Daftar Isi
Pernah nggak sih merasa kayak dunia ini nggak adil? Kayak ada yang bener-bener di atas, sementara ada juga yang terus berjuang di bawah? Cerita ini bakal ngasih kamu gambaran nyata tentang persahabatan yang nggak peduli status sosial, duit, atau keberhasilan.
Dari masa kecil yang penuh harapan hingga kenyataan hidup yang keras, persahabatan antara orang kaya dan miskin ini penuh kejutan. Siapa sangka, setelah bertahun-tahun terpisah, mereka bakal bertemu lagi dalam keadaan yang bener-bener nggak terduga? Keep reading, dan siap-siap merinding!
Dari Janji di Masa Kecil Hingga Realita Kehidupan
Kenangan di Lapangan Kecil
Langit sore menggantung dengan warna jingga keemasan, sementara angin sepoi-sepoi berhembus lembut di antara rerimbunan pohon. Di tengah lapangan kecil yang sedikit berdebu, dua anak lelaki berlarian tanpa alas kaki, tertawa riang seakan dunia hanya milik mereka berdua.
“Arga! Oper ke aku!” teriak seorang anak bertubuh lebih besar, matanya berbinar penuh semangat.
Anak yang dipanggil Arga itu meliuk lincah, menghindari imajinasi lawan yang tak terlihat, lalu menendang bola dengan penuh tenaga. Bola itu mengarah ke anak lain yang berdiri di dekat gawang seadanya—dua batu besar yang diletakkan berjauhan.
Reyhan, bocah dengan rambut sedikit berantakan, menangkap bola itu dengan dadanya sebelum menendangnya keras ke gawang. Bola meluncur deras dan—bumm!—masuk sempurna.
“Goool!” seru Reyhan, mengangkat tangan ke udara dengan bangga.
Arga menghampirinya dengan wajah masam. “Kamu curang! Harusnya aku bisa cegat tadi.”
Reyhan terkekeh. “Salah sendiri, kamu kurang cepat!”
Arga mendengus, lalu duduk di bawah pohon besar yang menaungi lapangan. “Ayo istirahat dulu.”
Reyhan ikut duduk di sebelahnya, mengusap keringat di dahinya dengan lengan bajunya yang sudah lusuh oleh tanah dan debu. “Kalau kita gede nanti, kamu mau jadi apa?” tanyanya tiba-tiba.
Arga terdiam sejenak, lalu menatap langit yang mulai berubah warna menjadi lebih gelap. “Aku mau jadi arsitek. Mau bikin rumah besar buat Ibu, supaya kita nggak tinggal di kontrakan sempit lagi.”
Reyhan mengangguk penuh semangat. “Bagus tuh! Kalau aku… aku pengen punya usaha sendiri. Jadi orang kaya yang punya banyak uang!”
Arga tertawa. “Dasar mata duitan! Tapi kalau kamu kaya nanti, kamu harus tetap jadi temanku, ya?”
Reyhan menepuk bahu Arga dengan penuh keyakinan. “Pasti! Kita sahabat selamanya, nggak peduli nanti aku jadi apa atau kamu jadi apa.”
Langit makin gelap, dan suara ibu mereka mulai memanggil dari kejauhan. Dengan enggan, keduanya bangkit dan berjalan berdampingan pulang ke rumah masing-masing, tanpa tahu bahwa hari itu akan menjadi salah satu kenangan paling berharga dalam hidup mereka.
Mereka tidak tahu bahwa dunia akan segera berubah. Bahwa janji yang mereka ucapkan hari itu akan diuji oleh waktu, jarak, dan keadaan yang tidak terduga.
Dunia yang Berbeda
Waktu melesat tanpa ampun, seperti angin yang tak bisa digenggam. Lima belas tahun berlalu sejak janji di bawah pohon besar itu, dan kehidupan berjalan ke arah yang tak pernah mereka bayangkan.
Di sebuah kafe mewah yang penuh dengan orang-orang berdasi, seorang pria muda berjas rapi duduk santai di sudut ruangan. Matanya menelusuri layar ponsel, sesekali tersenyum kecil membaca berita tentang dirinya sendiri.
“Reyhan Wijaya, pengusaha muda yang sukses di usia 25 tahun.”
Ia terkekeh pelan. Semua orang selalu mengaguminya, mengejar namanya, seakan dunia berputar di sekelilingnya. Tapi semakin tinggi ia mendaki, semakin sunyi perjalanannya.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak Reyhan?” tanya seorang pegawai kafe dengan sopan.
“Americano saja,” jawab Reyhan santai.
Begitulah hidupnya sekarang—rapi, sukses, dan penuh penghormatan dari orang-orang yang bahkan tidak benar-benar mengenalnya. Namun di balik semua itu, ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh kekayaan ataupun pujian.
Di sudut lain kota, jauh dari gemerlap dunia bisnis, seorang pria muda dengan pakaian lusuh terduduk di trotoar. Wajahnya penuh debu, dan tangannya menggenggam plastik berisi roti sisa yang ia dapatkan dari dermawan yang iba padanya.
Arga menatap roti itu lama sebelum akhirnya menggigitnya perlahan. Sudah berapa lama ia hidup seperti ini? Bertahun-tahun.
Dulu, hidupnya masih normal. Ia berusaha keras setelah kehilangan ayahnya, tetap bersekolah sambil bekerja serabutan. Tapi kemalangan datang bertubi-tubi—ibunya jatuh sakit, biaya berobat menumpuk, dan perlahan mereka kehilangan segalanya. Hingga suatu hari, ibunya meninggal dunia, meninggalkan Arga seorang diri tanpa siapa pun di sisinya.
Ia mencoba bertahan, bekerja apa saja yang bisa dilakukan. Namun, kerasnya hidup di kota besar tak memberi banyak pilihan bagi mereka yang jatuh tanpa pegangan. Sampai akhirnya, ia menyerah pada keadaan, menjadi bagian dari orang-orang yang tak dihiraukan oleh dunia.
Arga menarik napas panjang, menatap langit sore yang mulai memerah. Dulu, ia selalu percaya bahwa hidup bisa diubah asal seseorang bekerja keras. Tapi nyatanya, dunia tidak selalu adil.
Tanpa sadar, jemarinya mencoret-coret tanah di depannya. Huruf-huruf yang ia buat membentuk nama yang sudah lama tak ia sebut:
REYHAN.
Nama itu masih lekat dalam ingatannya, bersama janji lama yang kini terasa seperti lelucon.
“Ternyata kita memang nggak bisa milih mau lahir di mana dan jadi apa,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh bising kendaraan yang melintas di sekitarnya.
Ia tak tahu bahwa dalam waktu dekat, takdir akan mempertemukan mereka kembali. Sebuah pertemuan yang akan mengguncang kenyataan yang selama ini mereka percayai.
Pertemuan di Bawah Hujan
Langit gelap menggantung di atas kota, diselimuti awan pekat yang mengancam akan mencurahkan hujan deras. Petir sesekali menyambar di kejauhan, disusul dengan suara gemuruh yang menggema di antara gedung-gedung tinggi.
Reyhan berjalan keluar dari hotel mewah tempatnya menginap, tangannya dimasukkan ke dalam saku jasnya. Ia baru saja menghadiri sebuah pertemuan bisnis yang membosankan. Setiap orang yang datang selalu berbicara tentang uang, investasi, dan keuntungan, tanpa ada satu pun yang benar-benar peduli satu sama lain.
Ia memutuskan untuk berjalan kaki sebentar, membiarkan udara malam yang lembap meredakan kepenatan yang mengendap di dadanya. Langkahnya tak tentu arah, hingga tanpa sadar ia sampai di sebuah persimpangan jalan yang terasa asing baginya.
Tepat saat itu, hujan mulai turun.
Titik-titik air jatuh dengan cepat, membasahi aspal dan menciptakan genangan kecil di sana-sini. Orang-orang di sekitarnya buru-buru mencari tempat berteduh, kecuali satu sosok yang tetap berdiri di trotoar, membiarkan hujan mengguyur tubuhnya.
Reyhan tidak tahu kenapa, tapi langkahnya melambat. Ada sesuatu pada sosok itu yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan.
Pria itu mengenakan jaket kusam yang sudah tak layak disebut jaket, dengan rambut berantakan yang basah oleh hujan. Wajahnya pucat dan tubuhnya tampak lebih kurus dari yang seharusnya. Ia berdiri diam, seperti patung yang tak peduli dengan dunia di sekitarnya.
Dan saat pria itu perlahan menoleh, dada Reyhan terasa seperti dihantam sesuatu yang tak terlihat.
Matanya membelalak. Wajah itu…
“Arga?” suaranya nyaris tak keluar, lebih seperti bisikan.
Pria lusuh itu mengerjap pelan, menatapnya dengan sorot mata kosong yang perlahan berubah menjadi keterkejutan. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata-kata yang keluar.
Dunia seakan berhenti berputar di antara mereka.
Hujan terus turun, membasahi tubuh keduanya, tapi Reyhan tak merasakannya. Yang ia rasakan hanyalah hantaman kenyataan yang begitu keras—sahabat kecil yang dulu selalu bersamanya, kini berdiri di hadapannya dalam keadaan yang jauh dari bayangannya.
“Kamu… Reyhan?” suara Arga akhirnya terdengar, serak dan lirih, seakan tak percaya bahwa sosok di depannya nyata.
Reyhan masih terpaku. Dadanya terasa sesak, pikirannya berputar liar. Ini bukan mimpi, bukan ilusi. Ini benar-benar Arga—sahabat kecilnya, yang dulu selalu menemaninya, yang dulu bercita-cita ingin menjadi arsitek, yang dulu… berjanji akan tetap bersamanya.
Tapi lihat sekarang. Mereka berdiri di dua dunia yang berbeda, terpisah oleh kenyataan yang begitu kejam.
“Arga, ini benar-benar kamu?” Reyhan akhirnya bisa mengeluarkan suaranya dengan lebih jelas, meski masih terdengar gemetar.
Arga mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. Senyum yang dulu begitu akrab bagi Reyhan, tapi kini terasa asing karena diliputi kepahitan.
“Haha… lucu ya? Dulu kita selalu bilang kalau kita bakal sukses bareng,” kata Arga, suaranya getir. “Tapi lihatlah… kamu di atas, dan aku…” ia tertawa kecil, lalu menunduk, membiarkan air hujan bercampur dengan air matanya.
Reyhan menatapnya tanpa tahu harus berkata apa. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa hancur berkeping-keping. Ia ingin percaya bahwa ini hanya kesalahpahaman, bahwa Arga baik-baik saja, bahwa semua ini bisa diperbaiki.
Tapi kenyataan tidak sebaik itu.
Tanpa pikir panjang, Reyhan melepas jas mahalnya dan menyampirkannya ke bahu Arga yang menggigil.
“Ayo ikut aku,” katanya tegas.
Arga menoleh, menatapnya dengan ragu. “Aku nggak bisa, Rey. Aku udah bukan siapa-siapa.”
Reyhan menatapnya tajam. “Jangan ngomong kayak gitu. Kamu masih Arga, sahabat aku. Aku nggak peduli kamu ada di mana sekarang, aku nggak bakal ninggalin kamu.”
Hening. Hujan masih mengguyur tanpa ampun.
Arga menatap Reyhan lama, sebelum akhirnya menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ada seseorang yang melihatnya—bukan sebagai gelandangan, bukan sebagai orang kalah, tapi sebagai manusia.
Sebagai sahabat.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arga merasa bahwa ia mungkin… masih memiliki tempat di dunia ini.
Sahabat Tidak Akan Hilang
Arga menatap jas mahal yang kini menempel di tubuhnya. Dingin yang menusuk perlahan memudar, digantikan dengan kehangatan yang lebih dalam—bukan hanya dari kain tebal itu, tapi dari seseorang yang berdiri di hadapannya.
Reyhan tetap menatapnya, matanya tak lagi sekadar menunjukkan keterkejutan, tapi juga tekad. Tanpa menunggu jawaban, ia meraih lengan Arga dan menariknya ke dalam mobil yang terparkir di tepi jalan. Arga tak melawan. Mungkin karena tubuhnya sudah terlalu lelah, atau mungkin karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin percaya pada seseorang lagi.
Mobil melaju menembus hujan, meninggalkan trotoar yang sudah terlalu lama menjadi tempat berteduh bagi Arga.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Arga tidur di tempat yang layak. Ia duduk di sofa empuk dengan selimut hangat di pundaknya, menatap secangkir teh yang mengepulkan uap di atas meja.
“Minumlah,” kata Reyhan, duduk di seberangnya.
Arga ragu sejenak, lalu mengangkat cangkir itu. Begitu cairan hangat menyentuh tenggorokannya, ada sesuatu yang mengalir di dadanya. Rasa yang hampir ia lupakan—kenyamanan.
Reyhan mengamati sahabatnya itu dengan ekspresi sulit dijelaskan. Ia tahu Arga mungkin tidak akan langsung terbuka, tapi ia tak peduli seberapa lama itu akan butuh waktu.
“Apa yang terjadi sama kamu, Ga?” tanyanya akhirnya.
Arga menghela napas, menatap kosong ke meja. “Banyak hal… dan aku terlalu capek buat ngelawan.”
Reyhan menggertakkan giginya. “Kenapa nggak cari aku? Kenapa nggak kasih tahu kalau kamu butuh bantuan?”
Arga terkekeh kecil, getir. “Kamu pikir aku nggak mau? Aku cari kamu, Rey. Tapi orang kayak aku nggak punya akses buat deket-deket sama orang sekelas kamu. Aku cuma bisa lihat namamu di berita, baca kisah sukses kamu dari jauh… sementara aku? Aku bukan siapa-siapa.”
Hening. Kata-kata Arga menampar Reyhan keras.
“Aku nggak peduli sekaya apa aku sekarang, Ga,” Reyhan berkata, suaranya serak menahan emosi. “Aku tetap Reyhan. Sahabatmu.”
Arga tersenyum miris. “Dunia nggak sesederhana itu, Rey.”
“Tapi aku tetap ada di sini, kan?”
Arga menatap mata sahabatnya itu. Di balik kekayaan dan kehidupan mewahnya, Reyhan masih sama seperti dulu. Masih anak yang menepuk bahunya saat ia jatuh, masih anak yang berjanji bahwa mereka akan selalu bersama.
Tapi dunia memang sudah berubah. Dan Arga tahu, tidak ada yang bisa kembali seperti dulu.
“Aku nggak bisa tinggal di sini selamanya, Rey,” katanya pelan.
Reyhan menegang. “Aku nggak bilang kamu harus tinggal di sini. Tapi kamu bisa mulai dari awal. Aku bisa bantu.”
“Aku nggak mau dikasihani,” balas Arga cepat.
Reyhan mendengus, lalu tersenyum sinis. “Siapa yang bilang aku kasihan? Aku butuh seorang arsitek buat proyek baruku. Kamu masih ingat cita-cita kamu, kan?”
Arga terdiam. Cita-cita. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia memikirkan itu?
Reyhan menatapnya tajam. “Jangan bilang ke aku kalau kamu lupa cara menggambar.”
Arga masih tak bisa berkata-kata. Ia menatap jari-jarinya yang dulu lincah menggambar sketsa rumah impiannya. Jemarinya kini kasar, penuh luka dari kehidupan jalanan. Tapi Reyhan benar. Ia belum lupa. Ia tidak akan pernah lupa.
Sebuah kehangatan merayapi dadanya, sesuatu yang hampir ia lupakan.
Harapan.
Arga menatap sahabatnya, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Aku mau coba.”
Reyhan tersenyum. “Bagus. Karena sahabat nggak akan ninggalin sahabatnya sendiri.”
Dan malam itu, di bawah cahaya lampu kota, dua sahabat yang pernah terpisah akhirnya menemukan jalan kembali satu sama lain.
Bukan karena takdir, bukan karena kebetulan. Tapi karena persahabatan sejati memang tak akan pernah hilang.
Jadi, gimana menurut kamu? Ada nggak sih pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini? Intinya, persahabatan sejati itu nggak akan pernah hilang, meskipun hidup bawa kita ke jalan yang berbeda.
Coba bayangin kalau kamu punya sahabat yang selalu ada buat kamu, kapanpun dan dimanapun. Tentu aja, nggak ada yang nggak mungkin kan? Jadi, tetap pegang janji yang udah pernah kamu ucapin, dan jangan lupa buat menghargai orang-orang yang ada di sampingmu!