Cerita Sedih Cinta Gavian dan Alexa: Ketika Pengkhianatan Menghancurkan

Posted on

Jadi gini, kadang cinta itu bisa bikin kita melayang tinggi, tapi gak jarang juga bikin kita jatuh terperosok ke jurang terdalam. Ini kisah tentang Gavian dan Alexa, dua orang yang terjebak dalam cinta yang manis, tapi juga penuh luka. Siap-siap deh, karena perjalanan mereka bakal bikin kamu baper, nangis, dan mungkin pengen peluk bantal sambil merenung. Yuk, simak ceritanya!

 

Ketika Pengkhianatan Menghancurkan

Dalam Pelukan Cinta

Sore itu, langit tampak berwarna jingga keemasan. Suara burung-burung pulang ke sarangnya menambah keindahan suasana di taman kecil di tengah kota. Gavian duduk di bangku kayu, menunggu Alexa sambil menikmati secangkir kopi. Aroma kopi yang mengepul memberikan rasa hangat di dalam hati, mengingatkannya pada momen-momen sederhana yang sering mereka lalui bersama.

Dari kejauhan, Alexa melangkah mendekat, mengenakan gaun putih yang bergetar lembut di angin sore. Rambutnya yang panjang tergerai indah, seolah cahaya matahari menyinari setiap helai. Saat matanya bertemu dengan mata Gavian, senyumnya yang cerah seakan membuat dunia berhenti sejenak.

“Akhirnya kamu datang! Aku sudah hampir kedinginan di sini,” ujar Gavian, menggoda sambil menunjukkan cangkir kopinya yang hampir kosong.

Alexa duduk di sampingnya, menepuk-nepuk gaun yang baru saja dia kenakan. “Kamu ini, sabar sedikit dong! Tadi aku masih di salon, rambutku harus terlihat sempurna buat kamu,” jawabnya dengan tawa.

“Ya, ya. Sempurna banget, kok. Tapi jangan terlalu sering ke salon, nanti duit kamu habis,” balas Gavian sambil mencubit lembut pipi Alexa. Mereka berdua tertawa, menikmati momen kebersamaan itu.

“Eh, ngomong-ngomong soal duit, aku dengar kamu dapat proyek baru, ya?” tanya Alexa, mencoba merangkul lengan Gavian dengan manja.

“Yup! Proyek fashion, kerja bareng model baru. Katanya, dia terkenal banget di kota ini. Rhea namanya,” jawab Gavian dengan semangat.

“Rhea? Siapa itu? Ada fotonya?” Alexa terlihat penasaran, meski nada suaranya menyimpan sedikit kecemburuan.

“Gak tahu deh, baru ketemu sekali. Tapi kabarnya, dia memang cakep. Kenapa, kamu cemburu?” Gavian mengerjainya.

“Enggak lah! Aku kan tahu kamu setia sama aku,” jawab Alexa, pura-pura tersinggung meski senyumnya tak bisa disembunyikan.

Malam semakin larut, dan mereka berdua menghabiskan waktu berbincang-bincang. Berbagi cerita tentang impian, cita-cita, dan harapan untuk masa depan. Suara tawa mereka menciptakan melodi yang mengisi kekosongan di sekitar.

“Aku pengen banget suatu saat bisa traveling bareng kamu, ke tempat-tempat yang kita impikan. Bagaimana, setuju?” tawar Gavian, matanya berkilau penuh harapan.

“Setuju! Kita bisa menjelajahi dunia bareng. Sambil foto-foto, bikin kenangan. Tapi ingat, kamu harus bawa kamera yang bagus, ya!” Alexa menjawab dengan semangat.

Mereka berbagi mimpi, tetapi ada satu hal yang mulai mengganggu pikirannya. Alexa tidak bisa menghilangkan rasa curiga yang tumbuh di dalam hatinya. Kemanapun Gavian pergi, pikirannya selalu terbayang pada Rhea. Entah kenapa, meskipun dia berusaha menepisnya, ada suara kecil di dalam hatinya yang mengatakan bahwa semuanya tidak baik-baik saja.

Setiap kali Gavian menghilang tanpa kabar, perasaan cemas dan curiga semakin mendalam. Namun, dia tidak ingin menjadi pasangan yang mengawasi setiap gerakan. Dia percaya pada Gavian, namun ketidakpastian itu seakan menciptakan celah dalam hubungan mereka.

Beberapa minggu berlalu, dan kebersamaan mereka masih dipenuhi tawa, meskipun bayang-bayang Rhea tidak pernah sepenuhnya hilang dari pikiran Alexa. Ketika Gavian pulang larut malam, setiap kali dia mengingatkan dirinya untuk percaya, tetapi hatinya mulai meragukan.

Suatu malam, ketika Gavian tertidur lelap di sampingnya, Alexa terbangun dengan rasa gelisah. Tanpa sadar, dia memandangi ponsel Gavian yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Rasa ingin tahunya tak tertahankan. Dia tahu itu salah, tetapi naluri wanita dalam dirinya memaksa untuk melirik.

Ketika dia membuka pesan-pesan yang masuk, matanya melebar. Pesan-pesan manis dan candaan antara Gavian dan Rhea menggelapkan hatinya. Air mata mulai mengalir di pipinya, tetapi dia berusaha menahan tangis. Seharusnya, malam ini adalah malam yang penuh cinta, tetapi dia merasa seolah seluruh dunianya runtuh.

Dengan hati bergetar, dia memutuskan untuk menunggu hingga pagi. Dia tidak ingin membuat keputusan terburu-buru, tetapi rasa sakit itu mulai menggerogoti dirinya. Alexa berusaha menenangkan diri, tetapi setiap detik terasa seperti selamanya.

Ketika pagi tiba, Alexa duduk di tepi tempat tidur, menunggu Gavian bangun. Saat Gavian membuka mata, senyumnya terlihat cerah. “Pagi, Sayang! Kamu tidur nyenyak?” tanyanya, tidak menyadari badai yang akan segera datang.

“Aku mau bicara sama kamu,” jawab Alexa dengan nada datar, hatinya berdebar-debar.

Gavian duduk, terkejut melihat ekspresi Alexa yang tidak biasa. “Ada apa? Kenapa kelihatan serius gitu?”

“Gavian, aku tahu tentang Rhea,” ucap Alexa, suaranya bergetar. Kata-katanya terucap seperti pisau yang menusuk dalam-dalam.

Wajah Gavian langsung berubah. “Alexa, itu tidak seperti yang kamu pikirkan!”

Alexa tidak ingin mendengar lagi. Semua impian yang dibangun bersama seolah hancur dalam sekejap. “Aku hanya ingin tahu seberapa dalam kamu mencintaiku sebelum semuanya hancur.”

Dengan air mata yang tak terhindarkan, Alexa merasakan semua kenangan indah bersamanya, kini berubah menjadi rasa sakit yang tak tertahankan.

Sementara itu, Gavian berusaha menjelaskan, tetapi semua yang diucapkannya terdengar hampa. Alexa merasa terjebak di antara cinta dan luka, tidak tahu harus berbuat apa.

Hari itu, seolah waktu berhenti.

Belum ada yang bisa menentukan masa depan mereka, tetapi satu hal yang pasti, kedamaian yang selama ini mereka miliki kini sudah hancur.

 

Bayangan Pengkhianatan

Setelah percakapan yang mengguncang hati itu, suasana di antara Alexa dan Gavian terasa hampa. Meskipun matahari bersinar cerah di luar, rasa dingin menyelimuti ruangan. Alexa tidak bisa mengalihkan pikiran dari rasa sakit yang baru saja menghantamnya. Dia berusaha tersenyum, tetapi semua terasa begitu hampa.

Gavian, di sisi lain, merasakan beratnya beban kesalahan yang mengikatnya. Setiap kali dia mencoba mendekati Alexa, senyumnya tampak pudar, dan jiwanya terjebak dalam rasa bersalah yang dalam. Dia ingin menjelaskan, tetapi kata-kata tampaknya sulit terucap.

Hari-hari berlalu, dan meski mereka masih menjalani rutinitas harian, kehangatan yang sebelumnya ada di antara mereka semakin menjauh. Alexa mulai lebih sering menghabiskan waktu di tempat kerja, berusaha menenggelamkan diri dalam pekerjaannya. Mungkin, jika dia terlalu sibuk, dia bisa melupakan rasa sakit itu, setidaknya untuk sementara.

Di kantor, suasana tidak lebih baik. Teman-teman kerja Alexa, terutama Mira, melihat perubahan dalam diri Alexa. “Kamu oke, Lex? Sepertinya kamu tidak seperti biasanya,” tanya Mira, mencoba merawat sahabatnya.

“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Alexa dengan nada yang terpaksa. Dia tidak ingin membahas Gavian, terutama saat dia masih berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi situasi ini.

Namun, pada malam harinya, ketika dia pulang, pikiran Alexa tidak bisa lepas dari apa yang terjadi. Rasa curiga terhadap Gavian terus menggerogoti pikiran dan hatinya. Bagaimana bisa dia begitu dekat dengan Rhea? Apakah mereka benar-benar hanya teman?

Keputusan untuk menyelidiki lebih dalam pun terlintas di pikirannya. Dia mulai mencari tahu lebih banyak tentang Rhea. Dalam pencariannya, Alexa menemukan akun media sosial Rhea dan mengamati setiap foto yang diunggah. Kecantikan Rhea tak bisa dipungkiri, tetapi yang lebih mengganggu adalah betapa akrabnya hubungan antara Gavian dan Rhea di balik layar.

Satu malam, saat Alexa sedang menelusuri beranda Rhea, dia menemukan foto-foto mereka berdua bersama, tersenyum dan berpose mesra di acara peluncuran produk fashion. Wajah Alexa berubah menjadi tegang, dan hatinya bergetar.

Setiap foto seolah menjadi pisau tajam yang terus menggores hatinya. Dia tidak ingin berprasangka buruk, tetapi semua petunjuk seolah menunjukkan sesuatu yang lebih. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan yang menyakitkan.

“Kenapa aku tidak pernah tahu?” gumamnya, air mata mulai menetes tanpa bisa ditahan.

Malam itu, dia berusaha tidur, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan kebersamaan Gavian dan Rhea. Dia memutuskan untuk tidak menghubungi Gavian terlebih dahulu, ingin melihat bagaimana dia bereaksi. Jika Gavian benar-benar mencintainya, seharusnya dia bisa mengakui kesalahannya.

Keesokan harinya, saat di kantor, Alexa melihat Gavian datang untuk mengantarkan dokumen penting. Jantungnya berdebar hebat saat melihatnya. Pemandangan itu membawa kembali semua kenangan indah yang pernah mereka buat bersama. Dia berusaha bersikap biasa, tetapi tatapan mereka bertemu sejenak, dan Alexa merasakan ketegangan di antara mereka.

“Alexa, kita perlu bicara,” kata Gavian, wajahnya tampak cemas.

“Bicara tentang apa?” jawab Alexa dengan nada dingin, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.

“Yang terjadi kemarin… Aku ingin menjelaskan,” Gavian melanjutkan, tetapi Alexa memotongnya.

“Tidak perlu, Gavian. Aku tahu tentang Rhea. Semua pesan-pesan itu, semuanya,” ucapnya, suaranya bergetar meski berusaha tegas.

Wajah Gavian berubah pucat. “Lexa, itu tidak seperti yang kamu pikirkan! Dia hanya teman kerjaku! Aku tidak ingin kamu merasa cemburu, tetapi kami harus sering bertemu untuk proyek ini,” ujarnya, mencoba membela diri.

“Jadi, semua foto-foto itu? Apakah itu juga bagian dari pekerjaan?” Tanya Alexa, suara hatinya penuh dengan kepedihan.

Gavian terdiam sejenak, tidak bisa menjawab. Semua yang dia katakan terasa semakin sulit. Dia tahu, tidak ada lagi kata-kata yang bisa mengembalikan kepercayaan yang telah hancur.

“Lihat, aku hanya ingin melindungimu,” Gavian melanjutkan, “Tapi aku tidak ingin kehilangan kamu, Lexa.”

Air mata Alexa mengalir. “Tapi kamu sudah kehilangan aku, Gavian. Mungkin kamu tidak menyadarinya, tetapi kepercayaan yang kita bangun sudah hancur,” katanya, suaranya mulai bergetar.

Gavian terdiam, kata-katanya terhenti di tenggorokan. Dia tahu apa yang dia lakukan tidak benar, tetapi dia tidak ingin mengakui bahwa dia telah melukai orang yang paling dia cintai.

“Jangan pergi, Lexa. Kita bisa memperbaikinya!” seru Gavian, tampak putus asa.

Alexa menggelengkan kepalanya, berusaha menahan rasa sakit. “Tidak, Gavian. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya,” jawabnya, merasakan kerinduan dan kesedihan meresap ke dalam jiwanya.

Setelah percakapan itu, Alexa pergi, meninggalkan Gavian dalam kesunyian yang pekat. Dia merasa seolah bagian dari dirinya hilang, dan dia tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan lambat. Alexa berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan baru, tetapi setiap kali dia melihat Gavian, rasa sakitnya semakin dalam. Dia tidak ingin mengakhiri hubungan mereka, tetapi dia juga tidak bisa menahan rasa sakit yang terus menghantuinya.

Di sisi lain, Gavian berjuang melawan penyesalan. Dia menyadari bahwa dia telah menyakiti seseorang yang sangat berharga, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara memperbaiki semua yang telah terjadi. Dia berusaha menjadi lebih baik, tetapi perasaannya terhadap Rhea masih membayangi langkahnya.

Semua ini seolah membawa mereka pada titik yang tidak bisa kembali. Dan saat Alexa berusaha menemukan jalan menuju kebahagiaan, bayangan pengkhianatan semakin mendekat.

 

Tanda Tanya dalam Hati

Hari-hari setelah percakapan itu semakin berat bagi Alexa. Dia mencoba menjalani hidupnya seperti biasa, tetapi setiap detik terasa seperti perjuangan melawan bayangan yang terus mengintai. Ketika melihat foto-foto di ponselnya, senyuman mereka bersama seolah menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi. Dia merindukan saat-saat indah ketika segalanya terasa sempurna, tanpa ada keraguan yang menghantui.

Di sisi lain, Gavian terus berusaha untuk menjelaskan dirinya kepada Alexa. Setiap kali mereka bertemu di kantor, dia berusaha menunjukkan perhatian yang lebih, tetapi selalu ada jarak di antara mereka yang tak bisa diabaikan. Rasa bersalah yang terus menggerogoti hati Gavian seolah mengikatnya pada keputusan yang buruk. Dia tidak bisa merasakan kebahagiaan, dan setiap senyum Alexa semakin mempertegas betapa hancurnya hatinya.

Suatu sore, ketika Alexa pulang dari kantor, dia melihat Gavian menunggunya di depan apartemennya. Pemandangan itu membuat jantungnya berdebar. “Lexa, bisa kita bicara?” tanya Gavian, suaranya penuh harap.

“Berapa banyak yang perlu kita bicarakan, Gavian?” jawab Alexa, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

“Cuma ingin menjelaskan semua ini. Aku tahu aku membuat kesalahan, tapi tolong beri aku kesempatan,” katanya, matanya penuh dengan harapan dan penyesalan.

“Kesempatan untuk apa? Supaya kamu bisa melukai aku lagi?” Alexa menjawab dengan tajam, dan meski dia tahu kata-katanya menyakitkan, dia tidak bisa menahan diri.

Gavian terdiam, terlihat sangat terpukul. “Aku… aku tidak pernah bermaksud untuk melukaimu. Semua yang terjadi adalah kesalahan. Aku terlalu bodoh untuk tidak menyadari betapa berartinya kamu bagiku,” ujarnya, suaranya bergetar.

“Bodoh atau tidak, kenyataannya kamu telah mengkhianatiku, Gavian. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya,” jawab Alexa, menahan air mata yang mengancam akan tumpah.

Sore itu terasa panjang, dan saat Alexa melangkah masuk ke dalam apartemennya, hatinya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Mengapa cinta bisa menyakitkan seperti ini? Mengapa orang yang kita cintai bisa berbuat begitu? Mungkin cinta mereka tidak sekuat yang dia kira.

Di dalam ruangan, Alexa duduk di sofa dan menatap ke luar jendela. Cahaya senja yang indah tidak mampu menghangatkan hatinya. Dia mengambil ponselnya dan melihat foto-foto mereka. Setiap senyuman, setiap pelukan, seolah mengejeknya. “Bagaimana bisa semuanya berakhir seperti ini?” pikirnya.

Di sisi lain, Gavian merasa terjebak dalam labirin emosinya. Dia ingin memperbaiki semuanya, tetapi dia tahu bahwa jalan yang harus dilalui tidak mudah. Rhea, yang semula hanya seorang teman kerja, kini menjadi bayang-bayang yang terus menghantui hubungan mereka. Dia berusaha untuk menghindar, tetapi ketertarikan yang sempat tumbuh itu terasa sulit dihapus.

Beberapa hari kemudian, ketika Gavian sedang di kantor, dia mendengar teman-teman kerjanya membicarakan tentang Rhea yang mendapatkan tawaran pekerjaan di luar kota. “Jadi, Rhea akan pindah ke Jakarta? Gila, cepat sekali!” salah satu temannya berkata.

Berita itu membuat Gavian terkejut. Di satu sisi, dia merasa lega karena bisa menghindari situasi yang rumit. Tetapi di sisi lain, ada rasa kehilangan yang mendalam. Tanpa disadari, dia mulai merindukan momen-momen di mana mereka bersama, meskipun dia tahu itu semua adalah kesalahan.

Malam itu, saat Gavian pulang, dia tidak bisa menghilangkan rasa bersalahnya. Dia ingin menelpon Alexa, tetapi pikirannya berputar-putar. “Apakah aku sudah melakukan yang benar?” Dia menggelengkan kepalanya, menyadari bahwa dia sudah menempatkan Alexa dalam posisi yang menyakitkan.

Sementara itu, Alexa mencoba untuk melanjutkan hidupnya. Dia pergi keluar dengan Mira, berharap bisa melupakan segalanya. Saat mereka berada di kafe, Mira melihat Alexa termenung, memandang jauh ke luar jendela.

“Lex, kamu harus berhenti memikirkan dia. Ada banyak orang di luar sana yang pantas mendapatkan perhatianmu,” Mira berkata, mencoba menghibur sahabatnya.

“Bukan semudah itu, Mira. Gavian… dia adalah segalanya bagiku. Namun, sekarang semuanya terasa hampa,” jawab Alexa, suaranya penuh kesedihan.

Mira menepuk tangan Alexa, berusaha mengalihkan perhatiannya. “Bagaimana kalau kita pergi ke acara musik akhir pekan ini? Kamu butuh bersenang-senang, Lex,” saran Mira, mencoba mengubah suasana hati Alexa.

Akhir pekan tiba, dan Alexa setuju untuk pergi ke acara tersebut. Dia tidak ingin mengabaikan rasa sakitnya, tetapi mungkin, hanya mungkin, bisa menemukan kebahagiaan sementara di antara keramaian orang-orang.

Saat di acara, suasana ceria mengelilinginya. Musik yang mengalun membawa sedikit keceriaan di hatinya, meskipun rasa sakit itu tetap menghantuinya. Dia menari bersama teman-temannya, berusaha melupakan apa yang telah terjadi, tetapi di satu sudut, dia melihat Gavian.

Dia tampak tertegun, berdiri sendiri sambil memandangi kerumunan. Mata mereka bertemu, dan jantung Alexa berdegup kencang. Seolah waktu terhenti, semua kenangan indah bersama Gavian kembali memenuhi pikirannya. Namun, dia juga ingat rasa sakit yang ditimbulkan oleh pengkhianatan itu.

Gavian melangkah mendekat, dan suara musik seakan memudar. “Lexa… aku—” katanya, tetapi Alexa mengangkat tangan, menghentikannya.

“Jangan, Gavian. Aku perlu waktu, dan kamu juga harus menghormati keputusan itu,” ucap Alexa dengan tegas, meski hatinya bergetar.

“Please, Lexa. Beri aku kesempatan untuk memperbaikinya,” katanya, matanya penuh harap.

“Kamu harus pergi. Kita tidak bisa terus seperti ini,” jawab Alexa, suaranya penuh emosi. Dia berbalik dan pergi meninggalkan Gavian di tengah kerumunan yang ramai.

Hatinya teriris, tetapi dia tahu dia harus menjaga diri. Mungkin, di balik semua kesedihan ini, ada harapan untuk menemukan kebahagiaan yang baru. Namun, bayangan pengkhianatan itu akan selalu menjadi bagian dari perjalanan cintanya yang kelam.

 

Akhir yang Pahit

Hari-hari berlalu, dan kehidupan Alexa seolah terus melaju tanpa arah yang jelas. Dia berusaha menjauh dari semua yang mengingatkannya pada Gavian, tetapi bayangannya selalu membayangi setiap langkah yang dia ambil. Meski Alexa mencoba mengalihkan perhatian dengan rutinitas harian dan kesibukan di kantor, rasa sakit itu masih menggerogoti hatinya.

Gavian, di sisi lain, tidak pernah berhenti memikirkan Alexa. Setiap detik yang berlalu, dia merasa terjebak dalam penyesalan. Keputusan untuk berselingkuh telah menghancurkan segalanya, dan kini, dia hanya bisa menyesali tindakan bodohnya. Dia sering mengunjungi tempat-tempat yang pernah mereka singgahi bersama, berharap bisa merasakan kembali kehangatan cinta mereka yang telah hilang. Namun, semua itu hanya menyisakan kepedihan yang lebih dalam.

Suatu malam, di tengah kegelapan dan kesunyian, Gavian memutuskan untuk menulis surat kepada Alexa. Dia ingin mengekspresikan semua perasaannya, harapan untuk memperbaiki hubungan yang telah hancur. Dengan tangan bergetar, dia menulis:

“Alexa, aku tidak tahu bagaimana harus memulai. Aku tahu aku telah melukai kamu dengan cara yang tak termaafkan. Tapi, izinkan aku mengatakannya: kamu adalah segalanya bagiku. Tanpamu, hidupku terasa kosong. Aku berjanji akan melakukan apa pun untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali, meski aku tahu itu mungkin tidak pernah terjadi. Jika kamu bersedia memberi aku satu kesempatan lagi, aku akan berjuang untuk memperbaiki semuanya. Jika tidak, aku akan memahami dan berdoa untuk kebahagiaanmu. Selamanya, Gavian.”

Dia menyimpan surat itu dalam amplop dan menantikan waktu yang tepat untuk menyerahkannya. Namun, semakin lama dia menunggu, semakin berat rasa bersalahnya. Dia tidak yakin apakah dia layak mendapatkan kesempatan itu.

Sementara itu, Alexa berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan Gavian. Dia menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-temannya, mencoba menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Namun, saat dia tertawa dan berbagi momen bahagia, ada rasa hampa yang selalu mengintai. Suatu malam, ketika dia pulang dari berkumpul dengan teman-temannya, dia menerima pesan yang membuat jantungnya berhenti sejenak.

Pesan itu dari Rhea, teman kerja Gavian yang kini sedang berada di Jakarta. “Alexa, maafkan aku jika mengganggu. Tapi, aku merasa harus memberitahumu sesuatu. Gavian… dia tidak baik-baik saja. Dia mengalami kecelakaan, dan sekarang dia di rumah sakit.”

Kata-kata itu seakan menghantam jantung Alexa dengan keras. Sebuah badai emosi melanda pikirannya. “Kecelakaan?” Rasa panik menghantamnya. Meskipun perasaannya terhadap Gavian telah terluka, dia tidak bisa membayangkan hidup tanpa kehadirannya.

Tanpa berpikir panjang, Alexa segera menuju rumah sakit. Ketika sampai di ruang perawatan, dia melihat Gavian terbaring di ranjang dengan perban yang membalut tubuhnya. Suara detak jantung yang berirama lambat membuatnya merinding. Dia mendekat dan memegang tangan Gavian yang tergeletak lemah.

“Gavian… kenapa kamu tidak memberitahuku?” suaranya bergetar, meski hatinya penuh rasa marah dan khawatir.

Gavian membuka matanya perlahan dan tersenyum tipis. “Lexa, aku… aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Semua ini… adalah akibat dari kesalahanku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku sangat menyesal.”

Alexa merasa air mata menggenang di pelupuk matanya. “Kamu tidak seharusnya seperti ini. Kita seharusnya bisa melalui semua ini bersama.”

“Maafkan aku, Alexa. Jika aku tidak melakukan kesalahan itu, mungkin kita masih bisa…,” kata Gavian, suaranya lemah.

“Jangan bicara seperti itu. Kita bisa memperbaiki semuanya, kita bisa!” ujarnya dengan suara penuh harap, meskipun dia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak akan pernah bisa diperbaiki.

Gavian menggelengkan kepala. “Aku sudah kehilanganmu, dan sekarang ini semua terlambat. Aku tidak ingin meninggalkanmu dalam kesedihan. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan yang sejati.”

Satu setengah jam berlalu dalam kesunyian penuh emosi. Mereka berdua terjebak dalam kata-kata yang tak terucapkan dan perasaan yang saling membingungkan. Namun, di tengah perasaan sedih itu, mereka bisa merasakan kehangatan satu sama lain.

Saat Gavian berjuang untuk berbicara, suara detak jantungnya semakin lemah. Alexa bisa merasakan ketidakpastian menghampiri. “Gavian, tolong jangan pergi. Kita bisa memperbaikinya. Kita bisa!”

Namun, tiba-tiba, monitor yang terhubung pada tubuh Gavian berbunyi dengan suara yang tidak menyenangkan. Alexa menjerit, “Tolong! Tolong!” Ketika perawat datang berlari, dia terhuyung-huyung mundur, merasa hancur. Dalam sekejap, dia menyaksikan segalanya terjadi di depan matanya. Gavian, cintanya, pergi begitu saja, meninggalkan dirinya dalam kesedihan yang mendalam.

Setelah beberapa jam yang penuh harapan, Alexa keluar dari rumah sakit dengan rasa hampa yang menyelimuti hati. Dia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidupnya. Dia merasa seolah-olah separuh dari dirinya telah hilang. Dalam perjalanan pulang, pikirannya kembali pada semua kenangan indah bersama Gavian, momen-momen bahagia yang kini hanya menjadi bayangan.

Dari kejauhan, dia melihat lampu-lampu kota berkelap-kelip, tetapi semua itu terasa redup dan tak berarti. Cinta mereka, yang seharusnya menjadi cerita indah, telah berakhir tragis. Dia merasa terjebak dalam kesedihan, teringat pada kata-kata Gavian yang terus terngiang dalam pikirannya.

“Setiap detak jantungku adalah harapan untukmu, tetapi sekarang, harapan itu telah sirna.”

Akhirnya, Alexa tahu, meski cinta mereka tidak berakhir bahagia, dia akan selalu mengenang Gavian dalam hatinya. Rasa sakit ini mungkin akan menghilang seiring waktu, tetapi kenangan indah yang mereka ciptakan akan selalu menjadi bagian dari hidupnya. Dalam kesunyian malam, dia memandang langit, berdoa untuk kebahagiaan Gavian di tempat yang lebih baik.

 

Jadi, itulah cerita Gavian dan Alexa. Kadang cinta memang gak selalu indah dan penuh kebahagiaan. Pengkhianatan bisa datang dari orang terdekat kita, dan luka yang ditinggalkannya bisa sangat dalam. Tapi dari setiap kesedihan, selalu ada pelajaran yang bisa kita ambil.

Mungkin, di antara derai air mata dan rasa sakit, kita bisa menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup. Semoga kisah ini bisa jadi pengingat bahwa cinta sejati itu langka, dan harus kita jaga dengan sebaik-baiknya.

Leave a Reply