Daftar Isi [hide]
Cerita Seru Penerimaan Siswa Baru
Langkah Pertama di Sekolah Baru
Hari pertama di SMP Cahaya Nusantara dimulai dengan keramaian di depan gerbang. Ratusan siswa baru berdatangan, beberapa tampak bersemangat, sementara yang lain gelisah. Ada yang sibuk berbicara dengan teman lama, ada pula yang berdiri sendiri menunggu bel masuk berbunyi.
Di tengah keramaian itu, seorang anak laki-laki melangkah masuk dengan langkah santai. Arka Wiratama, dengan rambut sedikit berantakan dan ransel yang disandang satu tali di bahu, tidak menunjukkan ekspresi berlebihan seperti kebanyakan siswa baru lainnya. Tidak terlalu antusias, tapi juga tidak terlihat canggung. Ia hanya ingin melewati hari ini tanpa ribut-ribut yang tidak perlu.
Tapi, rencana itu langsung berantakan dalam hitungan detik.
“Eh, awas!”
Seseorang menabraknya dari samping. Arka nyaris kehilangan keseimbangan, dan buku catatan yang ia pegang terjatuh ke lantai.
“Maaf! Aku nggak lihat jalan!” suara cewek itu terdengar jelas di telinga Arka.
Arka menatap anak perempuan berambut pendek yang sekarang berjongkok, buru-buru mengambil bukunya yang terjatuh. Wajahnya penuh ekspresi ceroboh, tapi tidak tampak merasa bersalah.
“Nih,” katanya sambil menyerahkan buku itu. “Maaf, ya.”
Arka mengambilnya tanpa banyak bicara. “Iya.”
“Nama kamu siapa?” tanyanya tanpa basa-basi.
Arka menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Arka.”
“Oh! Aku Zira Mahendra. Kita sekelas, lho!” katanya dengan semangat yang agak berlebihan.
Arka mengerutkan kening. “Dari mana kamu tahu?”
“Aku lihat daftar kelas di papan tadi! Kelas 7B, kan?”
Sebelum Arka sempat merespons, bel sekolah berbunyi. Suasana yang tadinya ramai seketika berubah—semua siswa baru langsung bergerak masuk ke aula untuk mengikuti acara penyambutan.
Aula yang Riuh
Di dalam aula, suara bisik-bisik memenuhi ruangan saat siswa baru mencari tempat duduk masing-masing. Arka memilih duduk di barisan tengah, berharap bisa menghindari pusat perhatian. Tapi, Zira lagi-lagi muncul di sebelahnya dengan senyum lebar.
“Kita duduk sini aja, ya!” katanya sambil meletakkan tasnya di kursi.
Arka tidak menjawab, tapi juga tidak keberatan.
Tak lama, seorang anak laki-laki berkacamata dengan wajah serius duduk di sebelah Zira. “Boleh duduk di sini?” tanyanya, meskipun sudah menarik kursi tanpa menunggu jawaban.
Zira mengangguk cepat. “Tentu! Nama kamu siapa?”
“Danu Raditya.”
Arka meliriknya sekilas. Danu tampak seperti anak yang pintar, tipe orang yang lebih suka membaca buku daripada bermain bola di lapangan.
Sebelum percakapan berlanjut, kepala sekolah naik ke podium dan memberikan sambutan panjang tentang bagaimana mereka harus disiplin, rajin belajar, dan menjaga nama baik sekolah.
Arka tidak terlalu memperhatikan. Ia lebih fokus mengamati sekelilingnya. Beberapa siswa tampak mendengarkan dengan serius, tapi banyak juga yang sibuk berbicara pelan dengan teman-temannya.
Di sampingnya, Zira berbisik, “Dengar-dengar kantinnya enak banget, lho. Abis ini kita ke sana, yuk?”
Arka hanya mengangkat bahu.
Danu menimpali, “Katanya, kalau telat antre, makanannya habis duluan.”
Zira menoleh cepat. “Wah, gawat! Kita harus buru-buru, dong!”
Arka hanya menghela napas. Sepertinya hari pertama ini tidak akan berjalan tenang seperti yang ia harapkan.
Teman Baru, Cerita Baru
Begitu acara penyambutan selesai, aula berubah menjadi lautan siswa yang bergerak ke berbagai arah. Beberapa masih sibuk ngobrol, sementara yang lain bergegas keluar.
“Kantin! Sekarang!” Zira langsung menarik lengan Arka dengan semangat berlebihan.
Arka menghela napas. “Jangan tarik-tarik.”
“Tapi kata Danu, kalau telat kita bakal kehabisan makanan!” Zira bersikeras.
Danu yang berjalan di sebelah mereka menyesuaikan kacamatanya. “Bukan mitos. Beberapa senior bilang, yang paling enak pasti habis dalam sepuluh menit pertama istirahat.”
Arka sebenarnya tidak peduli soal makanan kantin, tapi melihat Zira begitu semangat, ia akhirnya menurut saja. Mereka bertiga segera keluar dari aula dan berjalan cepat menuju kantin.
Saat tiba di sana, antrean sudah mulai terbentuk. Beberapa siswa tampak berdiri ragu-ragu, memikirkan mau membeli apa, sementara yang lain sibuk bercanda dengan teman-temannya.
Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang anak laki-laki dengan jaket oversized dan rambut gondrong berdiri santai, tangannya terselip di saku celana. Ia menoleh ke arah mereka dan tersenyum santai.
“Kalian anak baru, ya?” tanyanya.
Zira, seperti biasa, langsung menyahut. “Yap! Aku Zira, ini Arka, dan ini Danu!”
Anak itu mengangguk paham. “Gue Reksa Wijaya. Gue kasih tahu aja, di kantin ini ada aturan tak tertulis.”
Arka mengangkat alis. “Aturan?”
“Siapa cepat, dia dapat.” Reksa terkekeh. “Kalau lambat, ya gigit jari.”
Zira langsung panik. “Gawat! Kita harus buru-buru!”
Mereka pun ikut mengantre dengan cepat. Benar saja, tak butuh waktu lama, beberapa menu favorit mulai habis. Untungnya, mereka masih kebagian beberapa makanan. Zira dengan senangnya membawa sepiring nasi goreng, Danu mengambil mi ayam, sementara Arka cukup dengan roti dan teh manis.
Mereka duduk bersama di salah satu meja kosong, tepat di dekat jendela.
Reksa ikut duduk di depan mereka, meletakkan es teh jumbo di mejanya. “Kalian dari kelas mana?”
“7B,” jawab Danu singkat.
“Oh, berarti kita beda kelas. Gue di 7D.”
Zira mengangguk. “Serius? Wah, padahal seru kalau kita sekelas!”
Reksa tertawa. “Tenang aja, kita tetep bisa nongkrong bareng. Apalagi kalau di kantin.”
Arka tidak banyak bicara, tapi ia mulai menyadari sesuatu—hari pertama ini jauh lebih ramai dari yang ia perkirakan. Ia pikir, ia bakal melewati semuanya sendirian, tapi sekarang, tanpa sadar, ia sudah duduk bersama beberapa teman baru yang anehnya… asik.
“Jadi,” Reksa menyesap tehnya. “Besok kita makan bareng lagi, kan?”
Zira langsung mengangguk penuh semangat. “Pastinya!”
Arka hanya tersenyum tipis. Sepertinya, sekolah ini tidak akan seburuk yang ia kira.
Tantangan yang Menguji Kekompakan
Hari-hari berlalu, dan tanpa disadari, pertemanan Arka, Zira, Danu, dan Reksa semakin erat. Mereka selalu duduk berdekatan di kelas, makan siang bersama di kantin, dan bahkan mulai terbiasa pulang bareng.
Namun, sesuatu yang menarik terjadi pada minggu kedua mereka di sekolah.
Di pagi yang sedikit mendung, wali kelas mereka, Bu Rina, berdiri di depan kelas dengan senyum penuh arti.
“Anak-anak, ada pengumuman penting,” katanya sambil menatap seluruh kelas. “Minggu ini, sekolah akan mengadakan Lomba Petualangan Siswa Baru.”
Seluruh kelas langsung heboh. Beberapa anak mulai berbisik-bisik, yang lain tampak penasaran.
“Lombanya akan menguji kekompakan kalian dalam berbagai tantangan. Kalian akan dibagi menjadi kelompok berisi empat orang, dan setiap kelompok harus bekerja sama untuk menyelesaikan semua tugas.”
Zira langsung menoleh ke Arka dan Danu dengan mata berbinar. “Kita harus ikut!”
Arka menatapnya datar. “Serius?”
“Ya, dong!” Zira mengangguk cepat. “Ini kesempatan buat seru-seruan! Lagi pula, kita udah cocok jadi tim, kan?”
Danu berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Kalau sistemnya butuh strategi, aku bisa bantu.”
“Reksa harus masuk tim kita juga,” tambah Zira.
Mereka pun segera mencari Reksa di kantin saat istirahat. Begitu mendengar ide Zira, Reksa langsung terkekeh. “Lomba? Gue sih nggak masalah. Selama ada tantangan fisik, serahkan aja ke gue.”
Akhirnya, mereka resmi menjadi satu tim dan mendaftarkan diri.
Hari Lomba Dimulai
Pada hari lomba, suasana sekolah berubah menjadi penuh semangat. Setiap tim mendapatkan peta sekolah yang telah diubah menjadi area permainan. Ada pos-pos tantangan yang harus mereka selesaikan untuk mendapatkan poin.
Tantangan pertama mereka adalah menyusun puzzle raksasa.
“Ini gampang,” kata Danu sambil memperhatikan potongan puzzle yang berantakan. “Kita harus mulai dari sudut dulu.”
Zira mulai mengambil beberapa potongan, sementara Reksa membantu mencari pola yang cocok. Arka diam sejenak, lalu ikut menyusun di bagian tengah.
Lima menit kemudian, puzzle mereka selesai lebih dulu dibanding kelompok lain.
“Tantangan selanjutnya, ayo!” seru Zira penuh semangat.
Mereka berlari menuju pos kedua, di mana mereka harus menyusun piramida dari gelas plastik menggunakan karet gelang dan benang.
Danu mengatur strategi. “Zira dan Arka pegang ujung benang. Reksa, kamu fokus mengarahkan.”
Dengan sedikit usaha dan koordinasi, mereka berhasil menyusun piramida tanpa menjatuhkannya.
Saat lomba berlanjut, mereka semakin menyadari bahwa masing-masing memiliki kelebihan sendiri. Danu unggul dalam strategi, Zira selalu bersemangat dan memberi energi positif, Reksa kuat dalam tantangan fisik, dan Arka… ternyata cukup cerdas dalam membaca situasi.
Tantangan terakhir mereka adalah menemukan jalan keluar dari labirin sekolah.
“Arah mana?” tanya Reksa, sedikit terengah.
“Kiri!” kata Zira spontan.
“Tunggu,” potong Danu sambil melihat peta. “Kalau kiri, kita bakal mentok. Harusnya kanan.”
“Kita butuh suara terbanyak. Arka?”
Arka berpikir sejenak. “Aku rasa Danu benar. Kanan lebih masuk akal.”
Akhirnya, mereka memilih kanan—dan benar, mereka berhasil keluar lebih cepat dari tim lain.
Begitu mencapai garis akhir, mereka mendengar pengumuman:
“Selamat kepada tim Arka, Zira, Danu, dan Reksa! Kalian memenangkan lomba dengan poin tertinggi!”
Mereka saling berpandangan, lalu tertawa bersama. Tidak ada yang menyangka bahwa hari ini akan se-seru ini.
Arka menatap teman-teman barunya. Ia mungkin datang ke sekolah ini sendirian, tapi sekarang… ia punya tim yang luar biasa.
Sahabat Selamanya
Setelah pengumuman kemenangan mereka, Arka dan timnya berjalan ke arah lapangan dengan napas masih sedikit tersengal. Meski lelah, mereka semua tampak puas.
“SERU BANGET!” Zira hampir melompat kegirangan. “Nggak nyangka kita bisa menang!”
Reksa menepuk punggung Arka dengan tawa. “Gila sih, bro. Gue kira lo tipe pendiem yang nggak peduli sama hal-hal begini, tapi tadi lo lumayan jago!”
Arka hanya mengangkat bahu sambil tersenyum kecil. “Nggak ada salahnya ikut bermain kalau timnya asik.”
Danu menyusun kacamatanya yang sedikit melorot. “Strategi kita tadi berjalan dengan baik. Untung Arka setuju buat ambil jalur kanan di labirin.”
Zira menunjuk Arka sambil menyipitkan mata. “Jujur, tadi kamu yakin atau cuma ikut-ikutan Danu?”
Arka terkekeh pelan. “Yakin dikit, ikut-ikutan dikit.”
Mereka tertawa bersama. Tak terasa, dari sekadar teman sekelas yang bertemu secara kebetulan, mereka kini sudah menjadi tim yang solid.
Begitu upacara penutupan lomba selesai, mereka kembali ke kantin untuk merayakan kemenangan kecil mereka. Reksa, dengan santainya, memesan es teh jumbo seperti biasa.
“Pokoknya, mulai sekarang kita harus tetap satu tim dalam hal apa pun,” kata Zira sambil menyendok nasi gorengnya.
“Aku setuju,” kata Danu, “Tapi dengan syarat, jangan bertindak tanpa strategi yang jelas.”
Reksa tertawa. “Danu banget, sih. Tapi ya, gue juga setuju. Tim kita udah cocok, kalau bisa, nggak cuma buat lomba, tapi buat hal lain juga.”
Arka mengamati mereka satu per satu. Beberapa minggu yang lalu, ia mengira hari pertama sekolahnya bakal biasa saja—mungkin malah membosankan. Tapi kenyataannya? Ia malah menemukan teman-teman yang gila, seru, dan ternyata… bisa diandalkan.
Zira menoleh ke Arka. “Eh, kamu diem aja dari tadi. Gimana? Setuju nggak kalau kita tetap satu tim?”
Arka menyandarkan punggungnya ke kursi, menyesap teh manisnya, lalu tersenyum tipis.
“Setuju.”
Mereka kembali tertawa bersama.
Dan sejak hari itu, bukan hanya sekadar teman baru yang mereka temukan di sekolah ini. Tapi sahabat—sahabat yang akan terus bersama, entah dalam tantangan, petualangan, atau sekadar menikmati es teh jumbo di kantin sekolah. Tamat.
Jadi, dari yang awalnya cuma teman sekelas, Arka, Zira, Danu, dan Reksa akhirnya jadi sahabat yang selalu kompak dalam segala situasi.
Cerita mereka nggak cuma soal serunya masuk sekolah baru, tapi juga tentang persahabatan yang tumbuh lewat tantangan dan petualangan seru bareng-bareng. Bisa jadi, kisah mereka mengingatkan kamu sama pengalamanmu sendiri, kan?