Cerpen Bullying Broken Home: Perjalanan Arvino Menghadapi Ketakutan dan Menemukan Harapan

Posted on

Kadang hidup itu kayak nggak ada habisnya, ya. Bullying, keluarga yang nggak utuh, rasa kesepian yang nempel terus—semuanya berasa kayak beban yang berat banget. Tapi, siapa sangka, di tengah-tengah semua itu, ada secercah harapan yang muncul, yang bikin kita tetap bertahan.

Ini cerita tentang Arvino, seorang anak yang merasa dunia nggak berpihak padanya, tapi akhirnya menemukan cara untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Penasaran gimana dia bisa nyelametin dirinya dari semua itu? Yuk, baca terus!

 

Cerpen Bullying Broken Home

Bayangan di Sudut Ruang

Ruangan itu ramai. Terlalu ramai. Setiap suara seolah-olah saling berebut untuk menjadi yang terdengar paling keras. Ada tawa, ada bisikan, ada teriakan, semua bercampur menjadi satu di dalam kelas. Namun, di antara semua itu, ada satu sudut yang sunyi. Pojok kelas yang hampir selalu kosong. Tempat di mana Arvino memilih duduk. Tempat yang lebih terasa seperti pelarian dari dunia luar, meskipun sebenarnya ia masih berada di tengah keramaian.

Di sana, ia hanya duduk diam, memandangi buku pelajaran yang terbuka di hadapannya. Semua kata-kata yang tercetak di sana tampak kabur, seolah mereka tidak memiliki arti apapun. Tidak ada yang peduli, tidak ada yang memperhatikan. Dia hanya ingin menyelesaikan jam pelajaran ini, pulang ke rumah, dan kembali merasa sepi, seperti yang selalu ia rasakan di rumah.

Tapi, hari ini, sepertinya tidak akan berjalan mulus seperti biasanya. Sebuah suara yang sudah sangat familiar mengalihkan perhatiannya.

“Eh, Bayangan, jangan duduk di sini. Aku butuh tempat itu.”

Itu suara Rico. Suara yang biasa terdengar di setiap hari pertama masuk kelas. Suara yang penuh dengan kesombongan, yang selalu membuat Arvino merasa seperti benda yang tidak berarti.

Dengan malas, Arvino menoleh ke arah Rico yang berdiri di pintu dengan ekspresi sinis. Rico dan gengnya, empat orang anak laki-laki yang selalu membuat hidup Arvino semakin susah. Mereka sudah cukup lama tahu siapa Arvino, siapa anak yang selalu ada di sudut kelas tanpa bicara, tanpa teman, tanpa pengaruh. Dan mereka suka mengejeknya.

Arvino menghela napas, menatap tasnya yang sudah tergeletak di lantai. “Kamu bisa duduk di sini, tapi… tas aku harus tetap ada di meja ini.”

Rico mendengus. “Jangan sok berani, Bayangan. Jangan lupa siapa yang berkuasa di sini. Kamu tuh cuma anak pecundang yang nggak ada artinya.”

Arvino tidak menjawab. Ia tahu percuma. Mulut Rico tak pernah bisa diam. Gengnya pun mulai tertawa melihat reaksi Arvino yang tidak berani melawan.

“Jangan khawatir, Bayangan. Nggak ada yang bakal lihat kamu di sini. Kamu kan cuma bayangan,” salah satu dari geng Rico ikut menambah. Arvino mematung, menatap lantai, mencoba menahan perasaan yang seperti hendak meledak.

Rico dan teman-temannya kembali duduk, dan Arvino kembali ke dunianya sendiri, berusaha menutup telinga dari tawa yang menggelegar. Matanya memandangi buku yang terbuka, namun pikirannya jauh melayang ke tempat lain. Tempat yang jauh lebih sepi daripada kelas ini, jauh lebih sunyi dari apapun yang bisa ia bayangkan—rumahnya.

Di rumah, kesunyian itu terasa lebih nyata. Ayah sudah lama pergi, meninggalkan kekosongan yang tak bisa digantikan oleh apapun. Ibunya? Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Setiap hari Arvino menghabiskan waktu di rumah sendirian, terjebak dalam ingatan-ingatan lama yang terus menghantui. Suara bertengkar, pecahan gelas, dan tangisan yang sudah terlupakan. Semua itu tetap terngiang di telinga, seakan semuanya baru terjadi kemarin.

Arvino berjalan pelan menuju meja belajarnya. Buku-buku pelajaran yang tersebar di sana tidak menarik perhatiannya. Ia merasa kosong. Hatinya terasa berat. Tak ada yang bisa diandalkan. Ia memandang foto lama di meja belajarnya. Sebuah foto yang menggambarkan dirinya bersama ibunya dan ayahnya. Sebuah kenangan yang dulu membuatnya merasa lengkap. Kini, foto itu hanyalah benda yang tak bisa menyembuhkan luka.

Ia duduk, menatap foto itu tanpa kata-kata. “Kenapa semuanya bisa berubah, ya?” gumamnya pelan, menatap wajah yang pernah membuatnya merasa aman dan dicintai. Tapi kini, yang tersisa hanya kenangan pahit.

Kembali ke sekolah, saat jam istirahat, Arvino memilih untuk tidak keluar. Ia tahu betul apa yang akan terjadi jika ia berada di luar sana. Ia bukan bagian dari mereka. Ia hanya anak yang duduk sendirian, yang menjadi sasaran ejekan dan hinaan.

Di kelas, suasana mulai riuh dengan suara teman-teman yang sedang bercanda. Tawa mereka terdengar menggema, penuh dengan keceriaan. Semua sibuk dengan dunia mereka masing-masing, sementara Arvino tetap di sudut, seolah tak pernah ada. Ia hanya melihat, mendengar, dan merasakan dunia yang terus berjalan tanpa memperhatikan keberadaannya.

Tiba-tiba, sebuah suara datang dari samping. “Kamu kenapa di sini sendiri?”

Arvino menoleh. Seorang gadis berdiri di depannya, wajahnya tersenyum ramah. Arvino terkejut, tidak terbiasa dengan perhatian seperti itu. Ia tahu gadis ini—Felicia, anak baru yang pindah beberapa hari lalu.

“Aku cuma… nggak mau keluar,” jawab Arvino pelan. Suaranya terdengar ragu. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi.

Felicia duduk di sebelahnya tanpa ragu. “Gak masalah kok, aku juga suka duduk sendiri. Tapi kalau kamu perlu temen, aku bisa temenin.”

Arvino terdiam. Biasanya, ia sudah terbiasa dengan kesendirian. Tapi sesuatu dalam diri Felicia membuatnya merasa sedikit lebih ringan. “Terima kasih,” jawabnya pelan, tak terlalu yakin dengan perasaannya sendiri.

Felicia tersenyum lebih lebar. “Jangan khawatir, aku nggak akan ganggu kamu kok. Lagipula, aku ngerti kok perasaan kamu.”

Arvino menatapnya dengan sedikit kebingungan. “Kamu ngerti? Kamu kan baru di sini…”

Felicia mengangguk. “Aku juga pernah ngerasain yang sama. Pindah sekolah, jauh dari teman-teman lama. Semua orang nggak peduli. Tapi kamu tahu, kalau kita nggak coba bicara, siapa yang bakal ngerti kita?”

Arvino hanya terdiam mendengarkan. Kata-kata Felicia seperti memecah kebuntuan yang selama ini ia rasakan. Ia tidak sendirian. Mungkin ada orang lain yang merasa sama. Mungkin, justru ada orang yang peduli.

 

Gema dari Rumah Sunyi

Langit sore itu terlihat berbeda dari biasanya. Matahari yang semula terik mulai meredup, memancarkan cahaya keemasan yang menghangatkan udara, meskipun hanya sejenak. Arvino berjalan pulang dengan langkah yang agak lebih ringan daripada biasanya. Meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kekhawatiran dan kebingungan, ada sesuatu yang mengganggu keheningan yang selalu menyertai langkahnya.

Felicia.

Dia tidak tahu kenapa gadis itu bisa membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Bahkan, mendengarkan Felicia bicara tentang bagaimana dia merasakan kesepian yang sama membuatnya sedikit membuka pintu hatinya yang terkunci rapat. Selama ini, Arvino merasa seperti tak ada orang yang benar-benar peduli tentangnya. Namun, Felicia—gadis yang baru ia kenal—tampak berbeda. Dia tidak menghakimi, tidak mengolok-olok, dan lebih dari itu, dia mencoba untuk memahami.

Setiba di rumah, Arvino membuka pintu yang sudah biasa ia masuki dengan perasaan kosong. Rumah ini, bagi Arvino, lebih mirip penjara dari pada tempat yang menyebut dirinya “rumah”. Seperti biasa, rumahnya sepi. Ibunya bekerja hingga malam, dan ayahnya—entah kemana, atau mungkin memang sudah pergi tanpa sepatah kata. Arvino melepaskan tas sekolahnya di lantai dan melangkah menuju meja makan yang kosong. Hanya ada sepiring nasi sisa yang terlupakan, dibiarkan begitu saja, tanpa perhatian.

Tapi kali ini, hatinya terasa sedikit lebih sesak. Ia merasa sepi di sini lebih dari biasanya, meski rumah ini tak pernah benar-benar ramai.

“Apa kabar, Arvino?” Suara ibu yang terdengar pelan dari ruang kerja mengalihkan pikirannya. Arvino menoleh ke arah ibu yang duduk di meja kerja, tubuhnya sedikit membungkuk karena lelah. Tubuh ibu terlihat lebih kurus belakangan ini, wajahnya lebih pucat, dan sorot matanya… kosong. Arvino tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia merasakan kehangatan dalam tatapan ibunya.

“Aku baik-baik aja,” jawab Arvino, meskipun sebenarnya dia merasa seperti bukan dirinya. Ia merasa kosong, seperti sebuah bola kertas yang digulung dan dibuang ke sudut ruangan.

Ibunya mengangguk tanpa banyak kata. Dia tahu Arvino sedang tidak ingin berbicara banyak. Begitu juga dengan Arvino. Tidak ada lagi percakapan yang hangat di rumah ini. Tidak ada lagi tanya kabar, tidak ada lagi rasa peduli yang dulu sempat ada. Semua telah terkikis oleh waktu yang tak bisa diulang.

Arvino melangkah menuju kamarnya. Setiap sudut rumah terasa begitu dingin. Sepi. Senyap.

Namun, kali ini perasaannya sedikit berbeda. Pikirannya kembali kepada Felicia. Entah kenapa, meski baru mengenalnya, ada rasa hangat yang muncul hanya dengan mengingat senyumnya. Tapi Arvino tidak tahu bagaimana menanggapi perasaan itu. Dalam dirinya, ada rasa ragu, takut untuk berharap terlalu banyak.

Di dalam kamar, Arvino duduk di samping jendela, menatap langit yang kini semakin gelap. Dia teringat akan kejadian di sekolah tadi siang, ketika Felicia duduk di sampingnya. Tawa riuh di kelas tidak lagi mengganggu pikirannya seperti dulu. Sekarang, hanya ada perasaan tenang yang datang setiap kali ia berpikir tentang Felicia.

Namun, di tengah perasaan itu, perasaan yang lebih berat datang menggelayuti hatinya. Keberadaan Rico dan teman-temannya—geng yang selalu menyiksanya—masih terus menghantui pikirannya. Setiap tawa mereka, setiap ejekan yang dilemparkan, selalu meninggalkan bekas yang dalam. Arvino tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Dia merasa kecil, tak berarti, seolah-olah dirinya bukan siapa-siapa di dunia ini.

Tiba-tiba, suara pintu terbuka. Ibunya muncul di ambang pintu kamar.

“Arvino, aku pergi ke kantor besok pagi. Jaga diri baik-baik, ya.” Ibunya tidak melihat ke arahnya. Hanya berbicara dengan nada datar, seakan-akan ini adalah rutinitas yang sudah biasa mereka jalani. Ibunya sudah lama tidak memperhatikan Arvino dengan penuh perhatian, dan Arvino pun sudah terbiasa dengan itu.

“Ya, Bu,” jawab Arvino pelan. Tidak ada kata lain yang keluar. Ia tahu, mungkin ibu tidak lagi mengharapkan banyak darinya. Bahkan, Arvino merasa ibu tidak lagi mengenal dirinya.

Setelah ibunya pergi, Arvino menatap ke luar jendela lagi, memandang langit yang gelap. Ada rasa kosong yang semakin menggerogoti dirinya. Keinginan untuk mengubah semuanya, untuk merasa diterima, semakin besar. Tapi, apakah itu mungkin?

Keesokan harinya, Arvino berangkat lebih awal. Meski perasaan itu masih menyelimutinya, ia merasa ingin mencari kedamaian—seperti yang ia rasakan kemarin saat bersama Felicia. Mungkin dia bisa sedikit berbicara lagi, hanya berbicara tentang hal-hal kecil. Tidak ada yang mengharuskan mereka berbicara soal keluarga atau masalah pribadi. Tapi setidaknya, ada sedikit rasa aman di dekat Felicia.

Di sekolah, Arvino mencoba untuk lebih fokus. Namun, seiring berjalannya waktu, pikirannya tetap berputar pada perasaan tidak pasti. Apakah dia hanya mengada-ada, berharap lebih dari yang bisa diberikannya? Dia tidak tahu. Yang jelas, perasaan ini menuntut lebih banyak ruang dalam pikirannya.

Saat istirahat, ia duduk di tempat yang sama dengan Felicia. Dan meskipun suasana hati Arvino belum berubah, ada sedikit rasa lega yang ia rasakan. Ketika mereka berbicara, meskipun hanya topik ringan, dunia terasa sedikit lebih ringan. Namun, saat Rico dan gengnya lewat, tawa mereka kembali menghantui.

“Bayangan, kamu lagi nongkrong di sini?” suara ejekan itu terdengar lagi. Rico berdiri tepat di depan mereka, menatap Arvino dengan ekspresi yang selalu membuatnya merasa terjatuh. “Duh, kasihan banget ya. Ini tempat buat orang normal. Kamu sih, cuma penghuni sudut.”

Arvino menggigit bibirnya. Tidak ada yang berubah. Semua kata-kata itu masih terdengar sangat tajam. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Felicia yang duduk di sebelahnya, tanpa ragu, berdiri dan menghadap Rico. “Kamu pikir apa yang kamu bilang itu lucu?” tanyanya dengan nada tegas.

Rico terdiam sejenak, melihat Felicia yang tak seperti teman-teman lainnya. Dia mengangkat bahu dan berbalik pergi, masih tertawa kecil, namun dengan sedikit kebingungan di matanya.

Arvino menatap Felicia dengan sedikit kebingungan. “Kenapa kamu…?”

Felicia hanya tersenyum. “Karena nggak ada yang berhak merendahkan orang lain. Apalagi kamu.”

Arvino hanya bisa terdiam, merasa sedikit bingung, namun dalam hatinya, ada rasa yang baru saja tumbuh—sebuah rasa harapan.

 

Menangis di Dalam Senyap

Hari-hari berlalu begitu cepat. Arvino merasa ada sesuatu yang berbeda setelah pertemuan dengan Felicia. Meskipun ia masih dihantui oleh kegelisahan dan bayang-bayang Rico serta teman-temannya, ada sedikit rasa tenang yang ia rasakan setiap kali ia berbicara dengan Felicia. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti ada seseorang yang melihat dirinya—seperti ada seseorang yang peduli.

Namun, di sisi lain, perasaan itu juga membawa keraguan. Arvino tidak tahu apakah ia pantas merasakannya. Ia selalu merasa seperti orang yang tak cukup baik, tak cukup berharga untuk mendapatkan perhatian lebih. Seperti seorang pecundang yang selalu gagal. Itulah yang sering dipikirkannya, berulang kali.

Pagi itu, langit cerah dan angin berhembus ringan. Namun, di dalam hati Arvino, segala sesuatunya terasa gelap. Setelah melewati pintu sekolah, ia langsung berjalan menuju kelas, berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya. Semua wajah-wajah familiar itu hanya tampak seperti bayangan yang samar—mereka yang tak peduli dan hanya ada untuk menilai.

Di kelas, Felicia sudah duduk di bangkunya, seakan menunggu Arvino untuk datang. Sesaat, Arvino merasa seolah-olah mereka berdua berada di dunia yang terpisah dari yang lainnya. Begitu mereka bertemu pandang, Felicia mengangkat tangan dan melambaikan tangan kecilnya.

“Eh, Arvino! Kita makan siang bareng nanti?” tanya Felicia dengan ceria, seperti biasa. Namun, kali ini, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Arvino merasa sedikit cemas. Apa yang dia rasakan? Atau mungkin hanya perasaannya yang berlebihan?

“Ya… tentu,” jawab Arvino pelan, meskipun hatinya masih merasa berat. Ia duduk di bangkunya, mencoba untuk menenangkan diri. Percakapan ringan antara mereka berlangsung hingga bel berbunyi, menandakan jam pelajaran dimulai.

Selama pelajaran, Arvino merasa tidak fokus. Matanya lebih sering melayang ke luar jendela, memandang langit yang mulai mendung. Di dalam dirinya, ada perasaan yang semakin mendalam—sebuah perasaan yang seolah ingin keluar namun tertahan. Setiap kali ia mencoba untuk menggali lebih dalam tentang dirinya sendiri, hatinya justru semakin sesak.

Siang itu, ketika bel istirahat berbunyi, Arvino dan Felicia duduk di tempat yang sama seperti biasa. Mereka mulai berbicara, tetapi kali ini ada sesuatu yang mengganggu Arvino. Felicia tidak terlihat seceria biasanya. Ada garis kelelahan di wajahnya, meskipun ia berusaha untuk tetap tersenyum.

“Ada apa, Felicia?” tanya Arvino, merasa sedikit khawatir.

Felicia menghela napas dan menatapnya sejenak. “Aku cuma merasa capek aja. Bukan fisik sih, lebih ke… capek mental,” jawabnya pelan. Arvino terdiam, merasa bingung. Felicia—gadis yang terlihat begitu kuat—ternyata memiliki sisi yang rapuh juga.

“Capek mental? Maksudnya gimana?” tanya Arvino lagi, ingin tahu lebih banyak.

Felicia tertawa kecil, namun tawa itu terdengar lebih pahit daripada yang biasanya. “Kamu nggak sendiri, Arvino. Aku juga… sering merasa seperti itu. Kadang, aku ngerasa nggak ada yang mengerti. Seperti aku cuma ada di dunia ini untuk memenuhi ekspektasi orang lain, bukan untuk diriku sendiri.”

Arvino merasa kata-kata itu menohok jantungnya. Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Felicia. Ternyata, ia tidak sendirian dalam perasaan ini. Meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, kesepian dan tekanan yang mereka rasakan ternyata sama.

“Aku nggak tahu harus ngapain lagi, Felicia,” kata Arvino akhirnya. “Aku capek dengan semuanya. Dengan sekolah, dengan orang-orang yang nggak berhenti ngejek aku. Rasanya aku nggak ada tempat untuk bernafas. Semua orang cuma peduli sama diri mereka sendiri.”

Felicia menatapnya serius. “Aku ngerti kok, Arvino. Tapi kamu nggak boleh nyerah. Kita semua punya hal yang bisa kita perjuangin. Kadang-kadang, kita harus melawan suara-suara itu, meskipun itu berat.”

Arvino menunduk, merasakan kekosongan itu semakin besar. “Tapi aku takut. Aku takut nggak bisa melawan semua itu, takut aku bakal terus jadi orang yang nggak berarti.”

Felicia meraih tangan Arvino, menggenggamnya dengan lembut. “Kamu nggak sendirian. Selama kita masih bisa berjuang, kita masih punya harapan, Arvino. Kamu kuat. Kamu nggak akan tahu seberapa kuat kamu sampai kamu bener-bener mencoba.”

Arvino terdiam. Kata-kata Felicia seperti angin yang menenangkan badai di dalam hatinya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada harapan, meskipun masih samar. Namun, harapan itu cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih hidup.

Siang itu, setelah pulang sekolah, Arvino kembali ke rumah dengan langkah yang lebih berat. Ketika ia memasuki rumah, kesunyian menyambutnya. Ibunya tidak ada di rumah, seperti biasa. Arvino melangkah ke kamar dan duduk di tepi tempat tidur, menatap ke luar jendela yang kini mulai gelap.

Namun, kali ini, perasaan kosong itu tidak begitu menghantui. Perasaan itu tetap ada, namun sekarang Arvino tahu bahwa ada seseorang yang peduli. Felicia… seorang gadis yang ia kira tidak mungkin bisa memahami dirinya, ternyata bisa melihat sisi lain yang selama ini ia sembunyikan.

Arvino menutup mata sejenak, meresapi kata-kata Felicia. Ia tahu perjuangannya baru saja dimulai, dan itu akan sangat berat. Tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih siap. Ia harus melawan—tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang-orang yang sudah memberikan secercah harapan dalam hidupnya.

 

Harapan yang Tak Pernah Padam

Malam itu, langit di luar kamar Arvino gelap, seolah menggambarkan isi hatinya yang penuh dengan pertanyaan. Namun, di balik semua kegelapan itu, ada satu titik cahaya yang perlahan mulai menyinari. Seperti sebuah bintang yang terjaga di tengah langit malam, harapan yang kecil itu tetap bersinar. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arvino merasa bahwa dia tak lagi berjalan sendirian.

Beberapa hari terakhir, hidupnya mulai terasa sedikit berbeda. Setelah berbicara dengan Felicia, ia merasa ada secercah harapan yang baru. Tidak lagi terkungkung dalam perasaan bahwa dirinya hanyalah seorang pecundang, tidak ada yang berarti. Meskipun bayang-bayang bullying di sekolah masih mengintai, Arvino kini tahu bahwa dirinya lebih dari sekadar korban. Dia punya kekuatan, meskipun harus mempelajarinya perlahan.

Di sekolah, keadaan tidak banyak berubah. Rico dan gengnya tetap saja tak henti-hentinya mengolok-oloknya. Namun, kali ini, Arvino tidak lagi merasa hancur ketika mereka melemparkan hinaan dan cemoohan. Sesekali, ia merasa sedikit kesal, tapi entah kenapa, ia tidak lagi merasa takut. Sebaliknya, ada perasaan aneh yang tumbuh—sebuah rasa percaya diri yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Felicia menjadi teman yang selalu ada untuknya, memberi semangat saat ia merasa lelah. Bahkan saat hari-hari terasa berat, mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang hal-hal kecil yang bisa membuat mereka tertawa. Meski Arvino belum bisa sepenuhnya melupakan masa lalunya, ia mulai belajar untuk membuka dirinya lebih banyak, tanpa rasa takut.

Suatu sore, saat pulang sekolah, Arvino duduk di bangku taman, melihat sekeliling dengan pandangan yang berbeda. Dia bisa melihat senja yang indah di ufuk barat, memandangi langit yang mulai dihiasi warna oranye keemasan. Tanpa sadar, ia tersenyum. Semua perasaan itu—kesepian, rasa takut, dan kebingungan—perlahan memudar seiring dengan senja yang semakin gelap. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada kedamaian.

Felicia duduk di sebelahnya, seperti biasa. “Kamu baik-baik aja, kan?” tanyanya lembut, menatapnya dengan penuh perhatian.

“Ya, aku baik. Aku cuma butuh waktu,” jawab Arvino dengan senyum yang tulus, meskipun dalam hatinya masih ada banyak hal yang belum ia pahami. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa tidak perlu langsung mendapatkan semua jawaban.

Felicia mengangguk pelan. “Aku tahu itu. Semua orang butuh waktu untuk sembuh dari luka, termasuk kamu.”

Arvino menoleh, melihatnya dengan mata yang kini tak lagi dipenuhi rasa cemas. “Terima kasih, Felicia. Kalau bukan karena kamu, aku mungkin masih terjebak dalam kegelapan itu.”

Felicia tersenyum. “Kamu yang kuat, Arvino. Aku hanya menemani.”

Sejak pertemuan itu, hidup Arvino tidak langsung berubah secara dramatis. Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini baru dimulai. Dia masih punya banyak hal yang harus dihadapi—banyak rintangan yang harus dilalui, terutama dengan Rico dan teman-temannya yang terus mengganggu. Namun, kali ini, ia tahu bagaimana cara menghadapi mereka. Tidak dengan melawan fisik, tetapi dengan kekuatan dalam dirinya yang terus berkembang.

Malam itu, sebelum tidur, Arvino menatap langit malam yang kembali gelap. Namun, di sana, ia bisa melihat banyak titik cahaya, bintang-bintang yang menyinari. Ia tahu bahwa harapan tidak datang begitu saja—ia harus mencapainya, meski dengan langkah kecil. Dan meskipun perasaan takut masih ada, kali ini Arvino bisa menatapnya dengan keberanian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah sendiri lagi. Felicia, dan orang-orang yang peduli padanya, akan selalu ada untuk memberi dukungan. Dengan sedikit harapan yang tumbuh, ia bisa menghadapi apapun yang datang.

Dengan satu langkah kecil, Arvino mulai melangkah menuju masa depan yang lebih cerah. Sebuah perjalanan yang tidak lagi dipenuhi oleh kesepian, tetapi oleh harapan yang tidak pernah padam.

 

Hidup memang nggak selalu adil, dan Arvino tahu banget rasanya. Tapi dia juga belajar kalau meski dunia kelihatan gelap banget, selalu ada cahaya kecil yang nunggu buat ditemukan. Ini bukan tentang langsung jadi pemenang atau punya ending yang sempurna, tapi soal terus jalan meski langkahnya pelan.

Dan siapa tahu, di ujung jalan itu, ada kebahagiaan yang selama ini dia cari. Jadi, kalau kamu lagi ngerasa sendirian kayak Arvino, ingat aja: harapan itu selalu ada, asal kamu nggak nyerah. Cheers buat perjalanan kita masing-masing, ya!

Leave a Reply