bukit—dengan tanah yang semakin tergerus.

Meskipun sebagian besar orang di desa antusias, aku merasa berat. Namun, tugas tetaplah tugas. Sampai akhirnya, aku bertemu dengan Awanira.

Hari itu aku duduk di warung kopi kecil, menikmati secangkir kopi yang terlalu manis menurutku. Aku mendengar suara langkah kaki mendekat, suara yang agak berbeda dari biasanya. Seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, mengenakan baju sederhana, namun terlihat sangat anggun. Wajahnya tenang, seolah-olah segala sesuatu di dunia ini tidak pernah mengganggunya. Itu adalah Awanira.

Dia duduk di meja sebelahku, memesan teh hijau yang tampak lebih cocok dengan suasana pagi yang damai. Aku meliriknya sekali, dan meskipun baru pertama kali melihatnya, ada sesuatu yang berbeda. Pandangan matanya yang tajam, penuh dengan keyakinan. Aku merasa seperti dia tahu banyak tentang dunia yang tak pernah aku sadari.

Aku memutuskan untuk menyapanya. “Kamu tinggal di desa ini?” tanyaku, mencoba membuka percakapan.

Dia mengangguk perlahan, masih memandang teh hijau yang ada di depannya. “Ya, sejak kecil. Aku tinggal bersama nenekku. Kamu?” jawabnya tanpa menoleh, seolah-olah sudah tahu siapa aku.

“Aku Senja. Baru datang ke sini untuk proyek pembangunan jalan. Aku, er, bagian dari tim yang bertugas untuk memulai pembangunan ini,” kataku sambil menyesap kopi. Aku merasa sedikit canggung, tidak tahu harus melanjutkan percakapan dengan topik apa.

Awanira menatapku lebih lama kali ini, seolah mengukur. Lalu, tanpa ragu, dia bertanya, “Jadi kamu bagian dari orang yang merencanakan pemotongan hutan itu?”

Aku terkejut, hampir tersedak kopi yang sedang aku minum. “Eh, ya… bisa dibilang begitu.” Aku terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Tapi ini untuk kemajuan desa, kan? Jalan raya ini bisa mempermudah akses, meningkatkan ekonomi.”

Awanira menggelengkan kepala perlahan. “Kemajuan itu bukan hanya soal jalan yang lebar, Senja. Kemajuan yang seperti itu akan merusak banyak hal. Pohon-pohon yang tumbang, tanah yang tergeser, sungai yang tercemar… apakah kamu benar-benar berpikir itu kemajuan?”

Aku tidak langsung menjawab. Kalimatnya menohok. Tidak ada orang yang pernah berbicara seperti itu padaku. Semua orang di sekitar sini hanya memikirkan hasil jangka pendek—jalan yang lebih cepat, ekonomi yang lebih tinggi. Tapi Awanira? Dia seolah melihat jauh ke depan, melihat dampak dari segala tindakan.

“Kamu terdengar seperti nenekku,” kataku pelan, lebih pada diri sendiri.

Awanira tersenyum tipis, “Mungkin, karena nenekku juga selalu mengajarkan aku tentang pentingnya alam. Kita ini bukan penguasa bumi, Senja. Kita ini hanya penjaga. Bumi ini, dengan segala isinya, harus dijaga, bukan dihancurkan hanya karena sebuah proyek.”

Aku terdiam, mencerna kata-katanya. Awanira tidak berbicara dengan amarah atau perasaan kesal. Dia berbicara dengan ketenangan yang justru membuatku merasa seperti orang yang baru saja dibuka matanya.

Setelah beberapa saat, dia bangkit dan beranjak pergi, meninggalkan meja kami yang masih terdiam. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin jauh, terbayang wajahnya yang penuh keyakinan.

Pikiranku terus berputar sepanjang hari. Hari itu aku tidak bisa berhenti memikirkan percakapan kami, tentang hutan yang mulai terancam dan tentang bagaimana Awanira melihat dunia. Aku masih belum yakin apakah aku bisa benar-benar menentang proyek ini. Namun, satu hal yang aku tahu pasti—aku ingin tahu lebih banyak tentang pandangan hidup Awanira.

Pulang ke rumah penginapan, aku merenung. Aku tahu pekerjaan ini penting untuk banyak orang, namun ada satu bagian di dalam diriku yang merasa tidak tenang. Setiap kali aku menatap pohon-pohon yang tinggi, tanah yang hijau, dan aliran sungai yang jernih, aku merasa ada sesuatu yang berharga yang akan hilang.

“Aku harus bicara dengan Awanira lagi,” gumamku pada diri sendiri, meskipun aku belum tahu apa yang akan aku katakan.

Malam itu, di bawah langit yang dihiasi bintang-bintang, aku duduk di luar kamar penginapan, berpikir tentang apa yang harus kulakukan. Aku tahu, aku harus lebih memahami dampak dari pekerjaan ini—dan mungkin, hanya mungkin, Awanira bisa menunjukkan jalan.

Tapi apakah aku siap?

 

Senja yang Meragu

Pagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi aku sudah bisa mendengar suara kehidupan di luar penginapan. Burung-burung mulai berkicau, dan angin pagi yang sejuk berhembus melalui celah-celah jendela. Aku tahu, hari ini aku harus menemui Awanira lagi. Ada begitu banyak hal yang belum aku pahami dari percakapan kami kemarin.

Setelah sarapan seadanya, aku berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju ke rumah Awanira. Pemandangan sepanjang jalan selalu membuatku terpesona. Tanah yang subur, pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, dan udara yang terasa begitu murni. Semuanya seolah menyapa, membuatku semakin merasa bertanya-tanya, apakah jalan yang sedang aku tempuh ini sudah benar.

Setibanya di rumah Awanira, aku melihat dia sedang duduk di teras depan rumahnya, dengan mata yang fokus pada bunga-bunga liar yang tumbuh di halaman. Bunga-bunga kecil berwarna cerah itu tampak kontras dengan hijaunya daun-daun yang mengelilinginya, seolah mengundang perhatian. Ketika aku mendekat, dia tersenyum tanpa menoleh, seolah sudah tahu aku yang datang.

“Aku tahu kamu akan datang,” katanya ringan.

Aku tidak langsung menjawab, hanya berdiri beberapa langkah darinya. Awanira memang aneh, tapi dengan cara yang membuatku merasa nyaman. Seperti ada semacam kedamaian dalam kehadirannya.

“Kamu sering duduk di sini?” tanyaku, berusaha membuka percakapan dengan topik yang lebih santai.

“Sering. Ini tempat yang tenang. Kadang, kalau aku merasa bingung atau lelah, aku cuma duduk di sini, melihat tanaman ini tumbuh dengan sendirinya. Mereka mengingatkanku pada kehidupan yang sederhana,” jawabnya, masih menatap bunga-bunga itu.

Aku duduk di sebelahnya, tanpa tahu harus berkata apa. Ada perasaan aneh yang muncul—sesuatu yang sulit kujelaskan. Mungkin karena aku merasa Awanira lebih memahami dunia ini daripada aku, lebih tahu apa yang seharusnya diperjuangkan.

“Dengar, Awanira…” akhirnya aku memulai. “Aku tidak tahu banyak tentang apa yang kamu katakan kemarin. Tentang merusak alam dan hutan, tentang pembangunan yang bisa menghancurkan semua ini. Tapi aku di sini bukan untuk merusaknya. Aku hanya menjalankan tugas. Itu saja,” kataku dengan suara yang sedikit ragu.

Awanira menatapku, kali ini lebih serius, lebih dalam. “Senja, aku tahu kamu hanya menjalankan tugas. Tapi tugasmu itu, tugas kita semua, akan berdampak pada banyak hal. Apa kamu pernah berpikir tentang masa depan? Tentang bagaimana dunia ini akan terlihat jika kita terus memotong hutan, menggali tanah, dan merusak alam demi pembangunan?”

Aku menundukkan kepala. Pertanyaan itu mengganggu, namun aku tidak bisa membantahnya. “Tapi kita juga butuh kemajuan, kan? Kalau kita tidak membangun jalan, bagaimana orang-orang di sini bisa hidup lebih baik? Tidak ada pekerjaan, tidak ada akses. Semua orang ingin hidup lebih baik.”

“Apa kamu tahu, Senja, kalau kemajuan bukan berarti merusak semuanya? Orang-orang memang butuh jalan untuk berkomunikasi, tapi mereka juga perlu udara yang bersih, tanah yang subur, dan air yang tidak tercemar. Semua itu—semua itu penting,” jawab Awanira, dengan suara yang tegas tapi tetap lembut.

Aku diam. Kata-katanya seperti menohok dalam-dalam. Aku tidak pernah benar-benar memikirkan hal itu dengan serius. Aku hanya melihat proyek ini dari satu sisi—sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan. Namun Awanira, dia melihatnya lebih besar dari itu.

Setelah beberapa detik yang terasa panjang, aku bertanya, “Jadi… apa yang menurutmu seharusnya kita lakukan?”

Awanira berdiri dan berjalan menuju kebun belakang rumahnya. Aku mengikuti, merasa seperti dia ingin menunjukkan sesuatu padaku. Di sana, di kebun yang dipenuhi tanaman-tanaman hijau, Awanira menunjuk ke beberapa pohon besar yang sudah lama tumbuh.

“Pohon-pohon ini, mereka sudah ada lebih dulu dari kita. Mereka adalah bagian dari bumi ini yang sangat penting. Apa kamu tahu bahwa akar mereka menyimpan air tanah yang sangat dibutuhkan oleh tanah di sekitar sini? Kalau pohon-pohon ini ditebang, seluruh ekosistem di sini bisa rusak,” katanya, sambil menatap pohon-pohon itu dengan penuh perhatian.

Aku melihat ke arah pohon-pohon itu, dan untuk pertama kalinya, aku menyadari betapa besarnya peran mereka. Tanpa pohon-pohon itu, tanah ini akan menjadi gersang, sungai akan surut, dan tanah akan menjadi semakin keras. Semua yang ada di sekelilingku bergantung pada keseimbangan yang rapuh ini.

“Aku tidak tahu harus mulai dari mana, Awanira,” kataku pelan. “Tapi, aku ingin mencoba mengerti. Aku ingin tahu lebih banyak.”

Awanira tersenyum, senyum yang tidak terburu-buru, seolah menunggu aku siap. “Tidak ada yang bisa mengubah semuanya dalam semalam, Senja. Tapi kalau kita mulai memahami apa yang kita punya, kita bisa menjaga apa yang masih ada. Aku akan menunjukkan lebih banyak hal. Aku harap kamu siap.”

Aku mengangguk, merasakan sebuah tekad baru di dalam diriku. Mungkin, hanya mungkin, aku bisa menjadi bagian dari perubahan itu. Tapi untuk itu, aku harus membuka mataku lebih lebar lagi, tidak hanya melihat apa yang ada di depan mata, tetapi juga melihat yang tak terlihat—yang tersembunyi dalam setiap detil kecil dari dunia ini.

Di sana, di bawah pohon yang rindang, aku mulai memahami bahwa kemajuan bukan hanya soal jalan raya dan gedung-gedung tinggi. Kemajuan sejati adalah ketika kita bisa berjalan bersama alam, menjaga keseimbangan, dan hidup berdampingan dengan segala yang ada di sekitar kita. Dan mungkin, hanya mungkin, aku bisa menjadi bagian dari perjalanan itu.

Hari itu berakhir dengan langit senja yang indah, penuh warna. Aku tahu perjalanan panjang akan segera dimulai. Namun, untuk pertama kalinya, aku merasa siap untuk melangkah.

 

Di Antara Akar dan Impian

Pagi datang lebih cepat dari yang kubayangkan. Langit biru yang cerah dan udara segar menyambutku dengan penuh kehangatan. Aku terbangun lebih awal, seperti ada dorongan dalam diriku yang tidak bisa kubendung. Awanira sudah memberi banyak hal yang harus kupikirkan, dan aku merasa aku harus mengambil langkah lebih jauh. Hari ini, aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan belajar lebih banyak. Tidak hanya tentang pekerjaan yang harus kuselesaikan, tetapi juga tentang apa yang benar-benar penting. Tentang bagaimana aku bisa membuat perbedaan, sekecil apapun itu.

Setelah sarapan, aku langsung menuju ke rumah Awanira. Dia mengajakku untuk ikut serta dalam sebuah kegiatan yang dia sebut “penanaman pohon.” Menurutnya, ini adalah cara yang bisa kami lakukan untuk mulai memperbaiki keseimbangan alam, sekaligus memberi contoh bagi orang lain. Aku merasa aneh, namun entah kenapa aku merasakan semangat yang berbeda ketika mendengar kata “penanaman pohon.”

Sampai di halaman rumahnya, aku melihat beberapa orang sudah berkumpul. Beberapa orang tua, anak-anak, bahkan para remaja. Semua tampak sibuk dengan alat berkebun—pahat, sekop, dan bibit pohon yang siap ditanam. Awanira sudah berada di tengah kelompok itu, berbicara dengan penuh semangat kepada mereka. Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar, seolah setiap kata yang dia ucapkan membawa harapan yang besar.

“Ayo, Senja, ikutlah. Ini akan memberi kita kekuatan lebih dari sekadar kata-kata,” ujar Awanira ketika melihatku datang.

Aku hanya mengangguk dan ikut bergabung dengan mereka, meskipun hati kecilku masih merasa ragu. Aku tidak pernah merasa benar-benar dekat dengan tanah, apalagi berkebun. Aku lebih suka bekerja di lapangan, menyelesaikan tugas, dan kemudian pulang. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sesuatu yang membuatku merasa harus ada di sini.

Kami mulai menanam bibit pohon dengan hati-hati, menggali lubang-lubang kecil di tanah yang masih segar. Awanira berada di sampingku, memberikan petunjuk. Dia mengajari kami untuk tidak hanya menanam pohon, tetapi juga untuk merawatnya dengan cinta. Setiap bibit yang kami tanam, dia sebut sebagai “perjalanan baru untuk alam.” Ada sesuatu yang sangat kuat dalam kalimat itu, sesuatu yang membuatku merasa bahwa ini bukan sekadar pekerjaan fisik, tetapi juga pekerjaan hati.

“Aku sering berpikir,” kata Awanira saat kami beristirahat di bawah pohon besar, “bahwa setiap pohon yang kita tanam adalah sebuah janji untuk masa depan. Bukan hanya untuk kita, tetapi untuk semua orang. Pohon-pohon itu akan tumbuh, mereka akan memberikan kita udara segar, mereka akan menjadi rumah bagi banyak makhluk hidup.”

Aku menatap Awanira, mencoba memahami apa yang dia maksud. Ada ketegasan dalam suaranya, namun ada juga kelembutan yang luar biasa. Seolah-olah dia berbicara tentang sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri, tentang sesuatu yang melampaui semua ambisi pribadi.

“Kenapa kamu begitu yakin, Awanira?” tanyaku, ingin tahu lebih dalam. “Kenapa kamu percaya bahwa ini akan berhasil?”

Awanira tersenyum, namun kali ini senyumnya lebih tenang, lebih bijaksana. “Karena aku melihatnya setiap hari. Aku melihat perubahan yang terjadi ketika kita mulai peduli. Aku melihat bagaimana tanah ini bisa pulih, bagaimana udara menjadi lebih segar, bagaimana anak-anak bermain di bawah pohon yang kita tanam. Semua itu, Senja, adalah bukti bahwa setiap langkah kecil kita memiliki makna.”

Aku menunduk, merenung. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang menggetarkan hatiku. Aku mulai berpikir bahwa, mungkin, aku selama ini hanya terfokus pada hasil yang tampak langsung, tanpa melihat dampak jangka panjang yang bisa kita ciptakan. Mungkin yang benar-benar penting bukanlah pekerjaan yang selesai dengan cepat, tetapi pekerjaan yang memberi arti bagi orang lain, bagi lingkungan, bagi masa depan.

Sore itu, ketika kami selesai menanam beberapa pohon di area yang telah dipilih, Awanira membawa kami ke tepi sungai yang mengalir di dekatnya. Sungai itu jernih, airnya begitu segar. Di sana, kami duduk di atas batu-batu besar, menikmati kedamaian yang hanya bisa diberikan alam.

“Lihat, Senja,” kata Awanira sambil menatap aliran sungai, “ini adalah hasil dari bumi yang kita rawat. Tanpa hutan, tanpa tanaman, tanpa pohon-pohon yang menjaga tanah, air ini mungkin akan tercemar. Kita tidak bisa hanya mengandalkan teknologi atau kekuatan manusia untuk melawan alam. Kita harus bekerja bersama, menjaga yang sudah ada.”

Aku duduk diam, mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tiba-tiba aku merasa begitu kecil, terbayang begitu banyak hal yang telah kita lakukan tanpa memikirkan dampaknya. Pembangunan, kemajuan, teknologi—semua itu bisa jadi bukan solusi, melainkan masalah besar jika kita tidak menjaga keseimbangan alam.

“Aku ingin melakukan lebih banyak hal, Awanira,” kataku, akhirnya menemukan kata-kata yang tepat. “Aku ingin melakukan sesuatu yang lebih berarti. Aku ingin bekerja untuk sesuatu yang lebih dari sekadar pembangunan.”

Awanira tersenyum. Senyum yang penuh arti, yang seolah mengerti bahwa aku baru saja membuka mataku terhadap dunia yang jauh lebih luas. “Aku tahu kamu bisa, Senja. Ini baru permulaan. Dunia membutuhkan lebih banyak orang yang peduli. Tidak hanya untuk alam, tetapi untuk kehidupan itu sendiri.”

Aku merasa seperti sebuah pintu terbuka di hadapanku, memberikan aku pilihan untuk melangkah ke arah yang lebih bermakna. Hari itu, aku tidak hanya menanam pohon. Aku menanam sebuah janji, janji untuk berusaha lebih keras menjaga lingkungan, untuk melangkah dengan hati yang lebih peduli terhadap dunia yang lebih luas.

Saat matahari mulai terbenam, aku merasa lebih dekat dengan alam. Ada rasa damai yang baru, dan untuk pertama kalinya, aku merasa seolah-olah aku telah menemukan sesuatu yang benar-benar berarti dalam hidupku.

 

Menumbuhkan Harapan, Menanam Impian

Hari itu terasa berbeda. Semua yang pernah kulihat dan kurasakan tentang dunia—tentang bagaimana aku biasa hidup tanpa banyak peduli pada lingkungan, tentang rutinitas yang hanya berfokus pada kesibukan—sekarang terlihat begitu kecil dan sempit. Aku tidak tahu apakah ini perubahan yang tiba-tiba, atau memang waktu yang telah membawa aku pada titik ini, tetapi satu hal yang aku tahu pasti: aku tak bisa lagi berpaling.

Beberapa minggu setelah penanaman pohon itu, aku kembali lagi ke tempat itu bersama Awanira. Kali ini, kami membawa lebih banyak orang, teman-teman, dan bahkan beberapa keluarga yang sudah mendengar tentang apa yang kami lakukan. Pohon-pohon yang kami tanam mulai tumbuh, meskipun baru saja dimulai, ada sesuatu yang mengubah suasana di sana. Angin yang berhembus seolah membawa harapan, dan aku merasa bahwa setiap pohon yang tumbuh adalah simbol dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar kegiatan fisik.

Awanira berdiri di depan sekelompok orang, wajahnya penuh semangat. “Kita tidak hanya menanam pohon hari ini, tetapi kita juga menanam harapan,” katanya. “Setiap pohon ini adalah sebuah janji untuk bumi kita, untuk generasi mendatang. Ini adalah cara kita untuk mengatakan, ‘Kami peduli.'”

Aku mengangguk, meski tidak begitu pandai berbicara di depan banyak orang, tapi kata-kata Awanira begitu mengena dalam hati. “Awanira benar,” kataku, memutuskan untuk berbicara. “Kita tidak bisa hanya berharap orang lain yang akan peduli. Kita yang harus mulai. Ini adalah langkah kecil, tapi langkah yang tak bisa dianggap remeh.”

Aku merasa ada semangat baru dalam diriku, semangat yang sebelumnya tidak pernah ada. Aku mulai lebih sering berbicara tentang pentingnya menjaga lingkungan, tentang bagaimana kita harus menghargai setiap ekosistem, bahkan dalam tindakan-tindakan kecil sekalipun. Aku juga mulai mengajak orang-orang lebih dekat dengan alam, mengingatkan mereka bahwa alam bukan hanya tempat tinggal kita, tetapi juga tempat bagi segala kehidupan yang kita sering abaikan.

Hari demi hari, semakin banyak orang yang bergabung dalam gerakan ini. Aku merasa tak sendirian lagi, merasa bahwa meskipun dunia ini penuh dengan tantangan, ada banyak orang yang siap bergerak bersama, yang siap berbuat sesuatu untuk menjaga bumi ini tetap hijau, tetap hidup. Dalam hati, aku merasa bangga. Bangga melihat perubahan yang mulai terjadi, bangga bisa berkontribusi dalam hal yang lebih besar dari diriku sendiri.

Di suatu sore yang tenang, aku dan Awanira duduk di bawah salah satu pohon yang kami tanam bersama, di dekat sungai tempat kami pernah duduk sebelumnya. Angin yang berhembus pelan membawa aroma tanah yang basah, dan suara gemericik air sungai menjadi latar belakang yang damai. Awanira menatap pohon di depan kami, kemudian memandangku dengan senyum lembut.

“Kamu sudah sangat jauh, Senja,” katanya, suaranya penuh kebanggaan. “Aku tahu, ini baru awal. Tapi ini adalah langkah yang besar.”

Aku hanya tersenyum, merasa malu sekaligus bersyukur. “Aku belum apa-apa, Awanira. Semua ini berkat kamu juga. Kamu yang mengajari aku banyak hal tentang alam dan bagaimana kita harus mencintainya dengan sepenuh hati.”

Awanira tertawa kecil. “Kamu lebih dari cukup. Kamu sudah mulai menginspirasi orang lain. Itu yang terpenting.”

Malam itu, saat aku berjalan pulang, aku merasa ada beban yang lebih ringan di pundakku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi aku tahu satu hal: aku akan terus melangkah, terus melakukan apa yang bisa kulakukan untuk bumi ini. Setiap pohon yang tumbuh, setiap langkah yang kami ambil, adalah bukti bahwa kita bisa mengubah dunia, walau sedikit demi sedikit.

Aku melangkah pulang dengan hati yang penuh, penuh dengan rasa syukur dan harapan. Karena aku tahu, apa yang aku lakukan sekarang tidak hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk semua orang. Ini adalah gerakan kecil yang akan tumbuh besar, seperti pohon-pohon yang kami tanam. Mereka akan tetap ada, memberikan udara yang segar, menyegarkan bumi, dan memberikan harapan bagi dunia yang lebih baik.

Di bawah langit malam yang bertabur bintang, aku merasa bahwa aku telah menemukan rumahku yang sesungguhnya, bukan hanya di antara rumah-rumah dan gedung-gedung tinggi, tetapi di antara akar-akar pohon, di antara tanah yang subur, di antara udara yang bersih. Di sana, aku merasa bebas, merasa hidup.

Dan aku tahu, ini baru permulaan.

 

Jadi, siapa bilang langkah kecil gak bisa bikin perubahan besar? Senja dan Awanira cuma mulai dengan menanam pohon, tapi siapa tahu, langkah kita bisa jadi inspirasi buat orang lain buat mulai peduli sama bumi. Mungkin gak semua orang langsung paham, tapi yang penting kita udah coba, kan? Karena gak ada yang bisa merusak dunia lebih cepat daripada orang yang gak peduli.

Semoga cerita ini bisa bikin kamu mikir lagi tentang lingkungan kita, dan siapa tahu, kamu juga bisa mulai bikin perubahan kecil dari sekarang. Bumi kita gak butuh hero besar, tapi butuh langkah-langkah kecil yang dimulai dari hati yang peduli. Jadi, ayo, mulai dari diri kita!

Leave a Reply