Cerpen Cinta Jarak Jauh: Menghadapi Kecewa dan Perpisahan

Posted on

Jadi, pernah nggak sih kamu ngerasa kayak hubungan cinta itu bisa jadi berat banget cuma gara-gara jarak? Ya, kayak rasanya semuanya tiba-tiba jadi nggak jelas, bahkan kepercayaan yang udah kita bangun lama-lama mulai retak.

Cerita ini buat kamu yang pernah ngerasain sendiri gimana susahnya bertahan, meskipun kita tahu akhirnya cuma ada satu pilihan: melepaskan. Tapi, melepaskan bukan berarti lupa, kan? Nah, yuk simak kisah ini, siapa tahu kamu bisa nemuin sedikit penghiburan dari situasi yang mungkin sama kayak yang pernah kamu jalani.

 

Cerpen Cinta Jarak Jauh

Langit yang Menguning

Aku duduk di sebuah kafe kecil, tempat yang selalu kuunjungi kalau aku butuh sedikit ruang untuk berpikir. Lantai kayu yang berderit pelan setiap kali seseorang lewat, aroma kopi yang kental, dan suara musik lembut yang menghiasi udara. Semua itu terasa begitu familiar, tapi kali ini rasanya berbeda. Semua terasa hampa, kosong. Mungkin karena perasaan ini, perasaan yang mulai membelenggu di hatiku.

Alina. Nama itu terus terngiang dalam kepalaku. Aku menatap layar ponsel yang tergeletak di atas meja, mencoba mengalihkan pikiran. Terkadang aku berharap bisa menekan tombol ‘mute’ pada pikiranku, tapi ternyata tidak semudah itu. Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar. Pesan dari Alina. Hatiku langsung berdetak lebih cepat, seperti biasa, walaupun kami sudah terpisah ribuan kilometer.

“Ari, kamu sedang apa?”

Aku tersenyum kecil. Kalimat yang biasa dia kirimkan. Tapi kali ini, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Aku menjawab pesan itu dengan cepat.

“Hanya menunggu waktu, Al. Lagi di kafe, lagi ngelamun aja.”

Beberapa detik berlalu, dan pesan itu akhirnya muncul lagi.

“Kamu memang paling suka melamun, ya. Jadi, gimana kehidupanmu di sana? Sudah mulai lebih nyaman?”

Terkadang aku merasa seperti dia adalah satu-satunya orang yang tahu apa yang ada dalam pikiranku. Tapi, meski begitu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda antara kami. Entah itu hanya perasaan atau memang kenyataan yang mulai merayap pelan-pelan.

Aku menatap ponselku, memikirkan jawaban yang akan kuberikan. Aku ingin jujur padanya, tapi terkadang kata-kata terasa seperti pisau yang menusuk pelan-pelan. Aku mengetikkan jawaban yang akhirnya kuputuskan untuk dikirim.

“Iya, sudah sedikit lebih baik. Tapi tetap aja, ada banyak yang kurang.”

Aku menunggu beberapa detik, tapi kali ini tidak ada balasan secepat biasanya. Aku merasa sedikit cemas. Biasanya, Alina selalu cepat merespons. Tapi kali ini… tidak.

Ketika akhirnya pesan itu muncul, aku bisa merasakan ada keraguan dalam kata-katanya.

“Aku juga merasa hal yang sama.”

Jawaban yang singkat, tapi terasa menusuk. Aku menundukkan kepala, mencoba menelan kenyataan yang baru saja datang. Aku ingin sekali mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa kami bisa melewati semua ini. Tapi rasanya… tidak semudah itu.

Aku menatap jendela kafe yang menghadap ke jalan, melihat mobil-mobil yang berlalu-lalang, orang-orang yang sibuk dengan dunia mereka. Semua itu terasa seperti bayangan yang jauh. Sama seperti perasaanku. Sama seperti kami, yang kini terpisah oleh jarak yang semakin besar.

“Al, aku… aku mulai merasa kita semakin jauh.”

Aku tahu kata-kata itu akan berat, tapi aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku lagi. Terkadang, rasa sakit itu lebih mudah diterima kalau kita jujur.

Beberapa detik berlalu, dan akhirnya aku mendengar suara di ujung sana. Suara yang berat, penuh dengan perasaan yang terpendam.

“Ari, aku juga merasa hal yang sama. Tapi aku tidak ingin kehilangan kamu.”

Suara Alina terputus, seperti ada beban yang menahannya. Aku bisa mendengar isakannya, meski tidak jelas. Hati ini seolah terbelah mendengar suaranya yang penuh dengan keraguan.

Aku menggigit bibir, menatap cangkir kopi yang mulai mendingin. Aku tahu dia juga merasakan hal yang sama. Tapi perasaan itu, perasaan yang dulu membuat kami merasa begitu dekat, sekarang terasa seperti kabut yang menghalangi kami.

“Aku tidak ingin kehilangan kamu juga, Al. Tapi… kamu tahu kan, kita semakin jauh, bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam perasaan.”

Aku menatap ponselku, menunggu balasan yang tak kunjung datang. Suasana kafe ini tiba-tiba terasa semakin sepi. Hanya ada suara langkah-langkah kaki di luar sana, dan aku, yang terjebak dalam perasaan ini.

“Ari… aku takut kalau kita terus seperti ini, kita hanya saling menyakiti.”

Aku memejamkan mata. Tidak, aku tidak ingin menyakiti Alina. Tapi kadang, cinta pun tak cukup untuk mengatasi jarak yang semakin lebar.

“Aku… aku rasa kita sudah semakin jauh, Al. Kepercayaan itu… aku mulai merasa kita tidak bisa lagi saling percaya seperti dulu.”

Aku menunduk, merasa seperti ada beban yang menggerogoti dadaku. Aku tahu kata-kataku ini akan menyakiti, tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi.

“Aku… aku ingin berjuang, Ari. Aku masih ingin kita bersama. Tapi…” Alina terhenti, dan aku bisa mendengar napasnya yang berat. “Aku mulai merasa kita hanya saling berharap pada hal yang tak pasti.”

Aku meremas ponselku. Rasanya seperti ada sesuatu yang retak dalam hatiku. Perasaan yang dulu kuat, kini terasa rapuh. Mungkin jarak ini memang lebih besar dari yang kami kira.

“Aku ingin berjuang, Al. Aku masih ingin bersama kamu. Tapi… aku mulai takut kita hanya saling menunggu tanpa arah.”

Diam. Keduanya hanya diakhiri dengan keheningan yang terasa begitu lama. Aku ingin sekali memeluknya, merasa hangat dalam pelukannya, tapi itu semua hanya bisa menjadi kenangan. Aku meraih cangkir kopi yang sudah tak terasa hangat lagi, menyesapnya dengan perlahan.

“Aku akan selalu mencintaimu, Ari.” Suara Alina terdengar lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Tetap ingat aku, ya?”

Aku menatap langit yang mulai berubah menjadi kelabu, melihat awan-awan menggantung rendah. Rasanya, aku bisa merasakan ketidakpastian itu semakin mendalam. “Selalu, Al. Aku akan selalu ingat kamu.”

Aku menutup ponsel, meletakkannya di meja dengan perlahan. Kafe ini masih ramai, tapi hatiku kosong. Langit yang menguning di luar sana semakin gelap, seperti perasaan yang kupertaruhkan. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Tapi yang pasti, aku tahu satu hal: kenangan ini akan tetap ada.

 

Jarak yang Terlalu Dekat

Pagi itu, aku bangun dengan perasaan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Tidak ada kehangatan yang biasa kutemukan dalam setiap pagiku, hanya kehampaan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan, tapi mataku masih berat. Kamar ini terasa semakin kecil, meskipun aku tahu, aku bukan hanya terkurung di sini—perasaanku juga terperangkap dalam jarak yang terus membentang di antara kami.

Setelah berjam-jam terjaga semalaman, aku memilih untuk pergi keluar, mencoba untuk mengusir kebosanan yang semakin mendalam. Aku berjalan di sepanjang jalan yang sama, melewati toko-toko yang sama, hanya dengan satu tujuan: melupakan sejenak kekosongan ini.

Teleponku bergetar di kantong jaket, dan untuk detik kedua, hatiku berdebar. Alina. Seperti biasa, pesan darinya selalu datang tepat saat aku mulai merasa sedikit tenang.

“Ari, aku kangen banget sama kamu. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku ngerasa semuanya jadi nggak jelas.”

Aku membaca pesan itu berkali-kali, mencoba merasakan apa yang dia rasakan. Ada kesedihan yang jelas tertulis di kata-katanya, dan aku bisa merasakannya seolah itu adalah milikku. Tangan ini tiba-tiba merasa kaku. Aku tidak tahu harus merespons apa. Aku ingin menjawab, tapi kata-kata itu terasa terlalu besar untuk aku ucapkan.

Beberapa menit kemudian, aku mengetik balasan.

“Aku juga kangen, Al. Tapi kamu tahu, ada banyak hal yang nggak bisa kita pungkiri sekarang. Kita terlalu jauh.”

Aku menekan tombol kirim dan langsung menatap layar, menunggu balasan yang seakan tidak pernah datang. Hanya ada titik tiga di pojok layar, menunggu kata-kata dari seberang sana.

Akhirnya, setelah beberapa saat yang sangat panjang, pesan itu muncul.

“Aku nggak bisa terima ini, Ari. Aku… aku nggak tahu gimana caranya untuk bisa menjaga semuanya tetap baik-baik aja.”

Kata-katanya mengguncang perasaanku. Alina yang dulu tegas, yang selalu bisa memberikan solusi, kini menjadi rapuh dan kehilangan arah. Aku ingin memeluknya, memberikan kenyamanan yang dia butuhkan, tapi aku tahu—aku tak bisa.

Aku duduk di bangku taman, memandangi daun-daun yang berguguran. Pemandangan itu terasa begitu kontradiktif—semakin banyak yang jatuh, semakin kosong yang tersisa. Begitu pula dengan hatiku.

“Aku juga nggak tahu, Al. Tapi kadang, kita nggak bisa hanya berharap pada hal yang nggak pasti. Kita hanya manusia, Al. Kita punya batas.”

Aku menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di mataku. Semua yang kami miliki kini terasa seperti cerita yang tidak pernah selesai. Alina menginginkan jawabannya, tapi aku hanya bisa memberikan keraguan. Apakah kami bisa bertahan dengan jarak ini? Apakah aku bisa terus berharap meski semuanya terasa semakin kabur?

Pesan dari Alina masuk lagi.

“Aku rasa kita sudah terlalu terjebak dalam masa lalu, Ari. Kita saling berharap pada kenangan yang kita punya, padahal… kenangan itu nggak akan bisa membawa kita ke depan.”

Aku menatap pesan itu, dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, aku merasa jujur. Alina benar. Kami sudah terjebak dalam waktu yang tak bisa kami ulangi. Kami sudah terlalu banyak berharap pada sesuatu yang tak lagi ada.

Aku memejamkan mata, merasakan angin yang berhembus pelan. Hanya ada suara langkah kaki yang berlalu, dan suara hatiku yang kini terdengar begitu jelas.

“Kamu benar, Al. Kita memang terjebak dalam kenangan. Tapi… aku nggak tahu, aku masih merasa ada sesuatu yang harus kita perjuangkan.”

Kali ini, aku tidak hanya mengirim pesan. Aku menekan tombol telepon. Bergetar sejenak di tangan, dan kemudian suara Alina terdengar di ujung sana. Suara yang aku rindukan, meskipun kini terasa begitu asing.

“Ari…” Suaranya serak, seakan menahan air mata. “Kenapa kita nggak bisa jadi seperti dulu?”

Aku menggigit bibir, mencoba menahan emosi yang hampir meledak. Aku ingin berkata, “Karena kita sudah berubah, Al. Kita sudah berbeda.” Tapi aku tahu, kata-kata itu akan menyakitinya lebih dari yang bisa kubayangkan.

“Mungkin kita tidak bisa, Al. Mungkin kita memang sudah berbeda.”

Diam sejenak. Hanya ada suara napas kami yang terdengar begitu berat, seperti beban yang kami bawa bersama.

“Tapi aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Ari. Aku takut kehilangan kamu.”

Kata-kata itu mengguncang aku lebih keras dari apapun yang pernah kudengar. Aku ingin meraih telepon dan mengatakan bahwa aku akan selalu ada, tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokanku.

Aku mengingat kembali senyuman Alina, senyuman yang dulu selalu mampu menenangkan hatiku. Aku mengingat bagaimana dia selalu menganggap segala masalah itu bisa diselesaikan, bagaimana dia selalu menunjukkan bahwa cinta itu cukup untuk mengatasi segalanya. Tapi kali ini, aku tahu bahwa cinta saja tidak cukup. Ada jarak, ada waktu, ada semua hal yang tidak bisa kami kontrol.

“Aku juga takut, Al. Aku takut kita akan saling menyakiti lebih dalam lagi.”

Aku menatap jalan yang sepi. Toko-toko di sekitar sini mulai tutup, dan aku hanya duduk di sana, terperangkap dalam percakapan yang semakin membuatku merasa lebih jauh darinya. Jarak ini terlalu dekat untuk disebut jauh, tapi terlalu jauh untuk bisa dijangkau.

“Mungkin kita memang harus berhenti berharap, Al. Mungkin ini jalan terbaik untuk kita berdua.”

Alina terdiam sejenak, dan aku bisa mendengar napasnya yang berat. Rasanya seperti ada sesuatu yang hancur dalam hatiku. Tapi aku tahu, ini bukan akhir. Kami hanya berjarak jauh, namun, entah kenapa, perasaan ini masih terus memanggil. Aku menutup telepon itu, menatap langit yang kelabu, merasa lebih kosong dari sebelumnya.

 

Mencoba Lupa

Aku kembali ke kamar, duduk di tepi tempat tidur, menatap telepon yang kini tergeletak di sampingku. Alina masih ada di sana, dalam setiap pesan yang terlewat, dalam setiap detik yang terus berjalan tanpa jawaban pasti. Ada sesuatu yang hancur, tak hanya di antara kami, tapi juga di dalam diriku. Aku merasa seperti seseorang yang telah kehilangan pegangan, terjatuh, dan hanya mampu berbaring di tempat yang sama, menunggu untuk bangkit. Tapi entah bagaimana, setiap kali aku berusaha berdiri, aku selalu terjatuh lagi.

Aku membuka jendela, berharap angin bisa membawa sedikit ketenangan. Aku ingin menutup mata, membiarkan malam ini datang, tetapi aku tahu bahwa tidurku tak akan memberi jawaban. Tidak ada pelarian yang bisa memberi jawaban, kecuali keberanian untuk menerima kenyataan ini.

Aku teringat saat pertama kali mengenalnya. Alina, dengan rambut hitam panjang yang selalu tergerai rapi, senyuman yang seolah bisa mengalahkan segalanya. Dia bukan tipe gadis yang mudah terpengaruh, dia cerdas, tegas, dan selalu tahu apa yang diinginkannya. Aku yang kala itu merasa biasa saja, merasa terpesona dengan bagaimana dia mampu membuat dunia sekelilingnya seolah berhenti sejenak. Aku masih ingat, bagaimana dia datang menghampiriku, dengan senyum penuh percaya diri, dan berkata, “Kamu bisa jadi lebih dari ini, Ari.”

Aku hanya tersenyum waktu itu, merasa malu karena dia begitu percaya padaku, sementara aku sendiri pun tak tahu apa yang kuinginkan. Tapi waktu berlalu, dan kami menjadi bagian dari satu sama lain, saling berusaha memahami. Kami berbagi tawa, berbagi rahasia, berbagi mimpi—dan aku benar-benar merasa bahwa cinta kami akan bertahan melawan segala rintangan.

Tapi sekarang, semua itu terasa seperti kenangan yang semakin memudar.

Teleponku bergetar lagi. Sejenak, aku ragu untuk melihatnya. Alina sudah mengirimkan banyak pesan, tapi aku tahu, apa yang kami miliki bukanlah tentang seberapa sering kami berkomunikasi. Ini tentang bagaimana kami menanggapi jarak yang terus memisahkan kami.

Aku membuka pesan yang masuk.

“Ari, kenapa kita nggak bisa seperti dulu lagi? Aku nggak tahu harus gimana. Aku kangen banget.”

Baca lagi, aku memejamkan mata. Kata-kata itu terasa seperti pisau yang menembus langsung ke hatiku. Aku ingin berkata sesuatu yang bisa membuat semuanya kembali seperti dulu, tetapi aku tahu, itu tidak mungkin. Jarang ada yang mampu bertahan dalam hubungan jarak jauh. Kami sudah mencoba—sudah sangat mencoba—tapi semakin kami berusaha, semakin besar jarak yang tercipta di antara kami.

Aku mengetik balasan, lalu menghapusnya lagi. Terlalu banyak kata yang ingin aku sampaikan, tapi rasanya terlalu sedikit untuk mewakili apa yang kurasakan.

“Aku kangen juga, Al. Tapi kita harus berhenti menyalahkan jarak. Jarak ini… ini bukan cuma soal fisik.”

Pesan itu kuirim, meski hatiku merasakan keputusasaan yang semakin kuat. Tak lama setelah itu, teleponku bergetar lagi.

“Aku tahu, Ari. Tapi kenapa… kenapa semua jadi terasa begitu berat?”

Sebuah pertanyaan yang menohok. Aku ingin menjawabnya dengan kata-kata yang bisa menjelaskan semuanya, tapi aku tahu aku tak punya jawaban yang benar-benar bisa mengobati rasa sakit ini.

Aku berdiri dan berjalan ke dapur. Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban yang semakin menekan di dadaku. Alina selalu tahu cara mengerti diriku, cara membaca setiap ekspresiku bahkan tanpa aku harus mengatakan apa-apa. Tapi kini, aku merasa seperti orang asing bagi dirinya—seperti sebuah bayangan yang semakin jauh.

Aku duduk di meja makan, mengaduk secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Berbagai kenangan berseliweran di pikiranku, membawa tawa dan rasa bahagia yang dulu selalu ada. Dulu, aku tidak pernah takut dengan jarak. Karena aku tahu, apapun yang terjadi, kami akan selalu saling menjaga. Tapi kini, aku mulai merasa seperti ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tak bisa aku temukan meski sudah mencarinya ke sana kemari.

“Ari, apa kita harus berakhir di sini?” Pesan dari Alina datang tanpa peringatan, langsung mengoyak hatiku.

Aku menatap layar telepon dengan perasaan kosong. Berakhir. Begitu mudahnya kata itu terucap, tapi begitu sulit untuk diterima. Apakah kami benar-benar sampai di titik ini? Tidak ada kata-kata yang bisa aku temukan untuk meyakinkan diriku bahwa ini adalah keputusan yang benar. Aku hanya merasa… lelah.

Aku mengetik balasan dengan tangan yang hampir gemetar.

“Aku nggak tahu, Al. Aku nggak tahu apakah kita bisa bertahan lebih lama. Tapi mungkin, kita memang sudah terlalu jauh.”

Pesan itu kuirim, dan sejenak aku menunggu. Jarak ini tidak hanya memisahkan kami fisik, tapi juga memisahkan hatiku dari hatinya. Setiap kata yang tertulis hanya semakin memperjelas kenyataan bahwa kami mungkin memang sudah tak bisa kembali.

Teleponku bergetar lagi, kali ini dengan satu pesan singkat dari Alina.

“Aku sayang kamu, Ari. Tapi mungkin ini memang jalan terbaik.”

Kalimat itu membuat dadaku terasa sesak. Aku ingin berlari ke arahnya, memeluknya, memberi tahu bahwa aku juga sayang, bahwa aku tidak siap untuk kehilangan dia. Tapi kenyataan tak memberi ruang untuk keinginan-keinginan seperti itu. Kami sudah terjebak dalam waktu yang tidak bisa kami kontrol.

Aku menatap layar ponsel yang kini gelap. Tidak ada pesan lebih lanjut. Hanya ada keheningan yang membalutku. Apa yang kami miliki kini hanya kenangan yang terlalu mahal untuk dibawa pergi, tetapi terlalu berat untuk dipertahankan.

Kau selalu bilang kita bisa bersama meski jarak memisahkan, Al. Tapi kini aku mulai merasa, mungkin, ini memang yang terbaik—meskipun hatiku masih belum siap untuk menerima kenyataan itu.

 

Akhir yang Tidak Pernah Kita Pilih

Hari itu, aku merasa seperti berjalan tanpa tujuan. Segala sesuatu di sekitarku terasa kabur, seakan dunia ini hanya berupa bayangan yang terus bergerak tanpa memberi ruang untuk aku berhenti dan merasakannya. Aku duduk di bangku taman dekat apartemenku, menatap langit yang sudah mulai berubah warna, berpikir tentang apa yang telah terjadi dan apa yang harus dilakukan setelah ini.

Ponselku tergeletak di sampingku, mati kutu setelah lama tak digunakan. Aku sudah tahu, tidak ada lagi pesan darinya. Tidak ada lagi notifikasi yang mengganggu pikiran kosongku. Sebelumnya, aku sudah berusaha menghubungi Alina sekali lagi, tetapi hanya mendapatkan balasan singkat yang menambah keraguan dalam hati. Semua terasa semakin tidak jelas, seakan kami sedang berjuang melawan waktu yang tak memberi kesempatan untuk memperbaiki segalanya.

Aku teringat saat terakhir kali kami bicara. Alina, dengan suara yang lemah, berkata, “Kita tidak bisa seperti ini lagi, Ari.” Kata-katanya itu terus berputar di kepalaku, bagaikan mantra yang menghantui. Apa yang kami miliki kini hanya jejak-jejak kosong dari apa yang dulu penuh dengan impian dan harapan.

Lama aku terdiam, mencoba mencari tahu di mana letak kesalahannya. Apa yang kurang? Apa yang salah dalam hubungan ini hingga akhirnya kami harus berhenti begitu saja, terpisah oleh jarak yang tak bisa lagi kami taklukkan?

Alina selalu mengajarkan aku untuk menjadi kuat, untuk tidak menyerah pada apa pun yang terjadi. Tapi kali ini, aku merasa seperti orang yang sudah kehabisan kekuatan. Aku ingin memeluknya, memberinya keyakinan bahwa kami bisa memperbaiki segalanya. Tapi aku tahu, tidak ada lagi ruang untuk itu. Kami sudah terjebak dalam kesendirian masing-masing, memeluk ego dan rasa sakit yang datang bersama perpisahan ini.

Malam semakin larut, dan aku masih duduk di sana, menatap bintang yang tampak begitu jauh. Aku mengingat wajah Alina, senyumnya yang selalu membuatku merasa seperti bisa menghadapinya bersama apapun yang terjadi. Tapi semua itu kini hanya kenangan yang semakin memudar, hanya bayangan yang semakin kabur.

Aku menarik napas panjang dan menghapus air mata yang perlahan mengalir tanpa bisa aku tahan. Aku sudah mencoba untuk bertahan, untuk menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan datang lagi. Tapi, pada akhirnya, aku tahu—keputusan ini, meskipun sakit, mungkin adalah yang terbaik. Bukan karena kami tidak saling mencintai, tetapi karena ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar cinta.

Ponselku berbunyi, sekali lagi, seperti mengingatkan aku tentang segala sesuatu yang sudah berlalu. Aku menatapnya dengan berat hati, tidak ada lagi kata-kata yang bisa meyakinkan aku bahwa ini bisa kembali seperti semula.

Dengan satu hembusan napas, aku menekan tombol untuk mematikan ponsel. Aku tahu, ini adalah akhir dari segalanya. Kami sudah mencoba, sudah berjuang, tapi terkadang, kita harus menerima kenyataan meski itu terasa hancur.

Aku berdiri dan berjalan pulang, langkahku terasa lebih ringan meskipun hatiku masih penuh dengan pertanyaan. Apakah cinta itu memang cukup untuk mengatasi jarak, waktu, dan segala hal yang memisahkan kita?

Aku tidak tahu jawabannya. Yang aku tahu, terkadang kita harus melepaskan apa yang kita cintai, bukan karena kita tidak menghargainya, tapi karena kita tahu bahwa kebahagiaan itu tidak selalu datang dengan memaksakan apa yang sudah tidak bisa dipertahankan.

Alina, aku berharap suatu hari nanti, kamu akan menemukan kebahagiaanmu. Aku pun akan berusaha menemukan kebahagiaan dalam diriku sendiri, meskipun jalan kita kini terpisah oleh jarak yang tak bisa kita rapatkan lagi.

Sampai jumpa, dalam kenangan yang akan selalu aku simpan, dalam hati yang akan selalu kucintai, meskipun dari jauh.

 

Jadi, begitulah akhirnya. Kadang, kita harus menerima kenyataan meskipun itu sakit, karena nggak semua cinta bisa bertahan, terutama kalau jarak dan waktu udah jadi penghalang. Tapi, bukan berarti semuanya selesai, kan?

Cinta itu bisa tinggal dalam kenangan, meskipun kita nggak bisa lagi berada di tempat yang sama. Semoga cerita ini bisa sedikit menghibur atau malah bikin kamu mikir lagi tentang pilihan-pilihan yang pernah kamu ambil. Karena pada akhirnya, kita semua cuma manusia yang berusaha mencari jalan menuju kebahagiaan, meski jalannya nggak selalu mulus.

Leave a Reply