Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa deket banget sama seseorang, tapi komunikasi kalian tuh nggak lewat kata-kata? Cerpen satu ini bakal ngajak kamu masuk ke kisah unik antara Kiryas dan Elvanza—dua anak SMA yang nggak banyak bicara, tapi punya cara sendiri buat saling ngerti: lewat lipatan kertas. Yup, origami!
Jangan kira ini cuma cerita cinta-cintaan remaja biasa. Cerita ini penuh nuansa hangat, penuh luka yang pelan-pelan sembuh, dan bikin kita sadar… kadang yang paling ngerti kita justru bukan yang paling banyak omong. Siap-siap baper, karena hubungan mereka bukan sekadar teman sebangku—tapi teman bertumbuh, dalam diam yang paling jujur.
Cerita Persahabatan Tak Biasa Lewat Origami
Kotak Abu-Abu dan Kertas Warna-Warni
Hari Senin itu, cuaca masih menyisakan sisa-sisa hujan dini hari. Genangan kecil menempel di pinggir-pinggir trotoar sekolah, dan aroma tanah basah bercampur dedaunan jatuh menjadi latar sunyi saat bel pertama berbunyi. Kelas XI IPS 2, seperti biasa, belum sepenuhnya hidup. Sebagian siswa masih menguap, sebagian lain sibuk menyembunyikan wajah ngantuk di balik buku, dan sisanya—ya, sebagian besar—lebih tertarik dengan layar ponsel ketimbang papan tulis.
Di sudut ruangan, dekat jendela yang kacanya sedikit buram karena embun, duduk seorang gadis dengan rambut hitam yang diikat rendah. Namanya Elvanza Taria. Bukan nama yang sering disebut saat daftar hadir, bukan pula nama yang terdengar di kantin atau lapangan upacara. Ia ada, tapi tidak pernah terasa hadir. Elvanza membawa dunia kecilnya sendiri, dibungkus rapi dalam map lusuh berisi kertas warna-warni dan tangan yang selalu sibuk melipat.
Tak banyak yang tahu, setiap pagi sebelum guru datang, Elvanza akan membuka map itu, mengambil selembar kertas, dan mulai melipatnya diam-diam. Bukan untuk pertunjukan, bukan pula untuk tugas. Tapi seolah setiap lipatan punya tujuan. Ada yang dilipat jadi burung bangau, ada yang berubah jadi bintang, dan kadang—ketika ia merasa tak diperhatikan—ia membuat bentuk yang lebih rumit, seperti rubah berjongkok atau naga kecil.
Pagi itu, Bu Ayula, guru Bahasa Indonesia baru, masuk membawa tumpukan kertas dan suasana asing yang tak langsung disukai semua siswa. Ia tampak muda, energik, dan sedikit terlalu ceria untuk jam tujuh pagi. Tapi ia membawa ide yang berbeda dari guru-guru sebelumnya.
“Hari ini kita mulai dengan tugas menulis,” ucapnya, sambil meletakkan tas kerja cokelat mudanya di meja guru. “Tema bebas, tapi harus jujur. Ceritakan satu hal yang bikin hidup kamu… beda.”
Beberapa siswa langsung mengeluh pelan. Yang lain menunduk pasrah.
“Bebas aja, Bu?” tanya seorang siswa cowok di barisan tengah.
“Bebas. Mau sedih, lucu, atau aneh juga nggak apa-apa. Asal bukan karangan ngasal, ya. Aku bisa bedain mana yang ditulis dari hati, mana yang cuma cari nilai.”
Tugas itu dikumpulkan seminggu kemudian. Sebagian datang dalam bentuk tulisan tangan, beberapa diketik dan dicetak rapi. Tapi satu benda bikin alis Bu Ayula terangkat: sebuah kotak kecil dari karton abu-abu, tanpa nama di atasnya. Hanya pita merah tua yang melingkar di tengah, sedikit sobek di ujungnya.
Kotak itu datang dari Elvanza. Ia menyerahkannya tanpa sepatah kata, lalu duduk kembali seperti biasa. Tak ada yang tahu isi kotak itu sampai Bu Ayula membukanya di ruang guru.
Di dalamnya, terdapat puluhan origami kecil yang disusun bertingkat, seperti tumpukan kenangan yang disortir dengan cermat. Di bawah masing-masing lipatan, ada secarik kertas—kalimat-kalimat pendek yang ditulis tangan, hurufnya kecil tapi rapi.
“Burung bangau ini buat Kak Ellan. Dia selalu bilang bakal pulang. Tapi ternyata yang pulang cuma petinya.”
“Bunga teratai ini buat Ibu. Dia kerja tiga tempat, tapi tiap pagi masih sempat nyium keningku.”
“Ini bintang, buat hari aku berhenti ngomong waktu semua orang ketawa gara-gara aku cadel.”
“Kubus ini… waktu aku nunggu Papa nelepon pas ulang tahun, terus dia lupa lagi.”
Tak ada yang tahu kalau Elvanza menyimpan masa lalunya dalam bentuk lipatan. Bukan sekadar kertas, tapi semacam museum sunyi tempat ia menyembunyikan kehilangan, kerinduan, dan luka-luka kecil yang tak pernah sembuh sempurna.
Sejak saat itu, pandangan Bu Ayula terhadap Elvanza berubah. Ia tak lagi hanya guru yang memberi nilai, tapi mulai menjadi pengamat diam-diam. Ia sering menyapa Elvanza duluan di lorong, menyebut namanya saat diskusi kelas, dan sesekali memuji hasil tugasnya meski sederhana. Ia tak memaksa Elvanza untuk bicara lebih, tapi cukup memberi ruang.
Namun, yang membuat cerita ini mulai bergerak bukan Bu Ayula. Melainkan bangku kosong di sebelah Elvanza.
Selama setahun, bangku itu selalu kosong. Tak ada yang mau duduk di sana. Mungkin karena dekat jendela yang selalu bocor saat hujan, atau karena memang… siapa yang mau duduk di samping seseorang yang tak pernah bicara?
Sampai suatu hari, seorang siswa baru datang: Kiryas Adema.
Anak pindahan dari luar kota itu langsung menarik perhatian. Bukan karena sikapnya yang sopan—justru sebaliknya. Rambutnya agak pirang tembaga, sepatu sedikit kotor, dan raut wajahnya menyimpan semacam tantangan untuk siapa pun yang berani menatap terlalu lama.
Ia masuk ke kelas tanpa basa-basi, menyeringai ke arah teman-teman baru yang menatap penasaran, lalu duduk… tepat di sebelah Elvanza.
Tak satu pun siswa yang berani protes. Termasuk Elvanza. Ia hanya melirik sebentar, lalu kembali melipat kertas biru gelap di tangannya.
Kiryas mengangkat alis.
“Itu burung atau monster?” tanyanya, suara serak seperti baru bangun tidur.
Elvanza tidak menjawab. Ia tetap melipat pelan.
Kiryas mendengus pelan. “Ya udah, maaf kalau monster. Aku nggak ngerti beginian.”
Hari itu berlalu tanpa percakapan lagi. Tapi sesuatu berubah. Untuk pertama kalinya, bangku kosong itu terisi. Dan entah kenapa, Elvanza tak keberatan.
Malamnya, saat semua siswa lain mungkin sudah sibuk dengan tugas, Elvanza melipat origami baru. Seekor rubah kecil, warna abu-abu pucat, dengan dua telinga tajam dan ekor yang agak melengkung ke samping.
Ia belum tahu kenapa membuat itu. Tapi rubah adalah makhluk yang diam-diam waspada, cerdas, dan tidak suka keramaian. Dan mungkin—entah kenapa—rubah itu mengingatkannya pada seseorang.
Seseorang yang baru duduk di sampingnya hari ini.
Pecahan Kalimat di Balik Lipatan
Kiryas bukan tipe yang suka basa-basi. Ia datang, duduk, dan menjalani hari tanpa peduli reaksi orang sekitar. Tapi seminggu duduk di samping Elvanza mengubah sedikit kebiasaan itu. Bukan karena mereka jadi akrab, bukan juga karena Elvanza tiba-tiba banyak bicara—melainkan karena Kiryas mulai penasaran.
Pagi hari keempat, ia memperhatikan sesuatu yang belum pernah benar-benar ia sadari. Bukan lipatan origaminya—itu sudah jadi pemandangan biasa—tapi kertas-kertas kecil yang Elvanza selipkan diam-diam ke dalam tiap bentuk yang ia buat. Ia akan melipat, menyelipkan sesuatu, lalu menutupnya rapat. Gerakannya presisi, cepat, seperti sudah dihafal luar kepala.
Sore itu, setelah jam terakhir, Kiryas kembali ke kelas. Ia pura-pura tertinggal buku. Elvanza sudah pulang, bangkunya kosong, tapi di atas meja tertinggal satu origami. Seekor burung kecil berwarna ungu tua, dengan sayap agak terbuka.
Ia mengambilnya, ragu, lalu mengintip ke dalam. Ada secarik kertas dilipat tiga kali.
“Aku pikir kehilangan itu kayak angin. Lewat sekali, terus hilang. Tapi ternyata dia ngendap, diam-diam nempel kayak bau asap di baju.”
Kiryas membacanya tiga kali.
Lalu diam.
Ia tak mengerti sepenuhnya maksud kalimat itu, tapi rasanya… familiar. Ada sesuatu dalam pilihan kata Elvanza yang terasa jujur. Bukan puitis karena ingin terdengar pintar, tapi seperti seseorang sedang melukis dengan luka.
Keesokan harinya, Kiryas datang lebih pagi dari biasanya. Ia bawa selembar kertas origami warna putih, ditekuk seadanya, dan dilempar pelan ke meja Elvanza saat gadis itu sedang melipat.
Elvanza kaget. Tangannya berhenti. Ia menatap Kiryas singkat, lalu membuka lipatan itu. Tulisannya miring ke kiri, agak berantakan.
“Kalau aku juga punya sesuatu buat dilipat, mungkin aku nggak akan berantem terus sama dunia.”
Elvanza tak membalas apa-apa. Hanya mengangguk pelan. Tapi sejak hari itu, hubungan mereka berubah bentuk.
Mereka mulai saling bertukar origami.
Bukan dengan maksud romantis, bukan pula karena ingin pamer karya. Tapi karena… mereka tahu mereka tak pandai bicara. Dan kadang, selembar kertas lebih bisa mengerti isi hati daripada percakapan berjam-jam.
Selama dua minggu setelahnya, bangku mereka menjadi tempat pertukaran diam-diam. Pagi hari, Elvanza meletakkan lipatannya. Sore, Kiryas menyelipkan balasan. Mereka jarang berbicara langsung, tapi origami-origami itu jadi saksi proses mereka saling memahami.
Suatu siang, ketika guru Matematika tak hadir, kelas berubah jadi pasar kecil. Beberapa siswa keluar, beberapa memutar musik pelan dari HP, sisanya ngobrol sembarangan. Kiryas dan Elvanza tetap di tempat, masing-masing sibuk dengan kertas di tangan.
Lalu, tanpa aba-aba, Kiryas buka suara.
“Origami kamu tuh… kenapa selalu ada isinya?”
Elvanza melirik, lalu balik bertanya, suaranya pelan, nyaris tertelan keributan kelas.
“Kamu nggak suka?”
“Bukan gitu,” Kiryas menggaruk leher, “aku cuma belum pernah nemu orang yang… ngomong pakai kertas.”
Elvanza terdiam sebentar, lalu menjawab, “Kadang lebih gampang gitu. Kalau ngomong langsung… suka macet.”
Kiryas mengangguk pelan. “Aku juga sering macet, sih. Tapi biasanya malah jadi meledak.”
Ada jeda hening setelah itu. Tapi bukan canggung. Lebih seperti jeda yang muncul ketika dua orang sedang duduk di peron stasiun, sama-sama nunggu kereta, dan diam pun terasa cukup.
Hari-hari berikutnya, saling tukar origami jadi ritual yang tak tertulis. Tak ada yang tahu selain mereka berdua. Setiap kertas yang berpindah tangan, menyimpan serpihan perasaan yang tak bisa dijelaskan lewat suara.
Pada minggu keempat, Kiryas menyerahkan sebuah origami berbentuk prisma. Kali ini kertasnya warna hitam. Saat Elvanza membukanya, di dalamnya tertulis:
“Waktu kecil aku pernah berdoa supaya dunia diem sebentar. Cuma biar aku bisa nafas.”
Kali ini Elvanza tak menjawab dengan origami. Tapi keesokan harinya, ia menaruh satu kertas yang dibentuk menyerupai telinga manusia. Dan di dalamnya:
“Aku nggak tahu caranya bikin dunia diem. Tapi kamu bisa duduk sini. Nggak harus ngomong. Aku dengerin.”
Dan sejak itu, mereka berhenti jadi dua orang asing.
Meski tak ada pengakuan resmi, satu kelas mulai menyadari sesuatu berbeda di bangku pojok. Kiryas jadi lebih tenang, lebih fokus di pelajaran, dan—yang paling aneh—tak lagi terlibat dalam masalah. Guru-guru mulai memuji perubahannya. Beberapa teman bahkan mulai menyapa dia lebih dulu. Tapi yang mereka tak tahu, perubahan itu bukan datang dari nasihat, bukan juga dari hukuman.
Perubahan itu datang dari selembar kertas yang dilipat dengan tulus, dan kalimat-kalimat pendek yang akhirnya menemani Kiryas bertahan di dunia yang tak pernah benar-benar ia pahami.
Pada satu sore menjelang hujan, mereka duduk lebih lama di kelas. Jendela terbuka, angin lembap masuk tanpa diundang. Elvanza melipat origami terakhir hari itu—seekor rubah kecil, dengan ekor panjang dan kepala yang menoleh ke belakang. Ia menaruhnya di meja Kiryas, lalu berdiri pelan.
“Rubah itu bisa jalan sendiri jauh banget,” katanya, suara pelan tapi jelas, “tapi dia bakal balik ke tempat yang bikin dia ngerasa aman.”
Kiryas menatap rubah itu lama. Lalu tanpa melihat Elvanza, ia berkata lirih.
“Aku belum pernah punya tempat kayak gitu sebelumnya.”
Mereka tak saling tatap. Tak ada pelukan, tak ada senyum lebay seperti di film remaja. Tapi sore itu, dua orang yang tadinya asing, akhirnya saling tahu bahwa mereka nggak benar-benar sendirian.
Suara Baru di Bangku Sebelah
Hari-hari berjalan seperti biasa, tapi tak lagi terasa biasa untuk dua bangku di pojok kelas XI IPS 2. Di meja itu, antara jendela berembun dan dinding kusam yang mulai retak, Elvanza dan Kiryas tak lagi sekadar duduk berdampingan. Mereka jadi dua kutub yang saling menyentuh diam-diam, lewat kertas-kertas kecil yang menyimpan lebih banyak makna daripada percakapan berjam-jam.
Tapi waktu, seperti biasa, tidak pernah puas membiarkan sesuatu tetap tenang.
Pada hari Senin ketiga bulan itu, kelas kedatangan guru pengganti baru untuk mata pelajaran Sosiologi. Namanya Pak Herwin. Suaranya berat, tubuhnya tinggi besar, dan punya satu kebiasaan aneh: tak suka siswa duduk di tempat yang sama terus.
“Supaya kalian nggak nyaman-nyaman amat,” katanya sambil menyusun kursi di depan. “Duduk bareng orang yang berbeda bisa bikin kalian belajar cara dengerin perspektif lain. Hari ini kita tukar tempat duduk, ya.”
Suara keluhan langsung terdengar dari hampir semua sudut. Beberapa tertawa, beberapa mencibir pelan. Tapi aturan tetap aturan. Kiryas menatap Elvanza sejenak. Mereka nggak bilang apa-apa, tapi mata mereka sama-sama ngerti: ruang aman itu bakal dipindahkan paksa.
Kiryas dipindah ke depan, duduk dengan anak paling cerewet di kelas. Elvanza tetap di belakang, sekarang bersebelahan dengan siswi yang doyan main TikTok. Kelas terasa jauh lebih ribut dari biasanya. Dan untuk pertama kalinya, tidak ada lipatan kertas yang berpindah tangan di pagi hari.
Dua hari berjalan seperti itu. Kiryas tampak mulai gelisah, meski berusaha menutupinya dengan sarkasme dan candaan seadanya. Elvanza kembali diam seperti dulu, tapi sekarang diamnya bukan lagi nyaman, melainkan kosong.
Sampai suatu pagi, Kiryas datang lebih awal dari semua orang. Ia menyelinap ke meja lama mereka, dan menaruh satu origami berbentuk jam pasir. Di dalamnya ada tulisan tangan yang lebih hati-hati dari biasanya.
“Dunia bisa muter, bangku bisa pindah. Tapi suara kamu… tetap ada di sebelah aku.”
Origami itu ditemukan Elvanza satu jam kemudian. Ia membaca, lalu menyimpannya pelan-pelan ke dalam map. Dan sore harinya, ia membalas. Bentuknya bukan hewan, bukan juga bentuk abstrak. Tapi selembar kursi kecil dari kertas hijau, dengan sandaran tegak dan dudukan yang kokoh. Di belakangnya tertulis:
“Kalau kamu balik, kursimu masih ada.”
Esoknya, sebelum jam Sosiologi dimulai, Kiryas berdiri dan langsung bicara ke Pak Herwin di depan semua orang.
“Pak, aku boleh tukar tempat duduk lagi? Yang kemarin… nggak cocok.”
Pak Herwin menatapnya tajam. “Kenapa? Belum seminggu udah protes?”
Kiryas menjawab tanpa ragu. “Soalnya… aku belajar paling banyak justru dari yang duduk diam, bukan dari yang banyak ngomong.”
Seketika kelas diam. Beberapa melongo, sebagian bingung, sisanya cekikikan menahan tawa. Tapi Kiryas tak mundur. Ia tetap berdiri di tengah lorong, menatap lurus.
Pak Herwin menghela napas. “Baiklah. Tapi itu terakhir. Minggu depan ikut aturan lagi.”
Tanpa menjawab, Kiryas langsung kembali ke tempat lamanya. Duduk di samping Elvanza, seperti bangku itu memang dibuat untuk dia. Elvanza tidak tersenyum, tapi ia mengambil satu origami baru dari mapnya. Sebuah jangkar, kecil, detail, dan rapi.
“Ini buat kamu,” katanya pelan, menyerahkannya ke Kiryas. “Supaya kamu nggak hanyut lagi.”
Kiryas menerima, membuka lipatan dalamnya, dan membaca:
“Orang yang tahu dia mau tinggal, nggak perlu diikat. Tapi aku tetap mau kasih jangkar, biar kamu inget rumahnya di mana.”
Sejak hari itu, suara di bangku sebelah tak lagi hanya berasal dari lipatan kertas. Kiryas mulai bicara lebih banyak. Kadang ia cerita soal kenakalan masa kecilnya, soal ayahnya yang jarang pulang, soal kakaknya yang kabur dari rumah. Dan meski Elvanza tidak selalu merespons dengan kata-kata, ia tetap jadi pendengar yang utuh.
Satu siang sepulang sekolah, mereka duduk di tangga belakang gedung, tempat yang jarang dipakai siswa lain. Langit mendung, tapi hujan belum turun. Elvanza sibuk melipat satu kertas putih polos, bentuknya belum jelas. Kiryas duduk di sebelah, memeluk lututnya.
“Aku pernah mikir,” katanya tiba-tiba, “kalau aku hilang, mungkin nggak ada yang sadar.”
Elvanza tak menjawab.
“Tapi sekarang… aku rasa satu orang bakal tahu.”
Ia menoleh ke Elvanza, yang akhirnya berkata pelan, “Aku nggak tahu cara nyari orang yang hilang. Tapi aku bisa nunggu dia pulang.”
Hening sebentar. Lalu Kiryas tertawa pelan, suara yang belum pernah Elvanza dengar sebelumnya.
“Kamu tuh aneh banget, tapi… anehnya bikin tenang.”
Hari itu, hujan turun pelan, dan dua orang duduk dalam diam, saling tahu, tanpa perlu saling mengikat.
Rubah Abu-Abu dan Ruang untuk Sembuh
Akhir semester makin dekat. Meja-meja mulai penuh coretan rencana liburan, suara kelas makin liar, dan sebagian siswa sudah mulai hitung-hitungan nilai. Tapi di bangku pojok belakang itu, semuanya berjalan pelan, seperti biasa. Dunia bisa ribut sesukanya, tapi di antara Kiryas dan Elvanza, waktu punya kecepatan sendiri.
Hari itu, Elvanza datang lebih pagi dari biasanya. Wajahnya kelihatan biasa, tapi matanya kosong seperti halaman tanpa tulisan. Ia duduk, diam, lalu mengeluarkan satu kertas abu-abu dari tas kecilnya. Bukan warna yang biasa ia pakai. Ia melipat perlahan, tiap sudut ditekan kuat, tiap lekuk dibuat dengan hati-hati, nyaris terlalu hati-hati.
Ketika Kiryas datang, ia langsung tahu ada yang berbeda.
“Pagi,” katanya sambil duduk. Tapi Elvanza hanya mengangguk.
Ia menaruh satu origami kecil di meja Kiryas. Seekor rubah, lagi. Tapi kali ini warnanya abu-abu kusam, dan matanya dilukis pakai pulpen hitam, menatap kosong ke depan.
Kiryas membuka pelan, mencari kertas kecil di dalamnya. Tapi tidak ada.
Tak ada pesan. Tak ada kalimat. Hanya rubah itu sendiri.
“Van…” Kiryas mencoba bicara.
Tapi Elvanza hanya menatap ke luar jendela. Hujan belum turun, tapi awan sudah menggantung berat. Tangannya terkunci di pangkuan, dan seolah semua kata yang pernah ia lipat di atas kertas sudah habis tertinggal di hari-hari lalu.
Beberapa menit mereka diam. Sampai akhirnya, Elvanza bicara pelan, tanpa menoleh.
“Kamu tahu nggak… kadang aku capek bikin semua orang mikir aku baik-baik aja.”
Kiryas menatapnya. “Aku tahu.”
“Kadang aku pengen nyalahin dunia… tapi nggak bisa. Karena yang sakit tuh bukan dunia. Aku.”
Kiryas tak jawab. Ia hanya menunduk, lalu menarik satu kertas dari mapnya. Kertas putih polos. Ia melipatnya dengan cepat, tak begitu rapi, dan menyerahkannya ke Elvanza.
Seekor kura-kura.
“Kenapa ini?” tanya Elvanza, suaranya hampir retak.
“Kura-kura nggak lari kencang, tapi dia tetap jalan. Dan rumahnya selalu ikut ke mana pun dia pergi. Kamu juga gitu. Kamu bawa ‘rumahmu’ sendiri.”
Elvanza menatap lipatan itu lama. Lalu tersenyum kecil. Bukan senyum yang lebar, tapi cukup untuk memberi tanda kalau ia belum selesai berjuang.
Beberapa hari setelah itu, Elvanza absen. Satu hari. Dua hari. Lalu seminggu penuh.
Kiryas mencoba tanya ke wali kelas, tapi cuma dapat jawaban samar. “Lagi butuh waktu buat diri sendiri,” katanya.
Bangku pojok itu terasa lebih dingin dari biasanya. Origami terakhir yang Elvanza tinggalkan—si rubah abu-abu—masih tersimpan di dalam map Kiryas, dilapisi plastik kecil agar tidak lecek. Setiap hari, ia membuka map itu seperti membuka buku harian tanpa tulisan.
Lalu, suatu pagi, seminggu sebelum libur semester, Elvanza datang lagi.
Langkahnya pelan, wajahnya pucat tapi matanya hidup. Ia duduk seperti biasa, menoleh sebentar ke arah Kiryas, lalu tersenyum kecil.
“Aku balik.”
Kiryas hanya mengangguk. “Kamu bawa rumahmu?”
Elvanza menarik satu kertas kuning dari tasnya. Ia melipat cepat, lalu menyerahkannya ke Kiryas.
Bentuknya bukan hewan. Bukan kursi. Bukan prisma.
Tapi pintu.
Di balik lipatannya, ada satu kalimat pendek:
“Kalau suatu hari aku pergi lagi, kamu tetap tahu caranya buka pintu ini.”
Kiryas membacanya, menahan napas.
Lalu ia menulis balasan di balik pintu itu. Kalimatnya hanya dua kata.
“Aku tunggu.”
Dan sejak itu, mereka tak lagi bertukar origami setiap hari. Kadang masih ada, kadang tidak. Tapi keduanya tahu, tak perlu lipatan kertas untuk saling mengerti. Karena apa yang semula dibangun dari diam, sekarang sudah tumbuh jadi sesuatu yang lebih.
Bukan hubungan, bukan janji, bukan juga definisi.
Hanya ruang.
Ruang untuk menjadi rapuh, ruang untuk diam, dan ruang untuk sembuh—tanpa takut dinilai atau ditinggal.
Bangku pojok itu tak lagi sekadar tempat duduk. Ia jadi saksi dua orang asing yang perlahan belajar bahwa keberadaan seseorang… bisa sesederhana duduk di sampingmu saat dunia terlalu ribut.
Dan kadang, itu cukup.
Tamat.
Cerita Kiryas dan Elvanza ngajarin kita satu hal penting: kadang, yang paling dalam itu nggak perlu dijelaskan panjang lebar. Nggak semua perasaan harus diteriakkan, dan nggak semua luka harus disembuhkan dengan kata-kata.
Ada rasa yang cukup dipahami dalam diam, lewat origami-origami kecil yang diam-diam menyimpan dunia. Kalau kamu pernah ngerasa sendirian di keramaian, atau pernah ketemu orang yang bikin kamu ngerasa ‘dilihat’ tanpa banyak bicara—cerita ini bisa jadi cermin kecil buat hati kamu.