Daftar Isi
Jadi gini, kadang hidup itu nggak selalu seperti yang kita bayangin. Ada kalanya, kita harus turun tangan sendiri buat bikin semua orang tahu siapa yang bener-bener berkuasa.
Cerita ini bakal bawa kamu masuk ke dunia yang penuh intrik, balas dendam, dan si antagonis yang nggak main-main. Siapa yang bakal jadi pemenang? Yang pasti, nggak ada yang pernah siap dengan kejamnya cara dia mainkan semua orang.
Cerpen Balas Dendam Kejam
Bayang-Bayang Pengkhianatan
Pagi itu, udara kota terasa begitu berat. Kalenar Yudha menatap kosong ke luar jendela kantor mewah yang ia miliki. Kota yang bising dan sibuk seolah tak pernah berhenti berputar, namun bagi Kalenar, semuanya terasa hampa. Setiap gedung tinggi yang menjulang seakan mengingatkannya pada betapa banyak mimpi yang hancur di bawahnya. Mimpi yang pernah dibangun oleh ayahnya—mimpi yang dengan kejam dihancurkan oleh orang-orang yang mereka percayai.
Ia menghela napas dalam-dalam, merasakan sesak di dadanya. Dari balik meja, ia menatap foto lama yang tergeletak di sana. Foto ayahnya, seorang pria dengan senyum penuh harapan, duduk di meja makan keluarga mereka. Di sampingnya, Maia Ferina, wanita yang dulu begitu dekat dengan keluarganya, tersenyum dengan lemah lembut. Wajahnya yang tampak sempurna, tidak menyisakan sedikit pun tanda-tanda bahwa dia adalah seorang pengkhianat.
Kalenar tahu, jika ia ingin memulai langkah pertamanya dalam balas dendam, maka wanita itu haruslah yang pertama merasakannya. Maia Ferina, yang kini telah menjadi ratu di dunia bisnis, yang telah mengubur jejak pengkhianatannya dengan sempurna. Tetapi Kalenar tahu lebih dari siapa pun—tidak ada yang bisa menghindari balasan dari masa lalu.
Pikirannya kembali melayang ke masa lalu, ke hari itu—hari yang mengubah segalanya.
“Papa… kenapa? Kenapa kita bisa seperti ini?” suara Kalenar yang masih muda, hampir bergetar, mengingatkannya pada masa-masa kelam itu. Ia masih ingat jelas bagaimana ayahnya duduk terpuruk di kursi, memandang dokumen yang mengungkapkan bahwa perusahaannya bangkrut. Semua hanya karena Maia.
“Maia… Maia… Dia menghancurkan kita, Kalenar,” kata ayahnya, suara seraknya penuh penyesalan.
Itulah pertama kalinya Kalenar merasakan apa itu kepedihan yang hakiki. Ketika orang yang mereka percayai mengkhianati mereka, menghancurkan hidup mereka, dan meninggalkan mereka dalam keterpurukan. Ayahnya tak pernah bisa bangkit lagi setelah kejadian itu. Hanya dalam waktu setahun setelahnya, ia menghembuskan napas terakhirnya—dengan luka yang lebih dalam dari yang bisa diukur oleh waktu atau kata-kata.
Kalenar terbangun dari lamunannya, mengedipkan mata beberapa kali untuk mengusir bayang-bayang masa lalu. Ia berdiri dan berjalan menuju jendela besar di kantornya. Dari sini, kota tampak begitu sepi, meskipun hiruk pikuknya tetap terdengar. Namun, Kalenar tidak bisa merasakan apapun selain rasa pahit yang menyusup ke tenggorokannya.
Hatinya tak pernah benar-benar bisa memaafkan. Dan ia tahu, jika ia ingin menghapuskan segala rasa sakit yang mengeram di dadanya, hanya ada satu cara: membalas dendam.
Di luar sana, Maia mungkin telah melupakan semua itu. Ia sudah berhasil membangun kehidupannya kembali, menjadi wanita sukses yang dihormati banyak orang. Tapi Kalenar tahu, tak ada yang benar-benar terlupakan, tak ada yang bisa lari dari bayang-bayang yang mereka tinggalkan. Dan bayang-bayang itu sekarang menjadi bayang-bayang Kalenar. Kegelapan yang akan mengikuti Maia ke mana pun dia pergi.
Hari itu datang begitu cepat. Kalenar menatap layar ponselnya dengan tatapan yang penuh perhitungan. Di sana, sebuah pengumuman resmi yang mengungkapkan keberhasilan Maia dalam memperluas perusahaan miliknya—sebuah perusahaan yang dulunya milik keluarganya.
“Kamu terlalu sombong, Maia,” gumam Kalenar perlahan, menyeringai. Ia menekan tombol di ponselnya, mengirimkan pesan singkat kepada seseorang yang sudah lama ia persiapkan untuk hari ini. Seseorang yang akan menjadi pion dalam permainan yang lebih besar.
Tiga hari kemudian, Maia Ferina diundang untuk menghadiri sebuah acara gala besar. Tanpa diketahui banyak orang, itu adalah kesempatan pertama bagi Kalenar untuk menghadapinya. Saat Maia tiba di ruangan yang penuh kemewahan dan cahaya yang menyilaukan, dia tidak pernah tahu bahwa ini adalah awal dari akhir yang lebih dekat dari yang ia bayangkan.
Kalenar, dengan penampilannya yang tak banyak berubah, berdiri di sudut ruangan, mengamati Maia dengan tatapan yang tidak bisa disembunyikan. Setiap gerakan Maia seakan memperburuk rasa benci yang ia pendam selama bertahun-tahun. Ada saat-saat di mana Kalenar ingin berlari ke arahnya, menariknya keluar dari kerumunan, dan membiarkan dunia tahu siapa dia sebenarnya—pengkhianat yang tak pernah merasa bersalah.
Namun, Kalenar tahu, balas dendam harus dimulai dengan rencana yang sempurna. Hanya dengan cara itu Maia bisa benar-benar merasakan keperihan yang selama ini ia rasakan. Ia tak akan menyerang Maia dengan cara yang kasar atau terburu-buru. Tidak. Ini harus terencana dengan matang. Maia harus dipermalukan tanpa dia sadari.
Kalenar menatap Maia yang sedang berbincang dengan para tamu, tertawa, dan menikmati hidupnya. Di balik senyuman itu, Maia tidak tahu bahwa ia sedang berada di ujung jurang.
Di meja makan, Maia melirik ke arah seorang pria yang baru saja masuk—seorang lelaki muda yang sangat tampan, tampak begitu percaya diri. Seseorang yang tak asing bagi Kalenar. Matanya menyipit, mengenali siapa pria itu. Itu adalah suami Maia. Tentu saja, Kalenar sudah mengetahui semua tentang kehidupan pribadi Maia, dan pria ini hanyalah bagian dari permainan.
Dengan langkah perlahan, Kalenar mendekati mereka. Maia, yang duduk di sisi suaminya, menatapnya dengan tatapan penuh kebingungan. “Kalenar?” suara Maia yang kaget hampir tak terdengar di tengah riuhnya acara tersebut.
Kalenar hanya tersenyum, namun senyum itu begitu dingin, begitu penuh kebencian. “Aku senang melihatmu bahagia, Maia. Benar-benar senang.”
Maia menatapnya dengan ekspresi yang sulit untuk dibaca. “Apa yang kamu inginkan, Kalenar?” tanyanya, berusaha menahan kegugupan yang mulai merayapi dirinya.
“Aku hanya ingin melihatmu, melihat bagaimana segala yang kau bangun akan hilang dalam sekejap,” jawab Kalenar, suaranya begitu rendah namun tajam, seolah mengiris ke dalam hati Maia.
Maia terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya bisa merasa cemas dalam hatinya.
Balas dendam Kalenar baru saja dimulai. Namun, belum ada yang terasa. Belum ada rasa puas dalam hatinya. Ia tahu, ini hanya awal. Maia akan merasakan setiap langkah yang ia ambil, dan Kalenar akan menikmati setiap momen dari penderitaan yang akan datang.
Dalam Diam, Rencana Tersusun
Satu minggu sudah berlalu sejak pertemuan pertama itu. Kalenar merasa sedikit puas dengan cara ia mempermainkan Maia di gala malam itu, meskipun Maia tampak tak terpengaruh oleh kehadirannya. Namun, dalam setiap percakapan, Kalenar tahu bahwa Maia mulai merasakan getaran yang tidak bisa ia lihat, tapi bisa ia rasakan. Rencana yang terpendam begitu lama, kini mulai terasa lebih nyata.
Kalenar duduk di meja kerjanya, memandangi layar laptop. Di layar itu terpampang grafik yang menunjukkan kemerosotan perusahaan Maia yang mulai goyah. Dengan tersenyum puas, Kalenar menekan beberapa tombol, mengirimkan email yang telah ia siapkan jauh sebelumnya. Semua ini bukan kebetulan. Semua ini adalah bagian dari permainan yang telah disusun dengan cermat.
Setiap langkah yang Maia ambil, Kalenar tahu persis di mana titik lemahnya. Apa yang Maia anggap sebagai sebuah keberhasilan besar, akan menjadi titik jatuhnya nanti. Sebuah jebakan kecil yang tampaknya tak berarti, akan mengubah arah dari segala yang dia bangun.
Di luar kantor Kalenar, di jalanan kota yang padat, Maia sedang berada dalam perjalanan menuju pertemuan bisnis dengan beberapa investor. Wajahnya tampak tegang, meski ia berusaha tersenyum. Sejak pertemuannya dengan Kalenar, banyak hal yang mulai tak berjalan sesuai rencana. Ada yang aneh. Ia merasa seperti ada yang mengamatinya dari jauh, seperti bayang-bayang yang mengintai di setiap sudut hidupnya.
Saat mobil yang membawanya melaju, Maia tidak bisa menepis perasaan cemas yang semakin menggerogoti. Dalam beberapa hari terakhir, beberapa orang dalam timnya mulai memberikan laporan yang tak biasa. Angka-angka di spreadsheet yang biasanya solid kini terlihat goyah. Ada transaksi yang hilang, ada dokumen yang menghilang begitu saja, dan yang paling mengganggu, beberapa dari investor mereka mulai menarik diri tanpa penjelasan yang jelas.
“Ini tidak masuk akal,” gumam Maia, meremas tangannya di atas meja mobil.
Ia mencoba untuk berpikir positif, tapi semakin lama perasaan gelisah itu semakin mendalam. Semua hal yang terjadi ini seperti datang begitu cepat, tidak ada tanda-tanda sebelumnya, dan kini segala sesuatunya mulai terasa seperti salju yang terus menumpuk, hingga siap menghancurkan.
Kembali ke ruang kerjanya, Kalenar memandangi layar ponselnya. Di sana, dia melihat kabar yang sudah dia tunggu—kehilangan besar yang menimpa perusahaan Maia. Transaksi yang telah dimanipulasi dan ditarik kembali dengan cerdik oleh beberapa orang yang telah ia tempatkan di posisi kunci dalam perusahaan itu. Maia mungkin tidak tahu, tapi setiap angka yang menurun adalah hasil dari jerat yang ia pasang. Kalenar tersenyum tipis, merasa puas dengan bagaimana semuanya berjalan sesuai dengan perencanaan.
Namun, Kalenar tahu bahwa balas dendam ini belum selesai. Tidak cukup dengan membuat Maia merasa takut akan kerugian. Baginya, kejatuhan Maia harus lebih dalam lagi, lebih terasa. Kepercayaan yang telah ia hancurkan harus lebih dari sekadar angka yang berkurang. Maia harus merasakan apa yang ia rasakan—perasaan hancur yang mendalam, kehilangan yang tak bisa dibalikkan lagi.
Kalenar membuka laci mejanya, mengambil sebuah foto yang sudah lama disimpannya. Foto itu adalah gambar sebuah rumah besar, rumah yang dulu mereka tinggali bersama keluarganya. Rumah itu kini milik Maia. Dengan tenang, Kalenar mengirimkan pesan kepada seorang lelaki yang telah lama ia kenal—seorang teman yang dapat membantunya membuat rumah itu tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi Maia.
Kalenar tahu, rumah adalah tempat paling pribadi bagi seseorang. Tempat yang penuh kenangan. Dan Maia, wanita yang sudah lupa diri, harus merasakan ketakutan yang menyeluruh ketika rumah itu tidak lagi aman. Setelah itu, tak ada tempat yang bisa menjadi pelarian bagi Maia.
Beberapa hari kemudian, Maia kembali merasa ada yang aneh. Rumah yang dulu ia anggap sebagai tempat perlindungan, tempat di mana ia bisa beristirahat dari segala kepenatan, kini mulai terasa seperti penjara. Ketika ia pulang ke rumah malam itu, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Lampu di beberapa ruangan padam, dan ada suara berderak dari lantai atas.
“Ada siapa di sini?” Maia berteriak, menahan ketakutannya, meski suaranya terasa gemetar.
Tidak ada jawaban. Rumah itu sunyi, namun ada sesuatu yang membekap ketenangan itu. Maia melangkah perlahan ke arah tangga, merasa ketegangan merayap dalam tubuhnya. Langkahnya terhenti saat tiba di ujung tangga, saat ia melihat sosok yang tak ia kenal berdiri di ruang tengah, memandangi dirinya dengan senyuman yang dingin.
“Siapa… kamu?” Maia bertanya dengan suara tercekat, berusaha mempertahankan kewarasannya.
“Jangan khawatir, Maia,” suara pria itu terdengar menenangkan namun mengandung ancaman. “Aku hanya tamu yang diundang.”
Seketika itu juga, Maia merasa seluruh tubuhnya beku. Bayang-bayang Kalenar kembali menghantui pikirannya. Ia tahu, ini bukan kebetulan. Tidak ada yang bisa terjadi begitu saja tanpa alasan.
“Ini… ini hanya awal, Maia. Kamu harus merasa bagaimana rasanya kehilangan segalanya,” suara pria itu terdengar pelan, hampir seperti bisikan.
Dalam sekejap, rasa takut menggenggam hatinya. Rumah yang selama ini menjadi tempat pelarian, kini terasa semakin jauh dari harapan. Setiap sudutnya, setiap ruangan yang dulunya nyaman, kini menyisakan rasa cemas yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Kalenar duduk dengan tenang di ruang kerjanya, menatap ponselnya. Kali ini, dia merasa lebih dekat dengan tujuannya. Setiap detik yang berlalu, Maia semakin terperangkap dalam permainan yang dia ciptakan. Rumah yang dulu menjadi simbol kemenangan Maia, kini menjadi simbol kejatuhannya. Tidak ada tempat yang aman lagi baginya.
Namun, Kalenar tahu bahwa semua ini belum cukup. Kejatuhan Maia belum mencapai puncaknya. Masih ada lebih banyak yang harus ia ambil dari wanita itu—kepercayaan yang tak pernah bisa ia kembalikan.
Balas dendam ini belum selesai. Dan untuk Kalenar, permainan baru saja dimulai.
Menggali Luka, Menyiram Racun
Hari-hari setelah kejadian itu, Maia merasa dirinya terjebak dalam jaring tak terlihat yang perlahan-lahan mengikatnya. Rumah yang dulu memberikan kenyamanan kini menjadi sebuah arena permainan, dan ia tak tahu siapa yang menjadi pemain utama. Bayangan Kalenar semakin menyesakkan, tak bisa dihindari meski ia berusaha mengusirnya. Setiap malam, ia terbangun dalam kecemasan, berpikir tentang siapa yang bisa ia percayai lagi, dan apa yang bisa ia lakukan untuk mengembalikan semuanya.
Namun, perasaan terluka itu bukanlah satu-satunya hal yang menguasai dirinya. Ada yang lebih dalam lagi, sebuah rasa malu yang merayap dari dalam dirinya. Maia telah diberi segala yang ia inginkan: kekayaan, kebebasan, kedudukan. Tapi kini, dalam kerugian yang tak terduga ini, ia merasakan kekosongan yang dalam. Kejatuhannya terasa lebih pribadi daripada sekadar kehilangan uang. Ini adalah kehancuran harga dirinya, yang telah tergores di hadapan orang yang paling ia benci—Kalenar.
Di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota, Kalenar duduk sendiri, menatap secangkir kopi hitam di depannya. Ia menunggu dengan sabar, mengetahui bahwa langkah selanjutnya akan segera datang. Setiap detik adalah bagian dari skenario yang lebih besar yang telah ia rencanakan. Kali ini, bukan hanya Maia yang harus terjatuh—ia akan menghancurkan semua yang dimiliki oleh Maia, dan ia tahu cara terbaik untuk melakukannya.
Saat Maia tiba, wajahnya tampak letih dan cemas, namun ia berusaha untuk menyembunyikannya. Kalenar tersenyum tipis, menyadari betapa baiknya wanita ini dalam menutupi ketakutannya. Namun, ketakutan itu semakin dalam, dan dia bisa merasakannya.
“Maia,” Kalenar menyapa dengan tenang, suaranya begitu santai, hampir tidak menyadari dampak dari kata-katanya. “Kau kelihatan sedikit lelah.”
Maia menatapnya, sejenak, sebelum duduk di seberangnya. Ia tidak menginginkan percakapan ini, tapi entah mengapa ia merasa tertarik untuk mendengarkan apa yang Kalenar ingin katakan.
“Apa yang kamu inginkan, Kalenar?” Maia mengucapkan namanya dengan nada datar, mencoba mengontrol diri, meski hatinya penuh dengan kebingungan dan rasa sakit. “Semua yang terjadi ini… apa kau yang melakukannya?”
Kalenar menyandarkan punggungnya ke kursi, menatapnya dengan tatapan yang seolah-olah sedang menilai sesuatu yang tak terlihat oleh Maia.
“Tentu saja,” jawabnya dengan nada yang terlalu tenang untuk situasi ini. “Apa yang kamu rasakan sekarang… semua ini adalah bagian dari rencana yang sangat indah, Maia.”
Maia menghela napas panjang, merasa semakin sulit untuk bernapas. “Rencana? Apa maksudmu?” Tanyanya, berusaha tetap tenang, meskipun darahnya mulai mendidih. “Kenapa ini harus terjadi? Aku tidak tahu apa yang telah aku lakukan untuk pantas mendapatkan semua ini.”
“Ah,” Kalenar mendekat, menyandarkan tangan di atas meja, seolah-olah ingin berbicara lebih dekat. “Kamu tidak ingat? Kamu lupa apa yang telah terjadi antara kita dulu? Lupa tentang pengkhianatan yang kamu lakukan terhadapku? Apa kamu pikir aku akan membiarkan itu begitu saja?”
Maia terdiam sejenak, mencoba menggali kembali kenangan yang sudah lama terkubur. Kenangan itu muncul begitu saja, dengan tajam dan jelas—suatu malam yang sangat penting, saat ia dengan tega mengorbankan kepercayaan Kalenar demi keuntungan pribadinya. Ia merasa begitu cemas dan tertekan, namun mencoba bertahan.
“Aku tidak melakukannya untuk menyakitimu,” Maia berusaha membela dirinya, meskipun ia tahu itu tidak cukup. “Aku hanya mencoba untuk bertahan, Kalenar. Aku tidak tahu bahwa itu akan merusakmu.”
Kalenar tertawa kecil, namun tawanya terdengar penuh dengan kepahitan. “Kau masih saja berusaha membela dirimu, Maia. Tapi semuanya sudah terlambat. Keputusan yang kamu buat saat itu, berakibat pada segalanya. Kamu telah memilih untuk menyeberangi batas yang tak bisa kamu lewati tanpa konsekuensi.”
Maia mengatupkan bibirnya, berusaha menahan emosi yang hampir meledak. Ia tahu bahwa ia tak bisa lagi lari dari kenyataan—segala sesuatu yang terjadi adalah akibat dari pilihannya. Namun, perasaan bersalah itu semakin menekannya.
“Dan sekarang, apa yang kamu ingin aku lakukan? Apa kamu pikir aku akan menyerah begitu saja?” Maia bertanya dengan suara gemetar, namun penuh dengan tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya. “Jika kamu pikir aku akan diam begitu saja, kamu salah.”
Kalenar menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam lagi. “Aku tidak menginginkan kamu untuk menyerah, Maia,” katanya dengan senyum penuh tipu daya. “Aku ingin kamu merasakan apa yang aku rasakan. Aku ingin kamu memahami apa artinya kehilangan segalanya. Dan yang lebih penting, aku ingin melihatmu terjatuh lebih jauh lagi.”
Dengan kata-kata itu, Maia merasa seperti ada sesuatu yang patah di dalam dirinya. Kalenar bukan hanya berniat untuk menghancurkan perusahaannya atau menghilangkan kekayaannya—ia berniat untuk menghancurkan hidupnya, bahkan mungkin segala sesuatu yang ia banggakan. Tidak hanya sekadar jatuh—ia ingin Maia merasakan setiap luka dengan cara yang tak terbayangkan.
“Dan kau akan mendapatkannya, Kalenar,” Maia menjawab dengan suara yang kini terdengar lebih keras, penuh dengan kebencian yang mendalam. “Aku akan membuatmu menyesali semua ini.”
Namun, Kalenar hanya tersenyum lebih lebar, seolah-olah segala yang Maia katakan hanya bagian dari permainan yang lebih besar. “Kamu akan melihat nanti, Maia. Aku tahu kamu cukup kuat untuk bertahan… tapi tidak cukup kuat untuk menang.”
Ketegangan di antara mereka semakin mengental. Maia tahu bahwa ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih buruk. Dan ia juga tahu bahwa untuk bisa bertahan, ia harus memainkan permainan yang sama liciknya dengan Kalenar.
Namun, Kalenar tidak tahu bahwa Maia bukanlah wanita yang akan menyerah begitu saja. Jika ada yang harus dihancurkan, itu adalah dirinya sendiri—dan Maia akan mengorbankan segalanya untuk itu.
Kemenangan yang Terlambat
Maia duduk di meja kantornya, tatapannya kosong menatap tumpukan dokumen yang tergeletak begitu saja. Setiap lembaran kertas, setiap angka yang tercetak, terasa seperti beban yang tak bisa ia lepaskan. Tapi ia tahu, ini adalah harga yang harus dibayar. Dalam perjalanan panjang ini, Maia telah mempelajari satu hal: jika ada yang harus dihancurkan, maka itu adalah dirinya. Dan itulah yang ia lakukan—membiarkan dirinya terjatuh lebih dalam ke dalam api, berharap bisa menghancurkan Kalenar bersamanya.
Namun, ada sesuatu yang berbeda kini. Maia merasa bahwa ia telah memasuki babak baru dalam permainan ini. Kemenangan itu tidak datang dengan cara yang ia bayangkan. Kemenangan itu tidak ada dalam bentuk kekayaan yang berhasil ia dapatkan kembali, atau perusahaan yang ia pulihkan. Tidak. Kemenangan itu adalah tentang bagaimana ia mulai melepaskan semua yang tidak pernah ia miliki sejak awal—kemewahan yang ia pertahankan dengan kebohongan dan manipulasi.
Sebuah ketukan di pintu mengalihkan pikirannya. Maia menoleh, dan ada Kalenar yang berdiri di ambang pintu, wajahnya terlihat tenang, namun ada senyum licik yang tidak bisa disembunyikan. Wajahnya yang tampak begitu biasa, kini menampilkan kepuasan yang dalam, yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang tahu persis bahwa mereka telah menang.
“Maia,” ucap Kalenar dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. “Aku datang untuk melihat apakah kamu sudah siap untuk menerima kenyataan.”
Maia tersenyum miring, namun senyum itu terasa lebih seperti taring yang siap mencabik. “Aku sudah lama siap, Kalenar. Mungkin lebih siap dari yang kamu kira.”
Kalenar melangkah masuk, duduk di kursi yang ada di depan meja Maia, tanpa permisi. Mata mereka bertemu, dan ada ketegangan yang meluap, tetapi juga sebuah pemahaman yang tidak bisa disembunyikan. Maia tahu bahwa Kalenar datang bukan hanya untuk berbicara, tapi untuk mengungkapkan apa yang ia anggap sebagai kemenangan mutlak.
“Kamu pikir kamu bisa menghancurkanku begitu saja, tapi aku masih ada,” Maia berkata, suara tegas meskipun hatinya bergetar. “Apa kamu senang melihatku jatuh, Kalenar?”
Kalenar menatapnya dengan mata yang seolah-olah menyelidiki. “Aku tidak ingin melihatmu jatuh, Maia. Aku ingin melihatmu mengerti. Inilah akibatnya dari setiap keputusan yang kamu buat. Semua yang terjadi, ini adalah milikmu.”
“Benar, semua ini adalah milikku,” Maia menjawab dengan dingin. “Tapi kamu lupa satu hal, Kalenar. Aku tidak hanya ingin bertahan, aku ingin mengubah permainan ini.”
Ada keheningan yang panjang di antara mereka. Kalenar menundukkan kepalanya sejenak, seolah berusaha mencerna apa yang baru saja Maia katakan. Lalu, ia kembali mengangkat wajahnya, kali ini dengan tatapan yang sedikit lebih serius.
“Apa yang kamu maksud dengan mengubah permainan?” tanya Kalenar dengan sedikit keraguan.
“Aku sudah melewati titik itu,” Maia menjawab pelan, tapi penuh keyakinan. “Aku sudah terjatuh. Aku sudah merasa semua yang kamu rasakan—penyesalan, rasa sakit, dan kebencian. Tapi sekarang, aku tidak akan menjadi korban lagi. Kamu ingin aku menyerah, tapi aku tidak akan memberikan itu padamu. Bahkan jika aku harus merusak semuanya.”
Kalenar terkekeh ringan, tetapi kali ini tawa itu tidak terdengar senang. “Tentu, Maia. Kamu memang selalu begitu. Kamu pikir bisa menghancurkan segalanya hanya karena kamu merasa terluka? Ini bukanlah soal menang atau kalah, ini tentang siapa yang akan bertahan terakhir.”
“Tapi bukan hanya tentang bertahan, Kalenar,” Maia menegaskan, tatapannya semakin tajam. “Ini tentang siapa yang mampu bangkit setelah jatuh. Dan aku, aku yang akan mengakhiri ini.”
Kalenar menatapnya, mencoba mencari celah di dalam pernyataan itu, namun Maia tahu bahwa saat ini, Kalenar telah kalah. Bukan karena Maia menang dengan cara yang terlihat. Tidak. Maia telah mengubahnya dengan cara yang lebih dalam, lebih gelap—dengan menghancurkan apa yang ada dalam dirinya sendiri.
“Aku tidak tahu apakah kamu bisa bertahan, Maia,” kata Kalenar akhirnya, berdiri dari kursinya. “Tapi aku tahu satu hal—kita semua punya harga yang harus dibayar. Dan kamu, kamu baru saja memulainya.”
“Tunggu dan lihat saja,” jawab Maia dengan senyum dingin, merasa sedikit puas melihat Kalenar yang terguncang. “Aku akan membayar harga itu… dengan cara yang jauh lebih mahal daripada yang kamu kira.”
Kalenar mengangguk perlahan, wajahnya kini lebih serius dari sebelumnya. “Kau akan menyesalinya. Dan ketika kamu menyadari itu, mungkin sudah terlambat.”
Saat Kalenar meninggalkan ruangannya, Maia menatap ke jendela, matanya menyusuri kota yang masih sibuk dengan kehidupannya yang tampak tidak pernah berhenti. Tetapi bagi Maia, kehidupan yang sekarang terasa kosong, terisolasi. Semua yang ada hanyalah bayangan dari langkah-langkahnya yang telah terlanjur menjauh dari apa yang seharusnya ia perjuangkan.
Namun, satu hal yang Maia tahu dengan pasti: kemenangan yang ia cari tidak akan datang dengan cara yang manis atau mudah. Ia harus menempuh jalan yang lebih berbahaya, lebih berliku—dan kadang, kemenangan itu harus diperoleh dengan mengorbankan segala sesuatu yang ada dalam diri sendiri.
Dan meskipun ini terasa pahit, Maia tahu bahwa ia telah mengambil langkah pertama dalam perjalanan panjang untuk menghancurkan Kalenar. Ini bukanlah akhir, hanya permulaan dari apa yang akan datang.
Dan begitulah, Maia belajar bahwa kadang kemenangan itu bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling berani mengorbankan segalanya untuk mencapai tujuannya. Tapi di balik setiap langkah yang penuh perhitungan, ada harga yang harus dibayar.
Mungkin, bagi Maia, harga itu justru lebih mahal daripada yang ia bayangkan. Tapi sekali kamu memilih jalan ini, nggak ada jalan mundur. Dunia ini keras, dan permainan ini masih jauh dari selesai.