Daftar Isi
Denger cerita ini, dijamin nggak bakal bikin kamu cuma diem doang. Ini adalah kisah tentang Ghara, seorang anak yang sering disebut sinting dan selalu dibuli di sekolah.
Tapi, siapa sangka, di balik semua itu, dia menyimpan bakat luar biasa yang nggak pernah dihargai. Kalau kamu pikir ini cerita biasa, siap-siap deh terenyuh karena Ghara bukannya makin semangat, malah makin terluka. Mau tahu kelanjutannya? Yuk, baca ceritanya sampai habis!
Si Anak Sinting yang Jenius
Sekolah Tidak Menerimaku
Pagi itu, suasana kelas sepuluh IPS 2 lebih ramai dari biasanya. Bukan karena ada ulangan mendadak atau pengumuman penting dari guru, tetapi karena kabar yang sejak semalam sudah menyebar luas di grup WhatsApp murid-murid sekolah.
“Seriusan? Ada orang gila masuk sekolah kita?” bisik salah satu murid perempuan sambil berusaha menahan tawa.
“Aku denger, dia nggak punya orang tua. Entah siapa yang biayain sekolahnya,” balas yang lain, suaranya setengah berbisik tapi cukup keras untuk didengar banyak orang.
Pintu kelas terbuka. Seorang pria paruh baya dengan kemeja putih masuk, diikuti oleh sosok yang langsung membuat seluruh kelas sunyi dalam sekejap.
“Anak-anak, ini Ghara,” kata Pak Surya, wali kelas mereka. “Mulai hari ini, dia akan menjadi bagian dari kelas kita.”
Semua pasang mata tertuju pada anak lelaki yang berdiri kaku di samping Pak Surya. Tubuhnya kurus, lebih tinggi dari kebanyakan murid lain, wajahnya kusam dengan rambut berantakan yang sepertinya belum disisir sejak pagi. Seragam putih abu-abunya lusuh dan sedikit kebesaran, seakan bukan miliknya sendiri.
Ghara tidak bicara apa-apa. Tatapan matanya kosong, tidak menatap siapa pun secara langsung, hanya memandang ke depan dengan ekspresi sulit dibaca.
“Hah? Jadi beneran orang gila bisa sekolah di sini?” suara salah satu murid laki-laki terdengar.
Beberapa orang mulai terkekeh, yang lain hanya tersenyum sinis.
Pak Surya menepuk bahu Ghara, lalu menunjuk ke salah satu bangku kosong di belakang. “Silakan duduk.”
Ghara berjalan pelan, melewati tatapan penuh rasa ingin tahu dan ejekan. Saat ia hendak duduk, seseorang sengaja menarik kursinya.
Brak!
Ghara jatuh dengan keras.
Tawa pecah di seluruh kelas.
“Aduh, maaf! Aku nggak sengaja, sumpah!” kata Rendi, si biang kerok di kelas, sambil berpura-pura memasang wajah polos.
Ghara tidak bereaksi. Ia hanya bangkit kembali, mengambil kursinya, dan duduk seperti tidak ada yang terjadi. Tidak marah, tidak protes.
Pak Surya menghela napas panjang. “Cukup. Kalian sudah bukan anak kecil lagi. Saya harap kalian bisa menerima teman baru kalian dengan baik.”
Tentu saja, tidak ada yang mendengarkan.
Hari pertama Ghara di sekolah berjalan seperti yang bisa diduga: buruk.
Saat jam istirahat tiba, tidak ada satu pun yang ingin duduk bersamanya di kantin. Setiap kali ia lewat, orang-orang otomatis menyingkir, seolah-olah ia membawa wabah penyakit.
Di toilet, ia disiram air dari atas bilik oleh sekelompok murid laki-laki.
Di lorong, seseorang dengan sengaja menyenggolnya hingga bukunya jatuh.
“Eh, aku penasaran, dia bisa baca nggak, ya?” celetuk seorang gadis dengan nada mengejek.
Tawa kembali terdengar.
Ghara hanya menunduk, mengambil bukunya, lalu pergi tanpa mengucapkan satu kata pun.
Saat jam pelajaran terakhir, guru matematika membagikan lembar latihan soal. Murid-murid mulai mengerjakan dengan berbagai ekspresi—ada yang serius, ada yang pura-pura pusing, ada juga yang sibuk mencontek dari temannya.
Namun, ada satu orang yang tangannya bergerak cepat, menuliskan angka-angka di kertas dengan lancar tanpa keraguan sedikit pun.
Ayla, yang duduk tidak jauh dari bangku belakang, menoleh tanpa sengaja. Matanya menangkap kertas latihan milik Ghara, dan seketika alisnya mengernyit.
Jawaban Ghara sudah selesai.
Bukan hanya selesai, tapi tulisan tangannya begitu rapi, angka-angkanya tersusun sempurna. Bahkan guru matematika pun tidak bisa secepat itu.
“Apa dia…” Ayla bergumam pelan, tapi belum sempat ia berpikir lebih jauh, seseorang tiba-tiba merebut kertas Ghara.
“Wah, lihat! Orang gila ini ternyata pinter, ya?” Rendi mengangkat kertas itu tinggi-tinggi.
Seluruh kelas menoleh.
Ghara hanya diam, tidak mencoba merebut kembali.
“Jangan-jangan dia jenius yang tersesat,” tambah salah satu murid lain dengan tawa mengejek.
“Tapi tetap aja, dia kan—”
Srekk!
Rendi merobek kertas itu.
Tawa meledak sekali lagi.
Ghara masih tidak bereaksi. Wajahnya tetap datar, tetapi kedua tangannya mengepal di bawah meja, begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Ayla, yang sedari tadi diam, merasa ada sesuatu yang menusuk dadanya.
Kenapa dia nggak melawan? Kenapa dia diam saja?
Kenapa… tak ada satu pun orang yang membelanya?
Malamnya, di sudut kelas yang sudah kosong, hanya ada satu orang yang tersisa.
Ghara duduk di bangku belakang, tubuhnya membungkuk dengan kepala tertunduk.
Tidak ada suara. Tidak ada gerakan.
Hanya sesekali, bahunya bergetar.
Tapi tidak ada yang melihatnya.
Dan besok, semuanya akan terulang kembali.
Tertawan yang Menyakitkan
Hari-hari berlalu, dan tak ada yang berubah.
Ghara tetap menjadi bahan ejekan di setiap sudut sekolah. Tidak ada satu pun yang memandangnya sebagai manusia biasa. Bagaimana bisa? Semua orang sudah terlanjur mencapnya sebagai “orang gila” sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di sini.
Pagi itu, sebelum bel masuk berbunyi, Ayla baru saja meletakkan tasnya di bangku ketika ia melihat sesuatu di dekat tempat sampah kelas.
Tumpukan kertas berserakan di lantai. Saat didekati, ia menyadari bahwa itu adalah buku tulis yang isinya sudah tercoret-coret dengan kata-kata kasar.
“Orang gila.”
“Ghara si sinting.”
“Pulang aja ke rumah sakit jiwa.”
Ayla menghela napas. Ini sudah keterlaluan. Ia tidak perlu bertanya siapa pelakunya, karena jawabannya sudah jelas.
Ia menoleh ke bangku belakang. Ghara ada di sana, duduk diam seperti biasanya, tidak menunjukkan ekspresi apa pun, seakan semua ini tidak ada hubungannya dengan dirinya.
Bukan marah. Bukan sedih. Hanya… kosong.
Ayla menggigit bibirnya.
Kenapa, sih, dia nggak pernah melawan?
Sebuah suara memecah lamunannya.
“Eh, eh, lihat deh, orang gila itu lagi bengong.”
Rendi dan beberapa temannya sudah berkumpul di dekat bangku Ghara.
“Gharaaa~” Rendi memanggil dengan nada mengejek. “Kamu bisa ngomong, nggak, sih? Aku belum pernah dengar suara kamu, deh.”
Beberapa orang terkekeh.
Ghara tidak menoleh.
“Kamu ngerti bahasa manusia, kan?”
Hening.
Rendi tertawa. “Wah, kasihan banget. Kita ngomong sama dia, tapi dia nggak ngerti. Mungkin kita harus ngomong pakai bahasa monyet?”
Tawa semakin keras.
Ayla mengepalkan tangannya di bawah meja.
Sampai kapan ini akan terus terjadi?
Saat jam istirahat, kantin sekolah penuh dengan murid-murid yang sedang mengantre makanan.
Ghara juga ada di sana.
Tapi tidak untuk makan. Ia hanya berdiri di pojok, menunggu semua orang selesai mengambil makanan. Bahkan untuk sekadar berdiri di antrean pun, ia tidak berani.
Ayla melihatnya dari kejauhan.
Kenapa dia harus menunggu sampai kantin sepi?
Jawabannya datang tidak lama kemudian.
Saat Ghara akhirnya berjalan mendekati meja kasir, seorang murid laki-laki pura-pura tersandung dan menabraknya dari belakang.
Brakk!
Nasi dan lauk di tangan Ghara terlempar ke lantai. Piringnya pecah.
Seisi kantin menoleh.
“Ooops! Maaf, maaf! Nggak sengaja!” kata si pelaku sambil tertawa.
Tapi tidak ada niat meminta maaf di wajahnya.
Seorang pegawai kantin bergegas datang. “Aduh, Nak, hati-hati, dong!”
Ghara diam saja. Ia tidak berusaha membela diri, tidak menunjukkan ekspresi marah atau sedih.
Lalu sesuatu yang lebih buruk terjadi.
Rendi datang, membawa segelas es teh, lalu—
Srrtt!
Ia menuangkan minuman itu tepat di atas kepala Ghara.
Gelas plastik jatuh ke lantai, dan tawa pecah di seluruh kantin.
Ghara masih diam. Air mengalir melewati wajahnya, membasahi seragamnya yang sudah lusuh sejak pagi.
Tapi kali ini, matanya tidak kosong.
Ada sesuatu di sana.
Bukan kemarahan. Bukan kesedihan. Tapi… kehancuran.
Ghara membungkuk, mengumpulkan sisa-sisa makanannya yang jatuh, sementara tawa masih memenuhi udara.
Ayla tidak bisa menahan diri lagi.
“APA MASALAH KALIAN?!”
Suasana kantin mendadak sunyi. Semua orang menoleh ke arah Ayla yang berdiri dengan wajah merah padam.
Rendi terkekeh. “Santai aja, Ay. Cuma bercanda, kok.”
“Bercanda?” suara Ayla bergetar. “Kalian pikir ini lucu?”
“Terserah kamu mau mikir apa.” Rendi mengangkat bahu. “Orang kayak dia emang nggak pantes di sini.”
Ghara sudah selesai mengumpulkan makanannya. Tanpa berkata apa pun, ia berdiri dan pergi.
Tanpa melihat ke belakang.
Dan untuk pertama kalinya, Ayla melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Saat Ghara berjalan keluar dari kantin…
Bahunya bergetar.
Dan sebelum benar-benar menghilang di balik pintu, ia mengusap matanya dengan punggung tangan.
Malam itu, di sudut kelas yang gelap, bangku belakang masih ditempati oleh sosok yang sama.
Satu-satunya perbedaan adalah suara.
Suara napas tercekat.
Suara isakan yang tertahan.
Suara seseorang yang terlalu lelah untuk menangis, tapi terlalu sakit untuk berhenti merasakan perihnya.
Dan di tempatnya yang sepi, tanpa siapa pun yang melihat…
Ghara menangis.
Jenius yang Terlupakan
Kejadian di kantin kemarin masih berputar di kepala Ayla.
Bukan karena tawa Rendi dan gengnya. Bukan karena suara es teh yang ditumpahkan ke kepala Ghara.
Tapi karena air mata itu.
Sejak awal, Ghara tidak pernah menunjukkan ekspresi apa pun. Tidak pernah terlihat marah, sedih, atau bahkan tersenyum. Ia selalu diam, seolah segala hinaan yang diterimanya tidak berarti apa-apa.
Namun, kemarin…
Dia menangis.
Bukan tangisan keras atau terisak-isak. Hanya bahunya yang bergetar dan matanya yang sembab.
Dan itu lebih menyakitkan dari apa pun.
Ayla duduk di kelas, menatap bangku belakang yang kosong. Ghara belum datang.
“Apa dia nggak masuk?” gumamnya pelan.
Tak ada yang menjawab, karena tak ada yang peduli.
Rendi dan gengnya masih seperti biasa, bersenda gurau seolah tidak pernah melakukan kesalahan. Murid-murid lain sibuk dengan urusan masing-masing. Seakan-akan Ghara memang tidak pernah ada di sekolah ini.
Sampai akhirnya pintu kelas terbuka.
Ghara masuk.
Rambutnya masih acak-acakan seperti biasa, seragamnya masih lusuh, tapi ada sesuatu yang berbeda hari ini.
Matanya.
Tatapannya lebih kosong dari sebelumnya.
Bukan hampa karena tidak peduli. Tapi hampa karena sudah terlalu lelah.
Ayla mengepalkan tangannya.
Kenapa sekolah ini begitu kejam?
Siang itu, di tengah jam pelajaran Matematika, Bu Rina memberikan soal latihan.
“Sepuluh soal ini harus kalian kerjakan. Tidak boleh ada yang menyontek,” katanya tegas. “Saya akan mengumpulkan dan menilainya nanti.”
Ayla mulai mengerjakan. Soal-soalnya cukup sulit, dan ia harus berpikir keras untuk menyelesaikannya.
Namun, baru sampai soal ketiga, ia mendengar suara samar dari belakang.
Bukan suara orang berbicara.
Tapi suara pensil yang menari di atas kertas dengan cepat.
Ia menoleh.
Ghara menunduk, tangannya bergerak tanpa ragu. Seolah-olah angka-angka itu bukan masalah baginya.
Lima belas menit berlalu, dan sebagian besar murid masih berkutat dengan soal mereka.
Tapi Ghara…
Sudah selesai.
Bahkan sebelum Ayla bisa menyelesaikan setengah dari pekerjaannya.
Detik berikutnya, tangan Ghara terangkat pelan.
“Bu, saya sudah selesai,” katanya.
Seluruh kelas mendadak sunyi.
Bukan karena ia berbicara—karena ini bukan pertama kalinya ia bersuara—tapi karena kecepatan ia menyelesaikan soal.
Rendi tertawa pelan. “Eh, beneran?”
Bu Rina mengernyit. “Sudah selesai? Cepat sekali.”
Ghara tidak menjawab. Ia hanya bangkit dan berjalan menuju meja guru, menyerahkan lembar jawabannya.
Mata Bu Rina menyipit, meneliti setiap jawaban yang tertulis di kertas.
Dan dalam waktu kurang dari satu menit…
Ekspresinya berubah.
“Ini…” suaranya terdengar lebih pelan. “Benar semua.”
Suasana kelas semakin sunyi.
Ayla membelalakkan mata.
Benar semua?
Di kelas ini, bahkan anak paling pintar pun butuh waktu lama untuk menyelesaikan soal-soal itu. Tapi Ghara? Lima belas menit.
“Ah, mana mungkin?!” Rendi tertawa. “Dia pasti nyontek!”
Bu Rina menatap Ghara. “Apakah kamu menyontek?”
Ghara menggeleng pelan.
“Tapi—”
“Saya akan memberikan soal tambahan,” potong Bu Rina.
Ia mengambil spidol, menulis satu soal di papan tulis. Soal yang lebih sulit dari sebelumnya.
“Ayo, selesaikan sekarang,” katanya sambil menyodorkan selembar kertas kosong.
Ghara tidak menolak. Ia hanya duduk di meja guru, mengambil pensilnya, dan mulai menulis.
Lima menit.
Tiga menit.
Dua menit.
Dan…
“Sudah.”
Lembar jawaban itu diserahkan ke Bu Rina.
Ia menelitinya sekali lagi. Dan kali ini, ekspresinya benar-benar terkejut.
“Luar biasa…”
Suasana kelas semakin mencekam.
Bu Rina menatap Ghara dengan mata penuh ketidakpercayaan. “Bagaimana bisa kamu menyelesaikan ini secepat itu?”
Ghara tidak menjawab.
Dan untuk pertama kalinya, bukan hanya Ayla yang menyadari sesuatu tentang anak itu.
Ghara bukan sekadar anak sinting yang mereka tertawakan selama ini.
Dia jenius.
Namun, bahkan setelah itu, tak ada yang bersorak memujinya.
Tak ada yang mengucapkan selamat.
Karena di sekolah ini…
Tak ada yang peduli pada orang seperti Ghara.
Perpisahan yang Tak Terduga
Tidak ada yang berubah setelah kejadian di kelas matematika.
Meskipun Ghara sudah membuktikan bahwa dia bukan sekadar “orang sinting” seperti yang selalu mereka ejek, tak seorang pun mau mengakuinya. Tak ada yang peduli. Tak ada yang tertarik untuk tahu lebih jauh.
Bagi mereka, Ghara tetaplah Ghara.
Anak aneh. Anak gila. Bukan seseorang yang layak dihormati atau diperhatikan.
Namun, bagi Ayla, semua itu terasa berbeda.
Sejak hari itu, pikirannya dipenuhi dengan satu pertanyaan: Siapa sebenarnya Ghara?
Suatu siang sepulang sekolah, Ayla memberanikan diri mengikuti Ghara.
Ia ingin tahu, di mana anak itu tinggal? Bagaimana kehidupannya? Kenapa dia selalu datang dengan seragam lusuh?
Tapi semakin lama ia mengikuti langkah Ghara, semakin sesak dadanya.
Karena Ghara tidak pulang ke rumah.
Dia berjalan ke arah taman kota yang sepi, melewati bangku-bangku usang, dan akhirnya berhenti di sebuah sudut yang tertutup semak-semak.
Di sanalah Ayla melihat sesuatu yang membuatnya ingin menangis.
Sebuah kasur kumal yang sudah kotor. Selimut tipis yang robek di beberapa bagian. Sebuah kantong plastik berisi roti kering.
Dan buku-buku lusuh yang berantakan di atas tanah.
Ghara tinggal di sini.
Dia tidak punya rumah.
Ayla menutup mulutnya, takut suaranya terdengar. Air matanya menetes tanpa bisa ia tahan.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa selama ini ia dan semua orang mengabaikan anak yang bahkan tidak punya tempat tinggal?
Ghara duduk di kasur kumalnya, membuka buku tua, lalu membaca dalam diam.
Sama seperti di sekolah—tidak ada ekspresi di wajahnya.
Seakan-akan hidupnya memang hanya begini.
Seakan-akan ia sudah terbiasa.
Ayla menggigit bibirnya. Ia ingin mendekat, ingin berbicara, ingin melakukan sesuatu.
Tapi sebelum ia sempat mengambil langkah…
Ghara menutup bukunya.
Ia menoleh perlahan.
Dan untuk pertama kalinya, tatapan mereka bertemu.
Sebuah tatapan yang membuat Ayla merasa hancur.
Karena di sana… tidak ada harapan.
Hari berikutnya, Ghara tidak masuk sekolah.
Dan hari-hari berikutnya pun sama.
Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Tidak ada yang peduli untuk mencari tahu.
Seolah-olah keberadaannya di sekolah hanyalah sebuah ilusi yang akhirnya menghilang begitu saja.
Ayla mencoba mencari, pergi ke taman tempat terakhir ia melihat Ghara.
Namun, yang ia temukan hanyalah kasur kosong. Buku-buku yang berserakan.
Dan secarik kertas yang tertinggal di antara rerumputan.
Sebuah tulisan tangan yang rapi, dengan tinta yang sudah sedikit luntur.
“Terima kasih karena sudah melihatku sebagai manusia.”
Hanya itu.
Tidak ada nama. Tidak ada alamat. Tidak ada petunjuk ke mana Ghara pergi.
Dan saat Ayla membaca kata-kata itu, dadanya terasa semakin sesak.
Karena baru kali ini, ia sadar bahwa selama ini, tidak ada seorang pun yang benar-benar melihat Ghara.
Mereka hanya melihat apa yang mereka ingin lihat.
Dan sekarang, ketika akhirnya ada seseorang yang ingin melihatnya sebagai manusia, Ghara sudah pergi.
Entah ke mana.
Dan mungkin…
Tak akan pernah kembali.
Wah, udah selesai aja nih ceritanya. Udah bisa ngebayangin kan betapa kesepian dan terluka-nya Ghara selama ini? Kadang kita sering banget lupa, kan, kalau orang yang kelihatan aneh atau beda itu punya cerita yang lebih dalam dari yang kita kira.
Jadi, sebelum kita buru-buru menilai orang lain, coba deh mikir lagi. Siapa tahu, di balik tampilan yang kita anggap aneh, ada potensi luar biasa yang cuma nunggu buat dilihat dan dihargai. Jangan biarin orang yang baik dan berbakat merasa terasing cuma karena dunia nggak tahu caranya menghargai mereka.