Daftar Isi
Pernahkah kamu merasa seperti ada di dunia yang bergerak begitu cepat, sementara kamu hanya diam dan terlupakan? Itu yang dirasakan oleh Sena, sosok yang selalu hadir untuk orang lain, tapi tak pernah dianggap benar-benar ada.
Dalam cerita ini, kamu akan diajak menyelami perjalanan Sena yang akhirnya memilih untuk berhenti mengorbankan dirinya demi orang lain. Gimana kisahnya? Baca terus, siapa tahu kamu menemukan sesuatu yang bisa membuat kamu lebih menghargai diri sendiri.
Ketika Dunia Tak Peduli
Bayangan Diantara Mereka
Pagi di kantor selalu sama bagi Sena. Masuk lebih awal, menyiapkan meja kerja, menyusun berkas, lalu berakhir dengan melakukan pekerjaan yang bukan miliknya.
“Sen, aku nitip input data ini, ya? Aku ada meeting,” kata Mita sambil menaruh setumpuk kertas di meja Sena tanpa menunggu jawaban.
Belum sempat Sena menyentuh keyboard, Arya datang, menyandarkan tubuh di cubicle Sena dengan wajah memelas. “Aku telat bikin laporan buat Pak Surya. Kamu bisa bantuin, kan?”
Sena menatap layar komputernya. Pekerjaannya sendiri belum selesai, tapi tatapan Arya seolah sudah menganggapnya mengiyakan.
“Yaudah, kirim datanya ke aku,” jawab Sena, pelan.
Arya tersenyum lebar. “Asik! Makasih ya, Sen. Aku traktir kopi nanti.”
Sena tahu, kopi itu tidak akan pernah datang.
Di dalam ruangan yang penuh suara tuts keyboard dan gemuruh AC, hanya suara Sena yang tidak pernah terdengar. Ia bekerja dalam diam, jarinya menari di atas keyboard, sementara yang lain sibuk dengan hal lain—terkadang hanya bersantai, bercanda, atau mengeluh kelelahan setelah pulang makan siang yang panjang.
Waktu bergulir. Jam pulang sudah dekat. Satu per satu karyawan mulai berkemas, beberapa bercermin, merapikan rambut, berdiskusi tentang tempat makan malam.
“Sen, kamu pulang jam berapa?” tanya Fira, yang baru kembali dari luar.
Sena menoleh sekilas. “Nanti, masih ada yang harus aku selesaikan.”
Fira mengangguk, tidak benar-benar peduli. “Oke deh. Aku duluan, ya!”
Seperti biasa, Sena yang terakhir meninggalkan kantor.
Di rumah, keadaan tidak lebih baik.
Raka duduk di sofa dengan kaki selonjoran, menonton TV dengan volume nyaris memekakkan telinga. Mira, istrinya, sedang mengaduk teh di meja makan. Mereka bahkan tidak menoleh saat Sena masuk.
“Kamu beli bahan makanan, kan?” tanya Mira tanpa basa-basi.
Sena meletakkan tasnya dengan pelan. “Nggak sempat. Aku pulang telat.”
Mira mendengus. “Ya ampun, gimana sih? Aku udah niat masak, tapi bahannya nggak ada. Ya udah, kita beli makan di luar aja, Rak.”
Raka hanya mengangguk tanpa lepas dari layar TV. “Iya, sekalian pesan buat aku, ya.”
Tidak ada yang menawari Sena. Tidak ada yang menanyakan apakah dia sudah makan atau belum.
Sena menatap punggung keduanya yang semakin menjauh, meninggalkan rumah dengan santai. Napasnya berat, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain melepas sepatunya dan masuk ke kamar, seperti yang selalu ia lakukan setiap hari.
Sendirian.
Di tempat yang seharusnya menjadi rumahnya, ia hanya seperti penghuni sementara—bukan seseorang yang keberadaannya benar-benar berarti.
Dunia yang Tak Melihat
Pagi yang biasa kembali menyambut Sena. Langit masih kelabu, hujan gerimis, dan dia sudah berada di kantor lebih awal seperti biasa. Meja kerjanya sudah rapi, berkas yang belum selesai semalam kini tertata dengan rapi. Semua beres, tapi perasaan yang menyesakkan itu masih ada—di dalam dirinya.
Hari ini, sakit mulai merayap ke tubuhnya. Kepala Sena pusing, tubuhnya terasa lelah sekali, tapi dia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Tangannya tetap mengetik, meski matanya mulai berkunang-kunang.
Mita datang lagi, seperti biasanya, tanpa ada ucapan terima kasih. “Sen, aku ada rapat. Bisa tolong ambilkan kopi dari kedai depan?”
Sena mengangguk, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa beratnya kepala ini. “Iya, nanti aku ambilkan.”
Langkah Sena terasa lambat saat menuju kedai kopi yang tak jauh dari kantor. Setiap langkah seperti ada beban tambahan yang mengikat tubuhnya. Suara hujan yang jatuh di aspal menyatu dengan detak jantung yang semakin cepat. Di tengah jalan, Sena berhenti sejenak, menyandarkan tubuh pada dinding beton.
Kenapa rasanya dunia ini begitu berat? Seperti semuanya hanya berputar di sekitar orang lain, dan dia hanya ada untuk menjadi pelengkap.
Ketika kembali ke kantor dengan segelas kopi hangat, Mita hanya meliriknya sekilas, lalu mengambil kopi tersebut tanpa berterima kasih. “Thanks, ya.” Itu saja.
Sena kembali duduk di mejanya, menatap layar komputer yang penuh dengan pekerjaan yang tak pernah habis. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul dua siang, dan perutnya mulai keroncongan. Ia sudah lupa kapan terakhir kali makan siang dengan tenang, atau bahkan mengingat untuk makan dengan teratur.
Arya datang, seperti biasa. “Sen, kamu nggak ikut makan siang? Aku baru aja mau pergi nih.”
Sena menatapnya, sedikit bingung. “Aku nggak terlalu lapar. Ada yang perlu dibantu?”
“Yaudah, deh, kalau gitu.” Arya melangkah pergi tanpa ragu, tidak menunggu respons lebih dari itu.
Sena tersenyum lemah, tetapi senyum itu cepat menghilang saat melihat punggung Arya yang semakin menjauh.
Pulang kerja lebih awal rasanya seperti pelarian yang tak terjangkau. Kepala Sena semakin pusing, tubuhnya makin lemah, dan udara yang dingin membuatnya menggigil. Dia berjalan pulang dengan langkah yang lebih lambat dari biasanya, menahan sakit di dada.
Raka dan Mira masih di rumah, seperti hari-hari sebelumnya. Raka duduk di sofa, bermain dengan ponselnya, sementara Mira sibuk dengan masakan di dapur. Mereka tidak menoleh pun saat Sena masuk.
Mira membuka kulkas, mengambil bahan-bahan yang sudah dibeli, dan kemudian mulai memasak. “Sena, kalau mau makan, makan aja. Tapi jangan ganggu aku.”
Sena hanya mengangguk, menanggapi dengan senyum tipis yang sebenarnya tak ada artinya. Dia duduk di meja makan, menatap piring kosong yang ada di depannya. Semua yang dilihatnya terasa seperti kabut—buram dan kabur.
Ponsel Sena bergetar. Sebuah pesan dari Mita:
“Sen, aku ada masalah, bisa bantu?”
Tanpa berpikir panjang, Sena segera membalas.
“Apa masalahnya?”
Mita membalas dengan cepat. “Laporan ini harus selesai besok, aku bingung mau gimana. Bisa bantu selesaikan?”
Sena menghela napas, merasakan kepalanya semakin berat. Ia ingin mengatakan tidak, ingin mengatakan bahwa dia juga kelelahan, tetapi ia tahu. Mita akan marah, dan dia tidak ingin itu. Lagi-lagi, dia mengalah.
“Oke, aku bantu.”
Hujan di luar semakin deras, dan Sena kembali tenggelam dalam pekerjaan yang tak pernah habis. Tidak ada yang peduli bagaimana dia merasa—tidak ada yang peduli bahwa dia sudah lelah, bahwa tubuhnya sudah menjerit meminta berhenti. Dunia hanya berjalan tanpa mempedulikannya.
Menghilang Tanpa Jejak
Hari itu, hujan turun lebih deras dari sebelumnya. Sena merasa pusingnya semakin menjadi. Setiap langkah terasa seperti mengangkat beban yang tak terlihat. Namun, ia tetap pergi ke kantor, seperti biasanya. Entah apa yang membuatnya terus bertahan, meskipun ia tahu dunia tak pernah memberi ruang untuknya.
Satu per satu rekan kerjanya datang dan pergi, menghabiskan waktu, meluncurkan permintaan, meninggalkan tumpukan pekerjaan di meja Sena. Tak ada yang menoleh. Tak ada yang menyadari bagaimana tubuh Sena semakin menurun.
Mita, Arya, bahkan Fira—semua datang, berbicara, meminta bantuan. Dan Sena selalu menjawab dengan “iya” meski hatinya ingin berteriak.
Hari itu, entah mengapa, Sena merasa semakin lelah. Sakit di tubuhnya makin menjadi. Namun ia bertahan, berusaha menyelesaikan apa yang diminta orang lain, meski tubuhnya hanya ingin terbaring.
Jam berlalu, dan kantor semakin sepi. Hanya beberapa orang yang masih duduk di depan komputer, termasuk Sena. Waktu terus bergerak, tapi tidak ada yang peduli. Tidak ada yang menanyakan apakah dia sudah makan, atau apakah dia baik-baik saja.
Seperti biasa, malam pun datang. Sena menatap layar komputer yang kini penuh dengan laporan yang harus diselesaikan. Namun entah mengapa, matanya mulai kabur. Kepala terasa berputar, dan ia hampir terjatuh dari kursinya.
Ia menyandarkan tubuh di meja, memejamkan mata untuk sejenak. Namun suara di luar ruangan semakin terdengar jelas. Beberapa rekan sedang bersiap pulang, berbicara tentang rencana makan malam atau berkumpul dengan teman-teman mereka.
Tidak ada satu pun yang menyadari bahwa di meja yang sepi ini, Sena sedang berjuang.
Saat ia membuka mata, pandangannya terarah ke pintu keluar. Beberapa kolega masih terlihat, sibuk dengan percakapan mereka. Tertawa, bercanda, tanpa sedikit pun memikirkan siapa yang membantu mereka sepanjang hari.
Sena memutuskan untuk tidak peduli. Ia mengumpulkan barang-barangnya, merapikan meja tanpa suara, dan beranjak pergi.
Langkahnya terasa begitu berat saat menuju pintu keluar. Namun, kali ini, ia tidak merasa ingin kembali.
Di luar kantor, hujan semakin lebat. Jalanan penuh genangan air, lampu jalan berpendar samar di kejauhan. Sena berjalan tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas. Dia hanya ingin menjauh.
Sesampainya di rumah, tidak ada yang berubah. Raka dan Mira masih seperti biasa, sibuk dengan dunia mereka sendiri. Raka lebih fokus pada TV, sementara Mira merapikan dapur. Tak ada yang menyadari betapa lelahnya Sena, betapa sakit tubuhnya, betapa kosong hatinya.
Sena pergi ke kamarnya, melepas sepatunya dengan gerakan lambat. Badannya terasa rapuh, tapi ia menahan perasaan itu. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin yang tergantung di dinding.
Untuk pertama kalinya, Sena merasa kosong—benar-benar kosong. Tidak ada yang membuatnya merasa berarti. Ia bukan lagi bagian dari kehidupan siapa pun.
Seiring malam semakin larut, Sena merasakan sesuatu yang berbeda. Ia menatap ponselnya, lalu menekan tombol untuk menghubungi Mita.
Namun, sebelum ia sempat menekan nomor itu, Sena berhenti.
Kenapa?
Kenapa harus ada lagi? Kenapa harus ada lagi orang yang meminta sesuatu darinya, sementara ia sendiri merasa tidak memiliki apa-apa?
Ia menatap layar ponsel yang mati suri, dan dengan langkah perlahan, meletakkannya di meja.
Hari-hari ini terasa seperti rutinitas tanpa akhir. Sebuah siklus yang tidak pernah berujung. Sena merasa seolah-olah dia sudah mulai menghilang.
Tanpa jejak.
Seperti angin yang datang dan pergi begitu saja, tanpa ada yang tahu.
Malam itu, Sena memutuskan sesuatu. Ia tidak akan memulai hari esok seperti biasa. Tidak lagi. Ia ingin berhenti, bahkan jika dunia ini tidak akan tahu atau peduli.
Di tengah kesunyian kamar yang hening, Sena menutup mata. Mungkin dunia tidak akan peduli jika ia hilang. Mungkin itu lebih baik.
Bukan Senja Lagi
Pagi datang dengan cara yang berbeda. Bukan lagi dengan kegelisahan atau rutinitas yang menekan. Pagi ini terasa hening, seakan dunia berhenti sejenak, memberi waktu untuk bernafas.
Sena bangun dari tiduran yang nyenyak, meskipun tubuhnya masih terasa lelah. Tetapi, ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Ada ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menyadari bahwa ia tidak harus selalu ada untuk orang lain. Dunia ini tidak akan berhenti berputar hanya karena ia tidak ada di dalamnya.
Hari itu, ia memilih untuk tidak pergi ke kantor. Tiba-tiba, rasa sakit yang ia rasakan semalam menjadi begitu jelas. Ia butuh waktu untuk dirinya sendiri. Waktu untuk berhenti berpikir tentang pekerjaan, tentang orang lain, tentang apa yang mereka inginkan darinya.
Sena duduk di ruang tamu, menatap hujan yang masih turun dengan deras di luar. Langit kelabu, dan dunia terasa jauh dari hiruk-pikuk yang biasa ia jalani. Dalam keheningan itu, ia merasakan sesuatu yang sudah lama hilang: dirinya sendiri.
Ia menarik napas panjang, melepaskan semua beban yang pernah ia bawa. Selama ini, ia hidup dengan melayani orang lain, tetapi kali ini, ia memilih untuk berhenti. Tidak ada lagi yang bisa mengatur atau memanfaatkan dirinya.
Hari itu, dia tidak mengangkat ponsel yang terus bergetar. Tidak ada pesan dari Mita yang meminta tolong, tidak ada panggilan dari Raka atau Mira yang membutuhkan sesuatu darinya. Sena hanya duduk, menikmati keheningan. Ia mulai membaca buku yang sudah lama tidak ia sentuh, menulis beberapa baris di jurnal yang tergeletak di samping tempat tidur.
Di luar, hujan semakin reda, tetapi Sena merasa seperti baru pertama kali benar-benar hidup. Ada rasa lega yang tak terucapkan, seolah ia telah melewati sesuatu yang berat.
Malam tiba, dan Sena berjalan ke balkon rumah, melihat ke luar. Seluruh kota tampak sepi, jalanan basah, dan lampu-lampu jalan memantulkan bayangannya yang samar di genangan air. Sena tersenyum kecil. Tidak ada lagi yang harus ia khawatirkan.
Ia bukan lagi senja yang dilupakan, bukan lagi bayangan yang hanya ada saat orang lain membutuhkan. Ia adalah dirinya sendiri. Dan untuk pertama kalinya, Sena merasa bebas.
Ketika dunia terus bergerak, ia tahu bahwa ia akan tetap ada—tanpa perlu meminta izin dari siapa pun. Tanpa harus mengorbankan dirinya. Dunia mungkin tidak akan mempedulikannya, tetapi ia tahu satu hal pasti: ia akan tetap berdiri di atas kakinya sendiri.
Sena bukan lagi senja yang hilang di balik gelap. Ia adalah cahaya yang memilih untuk bersinar, meskipun dunia tak pernah memintanya untuk melakukannya.
Mungkin kamu merasa seperti Sena—terlalu sering memberi tanpa mendapat kembali. Tapi ingat, kamu juga berhak dihargai, loh. Jangan sampai kamu merasa hilang atau terlupakan hanya karena terus memberi tanpa batas.
Jadi, mulai sekarang, coba deh sesekali berhenti sejenak dan tanyakan pada diri sendiri, Apa yang aku butuhkan? Karena kamu juga berharga, dan dunia nggak akan berputar dengan baik tanpa keberadaanmu. Jadi, sayangilah diri sendiri dulu, sebelum berharap orang lain melakukannya.


