Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu denger cerita cinta yang nggak pake drama, nggak pake pantun, tapi tetep aja bikin ngakak? Nah, di sini ada cerita dua sahabat yang coba-coba nembak cewek dengan cara yang, yah, bisa dibilang… nggak biasa. Siapa sangka, cinta itu bisa datang dengan cara yang paling konyol dan seru! Siap-siap aja deh, bakal ketawa sampe perut keram!
Cerpen Cinta Konyol
Cinta Ditolak, Logika pun Tersedak
Kafe itu masih sepi, hanya ada beberapa meja yang terisi dengan beberapa orang yang tampaknya asyik mengerjakan tugas atau menikmati waktu luang mereka. Suasana yang hangat dan nyaman, dengan aroma kopi yang menggoda, adalah tempat yang tepat bagi Renzo dan Zidan untuk saling mengadu nasib. Dua lelaki yang tak tahu apa itu drama, kecuali kalau drama itu datang dalam bentuk kue kering di meja.
Renzo memandang kopi di depannya dengan tatapan kosong, seolah-olah cangkir itu bisa memberi jawaban atas pertanyaan hidupnya. Zidan duduk di seberangnya, menatapnya dengan rasa penasaran yang semakin besar.
“Ada apa? Lo kayak baru digigit seribu nyamuk,” tanya Zidan, sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
Renzo mengangkat bahu dengan malas. “Gue diputusin.”
Zidan menatapnya sejenak, kemudian tertawa kecil. “Lo sih, baru jadian dua minggu udah diputusin. Terus sekarang malah galau kayak orang baru putus cinta 5 tahun.”
Renzo mengernyit, tetapi tidak membalas ledekan itu. Dia lebih memilih menatap cangkir kopinya lagi. “Ya, dia bilang kita nggak cocok.”
Zidan mengangkat alis. “Apa lo udah ngasih effort yang cukup? Maksud gue, lo nggak bisa cuma berharap jatuh cinta tuh datang dengan sendirinya, Ren.”
Renzo menatap Zidan dengan bingung. “Apa maksud lo?”
Zidan memutar bola matanya, seolah sedang menjelaskan hal yang sudah jelas. “Lo nggak bisa cuma jadi orang yang nungguin dia bales pesan lo, terus berharap semuanya berjalan lancar. Lo harus… ngasih sesuatu, dong!”
Renzo mulai menatap Zidan, berpikir sejenak. “Gue udah kasih perhatian banget. Gue juga sering nanya, ‘Gimana harimu?’ Itu perhatian, kan?”
Zidan tersenyum miring. “Itu bukan perhatian, itu cuma kayak ngirim Google Forms. ‘Gimana harimu?’ Lo pikir dia cuma butuh jawaban berupa centang biru doang?”
Renzo mengerutkan kening. “Lalu, apa yang harus gue lakuin? Harusnya kita udah cocok!”
Zidan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Cocok itu bukan cuma soal serasi, Ren. Lo harus ngajak dia ngobrol, nanya apa yang dia suka, terus coba jadi orang yang ngerti dia. Nggak bisa cuma ngomong soal diri lo sendiri terus berharap dia suka.”
Renzo terdiam, kemudian memandang Zidan dengan ragu. “Jadi, lo mau bilang kalau gue nggak ngasih perhatian yang cukup?”
Zidan mengangguk, sambil tertawa kecil. “Bukan nggak ngasih perhatian, tapi… lo ngasih perhatian kayak robot, Ren. Nggak ada feeling-nya.”
“Robot?” Renzo membelalakkan mata, terlihat sangat serius. “Gue bukan robot!”
Zidan hampir tersedak kopinya, menahan tawa. “Iya, iya, lo manusia. Tapi gaya lo ngobrol itu kayak lagi baca manual produk elektronik. ‘Halo, saya Renzo. Apa kabar? Sudah makan? Apa yang kamu lakukan hari ini?’ Itu bukan percakapan, bro, itu seperti pertanyaan yang dipaksakan.”
Renzo mengerutkan kening, berpikir keras, lalu akhirnya memutuskan untuk menyerah. “Oke, gue ngerti. Tapi dia tetap aja bilang kita nggak cocok.”
Zidan menghembuskan napas panjang. “Ya, mungkin kalian emang nggak cocok. Gimana kalau lo terima aja? Nggak semua hubungan harus berakhir bahagia. Kadang, berpisah adalah hal terbaik.”
Renzo menatap Zidan dengan tatapan kosong. “Kata-kata lo bikin gue makin bingung. Lo kok bisa santai gini sih? Kan lo juga baru ditolak.”
Zidan mengangkat bahu. “Lo pikir gue nggak galau? Gue galau, dong. Cuma bedanya, gue nggak pake drama. Gue cuma mikir, mungkin dia emang nggak jodoh gue.”
Renzo melirik Zidan dengan curiga. “Gue nggak yakin deh, lo pasti udah ngasih pantun buat nembak dia.”
Zidan tertawa kecil, hampir melongo mendengar dugaan Renzo. “Gue nggak segoblok itu, Ren.”
Renzo tertawa pelan, lalu menggelengkan kepala. “Serius, gue ngerasa kayak gue tuh udah ngelakuin semuanya dengan bener. Gue ngajakin dia nonton, ngobrol, dan nggak lupa kasih perhatian.”
Zidan menatapnya dengan serius, lalu bertanya. “Lalu, dia bilang apa waktu lo ajak ngobrol?”
Renzo mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat. “Dia cuma bilang, ‘Ngobrol apa? Apa yang mau dibicarakan?’ Terus… dia nggak ada respon lagi.”
Zidan langsung tertawa keras. “Nah, itu dia masalahnya! Lo ngobrol nggak pernah nyambung, bro!”
Renzo mengacak rambutnya frustrasi. “Maksud lo?”
“Lo kayak nyoba ngobrol sama mesin ATM, Ren. Semua pertanyaan lo datar dan nggak ada sambungannya. Lo mikir cewek itu cuma butuh jawaban simpel kayak bot, padahal mereka tuh kayak… banyak layer. Lo harus masukin vibe, lo harus bisa bawa percakapan yang asik.”
Renzo mendengus. “Kalo dia nggak mau jawab, berarti itu salah dia dong!”
Zidan menggeleng. “Nggak gitu, Ren. Kadang-kadang, kalo dia nggak jawab, itu berarti dia nggak merasa tertarik. Coba introspeksi.”
Renzo menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Oke, gue ngerti. Tapi… ini kan masalah yang nggak mudah diselesaikan.”
Zidan menatapnya dengan serius, tapi dengan senyuman tipis di wajahnya. “Lo yakin? Gue aja bisa survive tanpa drama.”
Renzo terdiam, menatap Zidan sejenak. “Lo jomblo nggak pernah ngalamin kayak gini.”
Zidan hanya mengangkat bahu, tersenyum miring. “Cinta itu kayak kopinya, Ren. Kadang pahit, kadang manis. Kadang lo harus ngerti cara nyeduh yang tepat.”
Renzo melirik Zidan sambil tertawa pelan. “Lo ngomong kayak barista, bro.”
Zidan hanya terkekeh. “Ya, gue kan guru kehidupan.”
Mereka berdua tertawa lepas, saling menatap dengan senyum konyol, seperti orang yang tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan, tapi setidaknya tahu cara menikmati kebodohan mereka.
Sambil menikmati sisa kopi yang sudah dingin, Renzo menatap Zidan dengan penuh kepercayaan diri. “Oke, gue coba cara lo. Tapi lo yang jadi pelatih.”
Zidan tertawa terbahak-bahak. “Ya, lo siap jadi murid yang baik, Ren. Cinta nggak sesulit yang lo kira. Yang penting, jangan ngulangin kesalahan yang sama.”
Renzo mengangguk setuju, meski hatinya masih ragu. Namun, dia sadar satu hal—setidaknya, dia tidak sendirian dalam kebodohan ini. Dan bersama Zidan, dia mungkin bisa mengubah kegagalannya menjadi sesuatu yang lebih… menghibur.
Nembak Cewek atau Lomba Pantun?
Keesokan harinya, Renzo duduk dengan gelisah di kursi panjang depan kampus, tangan terlipat cemas di atas meja. Zidan duduk di sebelahnya, memandang lurus ke depan, seolah-olah sedang mempersiapkan diri untuk pertandingan final sepak bola, bukan untuk nembak cewek yang sama sekali nggak dia kenal.
“Gimana, Ren? Lo siap buat nembak lagi?” tanya Zidan sambil menyeka keringat di dahi meski cuaca masih adem.
Renzo melirik Zidan dengan tatapan bingung. “Gue sih nggak ngerti ya, kenapa lo nyuruh gue nembak lagi. Gue baru aja ditolak, Bro! Jadi, kayaknya lebih baik gue nyari hobi baru deh.”
Zidan menoleh dengan ekspresi serius, tapi senyumnya malah nyengir. “Hobi apa? Pencinta kopi profesional?”
Renzo menatap kopi di gelasnya, mencoba merenung. “Pencinta kopi doang sih udah gue jadiin hobi, tapi serius deh, gimana sih cara nembak yang bener? Gini aja, gue minta bantuan lo jadi pelatih. Lo bisa bantu gue nggak?”
Zidan menatapnya sambil mengangkat bahu, pura-pura berpikir keras. “Oke, oke. Gue kasih lo beberapa tips. Tapi jangan harap gue jadi pelatih yang serius. Ini bukan lomba lari, Ren, ini soal perasaan.”
Renzo mengerutkan kening. “Perasaan? Perasaan lo serius nih?”
Zidan memutar matanya. “Serius! Lo harus bikin cewek itu merasa spesial. Bukan cuma sekedar ngomong, ‘Eh, kamu cantik’ atau ‘Mau nggak jadi pacar gue?’ Lo harus lebih kreatif, lebih… dalam!”
Renzo membuka mulutnya, berniat membantah, tapi langsung terdiam saat Zidan menyodorkan selembar kertas.
“Apa nih?” tanya Renzo, mengangkat kertas itu.
Zidan tersenyum lebar. “Pantun! Gue kasih lo pantun jagoan yang bakal bikin dia terkagum-kagum! Lo tinggal baca aja, tanpa ragu!”
Renzo melihat pantun yang tertulis di kertas itu, dan sejujurnya, dia merasa jantungnya mulai deg-degan. “Ini apaan sih? Lo serius? Pantun kayak gini tuh nggak ada yang pake, Bro!”
Zidan tertawa keras. “Jangan pesimis, Ren! Gue yakin cewek-cewek jaman sekarang suka sama yang beda. Lo mau jadi orang biasa yang cuma ngomong ‘Aku suka kamu’ atau lo mau jadi legenda yang dikenang seumur hidup?”
Renzo mengangkat alis. “Legenda? Lo yakin ini bukan cuma bahan tertawaan?”
Zidan menepuk bahu Renzo dengan penuh semangat. “Yakin! Lo mesti tampil beda. Jangan takut jadi aneh, bro! Aneh itu keren!”
Renzo menghela napas panjang. “Oke, gue bakal coba. Tapi kalo dia ketawa, lo yang tanggung jawab.”
“Deal! Lo baca pantun ini dengan penuh perasaan, jangan baca kayak robot lagi, ya,” Zidan berkata sambil merapikan rambutnya dengan bangga.
Renzo berdiri dari kursinya, masih dengan gelisah. “Bentar, bentar, kalo misalnya dia nggak suka sama pantun gue, lo yang harus jawab. Gue nggak bisa kalau cuma gue yang dihina.”
Zidan mengangguk tanpa ragu. “Gue siap jadi saksi hidup kebodohan lo. Tapi gue percaya, lo bisa. Lo nggak akan tahu kalo lo nggak coba!”
Renzo berjalan ke arah koridor kampus dengan niat bulat. Di sana, dia melihat Nina, cewek yang selama ini jadi objek perhatiannya. Nina sedang berdiri bersama teman-temannya, tertawa ringan. Renzo merasa kakinya kaku, jantungnya berdebar, tapi dia berusaha mengingat nasihat Zidan.
Renzo menatap Zidan sekilas yang memberikan isyarat penuh semangat. “Sekarang atau nggak sama sekali,” Renzo berbisik pada dirinya sendiri, lalu melangkah mendekat.
“Nina!” teriak Renzo dengan semangat yang dia coba bangkitkan. Nina menoleh, sedikit terkejut, namun senyum manisnya langsung muncul.
“Renzo? Ada apa?” tanya Nina, tampaknya tidak menyangka Renzo akan menyapanya begitu langsung.
Renzo berdiri tegak dan menatap Nina, kemudian membuka kertas yang diberikan Zidan. “Aku mau kasih kamu sesuatu,” katanya dengan suara yang tak begitu yakin, matanya melirik ke kertas pantun itu.
Nina menatapnya dengan penasaran. “Sesuatu? Apa tuh?”
Renzo menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca pantun yang sudah dia hafalkan:
“Bulan purnama di langit cerah,
Hatiku berdebar ingin bicara,
Nina, apakah hati ini akan berbicara,
Bersama aku, mencipta cerita?”
Setelah membaca pantun itu, Renzo merasa seperti baru saja melompat dari tebing. Dia menunggu, merasa ada waktu yang berjalan sangat lambat.
Nina terdiam sejenak, matanya melirik ke teman-temannya yang sudah menahan tawa. Setelah itu, dia menatap Renzo dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Dan saat itulah dia tertawa. Bukan tertawa biasa, melainkan tertawa yang membuat suasana sekitar terasa gemetar.
“Serius lo?” tanya Nina, masih tersenyum, tapi kali ini lebih geli daripada terkejut. “Pantun? Lo nggak salah milih cara, Renzo?”
Renzo langsung merasakan dirinya tercebur ke dalam lubang yang cukup dalam. “Tunggu, tunggu, lo nggak suka?” tanyanya dengan terbata.
Nina menggelengkan kepala, tapi senyumannya tidak hilang. “Bukan nggak suka, cuma… gue nggak nyangka lo bakal pake pantun buat nembak. Itu lucu banget!”
Renzo merasa wajahnya memerah, berusaha mengingat nasihat Zidan. “Ya, gitu deh… jadi gimana, mau nggak jadi pacar gue?”
Nina mengerutkan kening, tapi masih tersenyum. “Hahaha, Renzo, lo lucu banget. Tapi gue pikir kita lebih baik tetap temenan dulu deh. Nanti kita lihat aja.”
Renzo menundukkan kepala, merasa sedikit kecewa tapi juga merasa lega. Setidaknya, dia nggak harus jadi bahan perbincangan kampus.
“Jadi… temenan aja ya?” tanya Renzo, hampir bisa mendengar suara hatinya yang hancur.
Nina mengangguk. “Iya, kita temenan aja. Tapi gue suka deh, lo berani nembak pake pantun. Itu keren.”
Renzo hanya bisa tersenyum kaku, menatap Zidan yang berdiri jauh di belakang, nyaris tak bisa menahan tawanya.
Sementara itu, Zidan yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan, hanya bisa tertawa terbahak-bahak. “Lo bener-bener bodoh, Renzo.”
Namun, di balik tawa itu, Renzo merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, dia akan mencoba lagi suatu saat nanti. Tapi sekarang, dia merasa cukup puas sudah menertawakan dirinya sendiri bersama Zidan.
Saat Cinta Itu Mulai Jadi Lawak
Hari-hari berlalu dengan cepat. Renzo berusaha melupakan “tragedi pantun” yang masih terus menggelayuti pikirannya. Zidan—si ahli strategi cinta—sepertinya sudah lupa sama sekali tentang nasihatnya yang muluk-muluk. Seolah sudah merasa aman dari segala kecanggungan, Zidan mulai menyarankan hal-hal yang lebih “radikal”.
Pagi itu, Renzo duduk di kantin, menyendiri dengan segelas es teh manis yang nyaris habis. Zidan muncul dari arah pintu kantin, dengan wajah penuh ekspresi yang seperti baru memenangkan sebuah pertempuran besar.
“Bro! Lo nggak bakal percaya!” teriak Zidan, langsung duduk di hadapan Renzo, tanpa menghiraukan tatapan para mahasiswa yang tengah sibuk mengobrol.
“Apa lagi lo?” tanya Renzo, nyaris kehabisan energi untuk menghadapi ide-ide gilanya. “Lo masih mikirin nembak cewek pake pantun lagi ya?”
Zidan cuma nyengir dan menggelengkan kepala. “Enggak, Ren. Kali ini gue punya cara yang lebih keren, lebih… absurd. Tapi lebih oke!”
Renzo mengangkat alis, jantungnya sudah terasa seperti mau copot. “Absurd? Jangan bilang lo mau nyuruh gue nari di depan kelas sambil nyanyi lagu dangdut?”
Zidan menepuk meja dengan keras, membuat es teh Renzo hampir tumpah. “Gue nggak segila itu, Bro. Tapi ide gue tuh beda dari yang lain, lebih segar!”
Renzo menatapnya penuh kecurigaan. “Maksud lo?”
Zidan mendekat, seperti mau berbagi rahasia besar. “Lo harus nembak Nina dengan cara yang paling… canggih dan modern, Ren. Lo kasih dia sebuah aplikasi. Di dalam aplikasi itu, ada pilihan untuk lo, dia, dan juga… fitur ‘Love Calculator’.” Zidan melanjutkan dengan wajah serius.
Renzo menatap Zidan dengan pandangan kosong. “Aplikasi? Love Calculator? Lo serius?”
“Serius banget, Bro. Gue udah coba sama temen-temen gue, dan mereka pada suka. Jadi, lo kasih aplikasi itu ke Nina. Lo bisa pilih kata-kata di dalamnya—romantis, misterius, atau bahkan konyol. Pokoknya aplikasi itu bakal bikin lo keliatan modern banget.”
Renzo mendesah panjang. “Jadi… lo mau gue kasih aplikasi yang bisa ngitung kadar cinta gue sama Nina? Itu bukan ngebingungin dia, Bro?”
Zidan nyengir lebar. “Gue nggak bilang lo kasih aplikasi itu tanpa penjelasan. Lo jelasin dulu, supaya dia ngerti. Lo harus percaya, ini bakal jadi cara paling keren buat nembak cewek jaman sekarang.”
Renzo merenung sejenak. Meskipun suaranya terdengar aneh dan agak konyol, ada juga rasa penasaran. “Oke, gue coba. Tapi kalo gagal, gue nggak akan ngebantuin lo lagi buat bikin taktik cinta.”
Zidan mengangkat tangan tanda setuju. “Deal! Tapi lo siap, kan? Karena ini bakal seru!”
Renzo pun bergegas pulang dan mencoba mengunduh aplikasi yang Zidan rekomendasikan. Setelah menghabiskan hampir setengah jam mencari tahu cara pakainya, dia merasa lebih bingung daripada sebelumnya. Ada pilihan kata-kata yang beragam—dari yang cheesy sampai yang bikin orang mau muntah.
Besoknya, di kampus, Renzo menunggu Nina di depan kantin. Nina datang dengan senyum khasnya, seperti biasa, dikelilingi oleh teman-temannya. Dia melambai ke arah Renzo, lalu berjalan mendekat.
“Renzo! Ada apa nih? Lo tampak serius banget, ada masalah?” tanya Nina dengan mata berbinar.
Renzo menatap Nina dengan ragu, lalu mengeluarkan ponselnya. “Gue pengen kasih lo sesuatu. Ini buat lo, coba buka deh.”
Nina melihat aplikasi yang terbuka di layar ponsel Renzo. “Apa ini? Aplikasi?” tanya Nina dengan sedikit kebingungan.
Renzo mengangguk. “Iya, aplikasi buat ngitung cinta kita. Tenang, nggak aneh-aneh kok. Cuma buat seru-seruan aja.”
Nina menatap aplikasi itu dengan ekspresi yang sangat sulit ditebak. Renzo merasa seperti seorang pelawak yang sedang mempertaruhkan kariernya. “Gue sih nggak ngerti cara kerjanya, tapi gue bakal coba. Klik aja tombol ‘Start’.”
Nina, dengan rasa ingin tahu, akhirnya menekan tombol tersebut. Seketika, aplikasi itu menampilkan hasil “Love Compatibility” mereka berdua, dengan persentase yang muncul di layar.
“93%!” Nina hampir terkejut. “Gila, kok bisa tinggi gitu? Lo pake trik apa, Renzo?”
Renzo mencoba terlihat santai, padahal hatinya sudah berdetak keras. “Ya, itu cuma aplikasi aja. Kadang emang bisa ngetes kecocokan orang-orang. Nggak usah serius-serius banget deh.”
Nina tersenyum manis. “Well, kalau emang gitu, sepertinya gue tertarik buat coba aplikasi lainnya. Kita coba lagi aja, Renzo?”
Renzo hampir nggak percaya dengan apa yang didengarnya. Ternyata, Nina malah tertawa dan meminta untuk coba lagi. Tanpa sadar, Renzo merasa seperti punya kesempatan kedua. Tapi dia juga tahu, kalau ini bukan karena pantun atau aplikasi. Itu karena Nina merasa nyaman sama dia.
Namun, Zidan yang dari kejauhan melihat kejadian ini, hanya bisa menahan tawa. “Lo udah berhasil, Renzo! Gila, lo emang luar biasa!”
Renzo cuma bisa cengar-cengir, menyadari bahwa meskipun semuanya terasa absurd, mungkin, cinta memang perlu dijalani dengan sedikit kelucuan.
Cinta Itu Ternyata Gak Selalu Serius
Seminggu setelah Renzo merasa seperti berhasil membawa Nina lebih dekat dengan dirinya, hidupnya jadi terasa lebih cerah. Meski Zidan terus saja menekan Renzo untuk melakukan hal-hal konyol lainnya, ada satu hal yang mulai Renzo pahami: kadang, cinta itu nggak perlu terlalu dipikirkan. Bisa jadi, yang penting itu adalah menjadi diri sendiri, dan menikmati momen tanpa tekanan.
Hari itu, Renzo dan Nina duduk bersama di taman kampus, duduk di bangku panjang yang biasanya dipenuhi oleh mahasiswa yang ingin istirahat. Ini adalah pertama kalinya mereka benar-benar duduk berdua, tanpa gangguan teman-teman atau segala kerumitan.
“Renzo,” Nina memulai, sambil menatapnya dengan senyum lebar. “Aku harus bilang, aplikasi itu ternyata lucu banget. Gimana bisa kamu nyari yang kayak gitu sih? Hahaha.”
Renzo tertawa kecil. “Ya, itu sih semua ide Zidan, si jenius konyol itu. Gue cuma ikut-ikut aja, dan ternyata bisa bikin lo tertawa.”
Nina mengangguk sambil tertawa, lalu menatap Renzo dengan serius. “Tapi… ternyata aku mulai ngerti juga, lo tuh nggak seaneh yang aku kira. Maksudnya, lo lebih nyantai, bukan tipe yang terlalu banyak mikir tentang hal-hal kecil.”
Renzo merasa seperti ada sesuatu yang menenangkan hatinya. “Iya, gue belajar dari pengalaman-pengalaman aneh, mungkin. Cinta itu nggak harus serius, kan? Yang penting bisa bahagia aja.”
Nina tersenyum, senyumnya terasa lebih tulus kali ini. “Bener, kadang kita terlalu banyak mikirin hal-hal yang nggak perlu. Kalau kita bisa ketawa bareng, itu udah cukup buat bikin hati merasa ringan.”
Renzo menatap Nina dan merasa bahwa momen ini bukan hanya sekadar “kebetulan.” Ada sesuatu yang lebih dalam. Mereka duduk berdua tanpa kata-kata berlarut-larut, hanya saling menikmati keberadaan masing-masing. Tanpa paksaan, tanpa rasa canggung.
Lalu, tiba-tiba, Zidan muncul di belakang mereka dengan gaya seperti seorang detektif yang baru saja menyelesaikan misinya. “Gue rasa sekarang kalian udah jadian, ya? Ada vibe couple banget, gitu,” katanya dengan nada mengejek.
Renzo menoleh dengan setengah cemberut, sementara Nina malah tertawa keras. “Zidan, lo ini bener-bener gak bisa diem ya?”
“Gue cuma bantu kalian supaya bisa lebih cepat sampai ke titik ini. Ini semua kerja keras gue!” jawab Zidan sambil pura-pura bangga.
Renzo menggelengkan kepala, tak mampu menahan senyum. “Lo memang aneh sih, tapi tanpa lo, mungkin gue masih bingung mau ngapain.”
Zidan tersenyum lebar, merasa puas. “Oke, oke. Gue memang kadang aneh, tapi lo berdua harus tau, cinta itu nggak harus pusing-pusing banget. Kadang, ketawa bareng udah lebih dari cukup.”
Nina yang mendengarnya langsung mengangguk. “Iya, bener. Kadang, cinta itu nggak harus serius banget, kan? Lebih baik bikin kenangan lucu.”
Renzo tersenyum lagi, sekarang lebih santai, lebih nyaman. Dia merasa bahwa cinta yang selama ini dia kira rumit, ternyata bisa jadi lebih simpel dari yang dia bayangkan. Cinta itu, pada akhirnya, bukan soal pantun, aplikasi, atau strategi aneh lainnya. Cinta itu soal bisa berbagi tawa, bisa saling mendukung, dan menikmati kehadiran satu sama lain—dalam segala kebodohan dan kelucuan yang ada.
“Jadi,” kata Renzo, sambil melirik Nina dengan senyum lebar, “apa lo mau lanjutkan sesi Love Calculator kita? Atau cukup sampai di sini aja?”
Nina tertawa keras, membuat suasana semakin ceria. “Lo memang nggak pernah berubah ya, Renzo.”
Dan dari sana, cerita cinta mereka pun mulai berlanjut—tanpa drama, tanpa strategi, hanya tawa yang mengisi setiap langkah mereka. Dan meski Zidan selalu ada di sana untuk memberikan nasihat yang lebih gila lagi, Renzo tahu satu hal: terkadang, cinta memang lebih baik ditinggalkan untuk waktu yang tepat, dengan cara yang paling sederhana dan tanpa beban.
Karena, pada akhirnya, yang penting bukanlah seberapa besar strategi yang dipakai, melainkan seberapa besar kebahagiaan yang bisa dibagikan.
Dan begitulah, cinta bisa datang dari tempat yang paling nggak terduga, bahkan lewat aplikasi konyol atau lelucon bodoh. Yang penting, kamu bisa ketawa bareng, saling dukung, dan nggak perlu ribet mikirin hal-hal yang nggak penting. Jadi, buat kamu yang lagi mikirin soal cinta, inget aja—kadang, ketawa adalah jawaban terbaik!