Daftar Isi
Buat kamu yang penasaran gimana rasanya jadi kaya mendadak, cerita ini bakal bikin kamu mikir dua kali! Bayangin, seorang lelaki biasa dari gang sempit tiba-tiba menang lotre dan jadi miliarder.
Tapi… ada sesuatu yang aneh di balik semua itu. Yuk, baca kelanjutan kisah Sodik, si miskin yang berubah jadi kaya, tapi harus memilih antara kekayaan dan kebebasan hidupnya.
Cerita Miskin Jadi Kaya
Receh dan Mimpi di Gang Sempit
Di salah satu sudut kota yang padat dan sumpek, ada gang sempit bernama Gang Mawar. Jangan bayangkan ada bunga mawar di sana. Yang ada cuma tembok kusam penuh coretan, genangan air yang baunya nggak jelas, dan rumah-rumah petak yang jaraknya terlalu dekat sampai kalau ada yang batuk di ujung gang, yang di ujung satunya bisa dengar.
Di gang itulah Sodik tinggal. Kamarnya sempit, isinya cuma kasur tipis, kipas angin yang bunyinya kayak mesin jahit rusak, dan tumpukan baju yang lebih sering numpuk daripada dicuci. Sehari-hari, dia kerja serabutan. Apa aja yang penting halal. Kadang angkat barang di pasar, kadang bantu cuci mobil, kadang ngojek pake motor pinjaman.
Tapi ada satu hal yang selalu dia lakuin tiap hari: beli lotre.
Sodik tahu peluang menangnya kecil, tapi siapa tahu hari ini beda? Setiap sore, sebelum pulang, dia selalu mampir ke warung rokok dekat gang buat beli satu tiket lotre dari uang receh hasil kerja.
“Dapet rezeki dari mana lagi hari ini, Dik?” tanya Bang Jono, si pemilik warung yang perutnya lebih besar dari etalase dagangannya.
“Dari hasil angkat galon, Bang. Lumayan lah.” Sodik menyerahkan beberapa lembar uang lusuh. “Beli lotre satu.”
Bang Jono cekikikan sambil menyerahkan tiket. “Nggak bosan kalah terus?”
Sodik nyengir. “Nggak. Siapa tahu besok menang, Bang.”
“Kalau menang, jangan lupa traktir!”
“Pasti, Bang.”
Sehari-hari Sodik hidup seadanya. Sarapan cuma nasi uduk pakai tempe goreng. Makan siang kalau lagi ada duit bisa nasi padang, kalau lagi apes ya nasi kecap plus kerupuk. Malamnya, nongkrong di warung kopi pinggir jalan sambil nonton bola di TV kecil yang gambarnya sering burem.
Meskipun hidupnya pas-pasan, Sodik nggak pernah ngeluh. Dia bukan tipe orang yang iri lihat orang kaya. Yang bikin dia kesel justru orang yang lebih miskin tapi males usaha.
“Lu tahu, Dik?” kata Juki, temannya sesama pekerja serabutan. “Ada yang bilang hidup itu kayak lotre.”
Sodik nyeruput kopinya yang udah hampir dingin. “Maksud lu?”
“Ya, nggak semua orang dapet tiket menang. Ada yang dari lahir udah kaya, ada yang kayak kita—harus jungkir balik dulu buat makan.”
Sodik tertawa kecil. “Yaudah, makanya gue beli lotre tiap hari. Siapa tahu besok gue yang menang.”
Juki geleng-geleng kepala. “Bisa aja, sih. Tapi kalau lu beneran menang, kira-kira lu bakal ngapain?”
Pertanyaan itu membuat Sodik terdiam sebentar.
“Aku pengin…” Ia menarik napas dalam. “Beli rumah yang nggak bocor kalau hujan, makan enak tiap hari, dan—” ia tersenyum kecil. “—mungkin traktir semua orang di gang ini.”
Juki tertawa. “Lu terlalu baik, Dik. Kalau aku menang, aku kabur dari gang ini.”
Mereka berdua tertawa. Sodik nggak pernah benar-benar berpikir kalau dia bakal menang lotre. Itu cuma mimpi kecil yang dia simpan buat kasih dirinya sendiri harapan. Lagian, siapa juga orang miskin kayak dia yang bisa menang?
Tapi malam itu, entah kenapa, angin yang bertiup terasa beda.
Seakan-akan ada sesuatu yang besar menunggu di depan. Sesuatu yang akan mengubah hidup Sodik selamanya.
Keajaiban di Warung Kopi
Malam itu, Sodik masih di warung kopi langganannya. Biasanya dia cuma duduk santai, ngobrol ngalor-ngidul sama Juki atau sekadar nonton bola sambil ngopi. Tapi malam ini beda.
Di layar TV kecil yang menggantung di dinding warung, angka-angka lotre sedang diumumkan. Bukan hal yang asing buat Sodik. Dia sudah terbiasa melihat nomor yang selalu beda dari tiket di tangannya. Tapi tetap saja, setiap kali angka muncul di layar, dia selalu berharap.
“Nomor pemenang malam ini adalah… 5… 9… 2… 7… 1… 3…”
Sodik menatap tiket di tangannya. Seketika, napasnya tercekat. Matanya membesar. Keringat dingin langsung mengalir di pelipisnya.
Angkanya… sama persis.
Sodik sampai harus berkedip beberapa kali buat memastikan dia nggak salah lihat. Tiket di tangannya masih sama, angkanya masih sama dengan yang ada di TV.
Juki yang duduk di sebelahnya melongok ke tiket Sodik. “Eh, Dik… tiket lu….”
Bang Jono, yang sedari tadi sibuk menyusun bungkus rokok, mendongak. “Kenapa, lu?”
Sodik membuka mulut, tapi nggak ada suara yang keluar. Tangannya gemetar waktu dia nyodorin tiket itu ke arah Juki.
Juki butuh beberapa detik buat sadar sebelum tiba-tiba dia berdiri dan berteriak, “SODIK MENANG LOTREEEEE!”
Warung yang tadinya tenang langsung gempar. Semua mata tertuju ke Sodik. Orang-orang mulai berdiri, berkerumun, dan berusaha melihat tiket yang ada di tangannya.
“Beneran menang?!”
“Dua milyar, kan?! Astaga, Sodik, lu jadi miliarder sekarang!”
“Eh, Dik! Jangan lupa sama temen lama, ya!”
Sodik sendiri masih sulit percaya. Rasanya seperti mimpi. Tadi siang dia masih mikirin duit buat makan besok, sekarang dia tiba-tiba punya dua milyar?!
Bang Jono menepuk bahunya. “Besok lu harus ke kantor pusat buat klaim hadiah, Dik. Tiket itu jangan sampai ilang. Taruh di plastik, terus simpan di tempat aman!”
Malam itu, Sodik pulang dengan kepala penuh pikiran. Dia mengunci pintu rapat-rapat, bahkan menyelipkan kursi di bawah pegangan pintu buat berjaga-jaga. Tiket lotre itu dia masukkan ke dalam kaleng biskuit kosong, lalu dia taruh di bawah kasurnya.
Dia berbaring menatap langit-langit.
Jadi ini rasanya menang lotre?
Seharusnya dia bahagia. Tapi entah kenapa, ada perasaan aneh yang menggelitik hatinya. Sesuatu yang membuatnya nggak bisa tidur malam itu.
Dan dia nggak tahu… bahwa kemenangannya ini bukan sekadar keberuntungan biasa. Ada sesuatu yang jauh lebih besar di balik semua ini. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya dengan cara yang tak pernah dia bayangkan.
Tatapan Misterius di Balik Kekayaan
Keesokan paginya, Sodik berangkat ke kantor pusat lotre dengan hati campur aduk. Tangannya masih gemetar saat menyerahkan tiket ke petugas. Tapi begitu semua proses selesai, rekeningnya langsung terisi dua milyar rupiah. Dua. Milyar. Rupiah.
Sodik yang dulu harus mikir dua kali buat beli nasi padang sekarang punya duit lebih banyak dari yang pernah dia bayangkan.
Hidupnya berubah dalam sekejap.
Ia pindah dari rumah petaknya ke apartemen mewah. Bajunya yang dulu lusuh sekarang diganti dengan kemeja mahal yang bahkan baunya aja udah kayak orang kaya. Motor bututnya dijual, diganti mobil baru. Kalau dulu makan cuma nasi kecap, sekarang setiap hari dia bisa makan steak di restoran mahal.
Tapi ada satu hal yang nggak bisa dia abaikan.
Tatapan orang-orang.
Awalnya Sodik pikir itu cuma karena dia mendadak jadi kaya. Wajar lah, namanya juga mantan orang susah yang tiba-tiba hidup enak. Tapi makin lama, makin banyak orang yang menatapnya dengan cara yang… aneh.
Di restoran, seorang pria dengan jas rapi terus-menerus melirik ke arahnya dari sudut ruangan.
Di mal, seorang wanita dengan earphone seolah sedang menelepon, tapi tatapan matanya mengikuti setiap gerakan Sodik.
Di parkiran apartemen, seorang pria berkacamata hitam berdiri terlalu lama di dekat mobilnya, pura-pura merokok tapi matanya nggak lepas dari Sodik.
Awalnya Sodik mencoba mengabaikannya. Tapi makin lama, perasaan tidak nyaman itu makin menjadi.
Suatu malam, saat sedang duduk santai di balkon apartemennya, dia merasa ada yang memperhatikannya lagi. Jantungnya berdetak lebih cepat. Perlahan, dia menoleh ke bawah.
Di seberang jalan, seorang pria berdiri di bawah lampu jalan, mengenakan jaket hitam.
Tatapan pria itu lurus ke arahnya.
Dingin. Tanpa ekspresi.
Dan yang lebih menyeramkan… ini bukan pertama kalinya Sodik melihat orang itu.
Pria itu pernah ada di restoran tempat dia makan. Pernah terlihat di lobi apartemen. Bahkan pernah berdiri di depan kantor bank saat Sodik mengambil uang.
Ada yang nggak beres.
Jantung Sodik berdebar kencang. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru masuk ke dalam dan menutup pintu balkon rapat-rapat.
Hanya satu pikiran yang berkecamuk di kepalanya.
Siapa mereka?
Dan kenapa mereka terus mengawasinya?
Harga dari Keberuntungan
Sodik tak bisa tidur malam itu. Setiap suara kecil di apartemen mewahnya membuatnya waspada. Bayangan pria berjaket hitam itu terus menghantuinya.
Sudah tiga hari ia merasa diikuti. Bahkan saat ia pergi ke kafe untuk menghilangkan stres, seorang pria dengan jas abu-abu mendekatinya.
“Kamu menikmati hidup barumu, Tuan Sodik?”
Sodik nyaris menjatuhkan gelas kopinya. “Siapa kamu?”
Pria itu tersenyum tipis. “Bukan siapa-siapa. Hanya ingin mengobrol.”
Sodik merasa ada sesuatu yang aneh dari orang ini. Tatapannya tajam, tapi sikapnya terlalu santai.
“Kami tahu kamu pasti bertanya-tanya… kenapa bisa menang lotre dengan angka yang tepat, kan?”
Jantung Sodik berdegup kencang. “Jadi… jadi kalian yang bikin aku menang?”
Pria itu tertawa kecil. “Katakanlah… kamu adalah bagian dari eksperimen.”
Sodik membatu.
Eksperimen?
“Apa maksud kamu? Aku nggak ngerti.”
Pria itu menyesap kopinya dengan tenang. “Kami punya sistem. Sistem yang bisa menentukan siapa yang akan menang lotre. Dan kami memilihmu.”
Sodik merasa darahnya mengalir dingin. “Kenapa aku?”
Pria itu menatapnya, seolah sedang menimbang-nimbang jawabannya. “Karena kamu adalah tipe orang yang menarik untuk diamati. Orang biasa yang tiba-tiba menjadi kaya. Kami ingin melihat… bagaimana seorang seperti kamu akan berubah.”
Sodik menelan ludah. Tangannya mengepal di bawah meja. “Jadi… ini semua cuma permainan buat kalian?”
Pria itu tersenyum tipis. “Tepat sekali.”
Sodik ingin marah, tapi pikirannya kacau. Semua keberuntungannya selama ini… bukan karena takdir. Bukan karena nasib baik. Tapi karena dia hanya… objek penelitian.
“Jadi, sekarang apa?” tanyanya dengan suara bergetar. “Apa kalian mau ambil lagi uangnya?”
Pria itu menggeleng. “Tidak, tentu saja tidak. Kamu boleh tetap kaya. Tapi ada syaratnya.”
Sodik menegang. “Syarat?”
“Kami akan terus mengamatimu. Kapan pun. Di mana pun. Hidupmu tidak akan pernah benar-benar menjadi milikmu sendiri.”
Sodik terdiam.
Dia memandangi tangannya yang selama ini menggenggam kemewahan yang datang tiba-tiba. Tapi sekarang, semua terasa hampa.
“Apa ada pilihan lain?” suaranya terdengar nyaris seperti bisikan.
Pria itu mengangkat bahu. “Tentu. Kamu bisa mengembalikan semua uangmu. Kembali ke kehidupan lamamu. Dan kami tidak akan mengawasimu lagi.”
Sodik tertawa pahit. Pilihan yang mustahil. Siapa yang mau kembali jadi miskin setelah tahu rasanya jadi kaya?
Tapi di sisi lain… apa gunanya uang kalau dia tidak punya kebebasan?
Ia menatap pria di depannya, lalu menutup mata.
Ia harus memilih.
Kebebasan atau kekayaan?
Dan di malam itu, di bawah gemerlap lampu kota, Sodik mengambil keputusan yang akan menentukan hidupnya selamanya.
Jadi, apakah Sodik bakal memilih hidup bebas tanpa semua uang itu? Atau dia bakal terus menikmati kemewahan meski hidupnya terus dipantau? Hidup memang penuh pilihan, kan?
Kadang, keberuntungan datang dengan harga yang harus dibayar. Nah, menurut kamu, kalau ada di posisi Sodik, bakal pilih apa? Let us know di komen, ya!