Daftar Isi
Jadi begini, kalau kamu anak SMK, pasti ngerti banget kan sama yang namanya tugas, laporan, ujian, dan semua kewajiban yang bikin kepala pusing setengah mati? Nah, cerpen ini bakal ngebahas tentang itu semua—tapi dengan cara yang beda.
Cerita tentang empat sahabat yang berjuang bareng dalam dunia SMK yang penuh tekanan, tapi nggak lupa tetap ketawa bareng. Siapa bilang kehidupan anak SMK itu nggak lucu? Yuk, simak cerpen ini dan lihat gimana mereka ngadepin semuanya dengan tawa!
Cerpen Anak SMK Penuh Tawa
Matematika dan Masalah Printer
Pagi itu, suara bel sekolah berbunyi keras, tanda bahwa waktu pelajaran dimulai. Di kelas 12 Teknik Komputer dan Jaringan, suasana pagi lebih mirip dengan zona perang daripada tempat belajar. Di meja depan, Damar sedang sibuk menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong, seolah-olah angka-angka rumus matematika itu sudah mulai menjauh dari pandangannya. Di sebelahnya, Vera, dengan gaya khasnya yang sok cool, sibuk melamun sambil memainkan pulpen yang hampir jatuh berkali-kali dari tangannya.
“Dam, lo nggak bakal bisa ngerti soal itu kalau nggak dikaliin sama hati yang ikhlas, tau nggak?” ujar Vera tiba-tiba, memecah keheningan.
Damar cuma mengangkat bahu, nggak terlalu peduli. Di layar laptopnya, soal-soal matematika bertebaran seperti hantu yang nggak bisa dilawan. Sementara itu, di belakang mereka, Rizal dan Siska sudah mulai berdiskusi tentang tugas PKL mereka yang makin menumpuk.
“Nggak ngerti lagi deh, gue. Tugas PKL itu kayak nggak ada habisnya. Gue bener-bener nggak tau kapan bisa selesai,” keluh Rizal sambil memukul-mukul meja dengan frustrasi.
Siska, yang biasa tetap tenang, cuma mengerutkan kening. “Gue sih udah pasrah. Ini kan juga tugas buat laporan PKL, bukan buat nambahin stress. Lagian, tugas ini bukan lo doang yang ngerasain.”
Damar ngelirik Siska sebentar. “Bener juga. Gue ngerjain laporan PKL malah nggak sempet ngerjain yang lain. Cuma bisa ngeliatin layar sambil nunggu printer ngeluarin halaman demi halaman. Itu printer lebih sering mogok daripada gue dapet jawaban yang bener di soal matematika.”
Rizal tertawa, tapi tawa itu lebih terdengar seperti teriakan putus asa. “Lo kalau ngerjain laporan, lebih sering nunggu printer dari pada mikirin soal kan, Dam? Itu printer tuh bener-bener penghalang. Kayaknya dia juga ada mood-nya.”
Vera yang sebelumnya sibuk dengan pulpen di tangannya, akhirnya menimpali, “Ya, kalau soal printer sih gue nggak terlalu ngurusin. Gue lebih takut kalau lo nggak bisa ngerjain soal matematika itu. Itu kayak tantangan banget buat gue.”
“Apa lo pikir gue nggak tau? Gue udah coba ini semua, Vera. Cuma masalahnya, kalau ngeliat rumus itu, rasanya kayak otak gue dibekukan,” kata Damar sambil menggelengkan kepala, mencoba mencari alasan untuk keluar dari tugas yang nggak kunjung selesai.
Siska yang duduk di belakang mereka, tiba-tiba mengambil alih pembicaraan. “Gue masih bingung, kenapa sih kita harus belajar hal-hal kayak gini? Gue nggak nemu gunanya sama sekali buat PKL gue yang setiap hari ngurusin kabel. Bukannya lebih baik gue belajar cara merakit komputer atau ngoding daripada harus ngitung rumus yang nggak ada kaitannya?”
Vera tersenyum, “Lo itu ya, Sis, memang nggak bisa diem. Gue setuju sih, belajar yang sesuai sama jurusan. Tapi kan… hidup itu harus punya ilmu pengetahuan yang lebih. Ini kan bekal masa depan!”
Damar tiba-tiba teringat akan printer yang masih berisik di sudut ruangan. “Lo tau nggak sih, gue harus ngeluarin laporan PKL gue pake printer yang setiap lima menit bisa nyangkut. Lo pikir printer ini udah punya perasaan ya? Lebih ngerti mood daripada kita semua!”
Semua orang langsung tertawa, entah karena kesal atau karena memang sudah capek. Lintang yang duduk di samping meja Damar ikut nimbrung. “Gue sih lebih pusing sama ujian yang bakal datang. Itu ujian buat nyari cara supaya nggak ketahuan kalau kita nggak pernah ngerti matematika.”
Vera tertawa terbahak, “Ya lo sih. Selalu optimis bener. Gue sih udah siap-siap ngejelasin alasan klasik. ‘Tugas PKL, Bu. Nggak ada waktu buat belajar’. Itu selalu manjur!”
Damar langsung mengangkat tangannya, seolah-olah dia sudah menemukan cara terbaik untuk kabur. “Ya, ya, kalo itu sih bisa diterima. Tapi nanti pas ujian, lo nggak bisa alasan kayak gitu. Apa lo mau bilang ke Bu Sari, ‘Maaf, Bu, saya sibuk nyari kabel’?”
Semua tertawa mendengar kalimat Damar yang tiba-tiba itu. Tapi, tawa mereka nggak bertahan lama, karena saat itu Bu Sari, guru matematika mereka, masuk ke kelas dengan wajah yang tidak tampak semangat, namun tetap penuh wibawa.
“Anak-anak, matikan HP kalian. Kita mulai pelajaran.” Suara Bu Sari yang khas menggelegar di seluruh kelas.
“Yah, gak jadi nge-tweet deh gue,” keluh Vera, masih setengah kecewa karena harus berhenti ngetweet tentang kesulitan hidup anak SMK.
Damar menatap layar laptopnya lagi, berharap sesuatu akan terjadi agar soal matematika itu bisa hilang dengan sendirinya. Sayangnya, Bu Sari sudah mulai menjelaskan materi dengan sangat serius, dan mereka semua terpaksa harus mendengarkan rumus yang rasanya sudah tak mungkin dicerna otak.
“Ini adalah rumus integral, anak-anak. Kita mulai dari yang mudah…” Bu Sari menjelaskan dengan sabar, tapi bagi Damar, rumus itu sama sekali nggak gampang. Rasanya seperti harus ngikutin aliran listrik di kabel yang sempat putus. Semua yang dijelaskan Bu Sari seperti berputar-putar tanpa ada ujungnya.
Vera, yang duduk di sebelah Damar, mencoba berbicara pelan, “Dam, kalau lo nggak ngerti, ngeluh aja terus. Biar gue yang jawab. Kita tinggal bilang aja, ‘Gue sibuk nge-setel kabel’. Biar Bu Sari ngerti kita itu anak SMK, yang sebenarnya nggak terlalu mikirin soal rumus.”
Siska yang nggak tahan lagi akhirnya berbisik, “Bener, deh. Tugas PKL sih udah lebih penting daripada rumus-rumus ini.”
Damar cuma bisa nyengir. “Tapi masalahnya, kalau PR ini nggak selesai, kita bisa kena masalah yang lebih besar daripada rusaknya printer. Ujian bisa datang dalam bentuk yang lebih kejam.”
Hari itu berlanjut dengan lebih banyak obrolan santai yang sedikit menyelipkan keluh kesah tentang tugas, PKL, dan kehidupan anak SMK yang selalu penuh dengan kejutan. Meski pusing setengah mati, tawa tetap tak pernah berhenti, bahkan di tengah rutinitas yang tak ada habisnya.
Bel berbunyi, tanda bahwa pelajaran pertama selesai. Damar, Rizal, Siska, dan Vera keluar kelas sambil masih terus berceloteh tentang tugas yang tidak pernah selesai, tentang bagaimana mereka akan menghadapi tantangan yang sepertinya tak pernah berakhir.
Tapi satu hal yang pasti: Mereka tetap bersatu, saling mendukung, dan yang paling penting, tetap bisa tertawa di tengah tumpukan tugas yang semakin berat.
Bukan Cuma Soal Kabel
Setelah bel tanda berakhirnya pelajaran pertama berbunyi, kelas 12 Teknik Komputer dan Jaringan mulai terlihat sedikit lebih hidup. Tugas matematika yang belum selesai dan laporan PKL yang semakin menumpuk bukan lagi menjadi topik utama. Sekarang, semua orang lebih fokus pada agenda selanjutnya: praktek lapangan (PKL).
Rizal, yang biasanya terkesan santai dan nggak terlalu serius, kali ini terlihat agak terburu-buru. Dia melirik jam tangan, lalu menoleh ke Siska yang masih sibuk mengemas perlengkapan keperluan praktikum. “Sis, jangan sampe gue ketinggalan briefing dari bos. Gue udah dibikin pusing sama deadline laporan yang nggak kelar-kelar. Kalau kita terlambat, gue bisa dipecat dari PKL ini.”
Siska hanya mengangkat bahu, terlihat lebih tenang meskipun suasana hatinya nggak jauh beda dari Rizal. “Udah, Riz, tenang aja. Kita masih ada waktu. Lagian, PKL ini kan sebenarnya buat pengalaman, bukan buat bikin kita stress. Yang penting jangan sampai kita ngomongin kabel sepanjang waktu.”
Rizal mendengus, “Lo sih ngomong gampang. Gue yang tiap hari dihadapkan sama kabel yang nggak nyambung-nyambung. Kalau ketemu bos lagi, gue bisa aja ditanyain masalah jaringan yang gagal tanpa alasan.”
Di luar, udara siang itu terasa panas. Satu persatu teman-teman mereka beranjak dari kelas menuju ruang praktikum. Damar yang biasanya merasa lebih nyaman dengan laptop dan keyboard, kali ini terlihat lebih cemas daripada biasanya. Berpikir tentang laporan PKL yang harus diselesaikan masih menggantung di pikirannya.
“Gue bener-bener nggak siap buat ngadepin semua ini,” keluh Damar sambil menyandang tas yang rasanya lebih berat dari biasanya. “Gue udah capek ngatur waktu buat laporan, tapi nyatanya PKL gue malah lebih banyak makan waktu.”
Vera, yang ada di sampingnya, melirik sekilas. “Lo sih, Dam, terlalu serius. Gue sih udah pasrah sama PKL ini. Selama nggak dimintain perbaikan kabel, gue oke-oke aja.”
“Lo pasrah karena lo nggak tau rasanya jadi admin IT, Vera,” balas Damar dengan ekspresi cemberut, “Gue dipaksa buat ngatur sistem jaringan yang bahkan router-nya aja nggak ngerti apa yang mau dikonekin.”
Saat mereka sampai di ruang praktikum, suasana langsung terasa berbeda. Di sana, semua siswa dan siswi dari jurusan Teknik Komputer dan Jaringan sudah berkumpul, menunggu instruksi dari bos mereka. Pak Asep, yang dikenal sebagai instruktur yang selalu tenang tapi bisa membuat suasana tegang hanya dengan tatapan, berdiri di depan papan tulis besar. Di tangannya ada sebuah kabel yang terlihat seperti bisa mengubah nasib seluruh kelas.
“Anak-anak, hari ini kita akan ngerjain proyek jaringan yang agak rumit. Jangan takut kalau kabel-kabelnya tampak berantakan, karena memang harus disusun dengan cermat.” Suara Pak Asep yang tegas dan penuh wibawa menyentuh telinga semua orang. “Tapi, kalau ada yang nggak ngerti, langsung tanya. Jangan malu.”
Rizal memandang kabel yang ada di tangan Pak Asep, sambil berbisik pelan ke Siska, “Kalo gue yang pegang, ini kabel bakal jadi sarang laba-laba. Lo yakin gue nggak perlu bantuan?”
Siska hanya mengangkat alis. “Lo sih, Riz, masa belum pernah pegang kabel yang bener. Gue udah siapin mental buat bantuin lo kalau lo malah bikin kekacauan.”
Pak Asep melanjutkan dengan nada serius. “Kalau ada yang nggak selesai hari ini, kita bisa kena penalty. Jadi, jangan buang-buang waktu! Ayo mulai sekarang, kalian bakal terbiasa dengan kerjaan seperti ini di dunia nyata.”
Tugas dimulai. Semua orang mulai sibuk dengan berbagai peralatan dan alat praktikum yang disediakan. Siska dan Rizal bekerja dengan semangat meskipun sedikit terburu-buru. Damar, di sisi lain, mulai duduk dengan laptopnya, mencoba mencari referensi buat laporan sambil sesekali melirik pekerjaan praktikum yang mereka kerjakan.
Vera, yang nggak terlalu suka dengan ribetnya kerjaan teknis, lebih memilih untuk membantu temannya. “Dam, lo butuh bantuan?” tanyanya sambil melirik laporan Damar yang mulai terlihat rumit.
Damar melirik sekilas. “Gue sih butuh bantuan buat ngerjain laporan PKL yang nggak ada habisnya. Tapi kalau lo bisa bantu gue cari cara supaya kabel ini nyambung ke sistem, itu baru keren.”
Vera tertawa. “Gue bantu ngatur kabel aja udah kayak ngatur hidup gue yang kacau. Lo bener-bener suka bikin gue mikir keras, Dam.”
Suasana di ruang praktikum semakin sibuk. Rizal, yang sempat ragu bisa mengatasi tugas praktikum kali ini, mulai percaya diri setelah berhasil menyambungkan satu kabel ke jaringan yang semula terputus. “Akhirnya… satu masalah selesai. Sekarang gue bisa lanjut ke laporan.”
Siska menepuk pundaknya dengan bangga. “Gue bilang juga apa, lo pasti bisa.”
Tapi Damar masih terjebak dalam pikirannya sendiri, berjuang dengan laptop yang seolah-olah menertawakannya. “Kenapa sih, laporan PKL itu kayak ada jejak digital yang nggak bisa dihapus?”
Vera, yang nggak bisa diam, akhirnya berkata, “Lo beneran mau ngabisin waktu buat laporan yang nggak ada habisnya, Dam? Gue sih mendingan ngurusin kabel yang lebih bisa kelar.”
Damar nyengir. “Gue harap lo nggak kena masalah karena sok tau soal kabel, Vera. Tugas yang lebih susah bisa datang kapan aja.”
Hari itu berlalu begitu cepat. PKL yang biasanya bikin mereka malas, kali ini ternyata bisa berakhir lebih lancar dari yang mereka kira. Tugas yang menumpuk sedikit terobati dengan hasil yang cukup baik, meski laporan PKL tetap menjadi momok yang akan selalu menunggu untuk diselesaikan.
Setelah selesai praktikum, mereka kembali ke ruang kelas dengan perasaan campur aduk antara lega dan cemas. Tugasnya masih jauh dari selesai, tapi hari itu mereka bisa sedikit bernapas lega. Dengan tawa yang masih menggema, mereka mulai bergegas menuju kelas.
“Gue capek, deh. Tapi ini bisa dibilang hari yang lumayan oke, lah,” kata Rizal, yang sudah nggak terlalu pusing dengan kabel dan jaringan.
Siska cuma mengangguk. “Tapi laporan PKL itu masih jadi masalah besar yang nggak kelar. Lo siap buat itu, Riz?”
Rizal hanya menggelengkan kepala, “Gue siap buat cabut dari sekolah aja kalau harus ngadepin itu lebih lama.”
Di saat yang sama, Damar menatap layar laptopnya, kembali teringat dengan tumpukan tugas yang akan mereka hadapi. Namun, meskipun semuanya terasa berat, ada satu hal yang pasti: Mereka pasti bisa melewatinya—dengan tawa dan sedikit keberuntungan.
PR Sejuta, Tugas Satu Gunung
Minggu-minggu setelah PKL ternyata nggak membuat keadaan lebih mudah. Tugas yang menumpuk setelah praktikum seolah-olah nggak ada habisnya, dan laporan PKL yang terlewat semalam selalu menghantui pikiran Damar. Bahkan, minggu ini ada ujian matematika yang sudah mereka tahu bakal jadi ujian hidup. Damar, Rizal, Vera, dan Siska, yang seharusnya menikmati masa remaja mereka dengan cara yang lebih santai, justru dipenuhi dengan tugas yang serasa nggak ada habisnya.
Pagi itu, setelah pelajaran pertama, mereka berkumpul di kantin sekolah. Rizal dan Siska duduk di meja pojok, sementara Vera dan Damar bergabung dengan secangkir kopi (yang sebenarnya lebih ke teh manis untuk Damar, karena dia nggak tahan kopi).
“Lo tau nggak, Sis, hari ini gue punya rencana untuk kabur dari tugas matematika,” ujar Rizal sambil menyesap jus jeruk. “Gue udah ngerasa capek banget mikirin PR yang nggak kelar-kelar.”
Siska yang sudah pasrah dengan rutinitas belajar anak SMK hanya mengangkat bahu, memutar-mutar sedotan di gelas. “Gue juga bingung, Riz. Tugas kok makin banyak aja. Tapi yang gue takutin bukan tugas ini, lebih ke laporan PKL yang nyampah nggak karuan.”
Vera yang sedang membaca catatan tugasnya terhenti sejenak, “Iya sih, kita harus ngumpulin laporan PKL secepatnya, kan? Gue sampe mikir, tugas di dunia nyata itu beneran segambreng kayak gini nggak ya?”
Damar menghela napas panjang, “Nggak tau deh, Vera, tapi yang jelas gue nggak bisa ngeliat laptop gue lama-lama. Laporan yang nunggu nggak kelar-kelar, tugas matematika yang tinggal beberapa hari lagi. Kalau ada mesin waktu, gue bakal balik ke masa SMA dan nggak ngapa-ngapain.”
Tiba-tiba, bel berbunyi, menandakan bahwa waktu istirahat sudah habis. Semua orang kembali ke kelas, dan walaupun mereka hanya berjalan beberapa langkah menuju ruang kelas, perasaan beban yang menempel di pundak rasanya jauh lebih berat. Waktu terus berjalan, dan tugas semakin menumpuk.
Setibanya di kelas, Bu Sari sudah berdiri di depan papan, menunggu mereka dengan tatapan tajam. “Anak-anak, ambil pensil kalian. Kita mulai ujian matematika sekarang!”
Semua orang langsung menatap satu sama lain. Keringat dingin mulai mengalir di dahi, dan Damar merasakan dadanya sesak. “Gue rasa hidup gue lebih mudah kalau gue jadi burung di langit daripada anak SMK yang harus mikirin rumus-rumus ini.”
Vera, yang biasanya kelihatan santai, kali ini terlihat jauh lebih tegang. “Dam, lo punya cara nggak biar kita bisa ngeles dari ujian ini?”
Damar menggelengkan kepala. “Nggak ada. Ujian ini bener-bener ujian hidup. Mau nggak mau, kita harus bertahan.”
Begitu ujian dimulai, ruang kelas berubah jadi hening, kecuali suara pensil yang bergerak di atas kertas dan beberapa desahan dari teman-teman yang mulai kehabisan ide. Damar fokus di soal pertama, mencoba mencari cara paling logis untuk menjawabnya. Tapi saat matanya beralih ke soal kedua, kepalanya mulai terasa berat.
“Gila, ini soal apa? Kayak ngeliat kode yang nggak ngerti,” pikir Damar, mencorat-coret kertas dengan frustasi.
Vera yang duduk di sampingnya bisa merasakan kesulitan yang sama. Dia menatap soal-soal ujian itu dan mencoba menenangkan diri. “Dam, kita harus selesaiin ini. Nggak ada jalan keluar kecuali ngerjain.”
Namun, beberapa menit berlalu, dan tetap saja Damar merasa stuck. “Gue udah ga ngerti lagi. Tapi setidaknya, gue udah nulis jawabannya,” jawab Damar sambil menyelipkan lembar ujian ke meja.
Tiba-tiba, Rizal yang duduk di belakang, dengan suara pelan, berbisik. “Gue udah selesai jawab semua, nih. Cuma nggak ngerti juga jawabannya bener apa nggak.”
Siska yang sebelumnya diam, tiba-tiba mengangkat tangan dengan penuh percaya diri. “Eh, kalian pada yakin nggak kalau soal ini bener? Soalnya gue kayak nggak bisa mikir lagi.”
Semua orang di kelas seolah terjebak dalam kesunyian yang nggak nyaman. Tugas, ujian, laporan, semuanya seperti terhampar di depan mereka. Seorang teman yang duduk di belakang berbisik, “Lo nggak sendirian, kok. Kita semua merasain hal yang sama.”
Namun, yang bikin mereka semakin stress adalah kenyataan kalau mereka semua harus menghadapi laporan PKL yang nggak selesai, sementara tugas di sekolah semakin menumpuk. Setelah ujian selesai, mereka kembali bergegas ke ruang praktik, karena tidak ada waktu untuk santai.
“Lo pikir kita bisa ngeles dari laporan PKL yang sebentar lagi harus dikumpulin?” tanya Rizal saat berjalan menuju ruang praktik.
Siska cuma menghela napas. “Nggak ada jalan keluar, Riz. Kita harus kelarin ini.”
Damar yang sudah merasa cemas kembali meraih laptopnya. “Gue cuma berharap laptop ini bisa bekerja lebih cepat daripada pikiran gue. Semoga hari ini kita bisa sedikit tenang dan bisa mengerjakan tugas-tugas ini tanpa nangis.”
Satu per satu, teman-temannya kembali ke ruang praktik dengan kepala yang semakin pening. Kelas semakin dipenuhi oleh tumpukan laporan yang menanti untuk selesai. Tugas yang tidak kunjung berakhir semakin mengikat mereka dalam putaran yang tak ada habisnya.
Di tengah kesibukan itu, Damar akhirnya menemukan sedikit pelipur lara. “Satu hal yang pasti,” ujar Damar dengan senyum kecut, “kita semua akan melewatinya. Setidaknya kita bisa ketawa bareng-bareng pas tugas ini beres, kan?”
Vera mengangguk setuju, meski matanya terlihat sangat lelah. “Bener juga, Dam. Kita harus tetep ketawa meski tugasnya segunung. Setidaknya, kalau kita nggak bisa ngeles dari semua ini, kita bisa ngelakuin satu hal: tetep jadi teman yang saling bantu.”
Tugas-tugas tetap menanti, laporan PKL semakin menumpuk, dan ujian yang berat belum selesai. Tapi satu hal yang pasti: mereka masih bisa tertawa. Karena, meski dunia SMK penuh dengan PR, tugas, dan ujian, mereka tahu bahwa persahabatan adalah pelipur lara di tengah segala kekacauan itu.
Selesai, Tapi Mulai Lagi
Hari-hari yang melelahkan akhirnya sampai pada titik yang mereka nanti-nanti. Setelah melewati ujian matematika yang membingungkan, laporan PKL yang bagaikan gunung es yang nggak ada habisnya, dan tugas yang seakan nggak pernah selesai, hari ini adalah hari terakhir mereka menyerahkan semua laporan.
Damar, yang sudah berminggu-minggu terbebani oleh tugas dan laporan, duduk di meja dengan ekspresi yang lebih rileks dari biasanya. Laptop di depannya sudah menampilkan halaman terakhir laporan PKL yang akhirnya bisa dia selesaikan. Tentu saja, ada sedikit kelegaan, meski tetap ada rasa cemas yang tak terelakkan.
“Udah selesai, Dam? Gue kira lo bakal ngelarin laporan ini sampe tahun depan,” Siska berkata sambil melihat Damar yang tersenyum lega.
Damar melirik sekilas ke layar. “Akhirnya, Sis. Tapi gue yakin masih ada kesalahan di sini. Kalau ada yang dipotong poin, gue bakal nangis.”
Siska cuma mengangkat bahu. “Ya udah, yang penting udah diserahin. Lo udah berusaha keras kok, nggak perlu khawatir.”
Di sisi lain, Rizal dan Vera juga akhirnya menyelesaikan laporan mereka. Meskipun agak terburu-buru dan ada beberapa bagian yang masih terlihat asal-asalan, mereka semua tahu ini adalah kemenangan kecil yang nggak boleh dianggap remeh.
“Yah, gue udah capek banget. Tapi setidaknya kita bisa momen-momen ini bareng, kan?” Rizal berkata, sambil menyerahkan laporan ke meja pengumpulan. “Gue nggak peduli kalau salah, yang penting gue udah selesai.”
Vera menggelengkan kepala. “Lo sih, Riz, kalau urusan ngerjain tugas suka main asal aja. Coba lo belajar sedikit dari Damar, tuh.”
Damar cuma tertawa kecil, “Gue sih nggak masalah kalau temen-temen gue nggak sempurna, yang penting kita udah bareng-bareng ngelewatin semua ini.”
Mereka berlima akhirnya berdiri dan menuju ruang pengumpulan tugas. Ada rasa lega di hati mereka. Tugas yang menumpuk selama ini akhirnya bisa mereka selesaikan, meski tak semuanya sempurna. Mereka tahu, di dunia SMK yang penuh dengan kerja praktek, laporan, dan ujian, mereka tak selalu bisa meraih kesempurnaan. Tapi satu hal yang mereka pelajari: perjalanan itu lebih berarti daripada hasil akhirnya.
Di ruang pengumpulan, Pak Asep yang sudah berdiri menunggu hanya tersenyum melihat mereka menyerahkan laporan. “Bagus, anak-anak. Saya lihat kalian sudah berusaha keras. Walaupun nggak sempurna, yang penting kalian sudah mencoba.”
“Pak, semoga ini cukup buat nilai, deh,” ujar Rizal sambil sedikit bercanda, meskipun di dalam hati masih ada kecemasan.
Pak Asep tertawa ringan. “Cukup, cukup. Yang penting kalian belajar. SMK ini bukan cuma soal nilai, tapi juga soal pengalaman. Kalian pasti berkembang lebih jauh kalau bisa menyelesaikan tantangan seperti ini.”
Mereka keluar dari ruang pengumpulan dengan rasa lega yang luar biasa. Ketegangan yang menggantung selama ini akhirnya pecah, dan sekarang mereka bisa merasakan hasilnya. Waktu istirahat yang singkat terasa sangat berharga, dan mereka berencana untuk menikmatinya.
“Lo pada mau kemana abis ini? Gue butuh tidur seharian,” Rizal berkata dengan suara berat, seakan-akan seluruh beban dunia ada di bahunya.
Siska hanya mengangguk. “Jangan harap tidur, Riz. Gue malah mau beli cemilan. Nggak bisa hidup kalau nggak ada cemilan setelah semua ini.”
Vera tersenyum. “Gue sih cuma butuh ketawa. Tugas-tugas itu kayak racun, tapi kita bisa ketawa buat ngelewatin semua itu.”
“Ya udah, gue ikut deh,” jawab Damar sambil mengeluarkan ponselnya. “Tapi setelah itu, gue janji nggak mau lihat laptop untuk seminggu ke depan.”
Saat mereka berjalan keluar kelas, suasana di sekolah terasa sedikit lebih ringan. Walaupun tugas-tugas dan laporan tetap akan ada, mereka tahu bahwa mereka bisa kembali menghadapinya dengan lebih kuat. Karena satu hal yang pasti, mereka selalu punya satu sama lain—teman-teman yang bisa diajak ketawa, berjuang bersama, dan yang pasti, selalu ada buat membantu dalam kesulitan.
Di tengah tawa dan canda mereka, Damar menyadari satu hal: perjuangan itu nggak pernah berhenti, tapi selama kita bersama, semua tantangan pasti bisa dihadapi. Tugas, ujian, laporan—itu semua cuma bagian dari perjalanan mereka yang panjang.
“Udah kelar semua, kan?” Damar menatap teman-temannya. “Tapi tenang aja, setelah ini bakal ada tantangan baru lagi. SMK itu kayak hidup, nggak pernah berhenti menantang.”
Rizal tertawa keras. “Ya iyalah, Dam. Gue udah siap aja ngadepin apapun. Asal, kita bisa ketawa bareng.”
Mereka melangkah keluar dari sekolah, dengan senyum lebar di wajah masing-masing, siap menghadapi dunia nyata, yang penuh dengan tugas baru dan tantangan lain yang tak terduga. Tapi satu hal yang pasti: mereka tak akan pernah menghadapi semuanya sendirian.
Karena, selama mereka bersama, nggak ada yang nggak bisa dilewati.
Udah, gitu aja ceritanya. Memang sih, tugas dan ujian nggak bakal berhenti datang, tapi selama masih ada teman yang bikin kamu ketawa, semuanya pasti bisa dilewatin.
Karena hidup anak SMK itu kayak gitu—penuh tantangan, tapi juga penuh tawa. Semoga cerpen ini bisa sedikit ngebantu kamu buat ngerasa kalau kamu nggak sendirian dalam perjuangan ini! Jadi, jangan takut buat hadapin hari esok, selagi kamu punya teman yang solid. Semangat terus, ya!


