Daftar Isi
Hidup itu lucu. Waktu kecil, semuanya terasa sederhana—main di sawah, lari-larian di jalan tanah, bercanda tanpa mikirin apa-apa. Tapi semakin dewasa, semakin sadar kalau dunia nggak seindah dulu. Ada luka, ada kehilangan, ada mimpi yang berubah, dan ada kenyataan yang harus diterima.
Cerita ini tentang perjalanan seseorang dari bocah kampung yang polos sampai jadi orang yang harus menghadapi kerasnya hidup. Tapi, satu pertanyaan tetap ada: kalau semuanya berubah, masih adakah tempat untuk pulang?
Cerita Perjalanan Hidup
Jejak Kaki di Tanah Basah
Di desa kecil yang sunyinya hanya dipecahkan oleh suara jangkrik dan nyanyian burung, seorang anak laki-laki berlari tanpa alas kaki di pematang sawah. Kakinya belepotan lumpur, tapi tawa lepasnya mengisi udara sore yang mulai kemerahan. Ia adalah Arva, bocah yang selalu ingin tahu, tak kenal takut, dan percaya bahwa dunia adalah tempat bermain yang tak ada ujungnya.
Di belakangnya, Kilan mengejar sambil mengumpat kecil. “Arva! Aku bilang jangan lari terus, tahu! Kamu licik banget sih?”
Arva menoleh sekilas dengan senyum jahil. “Kamu aja yang lambat!”
Kilan mendengus kesal dan melempar segenggam lumpur ke arah sahabatnya itu. Arva berhasil menghindar, tapi akibatnya, ia tergelincir dan jatuh ke kubangan air di antara sawah.
“Ha! Rasain!” Kilan tertawa puas, tapi belum sempat ia bersiap kabur, Arva menariknya hingga mereka jatuh bersama. Tawa mereka pecah, bergema di tengah hamparan sawah hijau yang membentang luas.
Dari kejauhan, suara nyaring seorang wanita terdengar. “Arva! Pulang sekarang juga!”
Arva langsung terdiam. Ia menoleh ke arah rumah panggung kecil di tepi desa, tempat seorang wanita berkain batik berdiri di depan pintu. Wajahnya sedikit kusut, rambutnya disanggul sederhana, dan tangan kanannya masih sibuk memeras kain basah di ember.
“Kamu main di mana saja sampai lupa waktu?!” lanjut ibunya dengan nada tegas.
Arva menggaruk kepala, berjalan gontai ke arah rumah. “Tadi… tadi cuma di sawah, Bu.”
Kilan, yang berdiri di belakangnya, menunduk takut. “Tante, salahkan aku aja. Aku yang ngajak Arva main.”
Ibunya menghela napas, menggeleng pelan. “Kamu juga harus pulang, Kilan. Ibumu pasti mencari kamu.”
Setelah Kilan pergi, Arva duduk di bangku kayu dekat pintu. Ibunya menatapnya lama sebelum mengusap rambutnya yang masih basah dan kotor.
“Kamu ini, Nak. Sudah hampir Maghrib, tapi masih main lumpur.”
Arva tertawa kecil, tapi cepat-cepat terdiam ketika ibunya melotot.
“Mandi sekarang, habis itu makan. Ayahmu sebentar lagi pulang.”
Malam itu, rumah mereka hanya diterangi lampu minyak yang remang. Ayahnya duduk bersila di lantai, tangannya mengusap wajah penuh keringat. Dari tadi ia belum berkata sepatah kata pun.
Ibunya meletakkan piring berisi nasi dan sayur bening di depannya. “Panennya kurang baik, ya?” tanyanya hati-hati.
Ayah Arva hanya mengangguk. Tatapannya kosong, seperti sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya.
Arva, yang duduk tak jauh dari mereka, ikut terdiam. Meski usianya baru delapan tahun, ia bisa merasakan sesuatu yang berat sedang terjadi.
“Apa kita nggak ada uang, Bu?” tanyanya polos.
Ibunya tersenyum tipis. “Ada, tapi nggak banyak.”
Ayahnya menghela napas, lalu meraih piring dan mulai makan. Tak ada percakapan lebih lanjut. Hanya suara sendok bertemu piring dan desir angin malam yang masuk dari celah dinding bambu.
Arva tak banyak bicara malam itu. Saat ia berbaring di atas tikar anyaman, matanya tetap terbuka, memandangi atap rumah yang mulai menghitam karena jelaga lampu minyak. Ia mulai berpikir—apakah semua orang dewasa selalu punya beban seberat itu?
Pagi berikutnya, Arva sudah kembali berlarian di halaman. Ia membuat pesawat-pesawatan dari daun pisang dan meniupnya ke udara. Kilan datang membawa sesuatu yang disembunyikan di balik bajunya.
“Kamu nggak bakal percaya apa yang aku temuin!” seru Kilan dengan mata berbinar.
Arva menghentikan permainannya, menatap Kilan penuh minat. “Apa? Ayo kasih lihat!”
Kilan membuka kedua tangannya, memperlihatkan seekor burung kecil dengan sayap cokelat yang lemah.
“Kamu nemu ini di mana?”
“Di bawah pohon jambu belakang rumahku. Kayaknya jatuh dari sarang.”
Arva mengernyit. “Terus, kita mau ngapain?”
“Kita rawat sampai dia bisa terbang lagi!”
Arva ragu. “Tapi burung harusnya tetap di alam. Kalau dia nggak mau makan gimana?”
Kilan mendengus. “Kamu kok pesimis banget? Kita coba dulu aja!”
Dan begitulah, dua bocah itu menghabiskan hari-hari berikutnya merawat burung kecil itu. Mereka membuat sarang dari ranting, memberi makan dengan pipet kecil, dan bahkan memberi nama—Rimbo.
Namun, seminggu kemudian, saat Arva datang ke rumah Kilan, ia melihat sahabatnya duduk di atas tangga kayu dengan mata merah.
“Rimbo mati.”
Arva tertegun. “Kenapa?”
“Dia nggak mau makan dari kemarin.”
Mereka diam cukup lama. Hati mereka masih terlalu kecil untuk benar-benar memahami arti kehilangan, tapi untuk pertama kalinya, Arva menyadari bahwa tidak semua yang mereka jaga bisa selamanya bersama mereka.
Hari itu, mereka mengubur Rimbo di belakang rumah Kilan.
“Kamu percaya kalau burung bisa reinkarnasi?” tanya Kilan tiba-tiba.
Arva mengangkat bahu. “Nggak tahu. Mungkin dia bakal terlahir jadi burung yang lebih kuat.”
Kilan tersenyum tipis. “Kalau gitu, semoga dia nggak jatuh lagi.”
Langit sore mulai berubah jingga. Angin bertiup pelan, menggoyangkan padi-padi di kejauhan. Di usia sekecil itu, Arva belum tahu bahwa hidup adalah tentang kehilangan demi kehilangan, tapi hari itu, ia menyimpan satu pelajaran kecil—tak ada yang bisa benar-benar tetap sama selamanya.
Dan ia masih akan belajar banyak hal lainnya, seiring waktu yang terus berjalan.
Senja yang Membawa Perpisahan
Arva duduk di atas tumpukan karung beras di gudang belakang rumahnya, menatap kosong ke arah langit senja yang mulai memerah. Dari kejauhan, suara sapi di kandang dan gemericik air dari irigasi terdengar samar. Hari itu terlalu sepi. Kilan belum muncul, dan Arva merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Biasanya, setiap sore, mereka akan bertemu di bawah pohon randu dekat sawah, membicarakan hal-hal sepele—dari rencana mencuri mangga tetangga sampai impian besar mereka untuk melihat kota suatu hari nanti. Tapi sejak beberapa hari terakhir, Kilan menghilang.
Tiba-tiba, suara langkah kaki berlari terdengar. Arva menoleh cepat. Kilan berdiri di depan pagar, napasnya tersengal.
“Kamu kenapa?” tanya Arva, turun dari karung dan berjalan mendekat.
Kilan menunduk, menggigit bibirnya. “Aku mau pindah, Va.”
Arva terdiam. Kata-kata itu terasa aneh di telinganya. “Pindah ke mana?”
“Ke kota. Ayahku dapat kerjaan di pabrik.”
Hening. Angin sore berhembus, membawa aroma tanah yang mulai mengering. Arva mencoba mencerna kata-kata itu. Kota. Jauh dari desa ini.
“Kapan?” tanyanya pelan.
“Besok.”
Arva mendongak. “Besok?”
Kilan mengangguk, matanya sedikit basah. “Aku juga baru dikasih tahu tadi pagi.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arva merasakan ketakutan yang tidak bisa ia jelaskan. Selama ini, Kilan selalu ada di sisinya—dari bermain lumpur, merawat Rimbo, hingga mencuri jambu tetangga. Sekarang, temannya akan pergi.
“Kamu serius?” suara Arva bergetar sedikit.
Kilan mengangguk lagi, kali ini lebih pelan. “Aku nggak mau, Va. Tapi aku harus ikut orangtuaku.”
Arva ingin marah. Ia ingin mengatakan bahwa Kilan egois karena meninggalkannya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu Kilan juga tidak ingin pergi.
“Aku bakal balik ke sini nanti,” lanjut Kilan, mencoba tersenyum. “Mungkin pas liburan.”
Arva mengangguk, meski ia tahu dalam hatinya itu tak akan mudah.
Malam itu, Arva tidak bisa tidur. Ia berbaring di atas tikarnya, memandangi atap bambu rumahnya yang penuh jelaga. Suara jangkrik terdengar semakin kencang di luar.
Pikirannya dipenuhi bayangan tentang Kilan yang pergi. Bagaimana kalau Kilan bertemu teman baru di kota? Bagaimana kalau ia lupa dengan desa ini? Bagaimana kalau mereka tidak akan pernah bertemu lagi?
Tanpa sadar, air matanya jatuh ke pelipis.
Keesokan paginya, Arva sudah berdiri di depan rumah Kilan sebelum matahari terbit. Di sana, sebuah truk tua dengan bak terbuka sudah menunggu. Beberapa karung dan koper tersusun di dalamnya.
Kilan keluar dari rumah dengan kepala tertunduk. Ibunya menyuruhnya naik ke bak truk, tapi sebelum itu, Kilan menoleh ke arah Arva.
“Jangan nangis, ya,” katanya dengan senyum lemah.
Arva mengerutkan dahi. “Aku nggak nangis.”
Kilan terkekeh, lalu merogoh sesuatu dari saku celananya dan melemparnya ke arah Arva. Sebuah batu kecil dengan ukiran kasar.
“Itu biar kamu inget aku,” katanya.
Arva menggenggam batu itu erat. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Kilan naik ke truk. Mesin mulai menyala, dan perlahan kendaraan itu bergerak meninggalkan halaman rumah. Arva berlari mengikuti dari belakang, tapi kakinya mulai melambat.
Truk itu menjauh, membawa sahabatnya pergi.
Arva berdiri di tengah jalan tanah, napasnya berat. Tangannya mengepal erat batu kecil itu, seakan dengan menggenggamnya, ia bisa menahan Kilan agar tetap di sini. Tapi kenyataan tidak bisa diubah.
Ia baru sepuluh tahun saat pertama kali merasakan apa itu kehilangan.
Dan itu hanya permulaan.
Luka-Luka di Jalan Kota
Kota itu lebih besar dari yang pernah dibayangkan Kilan. Bangunan-bangunan menjulang tinggi, jalanan penuh dengan kendaraan yang bersahutan, dan udara bercampur bau asap serta debu. Semuanya terasa asing.
Sudah bertahun-tahun sejak hari ia meninggalkan desanya, meninggalkan Arva yang berdiri di tengah jalan dengan genggaman kecil di tangannya. Ingatan itu kadang datang di malam-malam sepi, ketika ia terlalu lelah untuk tertidur.
Kehidupan di kota tidak mudah. Ayahnya bekerja di pabrik sepatu, sedangkan ibunya mengambil upah sebagai penjahit di rumah-rumah orang kaya. Sementara itu, Kilan bersekolah di sekolah negeri yang penuh anak-anak dengan berbagai macam latar belakang.
Di sinilah ia belajar sesuatu: kota tidak punya tempat untuk orang yang lemah.
Di desa, jika seseorang jatuh, pasti ada yang mengulurkan tangan. Tapi di kota, jatuh berarti tertinggal. Jika tidak kuat, kau akan diinjak. Itu yang ia rasakan ketika pertama kali menjadi anak baru.
“Kamu anak desa, ya?” Seorang anak laki-laki dengan seragam berantakan menatapnya dari atas ke bawah.
“Iya,” jawab Kilan pelan.
Anak itu tertawa kecil. “Pantes. Lihat tuh, rambutmu masih kayak anak kampung.”
Teman-temannya ikut tertawa. Kilan meraba rambutnya yang memang masih dibiarkan seperti dulu, sedikit gondrong dan berantakan.
Sejak hari itu, ia mulai belajar cara bertahan. Ia berusaha menghilangkan aksen desanya, mengubah cara berjalannya, bahkan mulai menghindari berbicara terlalu banyak.
Tapi ada satu hal yang tidak bisa ia hilangkan: kerinduannya akan desa.
Malam-malam di kamar sempit, ia membayangkan suara burung di pagi hari, bau sawah setelah hujan, dan suara Arva yang memanggilnya dari kejauhan. Tapi semakin lama, ingatan itu mulai memudar.
Sampai suatu hari, ia menerima surat.
Kilan menatap amplop lusuh itu dengan napas tertahan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mendapat kabar dari desa.
Dengan hati-hati, ia merobek bagian atasnya dan menarik keluar secarik kertas yang penuh dengan tulisan tangan Arva.
“Kilan, apa kabar?”
Satu kalimat itu saja sudah cukup membuat dadanya sesak.
“Kamu pasti sudah lupa sama aku. Nggak apa-apa, aku ngerti. Aku cuma mau cerita, Rimbo mati dua minggu lalu. Aku pikir kamu harus tahu. Aku yang nguburin dia di belakang rumah. Tempat yang dulu kita suka main. Aku harap kamu masih ingat.”
Tangan Kilan sedikit gemetar saat membaca kalimat itu. Rimbo, sapi kecil yang dulu mereka rawat bersama.
“Aku harap kamu masih ingat jalan pulang. Tapi kalaupun nggak, nggak apa-apa. Aku cuma mau bilang, aku masih inget kamu.”
Surat itu pendek, tapi rasanya lebih berat dari apa pun yang pernah Kilan baca.
Ia menatap jendela apartemen kecilnya yang menghadap ke gang sempit. Jauh dari sawah, jauh dari langit terbuka yang dulu ia kenal.
Ia menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ia masih punya tempat di desa?
Dan apakah Arva masih akan menerimanya jika ia kembali?
Jalan Pulang yang Tak Sama
Kilan berdiri di tepi jalan desa yang sudah lama ia tinggalkan. Debu tipis berterbangan saat angin sore berhembus, membawa aroma sawah yang khas—sesuatu yang hampir ia lupakan. Jalan setapak menuju rumahnya masih sama, tapi terasa lebih sempit, lebih sunyi.
Di tangannya, surat lusuh dari Arva masih tergenggam erat. Setelah bertahun-tahun menunda, akhirnya ia pulang.
Tapi apakah ini benar-benar pulang?
Ia berjalan perlahan, memperhatikan sekeliling. Pohon randu yang dulu menjadi tempat favorit mereka masih berdiri tegak, tapi dahannya lebih rindang, seolah waktu terus berjalan tanpa menunggunya. Ia melewati warung Bu Mardinah, tempat mereka biasa membeli permen karet satuan. Warung itu sudah berganti menjadi toko kelontong kecil dengan papan nama baru.
Setiap langkah yang diambil semakin membuatnya sadar—desa ini memang masih sama, tapi ia yang sudah berubah.
Ketika rumah Arva akhirnya terlihat di ujung jalan, Kilan berhenti sejenak. Napasnya berat. Ia tidak tahu harus berkata apa nanti.
Tapi tak perlu waktu lama sebelum suara seseorang memecah lamunannya.
“Kilan?”
Suara itu.
Kilan menoleh cepat. Di depan rumah, seorang pemuda berdiri dengan kaus lusuh dan celana yang sedikit kotor karena lumpur. Arva.
Mereka bertatapan lama, seperti dua orang asing yang berusaha mengenali satu sama lain.
“Kamu beneran pulang,” kata Arva akhirnya, suaranya terdengar samar.
Kilan mengangguk, tapi entah kenapa kata-kata sulit keluar dari mulutnya. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tapi juga terlalu banyak yang sudah berubah.
Arva melangkah mendekat, lalu tanpa peringatan, ia meninju bahu Kilan.
“Lama banget, bodoh.”
Kilan tersentak, lalu mendengus pelan. Ia pantas mendapat itu.
Arva menghela napas, menatapnya lekat. “Kamu berubah.”
Kilan menunduk. “Kamu juga.”
Angin berhembus di antara mereka, membawa keheningan yang sarat makna.
Setelah beberapa detik, Arva tersenyum kecil, seperti dulu. “Tapi desa ini masih sama, Kil. Kamu nggak perlu takut.”
Kilan menatap rumah di belakang Arva, melihat halaman yang dulu selalu jadi tempat mereka bermain. Entah bagaimana, dadanya terasa lebih ringan.
Ia tersenyum, kali ini tanpa ragu. “Ayo masuk.”
Arva mengangguk, dan mereka berjalan bersama melewati pintu yang dulu selalu terbuka untuknya.
Jalan pulang mungkin sudah tak sama, tapi di dalam hatinya, ia tahu—ia akhirnya benar-benar kembali.
Hidup memang terus berjalan, dan orang-orang berubah. Tapi ada satu hal yang nggak akan pernah hilang—tempat di mana hati selalu ingin kembali.
Kadang jalan pulang nggak lagi sama, tapi kalau ada satu orang yang masih mau menerima kita apa adanya, berarti kita nggak pernah benar-benar kehilangan rumah. Karena rumah bukan cuma tempat, tapi juga orang-orang yang tetap ada, meskipun waktu terus berganti.