Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngerasa kayak segala sesuatu yang kamu lakuin itu nggak cukup buat orang tua? Kayak, sebenernya mereka itu udah segalanya buat kita, tapi kita selalu ngerasa perlu lebih untuk bisa membahagiakan mereka. Cerpen ini bakal ngajak kamu untuk mikir tentang apa sih arti berbakti yang sesungguhnya.
Di dalamnya ada cerita tentang Azriel yang berusaha menunjukkan cinta sejatinya ke ayah dan ibunya, lewat setiap langkah yang dia ambil, walau nggak mudah. Tapi satu yang pasti, berbakti itu nggak cuma soal apa yang kita kasih, tapi juga soal bagaimana kita bisa jadi orang yang selalu ada untuk mereka. Yuk, baca dan rasain sendiri perjalanan Azriel!
Cerpen Berbakti
Cinta yang Teruji
Hari itu terasa berbeda, seperti ada yang menyesak di dada Azriel. Hujan rintik-rintik turun membasahi tanah desa yang tenang. Sejak pagi, ia sudah merasa ada yang tak beres, meskipun tidak ada yang bisa ia jelaskan dengan pasti. Keadaan ayahnya, Ustadz Hamid, semakin memburuk. Semua gejala itu jelas terlihat—mata yang lesu, tubuh yang tampak lebih kurus dari sebelumnya, dan suara yang semakin lemah. Azriel sudah beberapa kali mengingatkan ayahnya untuk beristirahat, tapi seperti biasa, Ustadz Hamid tetap gigih melanjutkan pekerjaannya sebagai guru agama di masjid desa.
“Azriel, jangan terlalu khawatir. Ayah cuma butuh sedikit waktu untuk istirahat,” ujar Ustadz Hamid, ketika Azriel menemukannya duduk di beranda rumah setelah salat subuh. Suara ayahnya terdengar serak, seolah dipaksakan keluar dari tenggorokan yang lelah.
Azriel duduk di samping ayahnya, menatap wajah penuh keriput yang penuh keteguhan itu. “Tapi, Ayah, kamu kelihatan semakin lemah. Ayah harus lebih banyak istirahat. Aku bisa bantu di masjid kalau Ayah butuh,” jawab Azriel, nada suaranya penuh kecemasan.
Ustadz Hamid memegang tangan Azriel dengan lembut. “Anakku, kamu sudah cukup dewasa untuk melihat bahwa hidup ini penuh ujian. Ayah ingin kamu belajar sesuatu yang lebih penting dari sekadar tugas sehari-hari. Cinta itu bukan hanya kata-kata, tapi tindakan.”
Kata-kata itu menggugah hati Azriel. Ia tahu, ini bukan sekadar peringatan tentang kesehatan fisik ayahnya. Ayahnya sedang mengajarkan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak dapat ia pelajari hanya dengan buku atau kuliah di perguruan tinggi.
Sejak saat itu, Azriel memutuskan untuk tinggal di rumah dan merawat ayahnya. Ia meninggalkan pekerjaan yang baru saja ia dapatkan di sebuah perusahaan di kota besar. Meskipun ada rasa kecewa dalam dirinya, ia sadar bahwa ada hal yang lebih penting daripada kesuksesan duniawi—yakni, berbakti kepada orang tua.
Setiap pagi, Azriel membantu ayahnya mengajar di masjid, meskipun ia tahu ayahnya sudah jarang bisa berdiri lama tanpa merasa lelah. Sementara itu, ibunya, Ummu Azrah, selalu menyiapkan makanan dengan penuh kasih sayang. Ibunya tetap tegar, meski di balik matanya, Azriel bisa melihat kecemasan yang sama besar. Mereka berdua, orang tuanya, adalah pilar-pilar yang kokoh dalam hidupnya. Tetapi kali ini, Azriel merasakan beban berat untuk menjaga keduanya.
“Azriel, kamu harus terus belajar. Dakwah itu bukan hanya untuk orang lain, tapi juga untuk kita sendiri. Kamu punya tugas yang lebih besar, nak,” ujar Ustadz Hamid suatu sore, setelah Azriel membantunya membersihkan ruang kecil di masjid. Kata-kata itu terasa berat, tapi juga penuh harapan.
“Ya, Ayah. Aku akan terus belajar, tapi aku juga ingin berbuat lebih untuk kalian,” jawab Azriel dengan tulus, matanya tidak bisa lepas dari wajah ayahnya yang terlihat lebih tua dari biasanya.
Malam itu, Azriel duduk di sudut ruang tamu yang sederhana, merenung. Ia tidak hanya merawat ayahnya, tapi juga mulai menyadari betapa pentingnya untuk bisa memberikan yang terbaik untuk orang tuanya, untuk menunjukkan bahwa ia bisa menjadi bagian dari dakwah mereka. Ia mulai berbicara dengan warga desa, mengajak mereka untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, mengingatkan tentang pentingnya berbakti kepada orang tua, dan memperkuat ikatan antara satu sama lain.
Namun, semuanya terasa semakin sulit saat kondisi ayahnya semakin menurun. Suatu malam, setelah Azriel menuntaskan tugasnya di masjid, ia kembali ke rumah dengan perasaan yang tidak tenang. Matanya menatap pintu kamar yang tertutup, tempat ayahnya sedang tidur.
Ibunya sedang duduk di ruang tamu, menunggu dengan sabar. “Ibu, bagaimana keadaan Ayah?” Azriel bertanya, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa takut yang ia rasakan.
Ummu Azrah menghela napas panjang. “Ayahmu sedang berjuang, nak. Tapi kita harus tetap bersabar. Allah selalu punya rencana terbaik. Jangan khawatir, kamu harus terus kuat.”
Azriel mengangguk perlahan. Ia tahu, sebagai anak, sudah seharusnya ia mendampingi orang tuanya, memberi semangat, dan menjaga mereka. Tapi, hatinya terasa berat. Ia tidak ingin kehilangan sosok yang selama ini menjadi pendamping hidupnya, yang telah mengajarkan banyak hal, terutama tentang agama dan hidup yang penuh dengan ketulusan.
Di saat-saat seperti ini, Azriel merasa lebih dalam arti berbakti itu. Bukan sekadar memberikan apa yang bisa kita berikan, tapi juga merasakan setiap perjuangan orang tua, meresapi setiap detik waktu bersama mereka sebagai anugerah yang tak ternilai.
Pagi hari setelahnya, Azriel kembali mendatangi ayahnya di kamar. Ia duduk di sisi tempat tidur ayahnya, memegang tangan Ustadz Hamid dengan lembut. “Ayah, aku janji akan berusaha lebih lagi. Aku akan menjadi anak yang lebih baik, tidak hanya untukmu, tapi juga untuk Allah,” ujar Azriel, dengan suara yang hampir tak terdengar.
Ustadz Hamid membuka matanya yang lelah dan menatap anak bungsunya dengan tatapan penuh kebanggaan. “Azriel, kamu sudah menunjukkan bukti cintamu kepada kami, dan juga kepada Allah. Ini adalah jalan yang benar, jalan yang membuat hati tenang.”
Azriel merasa seperti mendapat pencerahan. Ia tahu, berbakti kepada orang tua tidak hanya soal memberi, tetapi tentang mengerti dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab yang besar. Ini bukan hanya ujian bagi dirinya, tapi juga jalan untuk lebih dekat dengan Allah.
Dan saat itu, di dalam kamar yang penuh dengan keheningan, Azriel merasa bahwa cinta sejati memang tak hanya diucapkan, tapi harus diwujudkan. Terkadang, ujian itu datang untuk menguji sejauh mana kita bisa bertahan dan tetap berusaha memberi yang terbaik, tanpa mengharapkan balasan.
Namun, perjalanan Azriel masih panjang. Ada banyak hal yang harus ia pelajari, dan banyak langkah yang harus ia ambil. Tetapi, satu hal yang pasti, berbakti kepada orang tua adalah jalan yang akan selalu ia pilih, sebagai bukti cintanya yang tak terhingga.
Dalam Bayang-bayang Dakwah
Pagi yang sejuk itu, Azriel terbangun dengan rasa yang lebih tenang. Sejak semalam, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih mendalami dakwah yang selama ini hanya ia kenal sebagai sebuah ajaran, tapi belum sepenuhnya ia jalani dengan sepenuh hati. Ayahnya, Ustadz Hamid, meski tubuhnya lemah, terus menanamkan pada Azriel bahwa dakwah bukan hanya tentang kata-kata, tapi lebih kepada ketulusan dalam berbuat.
“Anakku,” kata Ustadz Hamid dengan suara berat saat Azriel mendekatinya di pagi hari, “dakwah itu harus mengalir dalam setiap langkahmu. Tidak hanya di atas mimbar, tetapi juga dalam setiap tindakan yang kamu lakukan. Seperti air yang mengalir, ia tidak mengenal batas.”
Azriel mengangguk pelan, meresapi kata-kata ayahnya. Sejak awal, ia tahu bahwa dakwah bukanlah sekadar ceramah atau khutbah di depan orang banyak. Ia semakin paham bahwa dakwah yang sesungguhnya datang dari ketulusan hati, dimulai dari perbuatan sehari-hari.
Hari itu, setelah membantu ayahnya bersiap-siap untuk salat, Azriel pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan, sebuah rutinitas yang kini lebih sering ia lakukan. Di sepanjang perjalanan, ia bertemu dengan warga desa yang biasanya hanya ia sapa sekilas. Namun, kali ini, ada yang berbeda. Ada sesuatu yang terasa lebih ringan, lebih terbuka, seolah-olah sebuah kesempatan datang tanpa diminta.
Di pasar, ia bertemu dengan Pak Hasan, seorang petani yang juga seorang janda dengan lima anak. Wajahnya tampak kelelahan, seolah-olah hidupnya dipenuhi beban yang tak terlihat.
“Assalamu’alaikum, Pak Hasan,” sapa Azriel dengan ramah.
Pak Hasan tersenyum lemah, lalu membalas, “Wa’alaikumussalam, Azriel. Apa kabar?”
“Kabarku baik, Pak. Semoga Bapak dan keluarga juga dalam keadaan sehat.” Azriel menatap wajah Pak Hasan yang tampak ragu-ragu, seperti ingin mengungkapkan sesuatu.
“Tapi, Azriel… hidup ini… kadang membuatku bingung. Aku ingin anak-anak bisa hidup lebih baik, tapi pekerjaan sebagai petani ini… tak mudah,” kata Pak Hasan dengan nada yang penuh keputusasaan.
Azriel merasakan hal yang sama. Dalam hatinya, ia berkata, Bagaimana mungkin aku merasa kesulitan, sementara mereka yang setiap hari bekerja keras tak pernah mengeluh? Ia tahu ini adalah ujian, ujian untuk melihat seberapa besar kepeduliannya pada sesama, bagaimana ia bisa membantu mereka yang lebih membutuhkan.
“Pak Hasan, aku ingin membantu. Mungkin tidak banyak, tapi jika ada yang bisa kubantu, biar aku yang urus. Insya Allah, rezeki akan datang, selama kita terus berusaha,” ujar Azriel dengan keyakinan yang baru ia temukan. Ia ingin melakukan lebih, bukan hanya berbicara tentang dakwah, tapi menjadikannya nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pak Hasan terdiam beberapa saat, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, Azriel. Allah memberi hidayah-Nya lewat orang-orang baik seperti kamu.”
Azriel merasa tenang, meski tidak ada yang mengucapkan terima kasih berlebihan. Cukup dengan mengetahui bahwa ia telah melakukan sesuatu yang berarti sudah cukup. Hatinya merasa lebih lapang, seolah-olah beban hidup yang selama ini dipikulnya sedikit terangkat.
Saat pulang ke rumah, Azriel merasa bahwa setiap pertemuan, setiap langkahnya kini menjadi lebih bermakna. Ia terus berusaha mengingatkan dirinya, bahwa berbakti kepada orang tua tidak cukup hanya dengan menjaga mereka, tetapi juga dengan menjadi contoh bagi orang lain, mengajak mereka untuk bersama-sama memperbaiki diri.
Keesokan harinya, Azriel mengikuti jejak ayahnya yang selalu menyapa setiap orang dengan penuh kehangatan. Ia mendatangi beberapa rumah warga untuk menawarkan bantuan tanpa pamer atau mengharapkan imbalan apa pun. Ia mulai menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari, dakwah bisa dilakukan lewat hal-hal kecil: membantu membersihkan halaman rumah tetangga, menyapa dengan senyum tulus, dan memberikan sedikit perhatian pada mereka yang membutuhkan.
Di setiap perjalanannya, Azriel merasa ada yang menuntunnya, memberi arah yang jelas pada hatinya. Ia belajar, kadang-kadang bukan nasihat panjang lebar yang dibutuhkan, melainkan contoh nyata dari tindakan yang datang dengan ketulusan. Ayahnya telah menunjukkan ini dengan caranya yang sederhana—melakukan kebaikan tanpa mengharapkan pujian, memberi tanpa banyak bicara.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Terkadang Azriel merasa lelah, bahkan frustrasi. Ada saat-saat ketika ia ingin menyerah dan kembali ke rutinitas lamanya, mengabaikan desa dan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Tapi setiap kali ia melihat wajah ibunya yang penuh ketulusan, atau mendengar suara ayahnya yang meskipun lemah, tetap penuh semangat, Azriel merasa bahwa ia tak boleh menyerah begitu saja.
Suatu sore, setelah selesai mengajar di masjid, Azriel duduk di beranda rumah, menatap matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat. Satu hal yang selalu mengisi hatinya adalah doa. Dakwah yang baik dimulai dengan doa, kata ayahnya dulu. Ia menutup mata, merasakan setiap kata doa yang terucap dari bibirnya.
“Ya Allah, kuatkan hatiku, kuatkan langkahku, dan jadikan aku anak yang selalu berbakti. Semoga aku bisa memberi manfaat bagi orang tua, bagi keluarga, dan bagi umat.”
Panjang, berlarut, dan penuh harapan. Azriel menyadari bahwa dakwah yang ia jalani adalah sebuah proses panjang, bukan sesuatu yang instan. Ini adalah perjalanan hidup yang memerlukan kesabaran, ketekunan, dan keyakinan. Dan di sinilah, ia akan terus berusaha untuk membuktikan cintanya pada ayah dan ibunya, dengan cara yang paling sederhana namun penuh makna.
Ujian yang Tak Terduga
Minggu pagi itu, langit di atas desa nampak cerah, namun dalam hati Azriel, rasa cemas mulai tumbuh. Minggu ini, ada sesuatu yang terasa berbeda. Ayahnya, Ustadz Hamid, tak seperti biasa, tubuhnya lebih lemah dari sebelumnya. Suara berat yang biasanya terdengar hangat dan penuh semangat kini terdengar lebih terengah-engah. Azriel merasakan perubahan itu, meski tak diungkapkan dengan kata-kata.
Sejak beberapa hari terakhir, Ustadz Hamid mengeluhkan rasa sakit di dadanya. Namun, seperti biasa, ia enggan untuk pergi ke dokter, lebih memilih untuk beristirahat saja. Tapi Azriel bisa merasakan ada sesuatu yang lebih serius. Ia takut jika ayahnya jatuh sakit lebih parah, siapa yang akan menjaga dan melanjutkan dakwah yang selama ini dibangun?
“Ibu, bagaimana kondisi Ayah?” tanya Azriel saat melihat ibunya yang sedang duduk sambil meronce daun teh di ruang tengah rumah.
Ibu Azriel, Aisyah, menghela napas panjang, matanya tampak sedikit sembab. “Ayahmu terlalu keras kepala, Azriel. Katanya dia baik-baik saja. Tapi aku bisa merasakan, ini bukan hanya kelelahan biasa.”
Azriel menunduk, memikirkan apa yang harus dilakukan. Sejak kecil, Ayah adalah pahlawannya, sosok yang selalu mengajarkan kebaikan, kesabaran, dan ketulusan. Ia sering mendengarkan ceramah ayahnya yang penuh hikmah, tapi kali ini, Azriel merasa cemas. “Aku takut, Bu. Aku takut kehilangan Ayah.”
Aisyah menyentuh tangan Azriel dengan lembut. “Kita semua punya waktu yang terbatas, Nak. Hanya Allah yang tahu kapan ujian itu datang. Yang penting, kita terus berusaha dan berdoa untuk yang terbaik.”
Azriel mengangguk, mencoba menerima kenyataan bahwa hidup memang penuh dengan ujian yang tak terduga. Ia menatap wajah ibunya yang penuh kasih sayang, merasa bahwa di tengah kecemasannya, ia harus menjadi sosok yang kuat untuk keluarga.
Seiring berjalannya hari, keadaan Ayah semakin memburuk. Meskipun ia tetap berusaha menyembunyikan rasa sakitnya, Azriel bisa melihat jelas betapa tubuh ayahnya semakin kurus dan lemas. Ia memutuskan untuk berbicara dengan beberapa teman dekatnya yang bekerja di rumah sakit.
“Azriel, kau harus ikhlas jika memang Ayahmu harus menjalani pengobatan yang lebih intensif,” kata sahabatnya, Ali, yang kini bekerja sebagai tenaga medis di rumah sakit. “Terkadang, dakwah bukan hanya soal berbicara kepada orang lain, tapi juga bagaimana kita menjaga kesehatan tubuh agar bisa lebih lama bermanfaat bagi orang banyak.”
Pernyataan Ali membuat Azriel terdiam sejenak. Ia tahu bahwa ayahnya selama ini selalu mendahulukan orang lain, tanpa memikirkan dirinya sendiri. Dakwah memang bisa dilakukan dengan tindakan, tetapi menjaga kesehatan agar bisa lebih lama berbuat kebaikan, itu juga bagian dari dakwah yang tak bisa diabaikan.
Malam itu, setelah berbicara panjang lebar dengan ibunya, Azriel memutuskan untuk membawa ayahnya ke rumah sakit. Tanpa menunggu lebih lama, ia mengajak ayahnya untuk memeriksakan diri.
“Ayah, tolong… Jangan terlalu keras kepala. Kita harus periksa, setidaknya agar kita tahu apa yang terjadi,” desak Azriel dengan suara lembut namun penuh kepedulian.
Ustadz Hamid hanya tersenyum kecil, matanya memancarkan kasih sayang yang tulus kepada anaknya. “Azriel, Ayah tahu kamu peduli. Tapi ini hanya sedikit sakit. Insya Allah, Ayah akan baik-baik saja.”
Namun, kali ini Azriel tidak ingin membiarkan ayahnya merasa bahwa sakit itu bisa ditangguhkan begitu saja. “Ayah, jangan biarkan kami khawatir. Kami ingin Ayah tetap ada untuk kami, untuk dakwah yang telah Ayah mulai.”
Setelah beberapa detik hening, Ustadz Hamid akhirnya mengangguk lemah, setuju untuk pergi ke rumah sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit, Azriel merasa seolah seluruh dunia menjadi sangat sepi. Ia menggenggam tangan ayahnya dengan erat, memanjatkan doa dalam hati, berharap agar Allah memberi kekuatan kepada ayahnya dan keluarga mereka.
Setiba di rumah sakit, mereka langsung menuju ruang perawatan. Dokter yang memeriksa Ayah memberitahukan bahwa kondisi ayahnya memang lebih buruk dari yang diperkirakan. Jantung Ustadz Hamid tampak menurun kemampuannya, dan tubuhnya tak mampu lagi menahan beban yang ada.
“Dia harus menjalani perawatan lebih intensif. Tapi kami akan berusaha semaksimal mungkin,” ujar dokter dengan nada yang penuh simpati.
Azriel terdiam, hatinya terasa hancur. Ia menatap ayahnya, yang hanya tersenyum tipis meskipun kesakitan. Di tengah kesulitan ini, Azriel tahu, inilah ujian yang harus ia jalani. Sebagai anak, ia harus memberi ketenangan bagi orang tuanya, bukan hanya dalam kata-kata, tapi dalam tindakan nyata.
Hari-hari berikutnya penuh dengan kesibukan mengurus ayah, tetapi di tengah kesulitan itu, Azriel mulai menyadari banyak hal. Kekuatan yang ia miliki bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang tua dan masyarakat di sekitarnya. Ia belajar bahwa berbakti kepada orang tua bukan hanya tentang memberi perhatian pada saat mereka sehat dan bahagia, tapi juga saat mereka sakit, saat mereka butuh dukungan.
“Azriel, kamu tahu kan bahwa dakwah itu bukan hanya untuk orang lain, tapi untuk dirimu sendiri?” Ustadz Hamid mengingatkan suatu hari, saat Azriel duduk di samping tempat tidurnya. “Dakwah itu harus dimulai dari diri sendiri, dari keluarga. Kalau kamu tidak bisa memberikan yang terbaik untuk mereka, bagaimana kamu bisa memberikan yang terbaik untuk orang lain?”
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Azriel. Ia tahu bahwa dakwah bukan hanya soal berbicara, tetapi tentang bagaimana kita memberi yang terbaik untuk orang yang kita sayangi, khususnya orang tua. Dan hari-hari yang penuh ujian ini adalah kesempatan baginya untuk menunjukkan bukti cintanya kepada mereka.
Kehidupan terus berjalan, dan meski hari-hari terasa berat, Azriel tahu ia sedang belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ia terus berdoa, berharap Allah memberikan kekuatan pada ayahnya dan seluruh keluarganya. Dan ia juga berharap, dalam setiap langkah hidupnya, ia dapat menunjukkan bahwa dakwah sejati adalah bukti cinta pada orang tua yang tulus, yang tak terucapkan dengan kata-kata, tetapi terwujud dalam tindakan yang nyata.
Cinta yang Tak Terucapkan
Hari-hari terus berlalu, dan meskipun ujian yang mereka hadapi belum sepenuhnya berakhir, Azriel merasa ada kedamaian yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Ayahnya, meskipun lemah, tetap memperlihatkan senyum yang tak pernah pudar. Ia tahu, meskipun kondisi tubuhnya mulai menurun, hatinya tetap teguh dan penuh keteguhan. Ada sesuatu yang luar biasa tentang kekuatan iman yang dimiliki oleh orang tuanya.
Setiap malam, sebelum tidur, Azriel duduk di samping ranjang ayahnya, memegang tangan Ustadz Hamid dengan lembut. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya keduanya saling berbagi dalam keheningan yang penuh makna. Azriel memandangi wajah ayahnya yang mulai keriput, tetapi matanya tetap memancarkan cahaya yang penuh cinta dan kasih sayang.
“Azriel,” suara Ustadz Hamid terdengar lembut namun penuh kehangatan, seperti biasanya. “Ayah bangga padamu. Kamu sudah menunjukkan yang terbaik, Nak. Kamu berbakti dengan hati yang ikhlas.”
Air mata Azriel mulai menggenang, meskipun ia berusaha keras untuk menahannya. Sejak kecil, ia selalu mendengar nasihat dan ceramah dari ayahnya, namun kali ini, ia merasakan bahwa kata-kata itu jauh lebih berarti. Cinta yang tulus tak perlu ditunjukkan dengan ucapan, tetapi dengan tindakan yang nyata. Dan itu yang selalu dilakukan ayahnya, setiap hari.
“Ayah…,” Azriel hampir tidak bisa menahan emosinya. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tapi aku janji, aku akan terus menjaga Ayah dan Ibu. Aku akan selalu berusaha menjadi anak yang baik.”
Ustadz Hamid tersenyum tipis, meskipun tubuhnya semakin lemah. “Kamu sudah jadi anak yang baik, Azriel. Cinta yang paling tulus adalah yang tak mengharapkan balasan. Kamu telah membuktikannya dengan tindakanmu.”
Azriel menunduk, meresapi setiap kata-kata ayahnya yang begitu dalam. Ia merasa hatinya semakin dekat dengan ayahnya, semakin menyadari betapa pentingnya berbakti kepada orang tua. Dalam setiap langkahnya, ia berusaha untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Di tengah kesulitan yang mereka hadapi, Azriel menemukan kebahagiaan yang sederhana. Kebahagiaan itu tidak datang dari dunia luar, tetapi dari hubungan yang semakin erat dengan orang tua, terutama dengan ayah yang selama ini menjadi panutan. Cinta sejati memang bukan tentang mengharapkan sesuatu, tetapi memberi tanpa batas, memberi dengan hati yang tulus, tanpa mengharapkan imbalan.
Keadaan ayahnya semakin memburuk. Namun, di mata Azriel, setiap detik yang ia habiskan bersama ayahnya terasa berharga. Ia tidak ingin ada penyesalan di kemudian hari. Ia ingin selalu berusaha menjadi anak yang bisa membuat orang tuanya bangga, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan yang nyata.
Suatu malam, saat Azriel duduk di samping ranjang ayahnya, Ustadz Hamid memegang tangannya dengan erat. “Azriel, meskipun Ayah tidak bisa selalu ada di sampingmu, Ayah ingin kamu tahu, Ayah selalu mendoakanmu. Kamu adalah generasi yang akan meneruskan perjuangan ini. Ayah yakin kamu bisa melanjutkan apa yang sudah kita mulai.”
Azriel tidak bisa menahan air mata yang akhirnya jatuh. Ia memeluk ayahnya dengan lembut, merasa bahwa segala yang ia lakukan selama ini adalah untuk ayahnya, untuk ibu, dan untuk dakwah yang telah mereka ajarkan kepadanya. Ia tahu, meskipun waktu terus berjalan, kasih sayang yang diberikan orang tua tidak akan pernah pudar.
Pagi itu, Azriel menerima sebuah panggilan dari rumah sakit. Ayahnya telah menghembuskan napas terakhirnya. Namun, meski hatinya terasa hancur, Azriel merasa anehnya ada kedamaian yang menyelimuti hatinya. Ia tahu, ini adalah bagian dari takdir yang harus diterima. Ayahnya telah mengajarkan banyak hal, dan kini saatnya bagi Azriel untuk meneruskan perjuangan itu.
Di pemakaman, Azriel berdiri di samping ibu dan saudara-saudaranya, merenungkan setiap kenangan indah bersama ayahnya. Dalam setiap doa yang ia panjatkan, ia bertekad untuk menjadi penerus dakwah yang telah dimulai oleh ayahnya. Ia tahu, berbakti kepada orang tua bukan hanya saat mereka masih hidup, tetapi juga saat mereka telah pergi.
Azriel menghadap ke langit, menyadari bahwa cinta pada orang tua tidak akan pernah berakhir. Cinta itu akan selalu hidup, mengalir dalam setiap langkah hidupnya. Ia akan melanjutkan apa yang sudah dimulai, memberikan yang terbaik bagi orang tuanya, meskipun ayahnya kini telah pergi.
“Ayah, Ibu, aku akan selalu berusaha menjadi anak yang bisa kalian banggakan,” bisik Azriel dalam hati, merasakan bahwa cinta yang ia berikan selama ini adalah bukti cintanya yang sejati kepada kedua orang tuanya.
Dan dengan itu, Azriel melangkah maju, membawa warisan dakwah yang akan terus hidup, meskipun ayahnya sudah tiada.
Akhirnya, cerita Azriel menunjukkan kita bahwa cinta yang sejati itu nggak perlu diumbar-umbar, tapi harus diwujudkan dalam setiap tindakan. Berbakti pada orang tua, menjaga mereka, dan melanjutkan perjuangan mereka adalah salah satu bentuk cinta yang paling murni.
Kadang, kita nggak sadar kalau berbakti itu bukan cuma soal hal besar yang kita lakukan, tapi juga hal-hal kecil yang penuh makna. Semoga cerita ini bisa jadi pengingat buat kita semua, untuk selalu menghargai dan memberi yang terbaik untuk orang tua kita, karena mereka adalah segala-galanya.